Pamit merantau, suamiku tak pulang tiga tahun. Tak kuat mendengar gunjingan tetangga, ibuku gencar menjodohkanku aku dengan pria lain. Tapi, siapa sangka suamiku datang disaat yang tepat pun dengan uang berlimpah. Namun, ada yang berbeda darinya. Dia berubah agresif, bahkan sangat kuat dalam berci**nta. Apa yang telah terjadi selama di rantau? Bagaimana bisa dia berubah drastis seperti ini?
View More"Mas izin pergi ya, Dek. Jaga anak kita. Mas janji, Mas akan segera pulang. Ini juga demi kebahagiaan kita. Biar kamu nggak selamanya melarat."
Sejak dua hari lalu aku sudah menahan diri untuk tidak menangisi kepergian Mas Abri untuk merantau. Tapi nyatanya aku tidak kuat melepas suamiku. Aku benar-benar sulit merelakan lelaki itu walau katanya ini demi kami. "Cepatlah pulang, Mas. Jangan lama-lama di rantau sana. Aku sama Aila benar-benar butuh kamu. Nggak perlu harus banyak uang, Mas. Secukupnya saja. Yang penting kamu pulang dengan selamat," ucapku ditengah-tengah dekap Mas Abri. Kurasakan puncak kepalaku dikecupnya hangat. Dia menarik diri upaya menatapku dengan penuh keyakinan. "Mas janji, Mas bakalan pulang bawa kebahagiaan buat kalian. Kalau nanti kerjaan Mas lancar, Mas bakalan buatin rumah buat kamu sama Aila. Mas juga nggak akan biarin kamu kerja lagi. Itu janji, Mas. Mas cuma berharap, kamu terus doain Mas. Juga, jaga pernikahan kita. Jaga anak kita. Hanya itu permintaan Mas buat kamu, Airin." *** Tiga tahun kemudian "Tatap aja terus! Nanti juga si Abri bakalan keluar dari hp itu. Itukan yang kamu harapin, Airin?" Suara teguran Ibu membuatku terperanjat dari lamunan panjang. Aku lantas meletakkan ponsel yang disindir Ibu tadi yang terus kutatap layarnya. "Nggak kok, Buk. Cuma mau lihat ada pesanan apa nggak. Nggak niat apa-apa," kilahku. Padahal tebakan Ibuku tadi benar. Saking gilanya aku, aku malah berharap mas Abri keluar dari ponsel dan memelukku. "Halah! Alesan kamu," cebik Ibu. Dia sudah mulai mengaduk adonan kue. "Sudah berapa kali sih Ibuk bilang Airin? Jangan lagi harapin laki-laki kurang ajar itu! Yakin sama Ibuk! Bila perlu, potong telinga Ibuk ini kalau sampai si Abri itu nggak nikah lagi di tanah rantau sana!" omelnya, yang selalu saja menjadi makanan sehari-hariku. Aku meneguk ludah, agak sedih sebenarnya. Tapi mau menangis pun seperti sudah tidak mungkin lagi. Karena sedikit banyaknya aku sudah mulai tersugesti dengan tudingan Ibu tentang Mas Abri. Tiga tahun lalu dia pamit merantau, tapi sampai sekarang tiada kabar lagi. Apa memang benar ya, kalau suamiku itu sudah menikah lagi? Kalau memang itulah faktanya, jujur saja aku tidak ridho! Aku tidak ikhlas. Anggaplah saja aku wanita jahat yang tidak mencerminkan wanita Soleha yang menerima baik segala takdir yang ada. Karena pada dasarnya, aku masih mencintai suamiku dan tidak rela dia dimiliki oleh orang lain, apalagi harus secara diam-diam dibelakangku. "Tuh, kan! Kamu lama-lama dibiarin bisa gila kayaknya, Airin," tegur ibu lagi. Aku terkesiap kembali, entah untuk kesekian kalinya. "Cepat angkat itu kuenya! Mau kamu gosongin lagi? Kalau udah hidup kayak gini, lebih baik banyak-banyak tahu diri aja. Jangan malah makin nyusahin!" Gegas aku menuruti perintah ibu untuk mengangkat kue dari panggangan. Memang terdengar sangat menyakitkan setiap perkataannya, tapi apa boleh buat? Fakta mengatakan kalau aku tinggal dirumah ibu dan bergantung padanya. Makanya setiap dia mengomel, aku tak bisa berkutik. Aku belum sanggup membiayai hidupku juga putriku. Dari pada jadi gembel diluar sana, lebih baik terima saja cacian Ibu walau sakit rasanya. Dalam keheningan, tiba-tiba Amy datang ke dapur. Dia menenteng dua plastik berisikan buah-buahan serta banyak makanan ringan. "Tada!" ujarnya sambil menunjukkan tentengannya pada ibu. "Ini jajan buat Ibu. Dari Raka. Tadi dia barusan antar Amy, tapi karena dia sibuk jadi nggak sempat mampir," adunya pada Ibu. Dia menyinggung tentang pacarnya bernama Raka Arkana. Tidak akan asing lagi respon Ibu yang tampak antusias dan tentunya penuh kebahagiaan. "Ya Allah, kenapa nggak manggil Ibuk sih? Kan tadi bisa dilihat aja bentar. Kasihan, kan Raka pergi gitu aja. Kayak nggak dianggap gitu jadinya," ucap ibu. "Nggak apa-apalah, Buk. Lagian besok Mas Raka libur dan berencana ngajak Amy jalan-jalan. Tentunya sama Ibu juga," lanjut Amy bercerita. Dalam diam aku hanya mendengarkan kebahagiaan adikku itu. Aku memamg ikut senang, tapi di dalam hatiku tersimpan sedikit kecemburuan. Kenapa Amy rasanya lebih beruntung dariku? "Gini kalau cari pasangan! Yang royal dan tentunya nggak melarat! Kan enak tiap hari dibelanjain, bukannya ditinggal gitu aja," ketus Ibu lagi, kusadari dengan jelas kalau itu sindiran buatku. "Airin tahu, Buk. Namanya juga musibah. Nggak akan ada yang bisa mencegahnya," sahutku, sebenarnya agak malas. Tapi biarkanlah, dari pada cuma diam saja kayak patung. "Eh, Mbak. Ngomong-ngomong tentang cowok, katanya cowok yang kemarin setuju tahu buat kenalan dulu sama, Mbak. Sana gih, hubungin dia. Bilang kalau Mbak juga mau ketemu. Biar kenalan gitu. Siapa tahu jodoh," ungkap Amy yang membuatku seketika menatapnya. "Apaan sih, My. Nggak-nggak! Mbak nggak mau. Mentang-mentang Mbak ditinggal suami, Mbak mau aja gitu kenalan sama duda? Nggak dulu deh," tolakkku mentah-mentah. Lagi pula, lucu sekali mereka. Masa menjodohkan aku dengan laki-laki yang sudah duda punya tiga anak pula. Mau jadi apa aku dibuatnya? Pembantu gratisan? Enak saja! "Kamu ya, Airin! Dibilangin kapan sih sadarnya? Cowok yang mau kenal sama kamu itu kerjanya bagus lho. Berpenghasilan lumayan lagi. Bisa biayain kamu biar nggak terus-terusan jadi beban buat Ibuk!" tukas ibu dengan bibir menipis. Tampak sekali dia geram padaku. "Iya, Bu. Airin ngerti Ibu capek. Tapi nggak nyuruh Airin buat nikah juga. Airin masih punya suami, Bu. Gimana kalau tiba-tiba Mas Abri pulang? Airin nggak akan sanggup terima itu, Bu!" tegasku, tetap saja menolak. "Abri lagi, Abri lagi! Kapan kamu sadarnya sih? Abri itu udah punya yang lain di sana! Lupakan dia. Lanjutkan hidupmu, Airin! Ini sudah tiga tahun. Mau sampai kapan lagi kamu nungguin dia? Sampai kamu tua? Sampai kamu mati?" Aku membuang napas lelah, sebenarnya muak jika sudah berada di percakapan ini. Semakin aku mencoba diam, pasti Ibu semakin menjadi-jadi menceramahiku tentunya dengan kata-kata pedasnya. "Gini aja deh. Dalam dua minggu ini kalau kamu belum juga dapatin kabar dari Abri, kamu bakal Ibuk nikahkan sama orang yang dibilang Amy. Udah cukup kuat Ibuk nahan semua ini, Airin. Gosip-gosip tetangga makin menjadi-jadi. Pusing Ibuk mikirinya." Aku terkesiap seketika. "Tapi, Buk–" "Nggak ada tapi-tapian! Jangan menolak lagi atau Ibuk usir kamu dari rumah ini! Bikin beban aja kamu yang tahunya!"Kulihat dia sedang berpikir untuk menjawabnya. Apa jangan-jangan dia memang menyadari kalau aku ini bukanlah Abri? Tapi, apa itu mungkin. Aku dan Abri kembar seiras. Hampir sulit dibedakan. Apalagi kami yang sudah lama tak bersua pun tak ada orang yang tahu kalau kami kembar. Apa mungkin ada yang menyadari perbedaan itu di antara kami? "Mas Abri yang dulu, yang sekarang, atau sepuluh tahun ke depan pun, aku akan terus mencintainya," jawabnya pada akhirnya. Kontan saja sudut bibirku terangkat membentuk senyuman. Senang sekali rasanya. "Kalau gitu, aku yang nanya sama, Mas Abri. Mas masih cinta sama aku nggak? Atau jangan-jangan ada wanita lain yang Mas suka selama di tanah rantau sana?" Mata menyipit menerangkan pertanyaan itu seperti mengancam jawabanku nanti. Alih-alih aku merasa terancam, aku justru semakin gemas padanya. Pandai sekali dia mengacak-acak pertahanan hatiku yang terkenal dingin ini. Kunyamankan topangan daguku untuk menatapnya, lalu menggeleng pelan. "Kurasa aku sud
POV LibraMakin hari aku semakin pusing saja mencari kebenaran siapa agaknya yang sudah melukai saudara kembarku, Abri. Sudah banyak kulakukan penyisiran pada musuh-musuhku yang memang bukan lagi hanya satu atau dua. Maklum, aku ini seorang pengacat. Tidak asing lagi jika aku punya banyak musuh di mana-mana. Tatkala sibuk dengan layar laptopku, atensiku seketika lepas tatkala mendapati pintu kamarku terbuka. Seketika saja bulu-bulu halus yang menyelimuti kulitku berdiri semuanya tatkala sepasang mataku mendapatinya muncul dari ambang pintu sana. Siapa lagi kalau bukan Airin, adik iparku. Istrinya saudara kembarku yang sudah tiada. Aku meneguk ludah seiring dia berjalan mendekat. Kupaksa diriku untuk mengabaikannya, walau nyatanya sangat sulit. Bisa gila aku jika begini terus. Tiba-tiba auranya jadi panas sekali. Aku kegerahan."Mas lagi ngapain?" tanya sambil merayap ke atas tempat tidur, mulai mendekatiku. Sial! Aku jadi gagal fokus. Tadinya aku sedang mengumpulkan banyak teori,
"Devita, sudahlah. Jangan ganggu aku dulu." Kurasakan juga kalau nada bicara Libra tak suka.Entah kenapa aku merasa menang jadinya.Devita terlihat frustrasi terlihat bagaimana dia menatapku semakin tajam. Aku tak tahu apa kaitannya perempuan ini dengan Libra. Yang pastinya, aku merasa lega karena pada faktanya ternyata dia bukan sepenting itu."Keluarlah, Devita. Kamu sudah tahu kita nggak ada hubungan apa-apa lagi? Jangan pura-pura bodoh apalagi harus mengemis di depanku. Kamu tahu, kan aku nggak suka perempuan yang cerewet!" kata Libra mengusir keberadaan Devita.Alih-alih Devita, entah kenapa justru aku yang merasa tersinggung. Kalimatnya ini sudah sangat banyak kudapati sejak dia menjadi Mas Libra kemarin. Jadi, dia memang tak suka pada perempuan yang banyak bicara? Termasuk aku?Jika memang begitu adanya, lantas kenapa dia terlihat sangat meyakinkan saya mengatakan kalau dia mencintaiku? Dia seperti mengemis dan akan melaksanakan apa pun yang akan kukatakan padanya asalkan aku
Damn! Sungguh, rasanya aku seperti ada di alam mimpi. Semua kalimat yang kubaca dengan kedua mataku ini sangat-sangat ampuh membelah pertahanan diri. Sesuatu yang sangat mujarab untuk menghilangkan jiwa dari ragaku. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa surat yang kubaca baru saja disampaikan oleh suamiku, Mas Abri. Aku tidak akan salah mengenali tulisan tangan ini. Tidak akan aku salah lagi. Ini sudah jelas tulisan Mas Abri, suamiku. Tapi apa maksudnya? Apa yang dia katakan di dalam suratnya ini? Bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu? Apa maksudnya! Tanpa sadar air mataku mengucur deras lagi-lagi membasahi pipi yang kering saja belum juga. Tanpa sadar pula, amarahku memuncak hingga ubun-ubun yang langsung kuluapkan pada secarik kertas yang kugenggam! Apa katanya? Sebenarnya dia tidak pernah merantau untuk mencari pekerjaan, melainkan ingin mencari saudaranya? Dan juga, dia yang mengirimkan Libra padaku seolah-olah Libra itu adalah dia yang pergi dengan segenap janji yang dia
Belum siap aku memberikan reaksi atas kisah yang dijabarkan padaku, aku sudah kembali dikejutkan dengan suara sirine yang terdengar begitu dekat.Putriku sampai memelukku erat, ketakutan.Sementara itu, Rangga langsung menghambur keluar kamar mungkin langsung memeriksa apa kira-kira yang sedang terjadi.Dan aku? Aku hanya bisa diam entah kenapa. Aku tak tahu harus apa. Aku tak mengerti ada disituasi apa aku saat ini. Apalagi saat mengingat tentang cerita yang dikisahkan pria tadi membuatku semakin linglung dan sulit berpikir logis.Suara sirine itu terus saja memekik ditelingaku. Tak bisa diam saja, aku pun lantas menarik langkahku pelan-pelan mencari tahu apa sebenarnya yang telah terjadi di bawah sana.Begitu aku keluar kamar, dari anak tangga yang masih cukup jauh, aku membeliak tatkala mendapati banyak aparat kepolisian di rumahku. Suara sirine itu berasal dari mobil mereka. Tapi tunggu!Kenapa ada ambulans? Apa yang sudah terjadi sampai harus mendatangkan beberapa perawat terliha
"Airin, jangan!" Aku menepis tangannya serta tak kupedulikan suaranya yang melarangku menghampiri putriku. Bagaimana mungkin aku diam saja saat buah hatiku hendak disakiti begitu saja? Hati ibu mana yang tidak akan terluka jika sudah begitu? Tanpa berpikir dua kali, langsung kurebut Aila dari dekap pria itu sampai aku tidak sadar kalau pisau kecil yang dia pegang menggores pelan pergelangan tanganku. "Mama," lirih Aila. Aku langsung saja memeluknya erat, tak akan kubiarkan dia terluka atau apa pun. "Mama di sini, Sayang. Nggak apa-apa. Jangan nangis ya?" Aku memenangkannya terus mengusap punggungnya. Ketakutanku langsung bertambah tatkala kudengar kembali suara tawa pria yang kini berdiri di depanku. Dia memalang tubuhku dari tatap Libra. "Ini yang di namakan satu kali dayung dua pulau terlampaui," ucapnya. Tak henti-hentinya aku menahan ketakutan ketika dia kembali menodong pisau kecilnya tepat ke leherku manakala melihat Libra hendak mendekati."Jangan, jangan! Jangan lakuka
Keningku semakin berkerut, tak suka dengan pernyataannya. Lagi-lagi aku mundur tatkala dia mendekat."Lepaskan tanganmu itu, Brengsek!"Suara teguran itu membuatku mendelik yang refleks menoleh ke sumber suara. Bola mataku membulat ketika menyadari yang baru saja berujar tak lain adalah dia. Laki-laki yang sudah merebut hak suamiku!Pria bajingan yang tak tahu malu itu!Dia berjalan cepat menghampiriku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Yang pasti saat ini aku hanya menatapnya dengan kobaran api amarah yang benar-benar besar padanya."Di mana penjaganya? Kenapa nggak ada orang di rumah ini, Airin?" tanyanya sembari melepaskan jasnya lalu menutupi tubuhku yang hanya berbalut dres rumahan.Gegas kutepis perlakukannya yang seolah menggambarkan suami yang siaga dan tak suka melihatku begini. Padahal nyatanya dia lebih bejad dan lebih membuatku tak ada harganya lagi!"Jangan pura-pura di depanku lagi! Sudah kukatakan itu padamu!" tekanku memperingatinya.Dia mendesah berat, lalu mengu
Sepasang suami istri itu langsung tukar pandang begitu mendengar habis kata-kataku. Mungkin mereka kurang percaya aku mengatakan hal ini. Biarkanlah begitu. Yang terpenting saat ini, aku bisa membantu orang-orang yang kesulitan karena pria itu sama sepertiku."Kalau memang begitu, di mana dia, Buk? Apa kami bisa bertemu dengannya?" tanyanya kemudian."Dia ... dia nggak ada di sini. Baru saja dia pergi entah ke mana. Aku harap dia lagi nggak ngerencaniin melarikan diri dari semua ini. Sudah cukup semua akal bulusnya!" Aku jadi emosi sendiri menjabarkan apa yang terjadi."Benarkah begitu, Buk?"Aku mengangguk. Kulihat dia mengusap dadanya, seakan hilang harapan. Kudapati lagi keduanya saling menguatkan diri yang membuat hati kecilku kembali bersimpati. Tak tega melihatnya begitu. Jika aku sakit begini, lantas apa kabar dengan mereka?Tanpa punya kesalahan, mereka harus kehilangan anak tercinta. Siapa yang tidak akan hancur jika sudah berada di posisi suami istri ini? Apalagi dengan fak
"Nggak ada yang seperti itu, Airin. Tolong–"Lagi-lagi dering ponselnya menginterupsi. Dia menatap layar handphone-nya yang menyala lantas melanjutkan, "Aku nggak punya waktu lagi. Maafkan aku." Aku sempat bingung apa maksudnya, tapi ketika dia berjalan menjauh ke ambang pintu kamar, aku langsung mendelik. Gegas kedua kakiku melangkah cepat menyusulnya, berharap bisa menggagalkan aksinya yang menutupi pintu. "Libra! Buka pintunya! Buka pintunya!" pekikku. Aku tak sempat menghentikan aksinya yang sigap mengunci pintu kamar. Tak ada kudengar lagi suaranya. Itu artinya dia benar-benar pergi. Walau pun begitu, aku tetap berusaha berontak, memukul kayu pipih itu sambil terus memutar-mutar handle pintu. Tetap saja nihil! Pria bajingan itu telah mengunciku dari luar sana. Sebenarnya apa yang hendak dia lakukan? Apa lagi rencana busuk yang coba dia berikan padaku?Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku mendadak linglung. Kepalaku seperti diam tak berkutik. Sampai aku sebal sendiri. Alih-a
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments