"Bowo! Gue pulang dulu, ya. Tiba-tiba ada urusan mendadak ... kalau nggak balik lagi handle aja sama lo. Ntar kasih laporan aja lewat WA," ucap Erick pada mandor proyeknya di daerah Menteng, Bogor.
Dia melepas helm orange itu, lalu berjalan menuju mobilnya yang terparkir.Pria itu duduk di balik kemudi, sejenak ia menggeram. "Diana ... Diana ... siapa ntu cewek? Gue inget pernah pergi liburan ke puncak sama temen-temen. Tapi perasaan nggak ngapa-ngapain. Atau gue lupa? Ah, kampret. Berabe kalau bener tuh cewek bunting!" Erick memukul stir, wajahnya tampak frustrasi. Ia masih ingat suara lirih Lani dari ujung telepon. Bagaimana tanggapan gadis itu kalau benar ia menghamili perempuan lain?Habis dia digorok kakeknya!Mobil melaju dengan kecepatan 40 km/jam. Melesat membelah kepadatan di Kota hujan ini. Beberapa kali Erick menarik napas. Namun, tak bisa mengurangi rasa geramnya.Erick sampai di pelataran rumah. Pria itu berjalan menghampiri dua orang yang berdiri di depan pintu. Entah apa yang tengah mereka bicarakan. Yang pasti ia melihat ekspresi kesedihan yang tidak bisa disembunyikan dari wajah istrinya."Mas, tolong jelasin semua ini ... maksudnya apa?" Lani menatap Erick yang baru saja sampai dengan mata sayu."Nggak, Lan ... dia pasti bohong!""Gue nggak bohong, Erick. Kita bisa periksa sekarang. Gue bener-bener hamil!" perempuan itu menyela, tangisnya tak bisa terbendung lagi, karena masa depan yang sudah ia rangkai sedemikian rupa, hancur begitu saja di tangan seorang lelaki.Erick mengalihkan pandangan, menatap perempuan bernama Diana itu tajam."Lo cewek halu tau, Neng ... nggak mungkin gue sampe ngebuntingin elo karena selama ini selalu main cantik. Nggak akan sampe kebobolan. Ini, nih ... gue yakin lo mau minta tanggung jawab terus meras harta gue 'kan? Hellow ... ini bukan sinetron, ini cerbungnya dwrite. Jadi please nggak usah ngedrama karena gue bukan cowok bego!""Masuk mas--" Lani menarik ujung kemeja yang Erick kenakan."Eh, Lan. Dia bohong jangan percaya.""Masuk!"Pada akhirnya Erick menurut juga."Kalau memang benar janin yang mbak kandung adalah anak Mas Erick. Saya akan pastikan dia tanggung jawab. Tapi, kalau misalnya bukan ... mbak tanggung sendiri akibatnya, memfitnah orang itu lebih kejam dari pada membunuh. Jadi pikirkan baik-baik ucapan saya."Brak!Pintu terbanting tepat di hadapan perempuan itu, setelahnya Lani menatap Erick dengan wajah yang berusaha ia kontrol setenang mungkin."Mas tahu, 'kan dosa berzinah itu sangat besar. Apalagi sampai hamil. Kalau sudah seperti ini apa yang bisa dilakuin? Mas harus tanggung jawab!""Gue tahu, Lan. Nggak usah nyeramahin. Gini-gini waktu kecil gue juga pernah ikut pengajian. Tapi bukan fokus sama materinya, tapi sama kopiah miring pak Ustadz yang sering kali bikin galpok!""Mas ....""Iya, iya, Alani. Gue tanggung jawab kalau itu emang bener anak gue. Tapi kalau bukan ... gue pastiin tuh cewek tinggal nama!""Astagfirullah ....""Zaman sekarang banyak banget orang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, Lani. Apa lagi dengan kondisi gue yang banyak orang cap buaya darat. Gue akuin itu. Tapi, memanfaatkan hal itu untuk menjebak gue rasanya agak nggak beradab. Please pake otak lo sebelum judge gue!"Lani tertegun menatap Erick. Tampak rahang pria itu mengeras menahan kesal.Tok! Tok! Tok!Ketukan pintu mengiterupsi mereka. Erick dan Lani berpandangan. Tak lama pintu kembali dibuka."Sekarang lo mau ngomong apa lagi, hah? Kalau mau semuanya jelas kita tes DNA sekarang!""Mas, tes DNA cuma bisa dilakuin kalau bayinya udah lahir." Lani menyela."Oh, iya juga ya.""Rick ....""Ape, lu?!" Mata Erick melotot, Lani menyentuh lengan Erick agar pria itu bisa sedikit tenang."Tolong dengerin gue dulu ... gue dateng ke sini buat nyari Panji, kenapa kalian salah paham terus berantem.""Hah?!""Ini anak Panji, Rick. Udah dua bulan sejak pulang dari Puncak nombernya nggak bisa dihubungin. Gue bingung minta tolong sama siapa karena cuma elo temen deketnya yang gue kenal.""Bangsat emang setan ntu si Panjul!""Mas, tenang!" Lani menggenggam kembali lengan Erick yang langsung pria itu tepis."Mana bisa gue tenang , Lan. Coba Lo bayangin ada cewek dateng ke rumah gue terus ngaku hamil. Dan ternyata yang ngebuntinginnya orang lain. Siapa yang nggak kesel coba?!""Maaf Rick, gue ngerepotin. Gue nggak tahu harus ngelakuin apa lagi, gue nggak berani pulang kampung, orang tua gue pasti kecewa banget."Erick menghela napas panjang. Ia melirik Lani sekilas, gadis itu tampak menautkan kedua jemarinya."Oke, ikut gue sekarang. Kita temuin si Panjul setan. Lo juga ikut, Lan!"* * *Brak!Erick membuka pintu ruang Icy dengan kasar, setibanya di rumah sakit. Sementara Lani dan Diana mengekor di belakangnya. Kedua perempuan itu yangampak memberi jarak karena Erick mulai diliputi amarah."Lo buntingin si Diana setan!" Erick berteriak di hadapan Panji yang terbaring di brangkar. Kepala pria itu tampak diperban. Namun, kondisinya sudah mulai membaik."Diana mana? Lo dateng marah-marah nggak jelas. Udah bikin gue babak-belur kayak gini juga." Panji berusaha bangkit dibantu seorang perawat yang berada satu ruangan dengannya sebelum mereka tiba."Diana yang lo bawa ke puncak, Panjul. Cewek semok ntu!" Erick sudah kehilangan kesabaran. Beberapa kali dia menoyor kepala Panji yang diperban."Aw ... sakit anjir!"Panji melihat Lani dan Diana memasuki ruang rawatnya. Mata pria itu pun terbelalak seketika."Bodo amat! Tanggung jawab g*bl*k, jangan lari. Tunjukin kalo lo laki-laki sejati. Anak orang lo buat nangis-nangis.""Mas tenang, ini rumah sakit!" Lani berusaha menenangkan Erick yang mulai kehilangan kendali."Diem, Lan, laki model begini kudu di kasih pelajaran. Gue tahu gue juga bukan laki-laki bener. Tapi setidaknya gue ngakuin apa yang udah dilakuin terus pastiin tanggung jawab. Lah, si Panjul, mau enak aja terus lari dari tanggung jawab. Pantesan aja waktu itu lo tiba-tiba ganti nomber ... dasar banci!""Rick--""Apa setan?!" Erick menatap nyalang. "Makanya gue udah bilang berkali-kali sama lo, Panjul ... main cantik. Kayak gue, dong. Amatiran emang lo, ya!"Panji terlihat menghela napas panjang."Gue emang nggak bisa jadi Buaya Darat kelas kakap kayak elo, Rick. Makanya gue takut selalu takut," ucap Panji lirih seraya melindungi kepalanya dari toyoran Erick."Jadi laki ntu jangan cemen! Lo dilahirin ber-otong buat jadi pemimpin sama Tuhan. Nggak usah lembek cuma karena takut kawin dan nggak bisa biayain bini dan anak lo, Njul."Panji tertunduk, ia seolah tak tak mampu menyusun kata untuk menimpali sahabat karibnya sejak zaman kuliah itu. Benar apa yang Erick katakan. Jadi lelaki harus bisa mengambil keputusan yang tegas. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Itu kuncinya!"Oke, Rick. Gue bakal tanggung jawab sepenuhnya atas bayi yang dikandung Diana." Dia beralih pada wanita di samping Lani. "Dan buat lo, Di ... maafin gue karena sempet lari. Sekarang lo tahu ke mana cari gue. Lo bisa dateng kapan pun lo butuh!" Diana terisak, perempuan berambut cokelat itu mulai berjalan menghampiri Panji, lalu memeluknya.Lirih, Diana bergumam. "Gue takut, Panji. Gimana masa depan gue nanti. Gue masih pengen kuliah!""Ssstt ... ada gue di sini. Lo nggak perlu takut. Gue janji bakal nikahin lo setelah bayi itu lahir. Kasih gue waktu buat ngumpulin duit. Kalau boleh jujur sebenarnya gue sayang banget sama, lo, Di!" Diana terisak semakin kencang. Perempuan itu tampak membenamkan wajahnya di dada Panji."Ck, elah, gue paling geli kalau liat yang beginian. Ayo pulang, Lan--" Sebelum sempat meraih tangan Lani, sudut mata Erick melirik perawat yang berdiri di samping istrinya. "Eh, tunggu-- loh, Kok Suster masih ada di sini?" Dia baru sadar kalau perawat berwajah oriental itu ada di sini, sepanjang percakapan mereka. Ia tampak menatap sekelilingnya dengan kerutan di kening.Seketika perawat itu mulai gelagapan. Ia merasa bersalah, karena menguping pembicaraan pasien dan kerabatnya tanpa persetujuan."Eh, oh, ng ... maafkan saya, Pak. Saya sedang menunggu karena tuan Panji harus mandi!" ucapnya canggung."Oh, nggak apa-apa, kok. Di sini aja, kebetulan kita juga udah mau pulang. Um ... anu, sebelum ntu ...." Erick menghampiri perawat tersebut, melewati Lani yang berdiri di sisinya begitu saja. Ia tampak menyisir rambut ke belakang, lalu mulai tebar pesona, "Boleh minta nomber WA-nya?" Matanya pun mengerling nakal."Woy ... masih aja usaha, ada bini lo di sini, Kampret!" Panji mencibir.Sekali lagi Lani hanya bisa mengelus dada, entah berapa kali ia mengucapkan istigfar dalam hati. Namun, tiba-tiba sebuah ide tercetus di benaknya."Mas, Kakek telepon!"Seketika air muka Erick berubah. Dia mondar-mandir di tempat tak tentu arah."Jangan diangkat, Lan!""Hah?""Iya, nggak usah dianggap. Entar dia ngomel-ngomel lagi."Tanpa sadar sudut bibir Lani terangkat naik, perempuan itu tersenyum geli."Katanya dia udah nunggu di rumah.""What? Kagak mungkin."...Bersambung."Astaga dragon!" Erick terlonjak kaget, setibanya di rumah dan melihat kakeknya tengah duduk di ruang tamu dengan bertumpang kaki.Ekspresi sama Lani tunjukan. Padahal tadi ia hanya bergurau bahwa kakek Erick akan datang. Namun, apa yang ia lihat kini, pria dengan rambut yang sudah memutih sepenuhnya itu tengah menunggu kepulangan mereka."Sejak kapan ntu kakek peyot ke sini?" Erick bergumam yang masih bisa terdengar oleh Lani.Bergegas Lani menghampiri Sultan Wardhana, kemudian mencium punggung tangannya. "Maaf buat kakek nunggu, tadi kita ada urusan sebentar." Lani merasa bersalah, gadis itu tersenyum kecil."Nggak apa-apa, Sayang. Duduk sini, Lan!" Sultan menepuk sofa di sampingnya, meminta untuk Lani duduki. "Kakek malah bersyukur kalian bisa keluar bareng. Walau bagaimana pun kamu dan anak kurang ajar itu memang harus lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Biar mata Si Erick nggak perlu jelalatan lagi."Lani hanya mampu menanggapi ucapan Sultan dengan senyuman tipis. Masih te
Cinta adalah suatu hal yang mutlak. Kita tak bisa menyangkal, maupun menghindarinya. Begitu pun dengan perasaan Lani kepada Erick. Perasaan yang awalnya tak ia sadari. Bahkan perempuan itu hanya berpikir hanya perasaan yang timbul sesaat, lalu hilang perlahan. Namun, seiring berjalannya waktu akhirnya ia mulai sadar. Perasaannya kepada Erick semakin dalam. Tak peduli seberapa banyak pria itu menyakiti perasaannya. Lani tahu cinta itu datangnya dari Tuhan. Jadi tak mungkin bila Tuhan meniupkan sebuah perasaan yang salah di hatinya. Perempuan itu yakin, cepat atau lambat suaminya akan berubah. Itu doa yang selalu ia sematkan di setiap sujudnya.Dia percaya Tuhan Maha membolak-balikan perasaan. Dia juga Maha tahu akan segala hal yang akan terjadi. Hanya kepada-Nya 'lah Lani memohon pertolongan. Hanya kepada-Nya 'lah Lani meminta agar kelak perasaan yang semakin dalam ini akan berbalas.Dalam hening ia menatap Erick yang terbaring di sampingnya. Malam tadi adalah malam panjang yang tela
"Rick, minggu depan Opick mau pulang. Katanya dia mau bawa seseorang dari Mesir!" Suara Sultan memecah keheningan di ruang makan. Erick mengalihkan pandangan dan menatap kakeknya yang duduk di kursi utama, sedangkan ia dan Lani berhadapan."Ngaku juga dia punya keluarga di Indonesia. Kirain udah ganti kewarganegaraan saking betahnya sampe 3,5 di Mesir." Pria itu tampak mengedikan bahu dan kembali fokus pada sarapannya di piring."Jangan gitu, Rick. Di Mesir, 'kan dia nuntun ilmu sambil kerja. Yang kakek denger tahun depan dia bisa jadi dosen termuda di sana!""Bodo amat. Terus kalau dia jadi Dosen Erick kudu koprol gitu, Kek? Lagian kerjaan Erick juga bisa dibilang keren. Nggak mudah loh jadi Arsitek.""Iya Kakek tahu. Maksud Kakek itu pengennya kamu jadi Dokter atau Dosen juga, biar bisa bantu orang banyak dengan kemampuan yang kamu miliki.""Emangnya Arsitek kerjaannya nggak bantu orang? Kalau nggak ada Arsitek ... noh, rumah-rumah, bangunan, jalan-jalan, taman, tempat wisata. Semu
"Mas, tadi ada Tante Melinda dateng ke rumah!" ucap Lani saat mereka tengah duduk di ruang tamu. Menonton TV."Tante Melinda?" Erick mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Kemudian menatap Lani dengan mata memicing."Kenapa Mas?" "Nggak apa-apa ... mau apa dia dateng? Nggak nitipin si Chico, 'kan, Lan?""Oh, nggak. Dia kasih rendang buatannya, Mas!""Kirain. Biasanya, 'kan dia dateng kalau cuma buat nitipin anaknya atau cari perhatian gue. Tante Melinda itu Janda kaya beranak satu. Bisnisnya jualin tas yang harganya selangit. Suaminya meninggal karena serangan jantung. Lo jangan sampai kepincut barang dagangan, ya! Soalnya strategi marketing ntu emak-emak nggak perlu diraguin lagi.""Kok Mas bisa tahu banget sih," tanya Lani dengan mata memicing."Ng, itu ... dulu gue pernah sempet ditawarin Ferrari buat hadiah ulang tahun.""Serius, Mas?""Iya, tapi gue nolaklah. Dia nggak mungkin ngasih cuma-cuma. Pasti ada udang dibalik bakwan. Emangnya gue cowok apaan!""Tapi keliatannya dia
Erick menunggu dengan tak sabar. Beberapa kali ia memeloti ponselnya yang tak bersalah, tapi masih belum ada balasan dari Lani. Pria itu menggeram, dicengkeramnya ponsel hanya untuk memastikan apakah centang dua di pesannya sudah berubah biru apa belum."Kampret! Ke mana lagi si Lani?" gumamnya kesal."Ada apa, Mas?" tanya Pak Agus pada Erick yang tampak sibuk sendiri. Sementara pesanan mereka sudah datang beberapa menit yang lalu, "Nanti Mie kocoknya keburu dingin nggak enak loh Mas!"Erick mengalihkan pandangan dari layar ponsel, ia menatap pria paruh baya itu kemudian tersenyum kecil."Duluan aja Pak, saya nunggu agak dingin sedikit. Nggak bisa makan yang panas-panas, soalnya sering panas dalem," ucap Erick kembali sibuk dengan ponselnya.To : Bini Voloz 😺Lan!Send.Lani!Send.Alani ... woy!Send.Alani Rhamadanti, lo masih hidup?!Send."Ah, kesel gue." Erick melempar ponselnya ke meja. Kemudian menyantap Mie kocok yang masih panas itu dengan lahap.Kekesalan menguasainya hingg
Sesampainya di hotel, Erick duduk di tepi ranjang. Pria itu meraih sebungkus rokok di kantong celana lalu menyalakannya dengan pematik. Asap rokok terlihat mengepul pekat mengisi ruangan. Sesekali ia melirik ponsel yang tergeletak di sampingnya. Benda itu bergetar beberapa kali. Awalnya ia abaikan karena itu mungkin saja panggilan dari perempuan-perempuan yang pernah menjadi korbannya dulu.Namun, saat melihat nama Lani tertera di sana, ia segera meraih benda persegi tersebut tanpa berpikir panjang."Jangan, Rick, jangan diangkat!" Erick menatap ponsel itu kemudian menggeleng keras, logika dan hatinya berjalan bertentangan. Sekali lagi ia tak bisa menurunkan ego yang selalu ia bumbung tinggi, hingga yang terjadi panggilan itu hanya ia biarkan begitu saja.Erick kembali menghisap rokoknya kuat-kuat, pikirannya berkelana entah kemana. Pernikahannya dan Lani baru berjalan seminggu. Namun, perempuan itu telah berhasil mengambil kendali dalam dirinya. Sepanjang hidup ia belum pernah merasa
Seketika raut wajah Erick berubah masam, ketika melihat ekspresi Lani akan kedatangannya bukan seperti yang pria itu harapkan."Ck, nggak asik lo, Lan!" Dia berjalan melewati Lani kemudian menghempaskan diri ke sofa."Mang Wawan, woy ... ambil barang di mobil!" teriaknya, tak lama pria parubaya yang kebetulan suami dari bi Ningsih itu berlari tergopoh-gopoh dari belakang."Iya, Pak.""Turunin oleh-oleh di mobil, peuyeumnya masukin kulkas. Kalo roti unyilnya bawa sini. Udah itu cuci sekalian mobilnya. Tadi di jalan hujan," ucap Erick dengan wajah datar dan ditanggapi anggukan oleh mang Wawan.Sepeninggal mang Wawan Lani berjalan ragu menghampiri Erick di sofa. Perempuan itu duduk di samping suaminya kemudian menyentuh lengan Erick yang sibuk dengan ponselnya."Diem Lan, masih sore!" Erick menepis tangan Lani."Mas kenapa sih, dari kemaren di telepon kok aneh banget?"Erick mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, ia menatap Lani dengan ekspresi jengah."Harusnya gue yang tanya. Kena
"Mas udah nggak marah lagi, 'kan?" cicit Lani di tengah keheningan pekat yang menyelimuti mereka di taman depan rumah.Erick menoleh, sebelah alisnya tampak terangkat naik. "Menurut lo?" cetusnya datar, namun tak melepas tautan tangan keduanya."Kayaknya masih. Buktinya tangan aku nggak dilepas. Ini udah sejam, loh, Mas," papar Lani dengan sorot mata meredup. Menatap Erick sembari memiringkan kepalanya.Seketika Erick terkesiap. Ia menarik diri, lalu berdehem."Ekhmm ... sorry, kebawa suasana. Lagian lo nggak protes, tuh!" sanggah Erick sembari memalingkan pandangan. Mengusap tengkuk. Salah tingkah."Ya udah, aku masuk dulu. Mau siapin makan sia--""Pan udah ada Bi Ningsih!" potong Erick cepat, seraya menarik pergelangan tangan Lani yang hendak beranjak, "gue udah bilang, jangan terlalu banyak ikut campur urusan dapur. Nanti tangan lo kasar dan kapalan. Kerjaan lo cuma ngurusin gue," sambungnya tegas."Eh." Bibir mungil perempuan itu tampak terbuka setengah. Dia menatap lelaki berumur
Empat tahun kemudian ....Pria itu tampak berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan bocah perempuan yang berdiri di hadapannya. Ia memasangkan jilbab di kepala bocah menggemaskan dengan mata bulat dan pipi gembil tersebut."Ayah ... napa Ica harus pake keludung, tapi Kak Malik sama Kak Ridwan engga?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir putri kecilnya membuat senyum pria itu mengembang. Ia mengusap kepala bocah bernama lengkap Khairunnisa Wardhana yang lebih sering dipanggil Ica itu setelah jilbabnya terpasang."Ridwan dan Malik itu laki-laki, Sayang. Sedang anak ayah yang cantik ini, 'kan perempuan shalihah. Ica selalu bilang sama ayah kalau mau jadi kayak bunda, 'kan?"Bocah menggemaskan itu tampak mengangguk antusias."Iya, Ayah. Ica mau jadi kayak Buna. Buna cantik, telus sayang Ica sama Ayah!""Nah, kamu tahu? Jilbab itu adalah cara Allah buat ngelindungin kaum perempuan. Kalau udah gede Ica pasti ngerti.""Iya, Ayah. Ica juga suka pake keludung. Biar kelihatan cantik kayak Bun
Semburat senja yang tampak di kaki langit telah berganti dengan pekatnya sang malam. Tepat ketika jam berpusat di angkat tujuh, Erick baru kembali dari lokasi proyek di daerah Jakarta Utara.Lelaki itu tampak berlari kecil menuju pintu masuk akses rumahnya. Ia merapatkan jaket saat udara dingin mulai menyergap."Assalamualaikum," salamnya setelah pintu dibuka Bi Ningsih."Wa'alaikumsallam," balas perempuan paruh baya itu, sembari mempersilakan Erick masuk."Lani di mana, Bi?" tanyanya."Oh, Neng Lani ada di atas, Pak. Tadarus kayaknya."Erick mengangguk, kemudian melepas sepatunya dan mengganti dengan sandal rumah. Bergegas pria itu berjalan menuju lantai dua."Makan malamnya udah siap, Pak. Mau makan sekarang?"Erick menghentikan langkah, kemudian memutar kepala menghadap Bi Ningsih. "Nanti aja, Bi."Mengerti dengan maksudnya, Bi Ningsih tersenyum penuh arti. "Duh pasangan muda makin lama makin romantis aja. Jadi pengen muda lagi. Si Bapak ke mana lagi. Pan abi ge hoyong dimanja cita
"Sebentar, ya." Setelah itu Erick berlari menuju garasi.Lani menunggu di pelataran, sampai suaminya kembali dari garasi dengan sebuah motor matix berwarna hitam metalic."Yuk, Mas!" Lani tampak sudah bersiap menggunakan helm dan naik di jok belakang. Namun, seketika kegiatannya terhenti saat sebuah cekalan tangan menahannya tetap berdiri di hadapan. Lekat mata Erick menatap Lani yang berdiri di hadapannya dengan gamis bermodel semi gaun yang bertumpuk di bagian bawahnya hingga membentuk beberapa layer. Pakaian itu dipadupadankan dengan khimar syar'i yang menutupi pinggang rampingnya berwarna senada. "Lan.""Iya?""Kenapa nasi harus ada lauknya?"Seketika dahi Lani mengernyit, pada akhirnya ia menjawab juga. "Untuk pelengkap. Kalau cuma makan nasi aja, 'kan nggak enak, Mas.""Nah, sama halnya dengan kamu. Allah menciptakanmu untuk menjadi pelengkap hidup Mas, Lan. Tanpamu dunia Mas hampa."Mendengar itu seketika tawa Lani meledak. Perempuan itu tampak membekap mulut, setelahnya ia
Suara azan subuh terdengar berkumandang, angin mulai berembus kencang masuk melalui ventilasi di sisi jendela, hingga menyibak gorden kamar berwarna cokelat lembut tersebut. Terbaring di atas ranjang berukuran king size, tampak sepasang suami istri yang telah memadu kasih. Bergelung dalam satu selimut yang sama. Seolah berbagi kehangatan tubuh masing-masing.Setelah mendengar suara azan berkumandang, terlihat sang suami beranjak. Melerai pelukan eratnya dari tubuh mungil sang istri yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Bibirnya terlihat mendekati daun telinga yang semula tertutup juntaian rambut tersebut. Lembut ia berbisik. "Lan, udah subuh. Bangun, yuk! Atau mau Mas pangku ke kamar mandi?" Merasakan napas hangat menyapu permukaan wajah, akhirnya Lani mengerjap. Perlahan tapi pasti mata bulat bening itu mulai tampak. Lalu bersitatap dengan iris hitam pekat yang menatapnya lekat. Kedua sudut bibirnya tertarik. Perlahan ia mulai beranjak. "Aku duluan, ya," sahutnya sembari mulai
Ruang makan itu terlihat hening, hanya suara denting sendok garpu yang beradu dengan piring saja yang terdengar. Bi Ningsih menatap kedua majikannya dari kejauhan, tanpa ia sadari kedua sudut bibirnya terangkat naik, membentuk senyuman. Kebahagiaan keluarga kecil ini seolah menular padanya. Bisa ia rasakan rumah yang tadinya sedingin es di kutub utara, sekarang menjadi sehangat ini. Bi Ningsih terus larut dalam tontonan, hingga tak sadar tengah menyandarkan tubuhnya pada sebuah guci besar di atas meja, yang terletak di lorong ruang makan, terhubung dengan dapur. Prang! Guci itu pecah, berserakan di lantai. Serpihan pecahannya bahkan sampai di bawah ubin yang Lani dan Erick pijak. Tepatnya di bawah meja makan. "An ... jritt!" Segera sebelum kata kasar itu terlontar, Erick membekap mulut. Dengan wajah polos dan lucu ia menatap Lani yang tak kalah terkejut. Namun, tampaknya perempuan itu justru menahan senyum. "So ... maaf, Lan. Keceplosan." Setelahnya ia menyengir. "Nggak apa-apa
Seketika Erick termangu. Geming menatap Lani yang mulai beringsut mendekat. Kuat kepalan tangannya setiap melihat perempuan itu menghela napas, dan membuka mulut. Perasaan yang selama tiga bulan sempat teredam, kembali muncul ke permukaan kala Lani mulai mengungkitnya kembali.Erick pikir perempuan ini telah melupakan kejadian itu seiring berjalannya waktu bersama dengan proses konselingnya.Melupakan permintaan yang membuat lelaki itu untuk pertama kalinya merasa takut kehilangan. Namun, ternyata ia salah. Proses itu dilakukan hanya untuk mengendalikan trauma Lani serta mengontrol kendali pada dirinya. Bukan serta merta memengaruhi ingatan di benaknya, apalagi ingatan yang melekat dalam diri sang penderita. "Mas ...."Seketika lelaki itu mendongak, setelah menghela napas panjang ia meletakkan tangan di kedua bahu Lani. "Maaf karena aku nggak bisa menuruti keinginanmu beberapa bulan yang lalu. Jujur permintaanmu saat itu di luar kuasaku, Lan. Jadi, kumohon kasih aku kesempatan. K
Mobil-mobil mewah itu tampak sudah berjejer rapi di pekarangan rumah Erick malam hari ini. Didorong menggunakan kursi roda oleh Hendra menantunya--tampak Sultan Wardhana tersenyum semringah melihat Lani menyambutnya di ambang pintu.Tak hanya Erick, ternyata perubahan juga terjadi pada sosok Hendra Wirawan--papanya. Setelah tiga bulan berusaha memperbaiki diri. Akhirnya hubungan ia dengan keluarga pihak istri--terlebih Sultan Wardhana--perlahan mulai membaik.Keluarga besar Wardhana itu masuk satu per satu menuju kediaman Erick dan Lani. Setelah Hendra dan Sultan, tampak Rima serta Ainun berjalan bersebelahan, lalu bergantian memeluk Lani. Setelahnya diikuti Opick dan Mariam. Mereka berkumpul di ruang tengah dengan prasmana yang sudah disiapkan oleh pihak catering yang sengaja dipesan. Tampak datang belakangan Panji dan Diana berdiri celingukan di ambang pintu. Erick yang melihat itu langsung berjalan menghampiri."Astagfirullah, Di. Baju lu udah kek jaring-jaring Ikan Pari," celetu
Sesaat setelah menjejakkan kakinya memasuki kamar, Lani dibuat tertegun dengan suasana yang tiba-tiba berubah. Dinding yang biasa bercat hijau, kini dilapisi wallpaper bermotif elegan. Warnanya berpaduan peach dan hijau tosca. Sangat seiras dan enak dipandang. Langkahnya mulai berayun memasuki ruangan seluas 9 x 9 meter tersebut. Menyisir pandangannya ke sekeliling, lalu terhenti tepat di depan ranjang dengan seprai berwarna senada dinding. Dilapisi kelambu putih yang diikat dengan pita cantik di tiap sisi tiang penyangganya.Jemari lentik perempuan itu mulai terulur menusuri setiap inci ranjang berukuran king size itu, lalu beralih pada Erick yang berdiri memperhatikannya sejak tadi. "Suka?" tanya Erick sembari melempar senyum ke arah istrinya. Lani mengangguk. "Iya, ini nyaman, Mas," pujinya. Senyum Erick melebar. "Syukurlah. Ya, udah. Mas mandi dulu, ya. Setelahnya kita salat Ashar di musala bawah.""Sebentar, Mas!" Lani menghentikan langkah Erick yang baru saja hendak beranja
Dua bulan kemudian....Di hadapannya Lani melihat Erick sibuk mengemasi barang mereka ke dalam tas berukuran sedang, hingga tak ada satu pun yang tertinggal. Sementara ia hanya duduk diam memperhatikan di sofa. Setelah serangkaian konseling serta psikoterapi yang dijalani. Akhirnya perempuan itu dinyatakan pulih, walaupun belum sepenuhnya sembuh. Lani masih harus mengikuti konseling rutin seminggu sekali dengan psikolognya Prof. William. Selama hampir kurang lebih tiga bulan berlalu sejak guncangan hebat yang berakibat pada psikisnya. Perempuan itu tak bisa mengingat apa saja yang terjadi selama tiga bulan terakhir ini. Karena konon, pasien yang mengalami depresi atau apa pun itu penyakit yang mengganggu kejiwaan seseorang. Mereka kerap kali melakukan tindakan di luar alam bawah sadar, hingga menunjukkan gejala-gejala yang sebenarnya tak ia kehendaki. Namun, meskipun begitu. Dalam beberapa kasus ada pula penderita yang mengalami gejala setengah sadar pasca depresi, dan masih bisa m