Suamiku Sudah Wafat

Suamiku Sudah Wafat

last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-11
Oleh:  C_heline  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
2 Peringkat. 2 Ulasan-ulasan
54Bab
2.1KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Pamit merantau, suamiku tak pulang tiga tahun. Tak kuat mendengar gunjingan tetangga, ibuku gencar menjodohkanku aku dengan pria lain. Tapi, siapa sangka suamiku datang disaat yang tepat pun dengan uang berlimpah. Namun, ada yang berbeda darinya. Dia berubah agresif, bahkan sangat kuat dalam berci**nta. Apa yang telah terjadi selama di rantau? Bagaimana bisa dia berubah drastis seperti ini?

Lihat lebih banyak

Bab terbaru

Pratinjau Gratis

Prolog

"Mas izin pergi ya, Dek. Jaga anak kita. Mas janji, Mas akan segera pulang. Ini juga demi kebahagiaan kita. Biar kamu nggak selamanya melarat." Sejak dua hari lalu aku sudah menahan diri untuk tidak menangisi kepergian Mas Abri untuk merantau. Tapi nyatanya aku tidak kuat melepas suamiku. Aku benar-benar sulit merelakan lelaki itu walau katanya ini demi kami. "Cepatlah pulang, Mas. Jangan lama-lama di rantau sana. Aku sama Aila benar-benar butuh kamu. Nggak perlu harus banyak uang, Mas. Secukupnya saja. Yang penting kamu pulang dengan selamat," ucapku ditengah-tengah dekap Mas Abri.Kurasakan puncak kepalaku dikecupnya hangat. Dia menarik diri upaya menatapku dengan penuh keyakinan. "Mas janji, Mas bakalan pulang bawa kebahagiaan buat kalian. Kalau nanti kerjaan Mas lancar, Mas bakalan buatin rumah buat kamu sama Aila. Mas juga nggak akan biarin kamu kerja lagi. Itu janji, Mas. Mas cuma berharap, kamu terus doain Mas. Juga, jaga pernikahan kita. Jaga anak kita. Hanya itu permintaan

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Nur Azizah
bagus lucu
2024-11-01 19:11:52
1
user avatar
Hasna Amzary
serasa aku berperan menjadi Airin...
2024-10-10 14:45:40
1
54 Bab

Prolog

"Mas izin pergi ya, Dek. Jaga anak kita. Mas janji, Mas akan segera pulang. Ini juga demi kebahagiaan kita. Biar kamu nggak selamanya melarat." Sejak dua hari lalu aku sudah menahan diri untuk tidak menangisi kepergian Mas Abri untuk merantau. Tapi nyatanya aku tidak kuat melepas suamiku. Aku benar-benar sulit merelakan lelaki itu walau katanya ini demi kami. "Cepatlah pulang, Mas. Jangan lama-lama di rantau sana. Aku sama Aila benar-benar butuh kamu. Nggak perlu harus banyak uang, Mas. Secukupnya saja. Yang penting kamu pulang dengan selamat," ucapku ditengah-tengah dekap Mas Abri.Kurasakan puncak kepalaku dikecupnya hangat. Dia menarik diri upaya menatapku dengan penuh keyakinan. "Mas janji, Mas bakalan pulang bawa kebahagiaan buat kalian. Kalau nanti kerjaan Mas lancar, Mas bakalan buatin rumah buat kamu sama Aila. Mas juga nggak akan biarin kamu kerja lagi. Itu janji, Mas. Mas cuma berharap, kamu terus doain Mas. Juga, jaga pernikahan kita. Jaga anak kita. Hanya itu permintaan
Baca selengkapnya

Bab 1

Ibuku memang ada-ada saja. Demi mengelak dari yang namanya bisik-bisik tetangga, aku malah dipaksa menerima tawaran pernikahan dari pria lain. Padahal jelas-jelas aku ini masih sah jadi istrinya Mas Abri. Apa katanya jika sekiranya dia pulang dan melihatku sudah menikah lagi? Bagaimana bisa aku menatap matanya nanti? Sudah berjalan satu pekan setelah keputusan ibu waktu itu padaku. Dan selama itu pula, aku terus berdoa dan terus berharap ada kabar dari suamiku. Walau hanya sebatas surat, atau apalah itu, yang penting dia memberikan sebuah informasi kalau sebenarnya dia masih menganggapku istrinya dan akan pulang dengan janji-janjinya dulu. "Gimana, udah ada kabar dari Abri?" tukas ibu membuatku terkesiap dari lamunan. Dengan lemah aku menggeleng, menjawabnya. Mengatakan tidak ada. "Tuh, kan! Apa Ibuk bilang, Airin. Nggak akan ada kabar darinya!" semburnya kemudian. "Sudah, Ibu udah nggak bisa biarin kamu gini terus. Besok, kita terima lamaran Pak Agung itu. Ibuk bakalan bilang sa
Baca selengkapnya

Bab 2

Bola mataku langsung saja membesar sebesar-besarnya kala mendapati sosok jangkung yang berdiri menjulang di ambang pintu di depan sana. Tanpa pikir dua kali, aku langsung melompat, menghabur menghampirinya. Tunggu, bukan hanya aku, kan yang terkejut? Pasti semua orang di sini juga demikian sampai-sampai rumah yang tadinya berisik mendadak hening. "Mas Abri!" pekikku, tak sabar ingin segera melepaskan rindu. Dadaku bergemuruh ria, emosional seketika. Tetapi, alih-alih dia menyambut reaksi antusiasku untuk memeluknya, dia malah mengelak. Dia mundur dariku. Jelas saja diwajah ini tersirat keheranan, dan tentunya dengan cepat mengumpulkan tebakan demi tebakan jahat dikepala. "Mas," ucapku, agak lemah. Aku harap sikapnya ini tidaklah menunjukkan kalau kedatangannya hanya memberikan kabar duka padaku alih-alih bahagia. "Sa–maksudnya, aku baru pulang dari tempat jauh. Agak kotor. Takut kamu nanti kena bakteri atau kuman. Sebaiknya jangan sentuh aku dulu," katanya, menjelaskan. Alih-ali
Baca selengkapnya

Bab 3

Para tetanggaku, ibuku, bahkan Amy, tak berkutik lagi saat Mas Abri mengatakan akan memboyongku dan putriku pindah ke rumah baru. Kami sudah melihat rumah yang didirikan Mas Abri pagi tadi di lokasi yang lumayan jauh dari rumah ibu. Beda kecamatan. Sangat luas, sangat besar pula. Seperti apa janjinya tiga tahun lalu, seperti itulah kenyataan yang kuterima. Bukan hanya rumah saja yang membuatku semakin tercengang, keberadaan dua mobil mewah di garasi, juga satu unit motor bertuliskan namaku, ikut ambil peran dalam memberikan sebuah keterkejutan yang seolah tak sudah-sudah. Sungguh! Kekayaan Mas Abri sudah terbilang sangat cukup. Padahal hanya tiga tahun dia pergi, tapi sudah bisa memberikanku kemewahan yang tak pernah kubayangkan ini. Setelah pamit pada ibu, juga Amy tentunya, aku dan Aila pun resmi keluar dari rumah ibu. Aku tidak akan lagi jadi beban untuknya, dan yang paling terpenting, aku tidak akan lagi mendengar omelannya. Sepertinya makananku akan berganti mulai besok pagi.
Baca selengkapnya

Bab 4

"Wau!" Aku berdecak kagum memlihat segarnya tubuh suamiku. Aku bahkan sampai meneguk ludah, baru sadar kalau aku ternyata punya suami berbadan kekar layaknya bintara. "Airin, astaga!" pekik Mas Abri, tak sudah-sudah dia gelagapan sendiri. Sialnya, cepat sekali suamiku itu bergerak menutupi tubuh bagian bawahnya dengan handuk. Padahal rambutnya masih setengah bersabun. Gemas aku jadinya! "Ya elah. Kayak sama siapa aja kamu, Mas. Mana pake acara malu-malu lagi," ucapku, sambil menaik turunkan kedua alisku. Berusaha menggodanya. "Keluar dulu sana. Kamu kenapa sih masuk kamar mandi segala? Aneh banget!" ketusnya dengan wajah sebal. "Mas yang aneh, tau! Enak aja orang dibilang aneh." "Ya ampun, Airin. Tolong keluar dulu. Aku belum selesai mandi!" Dia terlihat memelas. Aku mengangkat bahu. "Ya udah sih, mandi aja. Anggap aja aku nggak ada Mas. Atau nggak, aku mandiin mau? Sekalian ...." "Jangan aneh-aneh kamu!" potongnya yang segera berjalan lebih dekat padaku. "Cepat keluar sana. Ja
Baca selengkapnya

Bab 5

Mas Abri langsung kaget mendapati aksiku tadi. Sejenak dia terdiam dengan bola mata yang membulat. Setelah itu dia langsung bangkit dari kursinya dan menatapku penuh dengan rasa tidak percaya. "A-apa yang kamu lakukan?" Dia jadi mendadak gugup. Aku mengangkat bahuku, santai. "Ya cium suami akulah. Apa lagi emang?" Dia mengerjap-erjap, tampak jadi sulit bicara. Perlahan dia mengusap pipinya bekas kecupanku tadi. "Jangan seperti ini, Airin. Nggak baik. Kamu nggak lihat ada anak kamu?" "Anak kamu, anak kamu, anak kamu!" omelku, tak suka dengan ucapannya yang ini. "Kamu ya, Mas. Ngomongin Aila itu udah kayak bukan anak kamu. Memangnya bisa ya aku buat Aila sendirian tanpa kamu? Heran deh!"Dia menghela napas, mungkin menyesal. "Maaf. Maksudnya ... itu ... apa, iya, anak kita." "Tuh kan! Ihhh, kamu makin aneh aja deh, Mas. Kenapa sih? Kenapa kamu kayaknya nggak terima gitu? Apa yang kamu sembunyikan dariku? Atau jangan-jangan kamu udah nggak anggap kami ini ada? Iya? Malu ngakuin kami
Baca selengkapnya

Bab 6

Tak mau kalah, aku lantas mengekori Mas Abri, masih penasaran sejauh apa dia bertahan. Dan, ada apa sih dengan pria itu? Kenapa mendadak sikapnya berubah? Seperti aku ini tidak halal dia sentuh. Padahal sudah jelas-jelas selama tiga tahun kami tidak berhubungan. Apa tidak ada terlintas dibenaknya tentang itu? Apa mungkin dia juga tidak menginginkannya? Ah, mustahil. Penelitian saja pernah bilang, kalau laki-laki paling kuat menahan diri cuma satu sampai dua pekan. Masa suamiku yang laki-laki tulen ini bisa tahan sampai tiga tahun? Itu gila namanya. Apa mungkin dia sudah jajan diluar? Karena asumsi itu, aku jadi meringis sendiri. Ngeri-ngeri sedap membayangkan hal itu. Tapi, bukankah semua itu tidak menutup kemungkinan? Karena memang pada dasarnya, manusia itu makhluk biologis. Mana bisa tahan kalau sudah begini. Dari ambang pintu kamar, kulihat Mas Abri sudah mulai menata sofa untuk dia tiduri. Lihatlah dia. Sangat gencar sekali menjauhiku. Bahkan sampai rela tidur di sofa segala
Baca selengkapnya

Bab 7

Karena kepikiran ke arah sana, aku jadi mendadak sakit kepala. Tiba-tiba aku jadi was-was jika memang benar apa yang ada didalam benakku adalah fakta. Logikanya pula, kenapa suamiku punya kartu nama orang penting begini? Lama aku diam dengan isi kepala yang mendadak berisik, Mas Abri pun kembali muncul setelah usai menjawab teleponnya. Dari caranya berjalan, terlihat sekali dia segan-segan buat menatapku. Aku jadi merasa aneh dibuatnya. Kalau kulihat lagi diriku, memangnya apa yang salah? Aku hanya memakai baju dinas dengan lengan kensi. Memang agak membayang sampai warna kulitku terekspos walau tanpa meyibak bajuku. Tapi, bukannya harusnya dia suka? Kenapa malah menjauh? "Aku mau tidur dulu. Sudah malam. Kamu tidurlah juga," katanya sembari melengos dari depanku. Aku berbalik, lalu bertanya, "Kamu nyewa pengacara, Mas? Buat apa?" Kulihat dia kaget, seperti reaksinya yang langsung berbalik menatapku. Dengan gerakan cepat pula dia menyita kartu nama ditanganku, setelah menyadarin
Baca selengkapnya

Bab 8

Larut dalam isi kepala yang tak sudah-sudah, aku pun mulai diantar oleh lelap yang menyusup masuk menyerang pertahanan. Mungkin sebentar lagi aku akan terlelap, dan siap menghilang sebentar dari muka bumi ini. Namun, kelopak mata yang tadinya sudah sangat berat, mendadak terbuka lagi manakala suara ponsel mengudara begitu saja. Aku terkesiap, cepat-cepat membuka mata dan memeriksa sumber suara. Aku berusaha bergerak ditengah tangan Mas Abri berada di bahuku, takut kalau dia terusik. Jika begini saja aku bisa menyentuhnya dengan bebas. Kalau dia terbangun, takut dia nanti cosplay jadi orang kesurupan. Anehnya, saat aku sudah banyak gerak bahkan sudah mengambil ponselnya yang ada di nakas di sebelahnya, laki-laki ini tetap saja tertidur tanpa terusik sama sekali. Padahal suara ponselnya cukup berisik. Tapi tak juga bisa membuatnya terusik atau minimal merasa terganggu. Kenapa bisa begitu? Padahal Mas Abri itu paling anti suara berisik bahkan senyenyak apa pun dia terlelap. Kejadian w
Baca selengkapnya

Bab 9

Apa katanya tadi? Aku tahu itu memang hanya mengigau, tapi kenapa terdengar asing? Seperti ada suatu permasalahan yang membuat Mas Abri sampai membahas tentang sidang.Tapi, sidang apa? Apa yang coba dia selesaikan dipersidangan? Atau jangan-jangan masih tentang asumsiku yang kemarin? Kalau dia memang pulang untuk berniat berpisah denganku?"Mas Abri!" panggilku kuat, sengaja. Sontak saja dia terkesiap, lantas buru-buru bangun. Dia mengerjap-erjap cepat, menoleh sana-sini. Setelahnya, dia langsung meringis seperti ada rasa sesal di sana. "Eh, kalian. Ada apa?" tanyanya."Pa, ayo berangkat sekolah," jawab Aila, mewakiliku. "Lho, memangnya sudah pukul berapa ini?""Jam delapan! Udah siang kali, Mas!" semburku, setengah sebal. "Ayo, bangun. Kok masih diam aja sih? Aila udah mau telat itu!" Aku mengomelinya sembari menurunkan semua bantal dari atas kasur serta selimut yang melilit tubuh padat Mas Abri. Dia jadi tergeser sedikit karena aku menarik paksa. "Sabar dong," ucapnya, lembut
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status