"Gue tahu lo nerima pernikahan ini karena cinta mati sama gue. Siapa sih, yang bisa nolak pesona kegantengan ini?" Erick berdiri di hadapan gadis lugu yang tadi siang baru saja sah menjadi istrinya. "Denger, ya, Lan. Gue bisa aja kasih semua yang lo mau. Nafkah lahir maupun bathin, tapi tidak dengan cinta. Karena tidak ada hal di dunia ini yang lebih gue cintai selain diri sendiri. Jadi lo jangan berharap banyak. Bilang aja kalo nyesel! Kita bisa cerai besok." Lani yang mendengar itu hanya bisa duduk tergugu dengan mata sendu. Demi memenuhi permintaan sang kakek, Sultan Wardhana, Erick terpaksa menikahi Lani, anak dari asisten rumah tangganya, setelah diancam tak diberi jatah warisan.
View MorePlak!
"Dasar buaya darat. Dulu lo janji nikahin gue, sekarang tahu-tahu udah nikah sama orang lain. Laki-laki macem lo emang nggak bisa dipegang kata-katanya. Hobi nebar janji ke sana-sini sampe akhirnya cewek-cewek bego kayak gue kemakan omongan lo!"Alani Ramadhanti, dibuat kaget bukan kepalang karena kedatangan seorang tamu tak diundang. Perempuan dengan pakaian kekurangan bahan itu menampar dan memaki-maki pria yang baru beberapa jam menyandang sebagai suami sahnya-- di acara resepsi."Lo yakin nikah sama laki model begini mbak? Yang namanya buaya darat, mau berubah status juga kalau udah watak bawaan orok kagak akan bisa diubah. Jangan nyesel kalau nanti nangis-nangis karena kelakuan bejatnya!" Perempuan seksi itu menatap Lani berapi-api dengan amarah membuncah. Matanya menyorot tajam dengan tangan terulur menunjuk suami Lani."Apa maksud lo ngata-ngatain gue kayak gitu? Lo marah gue tolak waktu itu, hah?" Karena tak terima suami Lani membuka suara, pria itu mengusap pipi kanannya yang terasa kebas akibat tamparan tadi.Perempuan itu menggelengkan kepala, kemudian tersenyum sinis. "Nyesel gue korbanin semuanya buat Lo. Dasar laki-laki ban9$@t!""Nggak usah ngatain orang! Coba lo ngaca dulu! Ibarat kucing dikasih ikan asin secara cuma-cuma ... ya mana bisa nolak, beg--""Udah, cukup Mas Erick! Malu dilihatin orang." Lani menengahi, gadis itu tampak menarik tangan suaminya.Seketika semua mata tertuju pada mereka. Tak lama keamanan datang dan menyeret perempuan itu keluar. Dia masih berontak, memaki Erick dengan segala sumpah serapah.Sembari menatap punggung perempuan itu yang perlahan menghilang, Lani tertegun. Sebenarnya bersuamikan lelaki seperti Erick saja seolah tak terpikirkan, apalagi membayangkan di hari resepsi pernikahannya sesuatu seperti ini akan terjadi.Meskipun semua orang memang sudah men-cap suaminya sebagai buaya darat, karena sering mempermainkan perempuan. Namun, tetap saja hal itu tak membuat Lani mengurungkan niat untuk menerima tawaran Sultan Wardhana-- kakek Erick untuk menikahi cucunya, kala itu.Entah apa alasan Lani sebenarnya, hingga gadis yang bisa dibilang shalihah seperti dirinya, mau menikah dengan buaya darat seperti Erick. Masih terasa lekat dalam ingatan bagaimana ekspresi terkejut pria itu saat kakek memintanya untuk menikahi Lani, di depan para tetua yang sedang merundingkan tentang perjodohan mereka ... bahkan dengan terang-terangan Erick menolak.Karena geram dengan sikap cucunya, Sultan mengambil keputusan yang tak mampu Erick tolak. Akhirnya pria itu setuju meskipun harus mempertaruhkan kebebasannya sebagai seorang lelaki lajang."Siapa perempuan tadi Erick? Mantanmu yang ke berapa? Untung saja kakek segera menikahkanmu dengan Lani. Kalau tidak, bagaimana masa depanmu nanti? Kakek tak bisa membiarkan banyak perempuan menjadi korbanmu lagi. Tobat, Nak. Tobat!" Sultan Wardhana berdiri di depan pelaminan, ia mengacungkan tongkatnya tepat di wajah Erick."Erick nggak kenal cewek tadi, Kek. Ng ... mungkin tepatnya lupa," ucapnya santai seraya menundukkan kepala."Astaga anak ini ... ke mari kamu!" Kakek renta itu naik ke pelaminan. Mengarahkan tongkat ke kepala Erick. Hendak memukulnya."Sudah, Yah! Malu diliatin orang. Kita bisa bahas ini nanti. Udah banyak tamu yang ngantre di belakang." Rima-- Mami Erick berusaha menenangkan Sultan. Ia menuntun Ayahnya untuk turun dan kembali ke tempatnya, hingga acara bisa terus berlanjut.Kerumunan orang yang memadati pelaminan, terlihat mulai membubarkan diri. Mereka kembali pada tujuan awal datang ke acara ini untuk memenuhi undangan. Meskipun masih terdengar desas-desus orang-orang yang membicarakan kejadian barusan.Erick kembali duduk di tempatnya, ia menatap wajah ayu Lani. Dahinya berkerut saat melihat gadis itu masih bisa menebar senyum pada orang-orang yang berlalu lalang, setelah apa yang terjadi."Lo nggak apa-apa,'kan, Lan?" tanyanya mencoba mengusir rasa penasaran."Eh, iya Mas?""Itu ... yang tadi--" Erick tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ia masih geram dengan apa yang baru saja terjadi. Selain menanggung malu, ia juga harus menahan sakit karena tamparan wanita itu."Oh, mantan Mas Erick. Dia cantik!" Lani tersenyum lebar, matanya tampak menyipit karena senyum meneduhkan yang gadis itu tunjukan."Hm ... gue nggak minta pendapat lo tentang penampilan dia." Erick sedikit gemas dengan sikap polos Lani, bagaimana mungkin dia memuji perempuan tadi yang bagi Erick lebih terlihat seperti Dedemit, "Maksud gue--""Iya tahu Mas. Nggak apa-apa, kok," lagi-lagi Lani tersenyum. "Tidak usah dipikirkan apa yang sudah terjadi. Sekarang kita fokus sama acaranya aja ya. Masalah tadi bisa dibahas nanti.""Iya, tapi masalahnya bukan itu."Dahi Lani berkerut bingung."Terus?""Gue nggak yakin si Sasa satu-satunya mantan gue yang bakalan dateng!"Lani memalingkan wajahnya dari Erick, kemudian mengelus dada dan bergumam. "Astagfirullah."* * *Malam semakin pekat, sang surya telah kembali pada peraduannya. Di sana-- di kamar pengantin yang telah dihias begitu cantik dengan nuansa romantis. Menciptakan suasana intim pasangan kekasih halal, yang siap memadu kasih.Lani tercenung, kepalanya tertunduk ketika mendengar ocehan Erick setelah acara selesai. Lani tahu, sejak ijab qabul dan resepsi berjalan, pria itu sudah gatal ingin mengungkapkan unek-unek dalam hatinya. Seolah menegaskan pada gadis itu bahwa Erick menentang keras pernikahan ini."Gue tahu lo nerima pernikahan ini karena cinta mati sama gue. Siapa sih, yang bisa nolak pesona kegantengan ini?" Erick berdiri di hadapan Lani dengan kemeja yang sudah tak terkancing sempurna. "Tapi harusnya lo sadar. Lo itu jauh dari tipe gue Lan. Dari semua populasi cewek di dunia ini kenapa harus elo, sih? Kenapa kakek harus jodohin gue sama cewek lugu kayak elo?!"Lani tak mampu menanggapi kata-kata Erick. Meskipun ucapannya menyakitkan, gadis itu berusaha tetap terlihat tegar. Toh, ia juga yang menyetujui untuk menikah dengan laki-laki itu.Kebebasannya pasti terkekang kini. Setelah menikah dia tentu tak bisa lagi sembarangan bermain perempuan. Ada seorang istri yang harus dijaga hatinya. Ada seorang wanita yang menunggu kepulangannya.Keadaan seperti ini tentu menyebalkan bagi Erick yang mendambakan kebebasan. Sejak dulu ia tak pernah ingin terikat sebuah hubungan apalagi pernikahan. Kecuali memang dia telah benar-benar siap."Gue ini masih muda. Gue bahkan berniat nikah di umur 40 biar kayak bule-bule. Punya anak satu dan istri yang masih muda dan bahenol. Karena elo kebebasan gue dirampas dengan paksa. Wajah tampan ini akhirnya nggak lagi berguna karena cuma bisa dinikmati oleh Lani seorang." Erick terus meracau entah apa maksudnya. Dia bahkan tak memberi kesempatan untuk Lani menyela."Kalau lo ingin tahu. Gue juga tersiksa dengan ketampanan ini. Karena wajah ini lo menghalalkan segala cara buat bisa dapetin gue dengan guna-guna Kakek. Lo licik, Lan!" Dia menatap Lani tajam. Matanya memicing penuh curiga.Pada akhirnya Lani mendongak, dahinya mengernyit karena ucapan Erick. Selain narsis ucapannya sedikit keterlaluan."Aku nggak pernah guna-guna Kakek, Mas. Itu fitnah!" sergah Lani dengan wajah sendu."Nah ... ini, nih! Ini jurus ampuh yang buat Kakek luluh. Wajah melas lo, Maemunah!" Erick menunjuk wajah Lani."Astagfirullah." Lani memegang dadanya. Alisnya bertautan, ia tak mengerti dengan pola pikir Erick."Denger, ya, Lan. Gue bisa aja kasih semua yang lo mau. Nafkah lahir maupun bathin, tapi tidak dengan cinta. Karena tidak ada hal di dunia ini yang lebih gue cintai selain diri sendiri. Jadi lo jangan berharap banyak. Bilang aja kalo nyesel! Kita bisa cerai besok." Erick berpangku tangan, menatap Lani yang duduk di tepi ranjang dengan mata sendu, "Sekarang gue mau mandi terus bobo. Maaf belum bisa ngasih nafkah bathin sekarang. Gue cape berdiri berjam-jam di pelaminan sampe kaki kesemutan. Mungkin besok ya, lo persiapin aja diri dengan baik! Dandan yang cantik, pake lingerie warna merah maroon kalau perlu baju wonder women!" Akhirnya Erick berlalu dari pandangan Lani. Pria itu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Sepeninggal Erick, Lani larut dalam lamunan panjang. Tak terasa satu bulir air mata jatuh dari pelupuk matanya. Ia tak tahu pasti apa yang menyebabkannya menangis.Karena sikap Erick tidaklah sedingin pria-pria di novel picisan yang sering kali ia baca saat senggang. Erick bahkan lebih terbuka. Walaupun menyakitkan, setidaknya ia jujur mengatakan ketidaktertarikannya pada Lani.Gadis itu melepas dalaman jilbab yang digunakan untuk menutupi auratnya. Membiarkan rambut hitam legam itu tergerai indah sampai ke pinggang. Lalu mengikatkannya asal sebelum mengambil wudhu dan menunaikan salat Isya.Lani tak berharap lebih bahwa Erick mau mengimami salatnya. Karena yang ia dengar dari Sultan bahwa Erick menyandang status Islam KTP. Dalam setahun ia hanya menunaikan dua kali salat. Yaitu saat Idul Fitri dan Idul Adha. Miris memang.* * *Erick keluar kamar mandi, ia melihat Lani tengah duduk menggunakan mukena beralaskan sajadah. Kedua tangan gadis itu menengadah."Khusyuk banget do'anya ... minta apa?" tanya Erick selepas Lani melipat sajadah.Senyum tersungging di wajah teduh Lani, gadis itu menjawab. "Berdo'a sama Allah semoga Mas Erick diberikan hidayah agar bisa kembali ke jalan yang lurus!" Setelah mengatakannya Lani berbalik, menyimpan mukena di atas nakas samping lemari, di kamar mereka.Mata Erick melebar. "Nih cewek pendiem, tapi sekalinya ngomong nyelekit," gumamnya.Alani duduk di sofa panjang yang terdapat di kamar luas tersebut. Meraih Al-Qur'an yang terletak di atas meja dekat TV. Untuk sementara mereka tinggal di rumah orang tua Erick sebelum pindah ke rumah pria itu yang terletak di daerah Bogor, berdekatan dengan tempat kerjanya.Sedangkan Erick berjalan menuju balkon kamar, ia menggeser kaca pembatas lalu berdiri menatap langit malam. Dikeluarkannya sebungkus rokok dari kantong celana, mengambil satu batang lalu menyalakannya dengan pematik.Angin berembus kencang, menerbangkan dedaunan kering dari tangkainya. Erick menghisap rokoknya dalam-dalam kemudian menghembuskan ke udara. Seolah membuang setiap beban di kepalanya. Membuat pikiran sedikit rileks."Uhuk ... uhuk ... hik ... hik ...." Lani memegangi dadanya saat asap rokok yang diembuskan Erick mencemari udara. Ditambah angin yang berembus kencang menerjang tubuhnya yang terbungkus gamis berbahan tipis."Lah, lo kenapa Lan? Bengek?" Erick masuk ke kamar saat mendengar suara batuk Lani. Seketika matanya terbelalak melihat wajah gadis itu yang memucat."Ah, Lo pura-pura biar dikasih napas buatan, 'kan? Nggak nyangka ternyata Lo pinter mo--""A-asma!" gumamnya lirih. Sejak kecil dia memang tak bisa terkena asap rokok atau debu. Hidungnya sensitif.Penyakit Asma yang diturunkan ayahnya mungkin menjadi faktor utama kenapa dia alergi terhadap beberapa hal. membuat Lani kadang sedikit sulit beraktifitas di luar. Masker mulut adalah benda wajib yang harus ia bawa ke mana-mana."Beneran?" Erick terkejut, ia bangkit menghampiri Lani yang duduk di sofa. "Sorry, deh ... gue nggak tahu kalau lo punya asma. Di mana obatnya?"Tangan Lani terulur menunjuk almari. Paham dengan maksudnya Erick bergegas mencari benda kecil itu di sana. Kemudian memberikannya pada gadis itu.Erick duduk di samping Lani, kemudian memijat punggungnya. Ia tak tahu apakah cara ini mampu untuk meredakan rasa sesak yang Lani rasakan. Namun, setidaknya ia sudah berusaha. Erick tak bisa diam saja melihat Lani kesakitan."Sib, nasib. Punya bini udah badannya kecil, lempeng, kutilang dara ... penyakitan lagi. Lo nggak ada niat mati dalam waktu dekat, Lan? Biar gue jadi duren sawit alias duda keren banyak duit."Lani menatap Erick dengan nanar, sekali lagi ia mengelus dada melihat perilaku suaminya."Astagfirullah."....Bersambung.Empat tahun kemudian ....Pria itu tampak berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan bocah perempuan yang berdiri di hadapannya. Ia memasangkan jilbab di kepala bocah menggemaskan dengan mata bulat dan pipi gembil tersebut."Ayah ... napa Ica harus pake keludung, tapi Kak Malik sama Kak Ridwan engga?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir putri kecilnya membuat senyum pria itu mengembang. Ia mengusap kepala bocah bernama lengkap Khairunnisa Wardhana yang lebih sering dipanggil Ica itu setelah jilbabnya terpasang."Ridwan dan Malik itu laki-laki, Sayang. Sedang anak ayah yang cantik ini, 'kan perempuan shalihah. Ica selalu bilang sama ayah kalau mau jadi kayak bunda, 'kan?"Bocah menggemaskan itu tampak mengangguk antusias."Iya, Ayah. Ica mau jadi kayak Buna. Buna cantik, telus sayang Ica sama Ayah!""Nah, kamu tahu? Jilbab itu adalah cara Allah buat ngelindungin kaum perempuan. Kalau udah gede Ica pasti ngerti.""Iya, Ayah. Ica juga suka pake keludung. Biar kelihatan cantik kayak Bun
Semburat senja yang tampak di kaki langit telah berganti dengan pekatnya sang malam. Tepat ketika jam berpusat di angkat tujuh, Erick baru kembali dari lokasi proyek di daerah Jakarta Utara.Lelaki itu tampak berlari kecil menuju pintu masuk akses rumahnya. Ia merapatkan jaket saat udara dingin mulai menyergap."Assalamualaikum," salamnya setelah pintu dibuka Bi Ningsih."Wa'alaikumsallam," balas perempuan paruh baya itu, sembari mempersilakan Erick masuk."Lani di mana, Bi?" tanyanya."Oh, Neng Lani ada di atas, Pak. Tadarus kayaknya."Erick mengangguk, kemudian melepas sepatunya dan mengganti dengan sandal rumah. Bergegas pria itu berjalan menuju lantai dua."Makan malamnya udah siap, Pak. Mau makan sekarang?"Erick menghentikan langkah, kemudian memutar kepala menghadap Bi Ningsih. "Nanti aja, Bi."Mengerti dengan maksudnya, Bi Ningsih tersenyum penuh arti. "Duh pasangan muda makin lama makin romantis aja. Jadi pengen muda lagi. Si Bapak ke mana lagi. Pan abi ge hoyong dimanja cita
"Sebentar, ya." Setelah itu Erick berlari menuju garasi.Lani menunggu di pelataran, sampai suaminya kembali dari garasi dengan sebuah motor matix berwarna hitam metalic."Yuk, Mas!" Lani tampak sudah bersiap menggunakan helm dan naik di jok belakang. Namun, seketika kegiatannya terhenti saat sebuah cekalan tangan menahannya tetap berdiri di hadapan. Lekat mata Erick menatap Lani yang berdiri di hadapannya dengan gamis bermodel semi gaun yang bertumpuk di bagian bawahnya hingga membentuk beberapa layer. Pakaian itu dipadupadankan dengan khimar syar'i yang menutupi pinggang rampingnya berwarna senada. "Lan.""Iya?""Kenapa nasi harus ada lauknya?"Seketika dahi Lani mengernyit, pada akhirnya ia menjawab juga. "Untuk pelengkap. Kalau cuma makan nasi aja, 'kan nggak enak, Mas.""Nah, sama halnya dengan kamu. Allah menciptakanmu untuk menjadi pelengkap hidup Mas, Lan. Tanpamu dunia Mas hampa."Mendengar itu seketika tawa Lani meledak. Perempuan itu tampak membekap mulut, setelahnya ia
Suara azan subuh terdengar berkumandang, angin mulai berembus kencang masuk melalui ventilasi di sisi jendela, hingga menyibak gorden kamar berwarna cokelat lembut tersebut. Terbaring di atas ranjang berukuran king size, tampak sepasang suami istri yang telah memadu kasih. Bergelung dalam satu selimut yang sama. Seolah berbagi kehangatan tubuh masing-masing.Setelah mendengar suara azan berkumandang, terlihat sang suami beranjak. Melerai pelukan eratnya dari tubuh mungil sang istri yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Bibirnya terlihat mendekati daun telinga yang semula tertutup juntaian rambut tersebut. Lembut ia berbisik. "Lan, udah subuh. Bangun, yuk! Atau mau Mas pangku ke kamar mandi?" Merasakan napas hangat menyapu permukaan wajah, akhirnya Lani mengerjap. Perlahan tapi pasti mata bulat bening itu mulai tampak. Lalu bersitatap dengan iris hitam pekat yang menatapnya lekat. Kedua sudut bibirnya tertarik. Perlahan ia mulai beranjak. "Aku duluan, ya," sahutnya sembari mulai
Ruang makan itu terlihat hening, hanya suara denting sendok garpu yang beradu dengan piring saja yang terdengar. Bi Ningsih menatap kedua majikannya dari kejauhan, tanpa ia sadari kedua sudut bibirnya terangkat naik, membentuk senyuman. Kebahagiaan keluarga kecil ini seolah menular padanya. Bisa ia rasakan rumah yang tadinya sedingin es di kutub utara, sekarang menjadi sehangat ini. Bi Ningsih terus larut dalam tontonan, hingga tak sadar tengah menyandarkan tubuhnya pada sebuah guci besar di atas meja, yang terletak di lorong ruang makan, terhubung dengan dapur. Prang! Guci itu pecah, berserakan di lantai. Serpihan pecahannya bahkan sampai di bawah ubin yang Lani dan Erick pijak. Tepatnya di bawah meja makan. "An ... jritt!" Segera sebelum kata kasar itu terlontar, Erick membekap mulut. Dengan wajah polos dan lucu ia menatap Lani yang tak kalah terkejut. Namun, tampaknya perempuan itu justru menahan senyum. "So ... maaf, Lan. Keceplosan." Setelahnya ia menyengir. "Nggak apa-apa
Seketika Erick termangu. Geming menatap Lani yang mulai beringsut mendekat. Kuat kepalan tangannya setiap melihat perempuan itu menghela napas, dan membuka mulut. Perasaan yang selama tiga bulan sempat teredam, kembali muncul ke permukaan kala Lani mulai mengungkitnya kembali.Erick pikir perempuan ini telah melupakan kejadian itu seiring berjalannya waktu bersama dengan proses konselingnya.Melupakan permintaan yang membuat lelaki itu untuk pertama kalinya merasa takut kehilangan. Namun, ternyata ia salah. Proses itu dilakukan hanya untuk mengendalikan trauma Lani serta mengontrol kendali pada dirinya. Bukan serta merta memengaruhi ingatan di benaknya, apalagi ingatan yang melekat dalam diri sang penderita. "Mas ...."Seketika lelaki itu mendongak, setelah menghela napas panjang ia meletakkan tangan di kedua bahu Lani. "Maaf karena aku nggak bisa menuruti keinginanmu beberapa bulan yang lalu. Jujur permintaanmu saat itu di luar kuasaku, Lan. Jadi, kumohon kasih aku kesempatan. K
Mobil-mobil mewah itu tampak sudah berjejer rapi di pekarangan rumah Erick malam hari ini. Didorong menggunakan kursi roda oleh Hendra menantunya--tampak Sultan Wardhana tersenyum semringah melihat Lani menyambutnya di ambang pintu.Tak hanya Erick, ternyata perubahan juga terjadi pada sosok Hendra Wirawan--papanya. Setelah tiga bulan berusaha memperbaiki diri. Akhirnya hubungan ia dengan keluarga pihak istri--terlebih Sultan Wardhana--perlahan mulai membaik.Keluarga besar Wardhana itu masuk satu per satu menuju kediaman Erick dan Lani. Setelah Hendra dan Sultan, tampak Rima serta Ainun berjalan bersebelahan, lalu bergantian memeluk Lani. Setelahnya diikuti Opick dan Mariam. Mereka berkumpul di ruang tengah dengan prasmana yang sudah disiapkan oleh pihak catering yang sengaja dipesan. Tampak datang belakangan Panji dan Diana berdiri celingukan di ambang pintu. Erick yang melihat itu langsung berjalan menghampiri."Astagfirullah, Di. Baju lu udah kek jaring-jaring Ikan Pari," celetu
Sesaat setelah menjejakkan kakinya memasuki kamar, Lani dibuat tertegun dengan suasana yang tiba-tiba berubah. Dinding yang biasa bercat hijau, kini dilapisi wallpaper bermotif elegan. Warnanya berpaduan peach dan hijau tosca. Sangat seiras dan enak dipandang. Langkahnya mulai berayun memasuki ruangan seluas 9 x 9 meter tersebut. Menyisir pandangannya ke sekeliling, lalu terhenti tepat di depan ranjang dengan seprai berwarna senada dinding. Dilapisi kelambu putih yang diikat dengan pita cantik di tiap sisi tiang penyangganya.Jemari lentik perempuan itu mulai terulur menusuri setiap inci ranjang berukuran king size itu, lalu beralih pada Erick yang berdiri memperhatikannya sejak tadi. "Suka?" tanya Erick sembari melempar senyum ke arah istrinya. Lani mengangguk. "Iya, ini nyaman, Mas," pujinya. Senyum Erick melebar. "Syukurlah. Ya, udah. Mas mandi dulu, ya. Setelahnya kita salat Ashar di musala bawah.""Sebentar, Mas!" Lani menghentikan langkah Erick yang baru saja hendak beranja
Dua bulan kemudian....Di hadapannya Lani melihat Erick sibuk mengemasi barang mereka ke dalam tas berukuran sedang, hingga tak ada satu pun yang tertinggal. Sementara ia hanya duduk diam memperhatikan di sofa. Setelah serangkaian konseling serta psikoterapi yang dijalani. Akhirnya perempuan itu dinyatakan pulih, walaupun belum sepenuhnya sembuh. Lani masih harus mengikuti konseling rutin seminggu sekali dengan psikolognya Prof. William. Selama hampir kurang lebih tiga bulan berlalu sejak guncangan hebat yang berakibat pada psikisnya. Perempuan itu tak bisa mengingat apa saja yang terjadi selama tiga bulan terakhir ini. Karena konon, pasien yang mengalami depresi atau apa pun itu penyakit yang mengganggu kejiwaan seseorang. Mereka kerap kali melakukan tindakan di luar alam bawah sadar, hingga menunjukkan gejala-gejala yang sebenarnya tak ia kehendaki. Namun, meskipun begitu. Dalam beberapa kasus ada pula penderita yang mengalami gejala setengah sadar pasca depresi, dan masih bisa m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments