Bab 2
"Ya, barang-barangmu! Kamu harus segera mengeluarkan barang-barangmu dari kamar utama, karena Mutia yang akan menempati kamar utama bersama dengan Randy," beritahu wanita paruh baya itu. Pemberitahuan yang bersifat sebuah perintah.
"Mutia? Bukannya selama ini dia menempati kamar tamu?" Sania mengerutkan kening, karena setahunya kamar tamu itulah yang dihias menjadi kamar pengantin, bukan kamar utama.
Rumah ini cukup luas, dengan 5 buah kamar tidur. Satu kamar tidur utama, satu kamar tidur tamu dan dua kamar tidur yang biasa ditempati oleh ibu mertuanya dan Raka, anak paling bungsu di keluarga ini. Satunya lagi adalah kamar pembantu yang ukurannya lebih kecil dan terletak di belakang dekat dapur.
"Iya, memang. Tapi mulai besok, Mutia yang akan menempati kamar utama," sahut wanita paruh baya itu.
"Dan aku yang menempati kamar tamu, begitu, Ma? Jadi aku bertukar kamar tidur?" Sepasang mata beningnya menatap sang ibu mertua dengan dadanya yang terus berdebar.
Sania berpikir kamar tamu pun tidak jelek, karena ukuran dan fasilitasnya hampir sama dengan kamar tidur utama yang biasa ia tempati bersama dengan Randy. Ada juga kamar mandi di dalam serta walk in closed. Tak masalah. Dia bisa tinggal di kamar itu, apalagi kamar tamu dan kamar utama letaknya bersebelahan. Mungkin ini memang sengaja Randy lakukan untuk memudahkan menggilir istri-istrinya.
Sejauh ini Sania tetap berpikiran positif.
"Baiklah, Ma." Sania mengangguk lalu segera membersihkan tangannya yang sebelumnya penuh dengan busa sabun.
"Aku akan membereskan barang-barangku dan memindahkannya ke kamar tamu, tetapi apakah Mutia sudah mengeluarkan barang-barangnya? Aku hanya tidak enak jika harus mengemasi barang-barang milik orang lain...."
"Siapa bilang kamu akan menempati kamar tamu?!" tuding ibu mertuanya saat Sania berjalan mendekat dan bermaksud akan melewatinya.
"Maksud Mama?" Sania menghentikan langkahnya. Dia tak mengerti. "Bukankah aku dan Mutia akan bertukar kamar?"
"Sania!" Mata ibu mertuanya melotot. Wajah wanita setengah tua itu seketika memerah. "Makanya dengar dulu penjelasan Mama. Jangan langsung main pergi aja. Kamar tamu itu akan segera ditempati oleh Nuri, jika kebetulan ia berkunjung ke rumah ini. Jadi, tempat kamu itu di kamar belakang...."
"Apa?! Aku harus menempati kamar belakang?!"
Sania sangat terkejut, dan saking terkejutnya, tubuhnya tiba-tiba saja lemas. Dia berpegangan pada salah satu tiang yang berada di dekatnya untuk menopang tubuhnya agar tidak luruh ke lantai.
"Itu kamar pembantu, Ma. Terakhir ditempati oleh Bik Nah sebelum beliau pamit pulang kampung lantaran diminta oleh anaknya untuk berhenti bekerja di rumah ini," protes Sania. Pegangannya pada tiang kian bertambah erat karena ia merasakan pandangannya mulai sedikit berkunang-kunang.
"Karena kamu memang pantas menempati kamar itu! Apalagi yang diharapkan dari seorang wanita mandul kayak kamu?! Seharusnya kamu sadar posisimu di mana! Kamu itu hanya berguna untuk mengurus rumah ini!"
Hati Sania seketika kembali tersayat. Seperti itukah sekarang ibu mertua memandang dirinya? Hanya karena ia belum bisa memberikan keturunan untuk suaminya, apakah lantas keluarga suaminya boleh memperlakukannya seperti pembantu?
"Tempatmu adalah di kamar belakang, di kamar pembantu, karena kamu hanya diperlukan untuk mengurus rumah ini. Sebagai istri, kamu sama sekali nggak berguna!" Perempuan bernama Asih itu mengibaskan tangan, lalu segera berbalik dan meninggalkan Sania sendiri yang tubuhnya akhirnya harus luruh ke lantai karena tangannya pun terasa lemas sehingga tidak bisa lagi mencengkeram tiang penyangga rumah ini.
Untung saja dia tidak langsung jatuh pingsan mendengar perkataan sepahit ini, sebab jikalau ia sampai jatuh pingsan, tidak akan ada orang yang akan menolongnya.
Tak ada yang peduli pada kondisi tubuhnya, apalagi dengan perasaannya.
Sakit.
Perih.
Selama 5 tahun ia menikah dan mengabdi kepada keluarga ini, tidak pernah ia merasakan sesakit ini.
Selama 5 tahun terakhir, dialah yang mengurus rumah ini, sementara pembantu yang biasa mengurus rumah ini berhenti bekerja, sebulan setelah pernikahan Sania dan Randy. Dan setelah itu, tidak ada pembantu baru yang direkrut oleh ibu mertuanya untuk membantu mengurus rumah sebesar ini.
Sania sama sekali tidak keberatan mengurus rumah ini, melayani mertua, suami dan kakak iparnya. Namun kenyataannya, semua pengabdiannya masih belum cukup. Dia pun masih dimintai persetujuan untuk dimadu dan sekarang tinggal bersama adik madu.
Apalagi hal yang lebih menyakitkan selain ini?
Sania tergugu sendirian meratapi nasibnya. Air matanya mengalir deras. Namun sudut di hatinya seolah berteriak bahwa ia harus bangkit. Bukankah tujuan ia tetap bertahan di rumah ini karena ingin membuktikan bahwa dia tidak mandul?
Sania tidak mandul, dan itu dibuktikan oleh pemeriksaan dari beberapa orang dokter spesialis kandungan di kotanya. Semua dokter yang ia temui menyatakan jika ia subur.
"Aku harus kuat! Aku harus bertahan! Walaupun suamiku memiliki istri lagi, setidaknya aku tetap akan mendapatkan jatah malam untuk melayani suamiku. Di situlah aku harus membuktikan, jika aku tidak mandul. Aku tidak mandul, Mas!" gumam Sania seraya mengepalkan tangan.
Akhirnya Sania pun bangkit, dan dengan langkah terseok-seok dia berjalan menuju kamarnya. Sempat berdiri sejenak di depan pintu kamar tamu lantaran mendengar suara-suara desahan erotis yang membuat Sania seketika mengusap-usap dadanya yang terasa kian sesak. Namun Sania akhirnya melanjutkan langkah menuju kamar utama.Begitu memasuki kamar ini, Sania memindai sekelilingnya. Ruangan yang selalu terlihat bersih dan rapi karena ia merawatnya sepenuh hati. Peraduannya yang dilapisi oleh sprei berwarna biru muda, warna kesukaan Randy. Peraduan tempat mereka seringkali bercinta, meskipun sampai sekarang belum juga dikaruniai seorang momongan.
Sejatinya Randy adalah pria yang romantis, terkecuali akhir-akhir ini setelah Mutia tinggal di rumah ini.
Salahnya juga yang bersedia membawa Mutia tinggal di rumah ini, walaupun itu atas permintaan tante Wina, ibunya Mutia. Tante Wina yang meminta kepadanya agar Mutia tinggal di rumah ini, lantaran tempat kerjanya yang tidak jauh, apalagi Randy dan Mutia bekerja dalam satu perusahaan.
Sania yang polos tidak pernah berpikiran buruk, apalagi sampai menganggap jika tantenya itu punya rencana untuk menghancurkan rumah tangganya.
Dia hanya tidak menyangka jika ia sudah memasukkan ular berkepala manusia ke rumahnya.
Sania menjadi curiga. Entah sejak kapan Randy dan Mutia berhubungan. Apakah sejak hubungan mereka menjadi hambar setelah kehadiran Mutia di rumah ini?
Wanita itu mengusap-usap dadanya, lalu duduk di tepi ranjang.
"Kenapa aku tidak peka dengan perubahan yang terjadi pada Mas Randy? Padahal dulu sebelum kehadiran Mutia di rumah ini, gairah bercintanya kepadaku begitu besar. Aku pikir waktu itu Mas Randy hanya kecapean kerja, sehingga tidak lagi berminat bercinta denganku....."
Tak ingin tenggelam dalam lamunannya dan membuang-buang waktu sehingga membuat ibu mertuanya kembali marah, akhirnya Sania bangkit dan mulai membuka pintu lemari. Dia mengeluarkan seluruh pakaiannya yang sebenarnya memang tidak seberapa. Selama menikah dengan Randy, Sania memang hampir tidak pernah membeli pakaian. Uang belanja dapur diatur oleh ibu mertuanya, sementara Randy sendiri jarang memberinya uang jajan.
***Meski di hatinya terbersit rasa ragu, tetapi Sania tetap membuka pintu kamar belakang. Bau tidak enak langsung menyeruak saat pintu terbuka. Maklumlah, kamar belakang ini sudah difungsikan sebagai gudang tempat untuk menaruh barang-barang yang tidak terpakai.
Sania terbatuk-batuk dan langsung menutup hidung dan mulutnya saat masuk ke dalam ruangan ini. Dia membuka jendela dan membiarkan udara dari luar masuk.
"Aku harus segera membersihkan tempat ini sebelum malam tiba. Jika tidak, aku mau tidur di mana?" Sania segera berbalik setelah memastikan kondisi kamar. Dia mengambil sapu dari dapur dan mulai membersihkan ruangan ini.
Bab 3Tak terasa satu jam sudah berlalu dan ruangan ini akhirnya kembali bersih. Sania menyapu dan mengepelnya sekaligus bahkan hingga dua kali. Meski ukuran kamar ini tidak seluas kamar utama ataupun kamar tamu, tetapi setidaknya cukup nyaman untuk ditinggali. Sania sudah menyingkirkan barang-barang yang tidak terpakai. Dia membawanya ke halaman belakang. Beberapa barang memang sudah waktunya untuk dibuang, sementara beberapa barang lain Sania masukkan ke dalam kardus ukuran besar dan ditaruhnya di samping kamar mandi. Area itu memang tidak terpakai dan memang biasanya digunakan oleh bik Nah untuk menyimpan barang-barang yang sudah tidak digunakan lagi.Tidak ada ranjang, hanya kasur berukuran sedang yang Sania gelar untuk alas tidurnya. Sungguh kontras sekali dengan kamar utama yang memiliki ranjang ukuran besar, bahkan hanya ada lemari pakaian berukuran kecil dan dulunya memang digunakan oleh pembantu untuk menaruh barang-barang pribadi."Benar-benar penampakanku seperti pembantu
Bab 4Bukan hal yang mudah untuk membujuk Mutia, karena gadis yang sekarang tidak lagi menjadi gadis itu memang pilih-pilih makanan. Mutia memang tidak menyukai sayur, apalagi tauge yang dianggapnya memiliki bau yang tidak sedap, padahal Sania sudah merendamnya di air yang mendidih supaya bau yang tidak enak itu hilang.Jadi tauge yang dipakai untuk campuran gado-gado itu dalam kondisi yang masak, bukan mentah. Tapi tetap saja Mutia tidak menyukainya.Sania menghela nafas sembari tangannya terus bergerak untuk mencuci perkakas bekas ia memasak tadi. Malam ini juga semuanya harus beres. Sania paling tidak suka meninggalkan dapur dalam keadaan berantakan.Sekarang atau nanti, toh sama saja. Tetap saja dia yang harus membereskan ruangan ini. Tidak ada ceritanya Asih atau Nuri membantunya mengerjakan pekerjaan rumah.Setelah selesai menyapu lantai dapur, Sania pun duduk di lantai dengan posisi kaki berselonjor. Matanya kosong menatap sekeliling ruangan. Orang-orang masih saja berada di ru
Bab 5"Maaf Sania, gado-gadonya sudah habis. Capcaynya pun tinggal sedikit, jadi capcaynya aku masak ulang pakai mie instan. Nggak apa-apa ya." Pria itu meringis sembari mengangkat piring berisi campuran mie instan dengan sisa capcay. Dia menyendok makanan itu dan menyuruh Sania untuk membuka mulut.Namun Sania menggeleng, malah berusaha meraih piring yang berada di tangan Raka, tapi seketika Raka menjauhkan piring dari jangkauan tangan Sania."Buka mulutmu ,Sania. Biar aku yang menyuapi kamu. Oke?" Ujung sendok itu masih saja berada tepat di bibir Sania yang membuat wanita itu terpaksa membuka mulut."Pintar." Raka tersenyum puas."Aku bisa makan sendiri, Raka. Kamu nggak perlu nyuapin aku. Aku bukan anak kecil," protes wanita itu. Lagi-lagi ia gagal merebut piring makan dari tangan Raka."Sesekali orang dewasa juga boleh bertingkah seperti anak kecil, lagi pula wajah kamu itu kan imut, kayak anak kecil, tahu...." "Raka...." Lantaran gemas, Sania mencubit lengan itu. Tapi tentu saja
Bab 6"Tahu dari mana kamu jika Mas Randy yang mandul?" selidik Sania. Dia berpikir, mungkin ada rahasia keluarga ini yang belum diketahui olehnya, mengingat Randy selalu menghindar jika ia ajak untuk periksa ke dokter.Raka mendesah. Dia kembali menatap wanita itu. Tangannya terulur mengacak rambut Sania, lalu turun ke pipi. Raka mengusap kedua pipi wanita itu dengan lembut."Aku hanya menduga-duga, Sania. Kalian sudah lima tahun menikah dan aku percaya apa yang kamu bilang. Aku juga menemukan surat pemeriksaan dari dokter yang mengatakan kalau kamu subur. Dan jika kamu yang subur, bukankah berarti itu...." Raka menghentikan ocehannya saat telapak tangan Sania membungkam mulutnya. Dadanya seketika berdesir saat kulit telapak tangan itu bersentuhan dengan bibirnya. Namun dia berusaha menahan diri dan memilih mengabaikan perasaan itu.Antara iba dan cinta batasannya teramat tipis. Dan Raka berkomitmen untuk tetap dalam batasannya. Dia adalah adik ipar Sania dan misinya saat ini hanya u
Bab 7"Raka, please! Kamu nggak usah terlalu perhatian sama aku. Aku tidak ingin membuat masalah pagi ini." Sania merebut piring dari tangan Raka ketika pria itu berjalan menuju meja makan.Sania terpaksa melakukan ini, meskipun sebenarnya di hati merasa senang dengan sikap baik adik iparnya. Akan tetapi jika mengingat ucapan ibu mertuanya tadi malam, membuatnya nyalinya menjadi ciut."Membuat sarapan itu sudah menjadi tugasku. Dan bukankah aku sudah melakukan apa yang kamu minta? Aku sudah sarapan, Raka. Tenagaku sudah kuat. Kamu nggak usah segitunya khawatir. Oke?!" ucap Sania lagi.Pria itu mendengus kasar. Penolakan dan protes Sania sama sekali tidak menyurutkan niatnya untuk membantu Sania menyiapkan sarapan. Dia mengambil gelas dan sendok, lalu membawanya ke meja makan.Tak ada seorangpun di tempat itu, kecuali mereka berdua. Raka merasa itu sudah cukup aman. Dia bisa membantu Sania tanpa sepengetahuan orang-orang yang tinggal di rumah ini.Lagi pula, dia melakukannya tidak set
Bab 8Ucapan Sania terdengar berapi-api, meski Sania sendiri sedikit heran dengan dirinya, kenapa ia begitu lancar mengucapkan kalimat seperti itu. Tetapi Sania merasa bersyukur karena ia sudah berhasil menguatkan mentalnya untuk melawan ketidakadilan yang sudah didapatkannya di keluarga ini."Silakan saja berpoligami, tetapi bersikaplah adil. Jika istri pertama hanya mendapatkan giliran sekali dalam seminggu, sementara istri kedua mendapatkan jatah enam hari dalam seminggu, apa itu adil namanya?" Lanjut Sania. Kali ini ucapannya tertuju kepada Randy, pria yang kini sudah selesai memakai celananya."Jika yang menjadi alasan adalah supaya cepat mendapatkan keturunan, apakah Mas Randy sudah memeriksakan kondisi rahim Mutia sebelum memutuskan menikahi wanita ini? Padahal apapun bisa terjadi, karena wanita yang terlihat cantik dan menggairahkan belum tentu subur dan bisa memberikan seorang keturunan." Sania lagi-lagi menandaskan. Setidaknya dia sudah bisa menyampaikan unek-uneknya dan mem
Bab 9Meski terkejut, tetapi Raka malah mengeratkan genggamannya pada Sania."Christie, kamu sudah balik dari Australia?" Raka berbasa-basi."Iya, baru kemarin." Tawa riang wanita muda itu terdengar seolah tanpa beban. Dia malah menarik kursi dan duduk menghadap Raka dan Sania."Barusan aku ingin mengunjungimu di apartemen, tetapi ternyata malah ketemu kamu di sini, bersama dengan wanita ini pula." Tatapan penuh selidik Christie tertuju pada Sania. "Ini siapa? Apakah dia asisten kamu di apartemen?" tanya Christie. Wanita ini rupanya awas juga dan langsung melihat dua kantong belanjaan berukuran besar yang teronggok di dekat tempat duduk kedua sejoli itu. Raka dan Sania duduk bersisian. Dan kini genggaman Raka terlepas. Tangannya naik ke atas, merangkul bahu Sania."Aku bukan pria manja yang untuk memenuhi kebutuhannya harus bergantung kepada asisten. Aku bisa mengurus apartemenku sendirian. Kamu sudah tahu soal itu, bukan?" Pria itu tersenyum manis. Sebelah tangannya mengusap lembut
Bab 10Sakit, tapi luka ini tak berdarah. Bahkan luka ini kian menganga meski tak terlihat secara kasat mata. Tak tahan melihat ibu mertua dan suaminya memeluk Mutia, Sania langsung undur diri dan berlari ke dalam kamar.Sayup-sayup ia mendengar ucapan selamat dari ibu mertuanya dan kata-kata mesra sang suami, karena akhirnya apa yang diinginkan oleh keluarga ini terkabul. Mutia positif hamil sebulan setelah pernikahan itu."Kenapa semuanya jadi tak adil bagiku? Apa salahku? Kenapa Mutia bisa hamil? Kalau Mutia hamil, berarti Mas Randy tidak mandul, sementara hasil pemeriksaan dari dokter, aku pun juga subur. Lalu salahnya apa? Kenapa selama lima tahun menikah kami nggak diberi keturunan?" ratapnya pilu. Sania masuk ke dalam kamar dan merebahkan dirinya di kasur. Wanita muda itu berguling-guling di kasur sembari memeluk boneka panda miliknya. Boneka yang sengaja ia beli sebagai pengganti kehadiran Randy, karena Randy selalu saja mengutamakan Mutia ketimbang dirinya.Sebulan sudah b
Bab 32Benar, Randy memang memeluknya sepanjang malam, tapi besok pagi dia harus mendapat omelan dari Mutia. Janjinya tanggung jawab, tapi ternyata Randy tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk membela dirinya.Sania benar-benar geram. Dia memutuskan untuk tidak membuat sarapan pagi ini. Biarkan saja seisi rumah kelaparan. Dia langsung mandi dan bersiap untuk menuju rumah kontrakannya, karena tentu masih ada pekerjaan yang harus ia selesaikan."Biar aku sarapan di rumah kontrakan saja bersama dengan Aya dan Lia," gumam Sania setelah ia mengunci kamar dan melangkah keluar."Mau ke mana kamu pagi-pagi begini?" tegur mama Asih. Wanita itu tengah duduk menghadap meja makan yang kosong."Aku mau pergi, Ma. Mama bikin sarapan sendiri ya," ujar Sania ringan seolah tanpa beban dan terus melangkah melewati ruang makan menuju ruang tamu."Bikin sarapan dulu, Sania. Jangan main pergi aja! Urus dulu suamimu!" teriak mama Asih yang kaget dengan respon Sania yang membangkang perintahnya. Wanita it
Bab 31Makan malam kali ini sangat tenang, tanpa drama seperti biasanya. Malam ini Mutia tidak protes, meski hanya ada ikan gurame goreng, sayur labu kuning dan tempe goreng Mereka nampak makan sangat lahap, meskipun hanya ada Sania, Randy, Mutia dan mama Asih. Malam ini Raka kembali absen. Pria itu memang datang dan pergi sesukanya. Akhir-akhir ini dia lebih sering menginap di apartemen ketimbang di rumah. Terkadang Sania berpikir, Raka tersinggung lantaran kini ia tidak lagi bergantung kepada Raka.Sania sudah memiliki penghasilan sendiri yang cukup lumayan, keuntungan dari rumah cateringnya. Rekening pribadinya kini mulai terisi dan terus menggendut saldonya."Sania," panggil Randy ketika Sania baru saja selesai mengemas meja makan."Akhir-akhir ini kamu selalu pulang sore, bahkan hampir malam. Sebenarnya kamu sibuk apa sih di luar sana?""Itu bukan urusanmu, Mas," sahut Sania datar tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya."Tapi Mas harus tahu, karena kesibukan kamu itu membuat ru
Bab 30Glek.Ucapan Sania langsung menohok. Dia memang tidak perlu berbasa-basi, mengatakan apa adanya. Bukankah seharusnya setiap tetes keringat yang sudah dikeluarkannya harus ada imbalannya? Bukan sekedar materi, tapi setidaknya mereka bisa memperlakukannya lebih manusiawi, bukan dianggap sebagai robot pekerja rumah tangga. Jujur dia sudah muak dengan semua ini. Tapi saat yang ia nantikan itu belum tiba. Dia hanya ingin bermain cantik.Mungkin beberapa bulan lagi dan itu tidak lama. Saatnya akan segera tiba."Sudah berani itung-itungan kamu ya?" Wanita paruh baya itu mendengus kasar."Mama aja itung-itungan denganku. Masa aku nggak boleh itung-itungan dengan Mama?" cetus Sania."Memangnya Mama pernah memberi uang lebih setiap kali menyuruhku ke pasar untuk berbelanja keperluan rumah? Padahal Mama sendiri tahu jika aku hampir nggak pernah dikasih uang jajan sama Mas Randy," sambungnya lagi."Sudah berani protes kamu ya? Sudah nggak betah lagi jadi istri anakku?!" Ancaman itu melunc
Bab 29"Shilla itu bukan anak kandung Azka. Azka belum menikah," beritahu Bu Rina seolah paham kegelisahan Sania."Maksudnya? Saya tidak mengerti." Otaknya langsung mencerna ucapan ibu Rina."Azka menemukan Shilla berada di dalam kardus tepat di depan pintu rumahnya. Kondisinya waktu itu sangat mengenaskan. Dia menangis lantaran kehausan dan kelaparan, dengan tali pusat yang belum terpotong. Azka memutuskan membawa Shilla ke rumah sakit, kemudian memilih mengadopsinya."Mulia sekali," komentar Sania seraya menatap kagum pria yang sejak tadi tetap saja memasang wajah datar.Tapi kenapa orang tua bayi itu malah meletakkan bayinya di depan rumah Azka? Pertanyaan itu hanya bisa Sania simpan dalam hati, karena ia tidak mau mencampuri urusan keluarga bu Rina. Sania membayangkan seperti novel-novel, jika bayi itu sebenarnya adalah anak kandung Azka dari seorang wanita yang tidak sengaja digaulinya. Namun Sania menepis pikiran itu. Dia melihat sosok yang meski selalu memasang wajah dingin d
Bab 28"Sania," panggil Raka setelah ia kembali menutup pintu kamar dan menguncinya. Raka tidak ingin jika ada orang yang memergoki dirinya ada di kamar ini. Untuk saat ini, terlalu berbahaya jika ada orang di rumah ini yang mengendus kedekatannya dengan Sania. Raka tidak ingin menambah penderitaan wanita itu.Mata yang tengah terpejam itu kembali terbuka. Pria itu tersenyum dan melangkah mendekat, meski dadanya bergetar hebat. Tubuh itu hanya di tutupi oleh selimut yang pasti di dalamnya Sania tidak mengenakan apapun. Raka menarik nafas, menekan keinginannya sebagai lelaki yang ingin menerkam Sania saat itu juga.Dia pria normal. Mendapati pemandangan seperti itu, rasanya akan sulit melewatkan begitu saja."Apakah rasanya sakit?" tanya Raka dengan lembut. Dia menempelkan telapak tangannya di dahi Sania. Dahi itu terasa agak panas. Ditatapnya wajah cantik itu dalam-dalam. Wajah cantik, tapi sedikit pucat."Dia memaksaku, tapi akhirnya aku menikmati juga." Bibirnya bergetar hebat.Nye
Bab 27"Please Mas, jangan mempersulitku seperti ini. Aku tidak mau lagi berurusan dengan Mutia. Kamu sudah tahu resikonya, kan, jika kamu tetap berada di kamar ini?" ucap Sania dengan suaranya yang teramat lirih bernada membujuk.Dia sudah teramat lelah bertengkar dengan Mutia. Setiap kali Randy bermalam di kamarnya, pasti sepupu sekaligus adik madunya itu akan mengomel panjang pendek. Dan yang lebih mengesalkan, ibu mertuanya malah lebih membela Mutia.Sania tak mau rebutan giliran, hal yang akan membuat Randy besar kepala. Dia akan tetap jual mahal sembari menunggu saat itu tiba."Aku tidak peduli. Yang aku mau sekarang adalah kamu." Randy mengeratkan pelukannya, dia bahkan mencium secara brutal. Sania berontak. Dia tidak sudi disentuh oleh pria itu, meski ia sepenuhnya sadar jika Randy itu suaminya.Salah satu pengalaman terburuknya saat disentuh oleh Randy adalah mendapati dirinya dimaki-maki dan ditendang oleh Mutia lantaran dianggap sebagai perebut jadwal gilirannya, padahal Mu
Bab 26Semua hidangan sudah tertata meja makan dan orang-orang penghuni rumah ini pun sudah berkumpul. Sania menarik kursi dan duduk menghadap kepada tiga orang itu. Mama Asih, Randy dan Mutia. Nuri berada di rumahnya, sementara Raka sudah beberapa hari tidak muncul di rumah ini. Mungkin dia menginap di apartemen.Mungkin bagi wanita lain akan merasa tidak nyaman jika harus makan bersama dengan suami serta adik madunya, tetapi tidak bagi Sania. Cintanya kepada Randy terkikis. Pengkhianatan Randy sudah membuat cintanya kepada pria itu pelan-pelan mulai terkikis.Sania mengambil nasi dan lauk pauknya. Dia makan dengan begitu tenang tanpa bicara sepatah kata pun. Dia pun bahkan membiarkan Mutia yang lagi-lagi merajuk karena ingin memakan sesuatu yang tidak ada di atas meja makan.Sania sudah memutuskan tidak mau melayani apapun keinginan Mutia. Bukan urusannya. Seharusnya Randy lebih bisa mengendalikan keinginan istri keduanya yang manja itu."Sebaiknya kamu dan Randy bercerai saja, lagi
Bab 25Sania menanggapinya dengan sebuah senyuman. Dia sangat bersyukur bisa bertemu dengan perempuan baik yang mau menghargai hasil karyanya. Andai saja ibu mertuanya sebaik ibu Laila, alangkah bahagianya dirinya.Perempuan setengah tua itu mengambil piranti makan, lalu mengeluarkan isi rantang. Ada telur balado, oseng kangkung, dan tempe mendoan. "Wah kebetulan Ibu memang suka tempe mendoan. Terima kasih ya Sania." Bu Laila langsung mencomot sepotong, lalu memasukkan ke mulutnya. Tangannya yang sebelah lagi melambai kepada seorang perempuan seumurannya yang tampak duduk santai di sofa."Sini, Bu Rina. Kita makan dulu. Mampung Sania bawa makanan." ajak bu Laila."Wah kelihatannya enak sekali," komentar bu Rina saat perempuan itu berhasil mendekat dan melihat isi meja makan.Ketiga perempuan itu duduk saling menghadap meja makan. Mereka mulai menikmati hidangan makan siang. Sania menghela nafas, merasa senang lantaran kedua perempuan paruh baya itu makan begitu lahap."Enak banget.
Bab 24"Ibu Sania...."Dokter Fahmi Ardiansyah, SpOG, pria berusia 32 tahun itu tampak antusias menatap Sania. Sebelumnya Sania memang pernah bolak-balik ke rumah sakit tempatnya bekerja untuk memeriksakan kesuburannya sebagai seorang wanita. Dia pun sudah beberapa kali meminta Sania untuk mengajak sang suami, karena mendapati hasil pemeriksaan yang menyebutkan jika Sania adalah wanita yang subur. Tak ada masalah di dalam rahimnya.Namun suami Sania tidak pernah datang, selalu saja Sania datang sendirian ke rumah sakit itu. Hal ini yang membuatnya sedikit curiga, ada masalah yang mengganjal di dalam rumah tangga pasiennya ini.Atau jangan-jangan suami Sania itu sudah tahu jika dirinya yang mandul, tapi tidak mau ketahuan istrinya?Kemungkinan itu bisa saja terjadi, karena dia sudah seringkali menangani pasien yang hanya salah satu yang datang untuk berobat, tetapi pasangannya tidak pernah mau ikut.Namun sebagai seorang yang profesional di bidangnya, tentunya dokter Fahmi hanya bisa