Seketika raut wajah Erick berubah masam, ketika melihat ekspresi Lani akan kedatangannya bukan seperti yang pria itu harapkan."Ck, nggak asik lo, Lan!" Dia berjalan melewati Lani kemudian menghempaskan diri ke sofa."Mang Wawan, woy ... ambil barang di mobil!" teriaknya, tak lama pria parubaya yang kebetulan suami dari bi Ningsih itu berlari tergopoh-gopoh dari belakang."Iya, Pak.""Turunin oleh-oleh di mobil, peuyeumnya masukin kulkas. Kalo roti unyilnya bawa sini. Udah itu cuci sekalian mobilnya. Tadi di jalan hujan," ucap Erick dengan wajah datar dan ditanggapi anggukan oleh mang Wawan.Sepeninggal mang Wawan Lani berjalan ragu menghampiri Erick di sofa. Perempuan itu duduk di samping suaminya kemudian menyentuh lengan Erick yang sibuk dengan ponselnya."Diem Lan, masih sore!" Erick menepis tangan Lani."Mas kenapa sih, dari kemaren di telepon kok aneh banget?"Erick mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, ia menatap Lani dengan ekspresi jengah."Harusnya gue yang tanya. Kena
"Mas udah nggak marah lagi, 'kan?" cicit Lani di tengah keheningan pekat yang menyelimuti mereka di taman depan rumah.Erick menoleh, sebelah alisnya tampak terangkat naik. "Menurut lo?" cetusnya datar, namun tak melepas tautan tangan keduanya."Kayaknya masih. Buktinya tangan aku nggak dilepas. Ini udah sejam, loh, Mas," papar Lani dengan sorot mata meredup. Menatap Erick sembari memiringkan kepalanya.Seketika Erick terkesiap. Ia menarik diri, lalu berdehem."Ekhmm ... sorry, kebawa suasana. Lagian lo nggak protes, tuh!" sanggah Erick sembari memalingkan pandangan. Mengusap tengkuk. Salah tingkah."Ya udah, aku masuk dulu. Mau siapin makan sia--""Pan udah ada Bi Ningsih!" potong Erick cepat, seraya menarik pergelangan tangan Lani yang hendak beranjak, "gue udah bilang, jangan terlalu banyak ikut campur urusan dapur. Nanti tangan lo kasar dan kapalan. Kerjaan lo cuma ngurusin gue," sambungnya tegas."Eh." Bibir mungil perempuan itu tampak terbuka setengah. Dia menatap lelaki berumur
Esoknya Erick dan Lani tampak tengah bersiap-siap untuk berkunjung ke kediaman utama keluarga Wardhana, di Jakarta Pusat. Dari kabar yang didengar katanya Opick sudah tiba di tanah air. Segera setelah mendengar kabar itu kemarin mereka tengah bersiap di depan mobil untuk menyambut kepulangan kakak Erick tersebut, setelah beberapa tahun lamanya.Meskipun Erick tampak malas untuk bertemu dengan saudaranya itu. Namun, tetap saja ikatan yang mengikat mereka kuat. Walaupun lelaki itu tak terlalu menyukai Opick terlebih karena sikap keluarga yang selalu membanding-bandingkan keduanya. Namun, tetap saja, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam Erick tak bisa memungkiri perasaannya kala akan bertemu sang kakak. "Udah siap, Lan?" tanya Erick saat melihat perempuan itu selesai memakai seatbelt."Udah, Mas. Bismillah ...." Mobil melaju dengan kecepatan sedang membelah kepadatan ibu kota di siang hari ini.Tak ada percakapan yang terjadi di antara keduanya. Mereka sama-sama sibuk bergelut den
Gadis remaja itu menjejakkan kaki keluar dari pekarangan sekolah. Peluh tampak bercucuran dari kening tatkala matanya menyipit menatap matahari yang tampak begitu terik siang hari ini. Jilbab putih yang dikenakan terlihat basah oleh keringat. Pandangan gadis itu menyapu sekitar, memperhatikan teman-temannya yang keluar berhamburan kemudian menyerbu pedagang es yang mangkal di depan sekolah SMP Negeri tersebut. Ia tampak menelan ludah. Kerongkongannya kering, namun, uang bekal di saku hanya tinggal sedikit. Dia tak tega bila besok harus meminta lagi pada ibunya yang hanya seorang asisten rumah tangga. Pada akhirnya gadis itu memutuskan untuk berjalan menuju sebuah masjid yang terletak tak jauh dari sekolah. Membuka sepatu lalu berjalan ke tempat wudu. Air segar cukup mampu membasahi kerongkongannya yang kering. Selepas wudu gadis itu menunaikan salah zuhur lalu bergegas pulang. Dia tak pernah bermain, temannya di sekolah hanya sedikit. Sikapnya yang pendiam dan tak mudah bergaul men
Kediaman Wardhana terlihat ramai hari ini. Ada wajah-wajah baru yang ikut meramaikan. Sultan Wardana tampak tersenyum senang, karena keluarga lengkapnya telah berkumpul. "Jadi begini ... Opick mau minta restu dari kakek, mami, dan papi, untuk mempersunting Mariam. Dia adalah murid Opick di Mesir sana. Sudah empat tahun kita saling mengenal dan menjalani proses ta'aruf. Sebelum pulang ke sini Opick sudah melamarnya secara resmi." Jeda sejenak, Opick tampak menatap gadis bercadar dengan pakaian serba hitam yang duduk di hadapannya dengan kepala tertunduk. "Opick membawa serta ibunya Halimah dari Magelang dan Ayahnya yang asli orang Mesir. Maaf karena baru membicarakannya sekarang, Opick masih mengumpulkan keberanian sampai akhirnya tak bisa lagi membendung keinginan untuk mempersunting Mariam!" Semua mata tertuju pada gadis bercadar yang duduk di samping seorang perempuan paruh baya yang diyakini ibunya itu. Sultan menepuk pundak Opick yang kebetulan duduk di sampingnya, kemudian ter
Brak! Erick membanting pintu kamar yang baru saja dilewati. Kemudian berjalan menuju balkon. Diraihnya sebungkus rokok yang selalu ada di saku celana, kemudian menyelipkan sebatang disela jari dan menyalakannya. Asap mengepul mencemari udara, saat Erick mengembuskan rokoknya. Hanya benda kecil yang sebagian orang benci itu mampu menemani dan mengerti dirinya di saat seperti ini. Kadang kala ia lebih memilih makan dari pada bercerita pada seseorang tentang perasaan yang sesungguhnya. Karena Erick selalu berpikir. Kalau pun ia bercerita tentang isi hatinya. Tak akan ada yang mampu mengerti dan memahami posisinya. Dirinya yang selalu orang anggap negatif, dirinya yang selalu Sultan sisihkan. Dirinya yang banyak perempuan anggap berengsek. Ya, seperti itulah dirinya. "Mas!" Erick menoleh dan mendapati Lani berdiri di belakangnya. Pria itu menghela napas panjang, kemudian membuang batang rokok yang tersisa setengah. Ia menatap Lani sejenak. Memperhatikan wajah lugu istrinya yang tampa
"Hmm ...." Erick mengusap dagunya. Ia menatap Opick yang berdiri di hadapannya dengan jas lengkap dan peci. Tampaknyya ia seperti tengah bercermin. Sekarang mereka begitu mirip setelah Opick mencukur jambangnya. "Maksud lo apa pake acara cukuran segala? Biar nggak kalah ganteng sama gue? No ... seberapa keras pun lo berusaha buat nyaingin kegantengan gue. Tetep aja keren gue ke mana-mana!" Erick berpangku tangan. Memperhatikan Opick dari atas ke bawah. Saat ini mereka tengah ada di kamar Opick. Akad nikahnya akan dillaksanakan sebentar lagi. Bertempat di Masjid Istiqlal. Penampilan pria itu sungguh menawan siapa saja yang melihatnya. Dari mata sepekat kopi itu terpancar kebahagiaan karena akhirnya ia akan melepas masa lajang. "Iyalah, Rick, aku tahu itu!" Opick tersenyum lalu bergegas untuk mempersiapkan diri menuju Masjid Istiqlal di mana mempelai wanita yang beberapa malam menginap di hotel-- menunggunya. "Mas, udah siap!" Tubuh mungil Lani muncul di balik pintu. Hari ini peremp
Keluarga Wardana memang bukanlah keluarga besar yang terdiri dari banyak anggota. Sultan Wardhana hanya memiliki dua orang anak. Yaitu Rima, dan satu lagi Hendra yang tinggal di luar Negeri. Satu orang adik yang tinggal di Surabaya menjalankan bisnisnya. Serta dua keponakan yang belum menikah. Maka cucunya untuk saat ini hanya Erick dan Opick. Rumah besar itu memang sering kali sepi. Anak dan cucu-cucunya sudah mempunyai tempat tinggal yang sering kali membuat pria tua itu kesepian. Hanya Ainun dan beberapa Asisten rumah tangga lain yang menemaninya di rumah. Maka tak jarang bila ia tengah kesepian dia meminta Erick untuk datang. Apalagi sekarang ada Lani. Lalu saat menerima kabar bahwa Opick akan pulang dan segera menikah ia begitu senang. Rumahnya tak terlalu sepi, karena pria itu mungkin saja menghabiskan beberapa tahun sebelum kembali ke Kairo Mesir. Kebetulan ada proyek di pabriknya yang harus Opick kelola sehingga itu cukup untuk menahan keberangkatannya. Alasannya jelas. Opic
Empat tahun kemudian ....Pria itu tampak berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan bocah perempuan yang berdiri di hadapannya. Ia memasangkan jilbab di kepala bocah menggemaskan dengan mata bulat dan pipi gembil tersebut."Ayah ... napa Ica harus pake keludung, tapi Kak Malik sama Kak Ridwan engga?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir putri kecilnya membuat senyum pria itu mengembang. Ia mengusap kepala bocah bernama lengkap Khairunnisa Wardhana yang lebih sering dipanggil Ica itu setelah jilbabnya terpasang."Ridwan dan Malik itu laki-laki, Sayang. Sedang anak ayah yang cantik ini, 'kan perempuan shalihah. Ica selalu bilang sama ayah kalau mau jadi kayak bunda, 'kan?"Bocah menggemaskan itu tampak mengangguk antusias."Iya, Ayah. Ica mau jadi kayak Buna. Buna cantik, telus sayang Ica sama Ayah!""Nah, kamu tahu? Jilbab itu adalah cara Allah buat ngelindungin kaum perempuan. Kalau udah gede Ica pasti ngerti.""Iya, Ayah. Ica juga suka pake keludung. Biar kelihatan cantik kayak Bun
Semburat senja yang tampak di kaki langit telah berganti dengan pekatnya sang malam. Tepat ketika jam berpusat di angkat tujuh, Erick baru kembali dari lokasi proyek di daerah Jakarta Utara.Lelaki itu tampak berlari kecil menuju pintu masuk akses rumahnya. Ia merapatkan jaket saat udara dingin mulai menyergap."Assalamualaikum," salamnya setelah pintu dibuka Bi Ningsih."Wa'alaikumsallam," balas perempuan paruh baya itu, sembari mempersilakan Erick masuk."Lani di mana, Bi?" tanyanya."Oh, Neng Lani ada di atas, Pak. Tadarus kayaknya."Erick mengangguk, kemudian melepas sepatunya dan mengganti dengan sandal rumah. Bergegas pria itu berjalan menuju lantai dua."Makan malamnya udah siap, Pak. Mau makan sekarang?"Erick menghentikan langkah, kemudian memutar kepala menghadap Bi Ningsih. "Nanti aja, Bi."Mengerti dengan maksudnya, Bi Ningsih tersenyum penuh arti. "Duh pasangan muda makin lama makin romantis aja. Jadi pengen muda lagi. Si Bapak ke mana lagi. Pan abi ge hoyong dimanja cita
"Sebentar, ya." Setelah itu Erick berlari menuju garasi.Lani menunggu di pelataran, sampai suaminya kembali dari garasi dengan sebuah motor matix berwarna hitam metalic."Yuk, Mas!" Lani tampak sudah bersiap menggunakan helm dan naik di jok belakang. Namun, seketika kegiatannya terhenti saat sebuah cekalan tangan menahannya tetap berdiri di hadapan. Lekat mata Erick menatap Lani yang berdiri di hadapannya dengan gamis bermodel semi gaun yang bertumpuk di bagian bawahnya hingga membentuk beberapa layer. Pakaian itu dipadupadankan dengan khimar syar'i yang menutupi pinggang rampingnya berwarna senada. "Lan.""Iya?""Kenapa nasi harus ada lauknya?"Seketika dahi Lani mengernyit, pada akhirnya ia menjawab juga. "Untuk pelengkap. Kalau cuma makan nasi aja, 'kan nggak enak, Mas.""Nah, sama halnya dengan kamu. Allah menciptakanmu untuk menjadi pelengkap hidup Mas, Lan. Tanpamu dunia Mas hampa."Mendengar itu seketika tawa Lani meledak. Perempuan itu tampak membekap mulut, setelahnya ia
Suara azan subuh terdengar berkumandang, angin mulai berembus kencang masuk melalui ventilasi di sisi jendela, hingga menyibak gorden kamar berwarna cokelat lembut tersebut. Terbaring di atas ranjang berukuran king size, tampak sepasang suami istri yang telah memadu kasih. Bergelung dalam satu selimut yang sama. Seolah berbagi kehangatan tubuh masing-masing.Setelah mendengar suara azan berkumandang, terlihat sang suami beranjak. Melerai pelukan eratnya dari tubuh mungil sang istri yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Bibirnya terlihat mendekati daun telinga yang semula tertutup juntaian rambut tersebut. Lembut ia berbisik. "Lan, udah subuh. Bangun, yuk! Atau mau Mas pangku ke kamar mandi?" Merasakan napas hangat menyapu permukaan wajah, akhirnya Lani mengerjap. Perlahan tapi pasti mata bulat bening itu mulai tampak. Lalu bersitatap dengan iris hitam pekat yang menatapnya lekat. Kedua sudut bibirnya tertarik. Perlahan ia mulai beranjak. "Aku duluan, ya," sahutnya sembari mulai
Ruang makan itu terlihat hening, hanya suara denting sendok garpu yang beradu dengan piring saja yang terdengar. Bi Ningsih menatap kedua majikannya dari kejauhan, tanpa ia sadari kedua sudut bibirnya terangkat naik, membentuk senyuman. Kebahagiaan keluarga kecil ini seolah menular padanya. Bisa ia rasakan rumah yang tadinya sedingin es di kutub utara, sekarang menjadi sehangat ini. Bi Ningsih terus larut dalam tontonan, hingga tak sadar tengah menyandarkan tubuhnya pada sebuah guci besar di atas meja, yang terletak di lorong ruang makan, terhubung dengan dapur. Prang! Guci itu pecah, berserakan di lantai. Serpihan pecahannya bahkan sampai di bawah ubin yang Lani dan Erick pijak. Tepatnya di bawah meja makan. "An ... jritt!" Segera sebelum kata kasar itu terlontar, Erick membekap mulut. Dengan wajah polos dan lucu ia menatap Lani yang tak kalah terkejut. Namun, tampaknya perempuan itu justru menahan senyum. "So ... maaf, Lan. Keceplosan." Setelahnya ia menyengir. "Nggak apa-apa
Seketika Erick termangu. Geming menatap Lani yang mulai beringsut mendekat. Kuat kepalan tangannya setiap melihat perempuan itu menghela napas, dan membuka mulut. Perasaan yang selama tiga bulan sempat teredam, kembali muncul ke permukaan kala Lani mulai mengungkitnya kembali.Erick pikir perempuan ini telah melupakan kejadian itu seiring berjalannya waktu bersama dengan proses konselingnya.Melupakan permintaan yang membuat lelaki itu untuk pertama kalinya merasa takut kehilangan. Namun, ternyata ia salah. Proses itu dilakukan hanya untuk mengendalikan trauma Lani serta mengontrol kendali pada dirinya. Bukan serta merta memengaruhi ingatan di benaknya, apalagi ingatan yang melekat dalam diri sang penderita. "Mas ...."Seketika lelaki itu mendongak, setelah menghela napas panjang ia meletakkan tangan di kedua bahu Lani. "Maaf karena aku nggak bisa menuruti keinginanmu beberapa bulan yang lalu. Jujur permintaanmu saat itu di luar kuasaku, Lan. Jadi, kumohon kasih aku kesempatan. K
Mobil-mobil mewah itu tampak sudah berjejer rapi di pekarangan rumah Erick malam hari ini. Didorong menggunakan kursi roda oleh Hendra menantunya--tampak Sultan Wardhana tersenyum semringah melihat Lani menyambutnya di ambang pintu.Tak hanya Erick, ternyata perubahan juga terjadi pada sosok Hendra Wirawan--papanya. Setelah tiga bulan berusaha memperbaiki diri. Akhirnya hubungan ia dengan keluarga pihak istri--terlebih Sultan Wardhana--perlahan mulai membaik.Keluarga besar Wardhana itu masuk satu per satu menuju kediaman Erick dan Lani. Setelah Hendra dan Sultan, tampak Rima serta Ainun berjalan bersebelahan, lalu bergantian memeluk Lani. Setelahnya diikuti Opick dan Mariam. Mereka berkumpul di ruang tengah dengan prasmana yang sudah disiapkan oleh pihak catering yang sengaja dipesan. Tampak datang belakangan Panji dan Diana berdiri celingukan di ambang pintu. Erick yang melihat itu langsung berjalan menghampiri."Astagfirullah, Di. Baju lu udah kek jaring-jaring Ikan Pari," celetu
Sesaat setelah menjejakkan kakinya memasuki kamar, Lani dibuat tertegun dengan suasana yang tiba-tiba berubah. Dinding yang biasa bercat hijau, kini dilapisi wallpaper bermotif elegan. Warnanya berpaduan peach dan hijau tosca. Sangat seiras dan enak dipandang. Langkahnya mulai berayun memasuki ruangan seluas 9 x 9 meter tersebut. Menyisir pandangannya ke sekeliling, lalu terhenti tepat di depan ranjang dengan seprai berwarna senada dinding. Dilapisi kelambu putih yang diikat dengan pita cantik di tiap sisi tiang penyangganya.Jemari lentik perempuan itu mulai terulur menusuri setiap inci ranjang berukuran king size itu, lalu beralih pada Erick yang berdiri memperhatikannya sejak tadi. "Suka?" tanya Erick sembari melempar senyum ke arah istrinya. Lani mengangguk. "Iya, ini nyaman, Mas," pujinya. Senyum Erick melebar. "Syukurlah. Ya, udah. Mas mandi dulu, ya. Setelahnya kita salat Ashar di musala bawah.""Sebentar, Mas!" Lani menghentikan langkah Erick yang baru saja hendak beranja
Dua bulan kemudian....Di hadapannya Lani melihat Erick sibuk mengemasi barang mereka ke dalam tas berukuran sedang, hingga tak ada satu pun yang tertinggal. Sementara ia hanya duduk diam memperhatikan di sofa. Setelah serangkaian konseling serta psikoterapi yang dijalani. Akhirnya perempuan itu dinyatakan pulih, walaupun belum sepenuhnya sembuh. Lani masih harus mengikuti konseling rutin seminggu sekali dengan psikolognya Prof. William. Selama hampir kurang lebih tiga bulan berlalu sejak guncangan hebat yang berakibat pada psikisnya. Perempuan itu tak bisa mengingat apa saja yang terjadi selama tiga bulan terakhir ini. Karena konon, pasien yang mengalami depresi atau apa pun itu penyakit yang mengganggu kejiwaan seseorang. Mereka kerap kali melakukan tindakan di luar alam bawah sadar, hingga menunjukkan gejala-gejala yang sebenarnya tak ia kehendaki. Namun, meskipun begitu. Dalam beberapa kasus ada pula penderita yang mengalami gejala setengah sadar pasca depresi, dan masih bisa m