Bab 6
"Tahu dari mana kamu jika Mas Randy yang mandul?" selidik Sania. Dia berpikir, mungkin ada rahasia keluarga ini yang belum diketahui olehnya, mengingat Randy selalu menghindar jika ia ajak untuk periksa ke dokter.Raka mendesah. Dia kembali menatap wanita itu. Tangannya terulur mengacak rambut Sania, lalu turun ke pipi. Raka mengusap kedua pipi wanita itu dengan lembut.
"Aku hanya menduga-duga, Sania. Kalian sudah lima tahun menikah dan aku percaya apa yang kamu bilang. Aku juga menemukan surat pemeriksaan dari dokter yang mengatakan kalau kamu subur. Dan jika kamu yang subur, bukankah berarti itu...." Raka menghentikan ocehannya saat telapak tangan Sania membungkam mulutnya. Dadanya seketika berdesir saat kulit telapak tangan itu bersentuhan dengan bibirnya. Namun dia berusaha menahan diri dan memilih mengabaikan perasaan itu.
Antara iba dan cinta batasannya teramat tipis. Dan Raka berkomitmen untuk tetap dalam batasannya. Dia adalah adik ipar Sania dan misinya saat ini hanya untuk menghibur istri pertama kakaknya itu, agar tidak terlalu terpukul dengan pernikahan kedua suaminya.
Seandainya ibu dan kakaknya mau bersikap peduli dan peka dengan perasaan Sania, barangkali dia tidak perlu melakukan ini. Tapi kenyataannya hanya dia satu-satunya orang di dalam keluarganya yang masih punya empati pada wanita malang ini.
Kalau bukan dia yang memberi perhatian kepada Sania, lalu siapa lagi?
"Aku tidak mandul, Raka...."
"Aku tahu." Pria itu tersenyum penuh arti. "Haruskah kita buktikan kepada semua orang jika sebenarnya kamu nggak mandul?"
"Maksud kamu?" Mata Sania terbelalak. Otaknya segera mencerna kalimat yang barusan terlontar dari mulut adik iparnya.
Pria itu terkekeh lirih.
"Ah, sudahlah. Lupakan saja. Aku yakin kok, kamu memang nggak mandul. Kamu nggak bohong. Suatu saat mata hati Mas Randy akan terbuka dan aku yakin saat itu pasti akan tiba. Jadi bertahanlah, Sania, jika kamu memang mencintai Mas Randy," ujarnya.
Sania menggangguk. Kalimat yang terlontar dari mulut Raka barusan begitu membakar hatinya, membuat dia merasa sangat bersemangat. Dia harus kuat untuk menjalani hari-harinya di rumah ini agar waktu yang dijanjikan itu akan segera tiba.
Sania sangat yakin jika Mutia pun tidak akan bisa memiliki keturunan, jikalau memang terbukti Randy yang bermasalah. Jadi sebenarnya pernikahan kedua ini percuma saja, jika memang bertujuan untuk mendapatkan seorang keturunan, kecuali ya jika pernikahan ini sekalian bertujuan untuk bersenang-senang dengan wanita lain selain dirinya.
Setelah itu, tidak ada sepatah katapun terucap dari mulut Sania. Dia memilih memejamkan mata.
Tangan kekar itu kembali terulur, membelai rambut wanita itu, membuat Sania semakin terlena dan masuk ke alam mimpi.
Bibir pria itu melengkungkan sebuah senyuman, antara lega dan iba. Setelah memastikan Sania tertidur lelap, Raka pun bangkit, lalu melangkah keluar.
***
Sania menggeliat kemudian membuka mata, menyapukan pandangan ke atas langit-langit kamar yang warna catnya sudah sedikit kusam. Wanita itu berusaha mengumpulkan segala ingatannya dan tersenyum getir tatkala menyadari jika dia sekarang tinggal di sini, tinggal di kamar pembantu.Padahal dia adalah nyonya rumah ini. Rumah ini adalah rumah Randy, suaminya. Rumah yang dibangun dengan uang suaminya. Seharusnya tempatnya ada di kamar utama. Akan tetapi sekarang posisinya telah digantikan oleh Mutia, istri baru suaminya.
Wanita itu kembali memejamkan matanya sejenak tatkala menyadari tadi malam adalah malam pertama mereka. Sania menekan dadanya yang terasa perih. Sakit rasanya jika membayangkan suaminya mencumbu wanita lain, apalagi ia sendiri mendengar suara desahan dan rintihan erotis dari dalam kamar tamu tatkala ia akan membereskan barang-barangnya kemarin siang.
"Mereka pasti melakukannya semalaman." Wanita itu menggigit bibirnya. Bayangan suaminya bercumbu dengan istri barunya berkelebatan di benaknya.
Mulai saat ini ia harus berusaha untuk kuat dan terlihat baik-baik saja. Sania bangkit dari tempat tidur dan saat ia menoleh, ternyata di samping kasurnya sudah ada sebuah piring berisi dua tangkup roti isi selai dan segelas teh hangat.
"Ada kertas di sini," gumam Sania sembari mengambil lembaran yang terletak di dekat piring itu dengan perasaan bingung.
[Sarapan dulu, sebelum kamu membuatkan sarapan bagi orang-orang di rumah ini]
Seulas senyuman terbit di bibir wanita itu. Meski dia tidak mengenal gaya tulisan itu, tetapi ia tahu, pesan di secarik kertas ini pasti berasal dari Raka. Memangnya siapa lagi yang peduli padanya di rumah ini kecuali pria itu?
Wanita itu membenarkan letak duduknya, kemudian mulai menyeruput teh yang ternyata masih hangat, sehingga tenggorokan dan perutnya pun terasa hangat.
Sania mulai memakan rotinya, melahapnya hingga habis, lalu menghabiskan tehnya. Sesudah sarapan, barulah ia bergerak menuju dapur. Sania sengaja langsung sarapan, karena jika tidak, dia pasti akan terlambat sarapan. Biasanya, apabila sudah keluar kamar, maka akan sulit baginya untuk masuk lagi, sebab ibu mertuanya dan Nuri pasti akan membuatnya sibuk dan melupakan kebutuhan perutnya.
"Bagus ya, istri pertama bangun kesiangan. Memangnya kamu mau memberi contoh kepada istri kedua suamimu agar bangun kesiangan juga?" Seharusnya sebelum orang-orang di rumah ini bangun, kamu harus bangun lebih dulu. Membereskan dapur, membuat sarapan dan menyapu seisi rumah ini," oceh Nuri tatkala Sania baru saja memasuki dapur sambil membawa piring dan gelas bekas sarapannya barusan.
"Maaf Kak, aku kelelahan kemarin, jadi tidurku nyenyak sekali. Lagi pula tadi malam kan aku tidak enak badan...."
"Alah... kamu aja yang manja! Memangnya kamu nggak sadar dimana sekarang kamu tinggal? Kamu itu cuma numpang, Sania! Rumah ini bukan milik nenek moyangmu!" sambut Nuri. Wanita itu mendengus saat melihat Sania meletakkan piring dan gelas di wastafel.
"Itu piring dan gelas bekas makan siapa?" usiknya.
"Ini...." Sania langsung tertunduk. Tidak mungkin ia mengatakan jika sebenarnya pagi ini diam-diam Raka sudah masuk ke dalam kamarnya dan mengantarkan sarapan untuknya. Bisa-bisa semuanya menjadi kacau.
Dia berterima kasih, karena Raka sudah mau peduli dengannya, dan ia berjanji tidak akan membuat susah adik iparnya. Jangan sampai orang serumah salah paham dengan perhatian yang ditunjukkan oleh pria itu kepadanya.
"Tadi pas tengah malam aku terbangun, Kak. Aku merasa haus dan lapar, makanya aku jadi makan. Ini bekas makanku tadi malam," papar Sania sedikit ragu. Semoga saja kebohongannya tidak bersambung dengan kebohongan-kebohongan yang lain.
"Kamu makan di kamar?" selidik Nuri. Sekilas ia melihat Sania keluar dari kamarnya sembari membawa dua benda itu.
"Kondisi tubuhku masih lemas, Kak. Jadi aku memilih untuk makan di kamar, biar bisa duduk di kasur dan bersandar...."
Wanita itu mendesah. Dia mematikan kompor saat terdengar suara alarm berbunyi.
"Ya sudahlah. Kalau begitu, cepat siapkan sarapan. Pagi ini kita makan nasi goreng. Lihat, Kakak sudah merebus air untuk bikin teh. Inilah akibatnya punya adik ipar bangun kesiangan seperti kamu. Ingat, kamu udah memberikan contoh yang nggak baik buat Mutia, Sania!"
Wanita itu menggigit bibirnya. Dia tak lagi menanggapi ocehan dan memilih mencuci piring dan gelas yang di bawanya tadi.
Pagi ini semua anggota keluarga akan sarapan nasi goreng, mengingat masih banyak nasi tersisa, sisa acara akad nikah kemarin.
Sania langsung menjalankan tugasnya. Dia mengiris bawang dan sayuran, lalu menuangnya ke wajan yang sudah berisi minyak panas. Setelah itu ia menuangkan nasi, lalu mengaduknya perlahan hingga tercampur rata.
Bau harum dari bumbu nasi goreng menghiasi seisi dapur.
"Masak apa, Sania?" Tiba-tiba suara bariton itu pun kembali terdengar.
Bab 7"Raka, please! Kamu nggak usah terlalu perhatian sama aku. Aku tidak ingin membuat masalah pagi ini." Sania merebut piring dari tangan Raka ketika pria itu berjalan menuju meja makan.Sania terpaksa melakukan ini, meskipun sebenarnya di hati merasa senang dengan sikap baik adik iparnya. Akan tetapi jika mengingat ucapan ibu mertuanya tadi malam, membuatnya nyalinya menjadi ciut."Membuat sarapan itu sudah menjadi tugasku. Dan bukankah aku sudah melakukan apa yang kamu minta? Aku sudah sarapan, Raka. Tenagaku sudah kuat. Kamu nggak usah segitunya khawatir. Oke?!" ucap Sania lagi.Pria itu mendengus kasar. Penolakan dan protes Sania sama sekali tidak menyurutkan niatnya untuk membantu Sania menyiapkan sarapan. Dia mengambil gelas dan sendok, lalu membawanya ke meja makan.Tak ada seorangpun di tempat itu, kecuali mereka berdua. Raka merasa itu sudah cukup aman. Dia bisa membantu Sania tanpa sepengetahuan orang-orang yang tinggal di rumah ini.Lagi pula, dia melakukannya tidak set
Bab 8Ucapan Sania terdengar berapi-api, meski Sania sendiri sedikit heran dengan dirinya, kenapa ia begitu lancar mengucapkan kalimat seperti itu. Tetapi Sania merasa bersyukur karena ia sudah berhasil menguatkan mentalnya untuk melawan ketidakadilan yang sudah didapatkannya di keluarga ini."Silakan saja berpoligami, tetapi bersikaplah adil. Jika istri pertama hanya mendapatkan giliran sekali dalam seminggu, sementara istri kedua mendapatkan jatah enam hari dalam seminggu, apa itu adil namanya?" Lanjut Sania. Kali ini ucapannya tertuju kepada Randy, pria yang kini sudah selesai memakai celananya."Jika yang menjadi alasan adalah supaya cepat mendapatkan keturunan, apakah Mas Randy sudah memeriksakan kondisi rahim Mutia sebelum memutuskan menikahi wanita ini? Padahal apapun bisa terjadi, karena wanita yang terlihat cantik dan menggairahkan belum tentu subur dan bisa memberikan seorang keturunan." Sania lagi-lagi menandaskan. Setidaknya dia sudah bisa menyampaikan unek-uneknya dan mem
Bab 9Meski terkejut, tetapi Raka malah mengeratkan genggamannya pada Sania."Christie, kamu sudah balik dari Australia?" Raka berbasa-basi."Iya, baru kemarin." Tawa riang wanita muda itu terdengar seolah tanpa beban. Dia malah menarik kursi dan duduk menghadap Raka dan Sania."Barusan aku ingin mengunjungimu di apartemen, tetapi ternyata malah ketemu kamu di sini, bersama dengan wanita ini pula." Tatapan penuh selidik Christie tertuju pada Sania. "Ini siapa? Apakah dia asisten kamu di apartemen?" tanya Christie. Wanita ini rupanya awas juga dan langsung melihat dua kantong belanjaan berukuran besar yang teronggok di dekat tempat duduk kedua sejoli itu. Raka dan Sania duduk bersisian. Dan kini genggaman Raka terlepas. Tangannya naik ke atas, merangkul bahu Sania."Aku bukan pria manja yang untuk memenuhi kebutuhannya harus bergantung kepada asisten. Aku bisa mengurus apartemenku sendirian. Kamu sudah tahu soal itu, bukan?" Pria itu tersenyum manis. Sebelah tangannya mengusap lembut
Bab 10Sakit, tapi luka ini tak berdarah. Bahkan luka ini kian menganga meski tak terlihat secara kasat mata. Tak tahan melihat ibu mertua dan suaminya memeluk Mutia, Sania langsung undur diri dan berlari ke dalam kamar.Sayup-sayup ia mendengar ucapan selamat dari ibu mertuanya dan kata-kata mesra sang suami, karena akhirnya apa yang diinginkan oleh keluarga ini terkabul. Mutia positif hamil sebulan setelah pernikahan itu."Kenapa semuanya jadi tak adil bagiku? Apa salahku? Kenapa Mutia bisa hamil? Kalau Mutia hamil, berarti Mas Randy tidak mandul, sementara hasil pemeriksaan dari dokter, aku pun juga subur. Lalu salahnya apa? Kenapa selama lima tahun menikah kami nggak diberi keturunan?" ratapnya pilu. Sania masuk ke dalam kamar dan merebahkan dirinya di kasur. Wanita muda itu berguling-guling di kasur sembari memeluk boneka panda miliknya. Boneka yang sengaja ia beli sebagai pengganti kehadiran Randy, karena Randy selalu saja mengutamakan Mutia ketimbang dirinya.Sebulan sudah b
Bab 11Tiga hari sudah berlalu. dan selama tiga hari ini Raka bermalam di rumahnya. Dia sengaja tidak pulang ke apartemen, karena setiap malam dia menyelinap ke kamar Sania demi memastikan wanita itu bisa tidur dengan damai. Dan, Raka selalu mengecup kening Sania, kecupan selamat malam, dan selamat tidur.Ulah kakaknya tidak bisa lagi di tolerir. Padahal jika kakaknya memang tidak lagi menginginkan Sania, kenapa tidak dilepaskan saja? Bukankah itu malah lebih baik. Setidaknya Randy tidak menyiksa Sania di dalam rumah tangga yang tidak memiliki kepastian ini.Apalagi Randy terlalu mengutamakan Mutia, padahal seharusnya Randy bisa bersikap adil, mengingat ia memiliki dua istri. Apa Randy tidak takut mendapatkan karma jika sudah berlaku tidak adil pada salah satu dari kedua istrinya?"Heran... tumben betah di rumah?" sindir Asih melihat putranya yang tengah asyik duduk di teras pagi ini sembari memainkan ponselnya."Memangnya aku tidak boleh tinggal di rumah sama Mama? Aku ini masih anak
Bab 12Raka benar-benar gemas. Baginya Sania terlalu polos, sehingga mau saja dimanfaatkan oleh keluarganya sendiri. Akhirnya pria itu mengambil piring dan membawanya ke meja makan. Hanya Raka yang membantu Sania menyiapkan sarapan untuk mereka, itu pun ia lakukan dengan sembunyi-sembunyi.Satu persatu penghuni rumah ini mulai berdatangan ke meja makan. Pagi ini mereka sarapan nasi dengan lauk ayam goreng crispy yang merupakan favorit Mutia. Sania tidak mau memasak ulang, jadi dia menyajikan itu, walaupun Nuri sempat protes karena tidak tersedia sayuran atas meja makan.Masa bodoh! Sania tidak menerima bantahan dari siapapun. Dia sudah cukup lelah dengan drama pagi ini.Sania undur diri saat orang-orang itu mulai sarapan. Dia masuk ke dalam kamarnya dan beristirahat sejenak. Dipeluknya boneka panda dan membenamkan wajahnya di kepala boneka itu."Ara, aku lelah," keluhnya sembari menciumi boneka itu. Sania memang menamai bonekanya dengan nama Ara.Matanya kembali berkaca-kaca."Kayak
Bab 13"Jangan takut, aku nggak akan makan kamu kok. Aku juga tahu batasan." Pria itu tersenyum sembari terus melangkah menghampiri Sania.Namun tetap saja Sania mendapati alarm di dalam dirinya terus menyala. Berduaan dengan lelaki di ruangan tertutup seperti ini membuat darahnya terus berdesir. Ini kurang baik bagi kesehatan jantungnya. Apalagi satu-satunya orang yang masih peduli padanya di rumah ini hanyalah Raka.Sania takut ia akan jatuh ke dalam pesona pria itu."Maaf ya, aku udah bikin kamu kaget. Ada barang yang tertinggal, jadi aku balik lagi ke rumah ini." Tangan pria itu terulur, mengacak rambut Sania yang masih lembab.Rambut yang masih lembab dan harum. Bukan cuma itu. Helaian hitam itu juga sangat lembut bersentuhan dengan telapak tangan Raka dan membuat pria itu terbuai untuk sesaat."Kamu membuatku senam jantung," keluh Sania.Pria itu terkekeh. "Iya ya ya, aku minta maaf. Ya udah, sekarang aku balik lagi ke kantor. Kamu baik-baik di rumah ya."Satu kecupan mendarat d
Bab 14Ruangan ini cukup luas dan nyaman. Ada satu set meja kursi kerja dan satu set sofa. Dua lemari diletakkan merapat ke dinding. Beberapa pigura juga terpasang di dinding. Foto Raka dan keluarga mereka. Perempuan itu tersenyum, lalu melangkah menuju meja kerja."Terima kasih banyak, Sania. Kebetulan aku sudah sangat lapar." Pria itu bangkit menyambut rantang itu.Sania mengangguk dan memutar tubuhnya, bermaksud akan berbalik."Jangan pulang dulu, Sania....""Iya Raka, ada apa?""Temani aku makan."Sania mengurungkan niatnya dan memilih mengiringi pria itu melangkah menuju sofa. Seorang OB datang dan menyodorkan alat makan.Sania tertegun melihat dua buah piring, dua sendok serta dua gelas yang sudah terisi air putih."Temani aku makan. Jadi kita makan bersama," jelas pria itu mengabaikan tatap protes wanita itu."Kamu belum makan, kan?"Wanita itu mengangguk malu-malu. "Iya, aku memang belum makan. Kamu tahu, kan, biasanya aku makan setelah Mama makan....""Buang kebiasaan itu. K
Bab 32Benar, Randy memang memeluknya sepanjang malam, tapi besok pagi dia harus mendapat omelan dari Mutia. Janjinya tanggung jawab, tapi ternyata Randy tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk membela dirinya.Sania benar-benar geram. Dia memutuskan untuk tidak membuat sarapan pagi ini. Biarkan saja seisi rumah kelaparan. Dia langsung mandi dan bersiap untuk menuju rumah kontrakannya, karena tentu masih ada pekerjaan yang harus ia selesaikan."Biar aku sarapan di rumah kontrakan saja bersama dengan Aya dan Lia," gumam Sania setelah ia mengunci kamar dan melangkah keluar."Mau ke mana kamu pagi-pagi begini?" tegur mama Asih. Wanita itu tengah duduk menghadap meja makan yang kosong."Aku mau pergi, Ma. Mama bikin sarapan sendiri ya," ujar Sania ringan seolah tanpa beban dan terus melangkah melewati ruang makan menuju ruang tamu."Bikin sarapan dulu, Sania. Jangan main pergi aja! Urus dulu suamimu!" teriak mama Asih yang kaget dengan respon Sania yang membangkang perintahnya. Wanita it
Bab 31Makan malam kali ini sangat tenang, tanpa drama seperti biasanya. Malam ini Mutia tidak protes, meski hanya ada ikan gurame goreng, sayur labu kuning dan tempe goreng Mereka nampak makan sangat lahap, meskipun hanya ada Sania, Randy, Mutia dan mama Asih. Malam ini Raka kembali absen. Pria itu memang datang dan pergi sesukanya. Akhir-akhir ini dia lebih sering menginap di apartemen ketimbang di rumah. Terkadang Sania berpikir, Raka tersinggung lantaran kini ia tidak lagi bergantung kepada Raka.Sania sudah memiliki penghasilan sendiri yang cukup lumayan, keuntungan dari rumah cateringnya. Rekening pribadinya kini mulai terisi dan terus menggendut saldonya."Sania," panggil Randy ketika Sania baru saja selesai mengemas meja makan."Akhir-akhir ini kamu selalu pulang sore, bahkan hampir malam. Sebenarnya kamu sibuk apa sih di luar sana?""Itu bukan urusanmu, Mas," sahut Sania datar tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya."Tapi Mas harus tahu, karena kesibukan kamu itu membuat ru
Bab 30Glek.Ucapan Sania langsung menohok. Dia memang tidak perlu berbasa-basi, mengatakan apa adanya. Bukankah seharusnya setiap tetes keringat yang sudah dikeluarkannya harus ada imbalannya? Bukan sekedar materi, tapi setidaknya mereka bisa memperlakukannya lebih manusiawi, bukan dianggap sebagai robot pekerja rumah tangga. Jujur dia sudah muak dengan semua ini. Tapi saat yang ia nantikan itu belum tiba. Dia hanya ingin bermain cantik.Mungkin beberapa bulan lagi dan itu tidak lama. Saatnya akan segera tiba."Sudah berani itung-itungan kamu ya?" Wanita paruh baya itu mendengus kasar."Mama aja itung-itungan denganku. Masa aku nggak boleh itung-itungan dengan Mama?" cetus Sania."Memangnya Mama pernah memberi uang lebih setiap kali menyuruhku ke pasar untuk berbelanja keperluan rumah? Padahal Mama sendiri tahu jika aku hampir nggak pernah dikasih uang jajan sama Mas Randy," sambungnya lagi."Sudah berani protes kamu ya? Sudah nggak betah lagi jadi istri anakku?!" Ancaman itu melunc
Bab 29"Shilla itu bukan anak kandung Azka. Azka belum menikah," beritahu Bu Rina seolah paham kegelisahan Sania."Maksudnya? Saya tidak mengerti." Otaknya langsung mencerna ucapan ibu Rina."Azka menemukan Shilla berada di dalam kardus tepat di depan pintu rumahnya. Kondisinya waktu itu sangat mengenaskan. Dia menangis lantaran kehausan dan kelaparan, dengan tali pusat yang belum terpotong. Azka memutuskan membawa Shilla ke rumah sakit, kemudian memilih mengadopsinya."Mulia sekali," komentar Sania seraya menatap kagum pria yang sejak tadi tetap saja memasang wajah datar.Tapi kenapa orang tua bayi itu malah meletakkan bayinya di depan rumah Azka? Pertanyaan itu hanya bisa Sania simpan dalam hati, karena ia tidak mau mencampuri urusan keluarga bu Rina. Sania membayangkan seperti novel-novel, jika bayi itu sebenarnya adalah anak kandung Azka dari seorang wanita yang tidak sengaja digaulinya. Namun Sania menepis pikiran itu. Dia melihat sosok yang meski selalu memasang wajah dingin d
Bab 28"Sania," panggil Raka setelah ia kembali menutup pintu kamar dan menguncinya. Raka tidak ingin jika ada orang yang memergoki dirinya ada di kamar ini. Untuk saat ini, terlalu berbahaya jika ada orang di rumah ini yang mengendus kedekatannya dengan Sania. Raka tidak ingin menambah penderitaan wanita itu.Mata yang tengah terpejam itu kembali terbuka. Pria itu tersenyum dan melangkah mendekat, meski dadanya bergetar hebat. Tubuh itu hanya di tutupi oleh selimut yang pasti di dalamnya Sania tidak mengenakan apapun. Raka menarik nafas, menekan keinginannya sebagai lelaki yang ingin menerkam Sania saat itu juga.Dia pria normal. Mendapati pemandangan seperti itu, rasanya akan sulit melewatkan begitu saja."Apakah rasanya sakit?" tanya Raka dengan lembut. Dia menempelkan telapak tangannya di dahi Sania. Dahi itu terasa agak panas. Ditatapnya wajah cantik itu dalam-dalam. Wajah cantik, tapi sedikit pucat."Dia memaksaku, tapi akhirnya aku menikmati juga." Bibirnya bergetar hebat.Nye
Bab 27"Please Mas, jangan mempersulitku seperti ini. Aku tidak mau lagi berurusan dengan Mutia. Kamu sudah tahu resikonya, kan, jika kamu tetap berada di kamar ini?" ucap Sania dengan suaranya yang teramat lirih bernada membujuk.Dia sudah teramat lelah bertengkar dengan Mutia. Setiap kali Randy bermalam di kamarnya, pasti sepupu sekaligus adik madunya itu akan mengomel panjang pendek. Dan yang lebih mengesalkan, ibu mertuanya malah lebih membela Mutia.Sania tak mau rebutan giliran, hal yang akan membuat Randy besar kepala. Dia akan tetap jual mahal sembari menunggu saat itu tiba."Aku tidak peduli. Yang aku mau sekarang adalah kamu." Randy mengeratkan pelukannya, dia bahkan mencium secara brutal. Sania berontak. Dia tidak sudi disentuh oleh pria itu, meski ia sepenuhnya sadar jika Randy itu suaminya.Salah satu pengalaman terburuknya saat disentuh oleh Randy adalah mendapati dirinya dimaki-maki dan ditendang oleh Mutia lantaran dianggap sebagai perebut jadwal gilirannya, padahal Mu
Bab 26Semua hidangan sudah tertata meja makan dan orang-orang penghuni rumah ini pun sudah berkumpul. Sania menarik kursi dan duduk menghadap kepada tiga orang itu. Mama Asih, Randy dan Mutia. Nuri berada di rumahnya, sementara Raka sudah beberapa hari tidak muncul di rumah ini. Mungkin dia menginap di apartemen.Mungkin bagi wanita lain akan merasa tidak nyaman jika harus makan bersama dengan suami serta adik madunya, tetapi tidak bagi Sania. Cintanya kepada Randy terkikis. Pengkhianatan Randy sudah membuat cintanya kepada pria itu pelan-pelan mulai terkikis.Sania mengambil nasi dan lauk pauknya. Dia makan dengan begitu tenang tanpa bicara sepatah kata pun. Dia pun bahkan membiarkan Mutia yang lagi-lagi merajuk karena ingin memakan sesuatu yang tidak ada di atas meja makan.Sania sudah memutuskan tidak mau melayani apapun keinginan Mutia. Bukan urusannya. Seharusnya Randy lebih bisa mengendalikan keinginan istri keduanya yang manja itu."Sebaiknya kamu dan Randy bercerai saja, lagi
Bab 25Sania menanggapinya dengan sebuah senyuman. Dia sangat bersyukur bisa bertemu dengan perempuan baik yang mau menghargai hasil karyanya. Andai saja ibu mertuanya sebaik ibu Laila, alangkah bahagianya dirinya.Perempuan setengah tua itu mengambil piranti makan, lalu mengeluarkan isi rantang. Ada telur balado, oseng kangkung, dan tempe mendoan. "Wah kebetulan Ibu memang suka tempe mendoan. Terima kasih ya Sania." Bu Laila langsung mencomot sepotong, lalu memasukkan ke mulutnya. Tangannya yang sebelah lagi melambai kepada seorang perempuan seumurannya yang tampak duduk santai di sofa."Sini, Bu Rina. Kita makan dulu. Mampung Sania bawa makanan." ajak bu Laila."Wah kelihatannya enak sekali," komentar bu Rina saat perempuan itu berhasil mendekat dan melihat isi meja makan.Ketiga perempuan itu duduk saling menghadap meja makan. Mereka mulai menikmati hidangan makan siang. Sania menghela nafas, merasa senang lantaran kedua perempuan paruh baya itu makan begitu lahap."Enak banget.
Bab 24"Ibu Sania...."Dokter Fahmi Ardiansyah, SpOG, pria berusia 32 tahun itu tampak antusias menatap Sania. Sebelumnya Sania memang pernah bolak-balik ke rumah sakit tempatnya bekerja untuk memeriksakan kesuburannya sebagai seorang wanita. Dia pun sudah beberapa kali meminta Sania untuk mengajak sang suami, karena mendapati hasil pemeriksaan yang menyebutkan jika Sania adalah wanita yang subur. Tak ada masalah di dalam rahimnya.Namun suami Sania tidak pernah datang, selalu saja Sania datang sendirian ke rumah sakit itu. Hal ini yang membuatnya sedikit curiga, ada masalah yang mengganjal di dalam rumah tangga pasiennya ini.Atau jangan-jangan suami Sania itu sudah tahu jika dirinya yang mandul, tapi tidak mau ketahuan istrinya?Kemungkinan itu bisa saja terjadi, karena dia sudah seringkali menangani pasien yang hanya salah satu yang datang untuk berobat, tetapi pasangannya tidak pernah mau ikut.Namun sebagai seorang yang profesional di bidangnya, tentunya dokter Fahmi hanya bisa