Aulia punya trauma tentang pernikahan, hingga membuat dirinya enggan menikah. Namun, karena kondisi sang ibu, mengharuskannya menerima lamaran Alex, seniornya di kampus. Sebab hanya Alex lah yang bisa membantunya menyelesaikan seluruh masalah yang ada. Mampukah Aulia hidup seatap dengan laki-laki itu?
Voir plusBab 1. Rumah sakit.
*** Gadis berambut panjan lurus hitam legam dengan poni kedepan menatap ruang icu dengan cemas bola mata barwana coklatnya menahan butiran bening akan tumpah dari kelopak matanya, ia lalu mendongak menahan sesak dihatinya jika pertahanannya runtuh saat itu juga maka siapa yang akan menenangkan adiknya yang menangis tak ingin kehilangan Bundanya yang sedang berjuang antara hidup dan mati di dalam sana"Kak, Bunda tidak akan pergi kali ini kan?" ucap sang adik keatakutan. Gadis itu memaksakan senyumnya lalu berucap, "Kita doakan Bunda ya, Dek kuat melawan penyakitnya." "Selalu kak, aku selalu berdoa semoga bunda cepat sembuh. Aku rindu tawa Bunda dulu, Rumi ingin kita kumpul di rumah lagi bukan di rumah sakit terus seperti ini. Aku Rindu masakan Bunda." Aulia mengangguk mengiayakan, ia pun merindukan hal itu, sejak dua tahun terakhir mereka bergantian menjaga Bundanya di rumah sakit, meskipun selalu disibukkan untuk bekerja. Pulang kuliah ia pun kerja hingga jam 9 karena Aulia lah yang menanggung semua keperluan mereka mulai dari biaya rumah sakit, uang sekolahnya dan adiknya serta kebutuhan sehari-hari mereka. Ia harus mengorbankan masa mudanya untuk bekerja saat teman- teman seusianya sibuk jalan-jalan, bercanda menikmati masa muda mereka. Ia tak pernah mengeluh sama sekali karena sejak kecil sudah terbiasa menjadi pribadi yang independen karena terlahir dari keluarga sederhana, ia pun menghabiskan waktunya hanya untuk pendidikan dan juga bekerja. "Iya dek, Bunda kuat tidak akan mungkin menyerah secepat itu." Ia terus saja menyakinkan adiknya meskipun hatinya cemas dan khawatir kondisi Bundanya tidak akan selamat. Ia segera mengusap butiran bening air matanya yang berhasil lolos, tidak ia tidak boleh rapuh di depan adiknya. Kedua gadis itu terus menatap lurus ke pintu di mana Bunda mereka berjuang, bibir mereka tak hentinya melafalkan doa keselamatan Bundanya. Suasana sepi di koridor rumah sakit semakin membuat atmosfer di sana tegang Aulia terus meremas jemari tangannya berharap bunda dan dokter di sana segera keluar, sudah dua jam mereka menunggu kabar dari dokter berharap ibunya bundanya baik-baik saja.Kepanikan keduanya semakin berlanjut perawat berlari tergesa-gesa keluar saat itu Aulia refleks berdiri dari kursi tangisan nya pecah saat itu juga "Sus apa yang terjadi bunda saya baik-baik saja kan?" ungkapnya dengan suara bergetar cemas dan khawatirSuster tersebut menatapnya iba dengan perasaan simpati."Tenang saja dek ibunda adek baik-baik saja." Mendengar itu Aulia hanya diam menatap kosong ke punggung suster tersebut kembali masuk ke dalam ruangan. Kalimat yang dilontarkan suster tersebut hanyalah sebuah kalimat penenang saja sebagai antisipasi agar dirinya tidak sedih namun dalam hatinya memohon agar apa yang dikatakan suster itu benar adanya dan semoga ibunya bisa bertahan.Setelah beberapa saat menunggu dokter dan suster tersebut keluar dengan raut yang membuat kedua gadis itu bertanya-tanya bagaimana kondisi ibu mereka."Dokter—" "Ibu anda baik-baik saja, kamu ikut saya," ucapnya terpotong saat dokter tersebut mengucapkan ibunya masih bertahan sejauh ini.Mendengar kabar itu, ia tidak merasakan lega sama sekali apalagi saat dokter tersebut menyuruhnya untuk menemuinya ke ruangan pribadinya berbicara secara pribadi. Iya mengikuti dokter tersebut dari belakang dengan wajah terus menunduk dengan pikiran kosong."Kanker rahim ibumu semakin parah sudah menjalar ke beberapa sel darah dari tubuhnya jika lambat untuk melakukan kemoterapi maka kami ini tidak bisa menjamin apakah ibumu bertahan lama jadi kami menyarankan untuk segera melakukan hal tersebut. Bahkan melihat kondisinya sekarang sudah memasuki kanker stadium 4""Biaya yang dibutuhkan untuk melakukan kemoterapi terapi berapa dok?"Dokter itu menatapnya cukup lama ia tak menyangka jika perempuan itu terus menyanggupi setiap prosedur yang dilakukan disarankan untuk ibunya meskipun biaya yang dikeluarkan tidaklah sedikit bahkan dokter tersebut kagum dengan kegigihannya, gadis itu tidak pernah mengeluh tentang apapun meskipun itu besar sekalipun akan terus menyanggupi asalkan ibunya bisa sehat kembali. "Apakah kamu yakin? Ini memerlukan biaya tidak sedikit." Aulia mengangguk mantap. " kesehatan ibunda saya lebih penting dibandingkan uang yang saya keluarkan karena bagaimanapun dia adalah satu-satunya rumah kami untuk pulang. Pengorbanan yang saya lakukan ini belum cukup untuk membalas semua jasa dan waktu dalam membesarkan kami seorang diri," tutur Aulia tanpa tanpa sadar menceritakan masalah pribadi keluarganya tersebut.Garis bibir dokter tertarik sempurna tentu saja mendengar keluhan dari kesaksian bukankah yang pertama kalinya."Minggu ini kemoterapi akan dilakukan kamu bisa menebus administrasi nya setelah kemoterapi tersebut di belakang saja." ungkapan dokter itu memberikan keringanan."Terima kasih dokter, saya berjanji akan membayar secepat mungkin setiap kali bunda saya menjalani kemo." ***Hana mendesah berat menatap biaya kemoterapi bundanya sekitar 11 juta lebih dan setiap minggu harus dilakukan. Sedangkan tabungannya saja tidak cukup dan gajinya tidak mampu menutupi kemo. Meskipun begitu tak'kan berputus asa. Ia menuju ruangan Bundanya istirahat memalsukannya senyumnya menutupi semua beban pikirannya seakan tidak terjadi apa-apa saat ini. "Aulia, kamu tidak kuliah, Nak?" peringat Bundanya. "Ini baru mau berangkat Bun, mata kuliahku hari ini masuk jam saing." Marwah menatap anaknya lekat firasatnya mengatakan kalau anaknya itu sedang bohong padanya, sejak tadi putri sulungnya itu mencari kesibukan, tanpa berniat menghadapnya bahkan menatapnya. "Kamu bohong sama bunda lagi," tutur Marwah. Aulia berbalik, menatap wajah pucat Marwah.Derai air matanya jatuh tak tertahankan sejak mendengar kabar ibunya kembali masuk ke ruang Icu ia memutuskan untuk pulang meninggalkan mata kuliahnya. "Maafin Aulia Bun," ungkapnya merasa bersalah, bukan karena bolos kuliah kali ini tapi belum bisa memberikan yang terbaik untuk pengobatannya."Lain kali jangan diulangi lagi. Bunda ingin masa depan anak Bunda bagus." Aulia mengangguk saja lalu menghapus air matanya melangkahkan kakinya ke ranjang tersebut."Bunda, jangan tinggalin kami, jangan menyerah sama penyakit Bunda. Kalau Bunda juga pergi lalu ke mana lagi kami berlindung." Marwah mengusap air matanya, ia juga ingin bertahan untuk kedua putrinya namun juga memikirkan biaya atas pengobatannya bukanlah sedikit bahkan putri sulungnya sudah berjuang demi memenuhi semuanya. "Bunda akan bertahan sebisanya dan melawan penyakit ini." ***Pagi ini Hana berangkat kuliah tak bersemangat sama sekali, matanya sembab sehabis menangis memikirkan masalah pengobatan Bundanya dari mana mendapatkan uang sebanyak itu waktu seminggu. Ia terus berjalan seraya menundukkan pandangan memikirkan pekerjaan apalagi yang harus dilakukannya. Langkahnya terhenti menatap sepasang sepatu di depannya. Ia menaikkan pandangannya secara perlahan. Sejenak mengernyitkan beberapa atensi tertuju padanya, bingung apa yang sebenarnya terjadi. Ia mengambil cermin kecil dalam tasnya menatap wajahnya sudah sangat buruk pantas saja mereka memandangnya aneh. Ia lalu memakai masker yang selalu dibawanya ke mana-mana. Lalu kembali melangkah cuek dengan tatapan orang lain. "Hai kamu!" panggil seseorang padanya namun tak merasa sekali terus melangkah. "Yang memakai masker hitam." Langkahnya terhenti, ia berbalik menunjuk dirinya sendiri."Saya?" ulangnya lagi mengerutkan kening tidak mengenal laki-laki berdiri beberapa centi di depannya. Ia memperhatikan penampilannya dari ujung sepatu hingga pucuk kepalanya. Outfit digunakannya semua barang branded. Baru kali ini melihatnya. "Ya? Ada kepentingan apa memanggil saya?" tanya Aulia dengan percaya diri seakan mahasiswa populer dengan prestasi..Mereka menyaksikan itu mencibir Aulia secara terang-terangan bukankah hanyalah mahasiswa buangan yang namanya saja tidak pernah terdengar. "Kamu semester berapa? Kelas mana?" Aulia mendengus atas pertanyaan itu, apa pentingnya mengetahui kelasnya di mana membuang waktunya saja, matanya melirik ke jam tangan dikenakan kelasnya akan segera dimulai. Netranya sejenak menatap laki-laki itu dengan wajah datar tanpa senyuman lalu mengabaikannya. "Kamu belum menjawab pertanyaanku!" Teriak laki-laki itu lagi. Namun, Aulia tetap cuek terus mengabaikannya.Dua belas tahun lalu seorang gadis kecil menangis dipojok kamar menyaksikan berdebatan antara ke dua orang tuanya, di mana sang ibu sedang hamil dan sbentar lagi akan melahirkan. Ia ketakutakn meringkuk memegang lututnya ketakutan memyaksikan pertengkaran yang sedang terjadi di depan matanya. Umurnya yang menginjak 7 tahun itu harus meliat bagaimana ibunya di pukul dan ditampar hingga dibentak oleh Ayahnya. “Dasar kau istri tidak berguna! Harusnya saat aku pulang kerja kau menyambutku dengan baik, tapi apa kau malah bertanya tentang perempuan yang jalan denganku. Bahkan memasak pun kau tak kerjakan!”“Harusnya kau sadar! Kau sudah tidak menjalankan tugasmu sebagai sorang suami, bahkan memberikan uang untuk membeli beras saja kau tak berikan! Beberapa temanku yang suaminya kerja denganmu sudah belanja bulanan. Sedangkn kau sendiri tidak memberikan sepersen pun padaku! Selain itu aku hanya bertanya baik-baik tentang wanita itu, mas. Tapi reaksimu berlebihan.”Plak! Satu tampara
Alex menatap kdua perempuan itu bergantian sejak kapan merka bisa akrab seperti itu, aulia pun tak pernah cerita tentang Maudy. Ia tidak menyangka semua usahanya untuk membuat keduanya tidak saling mengenal dan tidak berkomunikasi gagal mereka bahkan sangat terlihat akrab dan terlihat dekat. Bahkan maudy terlihat pemilih dalam berteman dengan mudahnya akrab seakan mereka sudah saling mengenal lama.“Kalian sudah lama mengenal?” tanya alex pelan agar tidak menimbulka kecurigaan.0Maudy merangkul pundak Aulia senang. “Gak lama amat sih baru seminggu aja, itupun ketemunya waktu yang kurang berkesan ‘kan Aulia.”Aulia memaksakan senyumnya mendegar itu, memang benar. Ia menarik dirinya menjauh dari maudy risih diperhatikan seintens itu.“Wish asik ni, kalau begini, bisa tuh gabung dengan kami juga dong, kesempatan aku buat dekat dengan Aulia jalannya makin mulus aja,” seru Ahmad. Merasa memiliki kesempatan berdekatan dengan aulia.Tatapan melotot dilayangkan oleh Alex tak setuju tak i
“Aulia,” panggil Maudy berulang kali karena perempuan itu diam melamun setelah menanyakan sudah lama atau kerja di sana.“Hah? Ya, ada apa kak?” “Aku bertanya loh kok malah begong sih, lagi mikirin apa?”“Ah, itu kakak motor aku sore ini bisa langsung diambil gak sih, soalnya penting bangat.” Kilahnya mencoba mengalihkan topik tak ingin terlalu jauh membahas tentang kejadian beberapa hari lalu saat mereka bertemu diapartemen tanpa sengaja dan harus berbohong.“Oh itu, aku akan mengabarinya kalau sudah dikampus. Palingan juga gak lama kalau hanya bannya bocor.”“Aku boleh minta nomornya kak? Kalau ke kesana sore ini gak akan susah lagi." Pinta aulia berusaha agar tidak terus menyusahkan Maudy ada rasa tak enak dalam dirinya terus merpotkan perempuan itu, selain itu dirinya juga tidak terbiasa menjadi pribadi yang indepent semuanya dilakukan sendiri.“Gak usah nanti aku yang hubungi dan kita ke sana barengan.” Aulia menggelengkan kepalannya menolak bantuan itu. “Aku aja yang ke san
Menghela napas panjang menatap kepergian Aurel kembali menertralkan detak jantungnya yang kembas kempis berdetak cepat karena menahan emosi tak ada maskud untuk menyinggung ibunya tapi apa yang dilakukannya sudah keterlaluan. Netranya memerhatikan Aulia sibuk membersihkan tumpahan teh itu, ia meraih tangannya menatap luka yang kena air panas tersebut.“Harusnya kamu obati dulu lakamu, kalau terus dibiarkan akan semkin parah.”Aulia menarik tangannya menjauh lalu melanjutkan membersihkan meja tersebut. Alex tak tahan karena Aulia mengabaikan luka tersebut menyetaknya menuju kamar menyururhnya untuk duduk. “Kalau ada luka seperti ini harusnya langsung kamu obati jangan dibiarkan begitu saja, gak baik.”Aulia diam menunduk saja tidak memberikan respon apapun. Sejak kepergian mertuanya itu terus saja bungkam membuat Alex mengeryitkan kening saat pulang pantai dia baik-baik saja.“Ada apa sejak tadi kok kamu diam saja sih?” tanya alex merasa ada yang aneh dengan perempuan itu.Tida
Aulia menyipratkan air alut ke arah Alex dengan tawa bahagia seakan masalah antara meraka sudah tiada lagi dengan segaja, senyum dibibirnya pun ikut tersinggung. Beberapa kali Alex terpesona dengan senyumnya yang manis, bahkan dibuat terpana dengan lesung pipi yang dimilikinya. “Kak Alex kok melamun aja sih” tegur Amlia mendorong laki-laki itu mendekat ke arah aulia.Alex terus memerhatikan Aulia menatap penuh kagum dan sorot mata lembut ke arahnya, ia terus dibuat terpoesona senyuman masnis peremuan itu, senyuman yang jarang sekali diliat menyadari ternyata perempuan itu selain memiliki gigi yang rapi juga memiliki lesung pipi di bawah bibirnya dengan bentuk titik. Bibrinya pun ikut terangkat menyaksikan senyum manis itu berharap akan selalu terbit. Perempuan itu sangat bahagia saat bermain dipantai karena seja kecil orang tuanya selalu membawanya ke pantai. Alex berharap bisa terus melihat senyuman indah itu.“Cantik,” puji Alex lalu menyiramnya dengan air laut. Perempuan itu m
Aku merindukan masa kecilku tertawa tanpa beban, semakin deawasa dunia menujukkan kekejamannya, saat aku mencoba untuk mencari makna atas apa yang terjadi semakin hatiku dibuat risau semua begitu abu-abu tak mengerti sama sekali”Arumi*****mingu pagi Arumi, marwah, dan alex memutuskan untuk berlibur jalan-jalan ke salah satu tempat wisata di Makassar yaitu pantai akkarena mereka memutuskan untuk pergi lebih awal karena jarak antara apartemen mereka cukup jauh memakan cukup lama, walupun pantai akkarena sangat terkenal dengan pemandangan matahari terbenamnya tapi ingin menikmati keindahan pantai berpasir hitam tersebut sejak kecil Arumi dan Aulia sangat menyukai pantai dan juga langit mereka akan menghbisakan waktu seharian bermain di diata spasir seraya menikmati pemandan dan jajanan di sana.“is, kok mereka lama bangat sih,” gumam arumi menggerutu berdiri di depan mobil Alex cukup lama. “Andaikan saja aku tau kalau akan menunggu lama begini lebih baik aku minta kunci mobil
Aulia memasuki apartemen mereka membwa barang belaja bulanannya sekilas melirik ke arah Arumi cemberut memayungkan bibirnya kesal. Menaikkan alisnya sebelah bertanya-tanya apa yang sudah terjadi namun tak mau ambil pusing mengayunkan kaki menuju dapur."Kak Aulia," teriak Arumi mengelegar membuatnya menghela napas panjang. Ia keluar, matanya melotot mendapatkan Alex menutup mulut Arumi. Ia melangkah mendekat dan menepis jari-jarinya melepaskan tangannya "Apa yang kau lakukan pada adikku! Mau membunuhnya?" Arumi mengangguk setuju dengan prrnyataan itu. Semakin memanas-manasinya memprovikasi yang terjadi. "Mana mungkin aku mau membunuh adikku iparku sendiri. Kakaknya segalak singa lapar. Sama halnya aku mencari mati." Arumi menahan tawa mendengar senyum tipis mulai terbit di bibir perempuan itu."Kak Alex mengancamku kalau membocorkan selesai di telpon seorang perempuan."Alex melototkan matanya tak percaya berani mengadu sudah mengingatkannya untuk tidak memberitahukan masalah
"Jangan menyesali apa yang terjadi dengan jalan hidupmu apalagi itu tentang keluarga broken home tapi jadikan tombak menuju suksessmu membungkam semua mulut merendahkanmu.Alex¤¤¤"Hai berhenti jangan mengatakan itu, kalau kamu membenci semua hal pada padamu baik itu hidupmu, dirimu dan takdirmu maka akan membuatmu hancur," Alex mencoba menyadarkan Aulia yang terus saja bergumam putus asa. "Kamu tidak akan tau bagaiamana jadi aku Alex!" tukas Aulia menatap nanar laki-laki itu "Aku memang tidak tau apapun tentang kamu Aulia tapi, bahkan aku tidak akan pernah tau bagaimana masa lalumu itu, tapi yakinlah dibalik ujianmu ini ada kebahagiaan yang menantimu jangan jadikan masa lalumu sebagai penghambat masa depanmu."Aulia tertawa mengejek. "Masa depan? Bahkan kau saja sudah menghancurkannya sekarang. Apalagi yang aku punya sekarang!" sahutnya lagi mengingat pernikahan paslu ini. Alex terdiam tak lagi bisa berkomentar, sudah berusaha untuk menghibur dan menyemangatinya tapi lagi-lagi
"Aulia sudah semester berapa?" tanya Amelia, ia menghentikan kunyuhannya dengan antusias menjawab pertanyaan itu."Alhamdulillah udah mau masuk semester 3 kak.""Loh masih maba yah, aku kira tadi udah semester 4 loh kita setingakat." Maudy tertawa kecil sudah salah menilai tentang perempuan itu."Masuk organisasi apa? Kalau ada sosialisasi bisa barengan." Aulia terdiam sejenak menggaruk pipinya tak gatal karena tidak mengambil organisasi apapun bukan karena tidak ingin masuk tapi dulu sibuk bekerja sampai tak ada waktu mengurus hal tersebut hanya fokus ke kerjaan dan keluarganya saja."Ah, itu kak. Aku gak ambil organisasi apapun," jawab Aulia canggung. "Kenapa? Masuk organisasi itu bagus loh." "Aku sibuk kerja kak sampai tak ada waktu mengurusnya." "Oh, gitu. Kamu kerja sambil kuliah buat bayar uang kuliahmu?" Aulia mengangguk tanpa ragu tersenyum canggung. "Bagus dong masih muda sudah punya pengalaman kerja. Andainya aku juga bisa kuliah sambil kerja bisa merasakan bahagianya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires