Sania terpaksa harus merelakan suaminya menikah lagi dengan adik sepupunya, Mutia karena sudah lima tahun pernikahannya dengan Randi tidak dikaruniai seorang anakpun. Hatinya semakin pilu saat sebulan setelah pernikahan mereka, Mutia dinyatakan hamil. Segala hinaan dialamatkan kepadanya. Hinaan berasal dari ibu mertua, kakak ipar, adik madunya, bahkan dari ibu adik madunya. Namun suatu ketika, Sania berhasil membuktikan jika ia tidak mandul. Sania positif dinyatakan hamil setelah berkas perceraian mereka masuk ranah pengadilan agama. Apa yang terjadi pada kehidupan Sania setelah itu? Simak cerita selengkapnya ya, teman-teman...
View MoreBab 1
"Cepat tanda tangan, Sania! Kita sudah tidak punya banyak waktu. Tuh lihat, penghulu sudah datang dan menunggu tanda tangan dari kamu," desak ibu mertuanya. Mata wanita paruh baya itu melotot. Ekspresi wajahnya demikian bengis.Sania menelan ludah menatap nanar lembaran kertas itu. Benda yang seharusnya tidak perlu berada di hadapannya, karena selamanya dia tidak akan menyetujui pernikahan kedua suaminya.
Tak ada seorangpun wanita yang mau dimadu, apapun alasannya.
Namun kenyataannya ia kalah suara. Sebesar apapun penolakannya, tetap saja pernikahan Randy dan Mutia harus terjadi. Dan kini tanda tangannya sedang dibutuhkan sebagai tanda persetujuannya sebagai istri pertama.
"Ayo cepat! Akad nikah akan segera dimulai," timpal Nuri. Dia malah mengambil pulpen dan meletakkannya ke telapak tangan Sania. "Kamu harus tanda tangan. Kalau kamu nggak mau tanda tangan, maka Kakak akan minta Randy untuk menceraikanmu sekarang juga!"
"Iya nih, jadi istri kok nggak berguna banget. Sudah nggak bisa ngasih anak, malah nggak mengizinkan suaminya nikah lagi. Jangan serakah kamu, Sania. Keluarga kami butuh keturunan!" Wanita paruh baya itu beringsut, merapatkan tubuhnya pada Sania sehingga lututnya kini menyentuh lutut wanita muda itu.
"Anak itu adalah titipan Allah, Ma, bukan kita yang atur. Aku juga pengen punya anak, tapi mau bagaimana lagi? Mungkin memang belum waktunya. Aku sudah melakukan segala cara supaya mendapatkan momongan."
"Justru itu, Sania. Salah satu cara mendapatkan anak adalah membiarkan suami kamu menikah lagi! Harus berapa kali Mama bilang itu kepadamu." Ibu mertuanya mendengus.
Padahal posisi tubuh mereka saling merapat tetapi tetap saja wanita paruh baya itu berbicara dengan sangat keras sehingga kalimat yang meluncur dari mulut ibu mertuanya terasa memekakkan di telinga Sania
"Nanti kalau Randy dan Mutia punya anak, artinya kamu juga akan punya anak. Kamu akan ikut merawat bayi itu. Toh kamu juga yang senang, kan? Makanya jadi perempuan itu jangan serakah. Biarkan saja suamimu nikah lagi. Lagi pula, Mutia itu saudara sepupumu, kan? Jadi kamu sudah sangat mengenalnya!" Bujukan sang ibu mertua lebih bernada memaksa.
"Please, Ma. Jangan paksa aku...."
"Stop, Sania! Jangan berdebat. Ini adalah acara akad nikah dan kamu nggak bisa menolak lagi. Tapi acara ini nggak bisa dimulai kalau kamu nggak mau tanda tangan. Tolong, jangan mengacaukan acara ini dan membuat malu seluruh keluarga. Ayo, cepat tanda tangan!"
Sania tidak punya pilihan kecuali membubuhkan tanda tangan di atas namanya. Setelah itu, Asih, ibu mertuanya dan Nuri, kakak iparnya segera kembali ke ruangan depan tempat acara akad nikah itu berlangsung dengan membawa surat itu.
Sania menghembuskan nafas berat ketika kedua perempuan itu sudah menjauh darinya. Butiran bening jatuh membasahi pipinya, tak bisa ia cegah.
Tak ada seorang wanita pun rela dimadu, meski Sania tahu kekurangannya. Lima tahun pernikahannya dengan Randy, namun ia tidak kunjung hamil. Sudah berulang kali kontrol ke dokter. Dia pun melakukan semua saran dari dokter, tetapi sampai saat ini usahanya belum juga membuahkan hasil. Dia belum juga hamil.
Sania meraba perutnya yang masih rata tatkala lamat-lamat telinganya mendengar suara suaminya melafalkan akad untuk seorang perempuan bernama Mutia Artamevia.
Mutia itu adik sepupunya. Ayah Mutia adalah saudara ibunya. Kini adik sepupunya resmi menjadi adik madunya.
Rasanya separuh nyawanya hilang, tetapi Sania tidak bisa berbuat apa-apa.
Randy sudah berjanji untuk bersikap adil, meski sebenarnya Sania tidak yakin.
Mungkin jika wanita lain akan langsung meminta cerai saat suaminya memutuskan untuk menikah lagi, tetapi tidak bagi Sania. Dia ingin membuktikan kepada keluarga ini bahwa dia tidak mandul.
"Aku tidak mandul, Mas!" Berulang kali Sania mesugesti dirinya sendiri supaya kuat dalam menerima pernikahan kedua suaminya. Hati kecilnya mengatakan bahwa pernikahan ini akan menjadi taruhan untuk membuktikan siapa sebenarnya yang bermasalah. Sania atau Randy.
Jika akhirnya Mutia tidak kunjung hamil juga, maka bisa dipastikan Randy lah yang bermasalah.
"Kuat, Sania! Kuat! Biarlah waktu yang akan membuktikan jika aku sebenarnya tidak mandul." Wanita muda itu menggumam.
Dia sudah memeriksakan dirinya berulang kali ke dokter. Tidak ada masalah pada kandungannya. Dia wanita yang subur. Mungkin hanya waktu saja atau jangan-jangan suaminya yang justru mandul?
Sania menggigit bibirnya tatkala teringat bahwa suaminya selalu menolak untuk diajak periksa ke dokter. Suaminya selalu melimpahkan kesalahan kepadanya yang menyebabkan mereka sampai saat ini tidak juga diberi keturunan.
Randy selalu yakin bahwa dia sangat subur.
Sania sudah pernah mengucapkan kemungkinan itu kepada ibu mertuanya, tetapi hanya hinaan dan cercaan yang Sania dapatkan.
Bukankah seorang ibu akan selalu membela anaknya?
Sania menggigit bibirnya, berusaha untuk menahan tangis. Sania tidak ingin suara isakannya terdengar, apalagi di luar sana orang-orang nampak bersorak-sorai.
Memang, akad nikah ini tidak mengundang banyak orang, hanya beberapa anggota keluarga saja bahkan dari keluarga Mutia, hanya ada ibu dan pamannya. Namun kemeriahan itu tanpa begitu terasa.
Atau jangan-jangan dirinya yang terlalu sensitif, terlalu meratapi nasib?
"Sabar, Nak. Sabar. Setidaknya adik madu kamu bukan orang lain. Dia sepupumu. Jikalau mereka nanti memiliki anak, maka itu akan menjadi anakmu juga, sekaligus keponakanmu." Sebuah tepukan lembut dan terasa hangat mampir di pundak Sania yang membuat seketika wanita muda itu menoleh.
"Paman...."
Sania mengambil tisu dan menghapus sisa air matanya.
"Paman mengerti perasaan kamu, tapi Paman tidak punya pilihan, kecuali menikahkan Mutia dengan suamimu. Apalagi selama ini mereka sudah begitu dekat. Mutia tinggal dalam satu rumah dengan kalian dan bekerja dalam satu perusahaan pula dengan Randy. Paman sangat khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan." Saudara ibunya yang bernama Dimas itu nampak menelan ludah sebelum memutuskan untuk melanjutkan kata-katanya.
"Lagi pula suamimu sangat menginginkan keturunan. Jadi apa salahnya jika kita coba saja? Kamu akan tetap menjadi istri pertama Randy. Selamanya istri pertama itu lebih unggul," bujuk pria setengah baya itu yang kini duduk di hadapan Sania.
Namun hanya senyum getir yang Sania tunjukkan.
"Aku tidak yakin, Paman. Mutia itu lebih cantik dan muda dariku. Pasti ujung-ujungnya Mas Randy akan lebih cenderung kepada Mutia. Tapi ya, kita lihat saja bagaimana nanti."
***
Hari sudah berangsur siang. Keriuhan yang terjadi di ruang depan tampaknya sudah mulai surut. Tamu-tamu sudah meninggalkan rumah itu dan kini hanya menyisakan keluarga inti saja.
Sania akhirnya memasuki ruang depan. Matanya nanar memindai sekeliling ruangan, ruangan yang di hias indah untuk keperluan acara yang barusan selesai itu. Meski masih terbilang sederhana, tetapi tetap saja hatinya tersayat.
Dia sudah dimadu!
Tak pernah terbayang dibenaknya jika rumah tangganya akan dicederai oleh kehadiran perempuan lain sebagai adik madu.
Sania mengusap wajahnya dengan kasar, lantaran merasakan basah di telapak tangannya.
Ya Tuhan, dia menangis lagi.
Tak ingin larut dalam kesedihannya, dia mulai mengumpulkan piring-piring kotor dan perangkat makan yang lainnya, kemudian membawanya ke tempat pencucian piring di belakang rumah. Tidak ada yang membantunya, padahal ia harus bolak-balik dari ruang makan ke belakang rumah untuk membawa perangkat makan yang sudah digunakan itu.
Hanya Sania sendiri yang menyelesaikan pekerjaan ini. Dia memang terbiasa mengerjakan segala sesuatunya di rumah ini.
"Sania," panggil ibu mertuanya
Wanita itu menoleh. Dia menghentikan sejenak kegiatannya menyabuni tumpukan piring kotor di hadapannya.
"Ya, Ma. Ada apa?"
"Tinggalkan saja dulu pekerjaanmu. Kembalilah ke kamar dan segera kemasi barang-barangmu...."
"Barang-barangku?" sela Sania. Dadanya seketika berdegup dengan tubuh yang mulai terasa lemas. Pikiran buruk mulai berseliweran dibenaknya. Sania menatap Ibu mertuanya dengan intens, berusaha mengalami isi otak wanita baya itu.
Apakah ibu mertuanya akan mengusirnya, setelah semua pengorbanan yang ia lakukan untuk keluarga ini?
Bab 32Benar, Randy memang memeluknya sepanjang malam, tapi besok pagi dia harus mendapat omelan dari Mutia. Janjinya tanggung jawab, tapi ternyata Randy tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk membela dirinya.Sania benar-benar geram. Dia memutuskan untuk tidak membuat sarapan pagi ini. Biarkan saja seisi rumah kelaparan. Dia langsung mandi dan bersiap untuk menuju rumah kontrakannya, karena tentu masih ada pekerjaan yang harus ia selesaikan."Biar aku sarapan di rumah kontrakan saja bersama dengan Aya dan Lia," gumam Sania setelah ia mengunci kamar dan melangkah keluar."Mau ke mana kamu pagi-pagi begini?" tegur mama Asih. Wanita itu tengah duduk menghadap meja makan yang kosong."Aku mau pergi, Ma. Mama bikin sarapan sendiri ya," ujar Sania ringan seolah tanpa beban dan terus melangkah melewati ruang makan menuju ruang tamu."Bikin sarapan dulu, Sania. Jangan main pergi aja! Urus dulu suamimu!" teriak mama Asih yang kaget dengan respon Sania yang membangkang perintahnya. Wanita it
Bab 31Makan malam kali ini sangat tenang, tanpa drama seperti biasanya. Malam ini Mutia tidak protes, meski hanya ada ikan gurame goreng, sayur labu kuning dan tempe goreng Mereka nampak makan sangat lahap, meskipun hanya ada Sania, Randy, Mutia dan mama Asih. Malam ini Raka kembali absen. Pria itu memang datang dan pergi sesukanya. Akhir-akhir ini dia lebih sering menginap di apartemen ketimbang di rumah. Terkadang Sania berpikir, Raka tersinggung lantaran kini ia tidak lagi bergantung kepada Raka.Sania sudah memiliki penghasilan sendiri yang cukup lumayan, keuntungan dari rumah cateringnya. Rekening pribadinya kini mulai terisi dan terus menggendut saldonya."Sania," panggil Randy ketika Sania baru saja selesai mengemas meja makan."Akhir-akhir ini kamu selalu pulang sore, bahkan hampir malam. Sebenarnya kamu sibuk apa sih di luar sana?""Itu bukan urusanmu, Mas," sahut Sania datar tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya."Tapi Mas harus tahu, karena kesibukan kamu itu membuat ru
Bab 30Glek.Ucapan Sania langsung menohok. Dia memang tidak perlu berbasa-basi, mengatakan apa adanya. Bukankah seharusnya setiap tetes keringat yang sudah dikeluarkannya harus ada imbalannya? Bukan sekedar materi, tapi setidaknya mereka bisa memperlakukannya lebih manusiawi, bukan dianggap sebagai robot pekerja rumah tangga. Jujur dia sudah muak dengan semua ini. Tapi saat yang ia nantikan itu belum tiba. Dia hanya ingin bermain cantik.Mungkin beberapa bulan lagi dan itu tidak lama. Saatnya akan segera tiba."Sudah berani itung-itungan kamu ya?" Wanita paruh baya itu mendengus kasar."Mama aja itung-itungan denganku. Masa aku nggak boleh itung-itungan dengan Mama?" cetus Sania."Memangnya Mama pernah memberi uang lebih setiap kali menyuruhku ke pasar untuk berbelanja keperluan rumah? Padahal Mama sendiri tahu jika aku hampir nggak pernah dikasih uang jajan sama Mas Randy," sambungnya lagi."Sudah berani protes kamu ya? Sudah nggak betah lagi jadi istri anakku?!" Ancaman itu melunc
Bab 29"Shilla itu bukan anak kandung Azka. Azka belum menikah," beritahu Bu Rina seolah paham kegelisahan Sania."Maksudnya? Saya tidak mengerti." Otaknya langsung mencerna ucapan ibu Rina."Azka menemukan Shilla berada di dalam kardus tepat di depan pintu rumahnya. Kondisinya waktu itu sangat mengenaskan. Dia menangis lantaran kehausan dan kelaparan, dengan tali pusat yang belum terpotong. Azka memutuskan membawa Shilla ke rumah sakit, kemudian memilih mengadopsinya."Mulia sekali," komentar Sania seraya menatap kagum pria yang sejak tadi tetap saja memasang wajah datar.Tapi kenapa orang tua bayi itu malah meletakkan bayinya di depan rumah Azka? Pertanyaan itu hanya bisa Sania simpan dalam hati, karena ia tidak mau mencampuri urusan keluarga bu Rina. Sania membayangkan seperti novel-novel, jika bayi itu sebenarnya adalah anak kandung Azka dari seorang wanita yang tidak sengaja digaulinya. Namun Sania menepis pikiran itu. Dia melihat sosok yang meski selalu memasang wajah dingin d
Bab 28"Sania," panggil Raka setelah ia kembali menutup pintu kamar dan menguncinya. Raka tidak ingin jika ada orang yang memergoki dirinya ada di kamar ini. Untuk saat ini, terlalu berbahaya jika ada orang di rumah ini yang mengendus kedekatannya dengan Sania. Raka tidak ingin menambah penderitaan wanita itu.Mata yang tengah terpejam itu kembali terbuka. Pria itu tersenyum dan melangkah mendekat, meski dadanya bergetar hebat. Tubuh itu hanya di tutupi oleh selimut yang pasti di dalamnya Sania tidak mengenakan apapun. Raka menarik nafas, menekan keinginannya sebagai lelaki yang ingin menerkam Sania saat itu juga.Dia pria normal. Mendapati pemandangan seperti itu, rasanya akan sulit melewatkan begitu saja."Apakah rasanya sakit?" tanya Raka dengan lembut. Dia menempelkan telapak tangannya di dahi Sania. Dahi itu terasa agak panas. Ditatapnya wajah cantik itu dalam-dalam. Wajah cantik, tapi sedikit pucat."Dia memaksaku, tapi akhirnya aku menikmati juga." Bibirnya bergetar hebat.Nye
Bab 27"Please Mas, jangan mempersulitku seperti ini. Aku tidak mau lagi berurusan dengan Mutia. Kamu sudah tahu resikonya, kan, jika kamu tetap berada di kamar ini?" ucap Sania dengan suaranya yang teramat lirih bernada membujuk.Dia sudah teramat lelah bertengkar dengan Mutia. Setiap kali Randy bermalam di kamarnya, pasti sepupu sekaligus adik madunya itu akan mengomel panjang pendek. Dan yang lebih mengesalkan, ibu mertuanya malah lebih membela Mutia.Sania tak mau rebutan giliran, hal yang akan membuat Randy besar kepala. Dia akan tetap jual mahal sembari menunggu saat itu tiba."Aku tidak peduli. Yang aku mau sekarang adalah kamu." Randy mengeratkan pelukannya, dia bahkan mencium secara brutal. Sania berontak. Dia tidak sudi disentuh oleh pria itu, meski ia sepenuhnya sadar jika Randy itu suaminya.Salah satu pengalaman terburuknya saat disentuh oleh Randy adalah mendapati dirinya dimaki-maki dan ditendang oleh Mutia lantaran dianggap sebagai perebut jadwal gilirannya, padahal Mu
Bab 26Semua hidangan sudah tertata meja makan dan orang-orang penghuni rumah ini pun sudah berkumpul. Sania menarik kursi dan duduk menghadap kepada tiga orang itu. Mama Asih, Randy dan Mutia. Nuri berada di rumahnya, sementara Raka sudah beberapa hari tidak muncul di rumah ini. Mungkin dia menginap di apartemen.Mungkin bagi wanita lain akan merasa tidak nyaman jika harus makan bersama dengan suami serta adik madunya, tetapi tidak bagi Sania. Cintanya kepada Randy terkikis. Pengkhianatan Randy sudah membuat cintanya kepada pria itu pelan-pelan mulai terkikis.Sania mengambil nasi dan lauk pauknya. Dia makan dengan begitu tenang tanpa bicara sepatah kata pun. Dia pun bahkan membiarkan Mutia yang lagi-lagi merajuk karena ingin memakan sesuatu yang tidak ada di atas meja makan.Sania sudah memutuskan tidak mau melayani apapun keinginan Mutia. Bukan urusannya. Seharusnya Randy lebih bisa mengendalikan keinginan istri keduanya yang manja itu."Sebaiknya kamu dan Randy bercerai saja, lagi
Bab 25Sania menanggapinya dengan sebuah senyuman. Dia sangat bersyukur bisa bertemu dengan perempuan baik yang mau menghargai hasil karyanya. Andai saja ibu mertuanya sebaik ibu Laila, alangkah bahagianya dirinya.Perempuan setengah tua itu mengambil piranti makan, lalu mengeluarkan isi rantang. Ada telur balado, oseng kangkung, dan tempe mendoan. "Wah kebetulan Ibu memang suka tempe mendoan. Terima kasih ya Sania." Bu Laila langsung mencomot sepotong, lalu memasukkan ke mulutnya. Tangannya yang sebelah lagi melambai kepada seorang perempuan seumurannya yang tampak duduk santai di sofa."Sini, Bu Rina. Kita makan dulu. Mampung Sania bawa makanan." ajak bu Laila."Wah kelihatannya enak sekali," komentar bu Rina saat perempuan itu berhasil mendekat dan melihat isi meja makan.Ketiga perempuan itu duduk saling menghadap meja makan. Mereka mulai menikmati hidangan makan siang. Sania menghela nafas, merasa senang lantaran kedua perempuan paruh baya itu makan begitu lahap."Enak banget.
Bab 24"Ibu Sania...."Dokter Fahmi Ardiansyah, SpOG, pria berusia 32 tahun itu tampak antusias menatap Sania. Sebelumnya Sania memang pernah bolak-balik ke rumah sakit tempatnya bekerja untuk memeriksakan kesuburannya sebagai seorang wanita. Dia pun sudah beberapa kali meminta Sania untuk mengajak sang suami, karena mendapati hasil pemeriksaan yang menyebutkan jika Sania adalah wanita yang subur. Tak ada masalah di dalam rahimnya.Namun suami Sania tidak pernah datang, selalu saja Sania datang sendirian ke rumah sakit itu. Hal ini yang membuatnya sedikit curiga, ada masalah yang mengganjal di dalam rumah tangga pasiennya ini.Atau jangan-jangan suami Sania itu sudah tahu jika dirinya yang mandul, tapi tidak mau ketahuan istrinya?Kemungkinan itu bisa saja terjadi, karena dia sudah seringkali menangani pasien yang hanya salah satu yang datang untuk berobat, tetapi pasangannya tidak pernah mau ikut.Namun sebagai seorang yang profesional di bidangnya, tentunya dokter Fahmi hanya bisa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments