TING!
__BCX Mobile :
Dana masuk melalui layanan BI-Fast sebesar Rp. 20,000,000.00
Naina hanya diam melamun.
Tak ada binar dimatanya, hanya ada tatapan kosong yang tak tersentuh disana.
Tak berselang lama, ponselnya berbunyi nyaring. Dengan tenang dia mengangkat ponselnya.
“Halo.” Jawaban Naina terdengar lemah.
“Kau sudah menerima uangnya kan? sekarang datang ke rumah sakit, Evelyn butuh donor darah lagi.”
Suara dingin penuh perintah mutlak itu membuat Naina muak, dengan memejamkan matanya dia menjawab.
“Lagi?” Kata Naina dengan pelan.
“Ya, dia sangat butuh karena kondisinya memburuk lagi.”
Naina terdiam sebentar, sudah berapa kali dia mendonorkan darah untuk kekasih masa kecil suaminya itu dalam satu bulan ini?
Karena tak ingin berdebat, dia hanya menjawab, “Oke, tapi setelah itu aku ingin menemui ayah.”
“Terserah. Tapi hanya tiga puluh menit, kata dokter jika kita ingin punya anak kau harus sehat dan banyak istirahat. Kita sudah dua tahun menikah, tapi kau selalu keguguran.” Suara dingin dan menusuk itu tak dihiraukan oleh Naina, dia hanya diam hingga Jake mengakhiri panggilannya.
Dengan pelan dia bangkit dari ranjang, memoles wajahnya sedikit dengan sentuhan make up tipis agar tak terlihat pucat.
Dua tahun ternyata berlalu sangat lama baginya. Dua tahun yang menguras isi hati dan pikirannya. Sudah banyak air mata yang jatuh selama itu? Naina sampai tak bisa menghitung, tubuh di depan cermin itu begitu mengerikan. Sangat kurus dan pucat.
Jake adalah suaminya, tapi dia lebih mementingkan kekasih masa kecilnya. Apapun itu dia selalu menjadi yang kedua setelah wanita itu.
Tak cukup hanya berkorban itu saja, dia juga dipaksa untuk mendonorkan darah setiap waktu jika wanita itu membutuhkan darah. Padahal darah yang mereka miliki tidaklah langka, tapi kenapa suaminya lebih memilih mengorbankan kesehatan istrinya hanya untuk wanita itu?
Bahkan dengan kejamnya suaminya, menjebaknya dan mendonorkan hatinya dengan paksa demi menyelamatkan kekasihnya, padahal saat itu dia tengah hamil muda.
Dia masih merasa sakit hati dengan keputusan Jake, dia menelan semua pil pahit itu sendirian.
Dan sekarang, dia masih menyalahkannya karena keguguran?
Air mata Naina langsung jatuh, tapi buru-buru dia menghapusnya.
“Ini demi ayah, Naina. Ayah butuh pengobatan.” Gumam Naina menguatkan diri ketika merasa dunia tak adil baginya.
Dengan segera dia mengambil tasnya dan pergi dengan mobilnya sendiri.
Naina mengemudikan mobilnya dengan tangan yang bergetar. Matanya fokus pada jalan, meskipun pikirannya melayang ke arah kenangan-kenangan pahit yang tak pernah bisa ia singkirkan. Setiap deru mesin terasa seperti detak waktu yang menuntunnya pada takdir yang tak ia pilih.
Saat tiba di rumah sakit, aroma khas desinfektan langsung menusuk hidungnya. Langkah kakinya berat, seakan tubuhnya enggan bergerak. Dia melirik layar ponselnya sekali lagi. Pesan terakhir dari Jake tertera dengan jelas: "Jangan lama-lama." Pesan yang dingin dan tanpa emosi.
"Nyonya Naina," seorang perawat menyapanya lembut ketika ia tiba di ruang donor. Wanita itu tampak sudah mengenal Naina, mungkin karena frekuensinya datang ke rumah sakit terlalu sering. "Kami sudah menyiapkan semuanya. Anda bisa langsung ke ruangan."
Naina hanya mengangguk, tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Dalam diam, ia mengikuti langkah perawat menuju ruangan tempat ia akan kembali menyerahkan tubuhnya demi seseorang yang tak pernah peduli pada keberadaannya. Tubuhnya berbaring di tempat tidur donor, dan pandangan matanya menatap langit-langit putih di atasnya.
"Ini tidak akan lama," ujar perawat itu dengan suara lembut. Jarum pun menusuk kulitnya, mengalirkan darahnya yang berharga untuk Evelyn. Wanita yang menjadi poros dari segala penderitaan ini.
****
Proses donor darah selesai, tapi rasa lelah dalam tubuhnya tak hilang. Bahkan, semakin berat.
Ketika dia meninggalkan ruangan, Jake sudah menunggu di lorong rumah sakit. Tangannya bersilang, ekspresinya dingin seperti biasanya. "Ayo," ucapnya singkat.
Naina menatapnya sejenak. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi seperti biasa, semua kata-kata itu hanya tertahan di ujung lidahnya. Dia menunduk dan berjalan ke arahnya, mengikuti langkah suaminya yang tak pernah benar-benar menjadi miliknya.
Saat langkah Jake berhenti, Naina otomatis berhenti.
Jake berbalik dan menatap Naina dengan tajam.
“Kau datang terlalu lama, bagaimana jika Evelyn tak bisa bertahan?” Kata pria itu dengan dingin. Seolah tak peduli keadaan Naina yang jauh lebih membutuhkan perawatan dibandingkan Evelyn.
Naina hanya bisa menunduk, “Maaf, badanku lemas jadi aku menyetir dengan hati-hati dijalan.” Katanya dengan pelan.
“Kau selalu saja berpura-pura lemah! Mulai besok aku akan memberimu supir, jadi tak ada alasan buat terlambat!” Kata Jake lagi lalu pergi begitu saja meninggalkan Naina.
Naina hanya mendesah lelah, kemudian duduk di kursi besi yang ada di rumah sakit. Rasa pusingnya semakin kuat, tapi siapa yang peduli?
“Supir katanya?” Gumamnya dengan sarkas.
Sejak awal menikah seharusnya fasilitas menjadi nyonya rumah seperti halnya supir sudah harus diberikan oleh Jake, tapi nyatanya semua fasilitas itu diberikan pada Evelyn.
Naina tertawa pelan mengingat itu, “Dia memberikanku supir karena tak ingin aku terlambat mendonorkan darah. Apa kau benar-benar kejam seperti ini, Jake?” Gumamnya sambil menatap lantai dingin rumah sakit itu.
Dengan perlahan dia berjalan pelan menuju ke ruang tempat ayahnya di rawat. Sudah tiga tahun ayahnya sakit parah, terlebih ayahnya mengidap kanker otak dimana sulit untuk disembuhkan, obat hanya untuk menghentikan pertumbuhannya saja.
Maka dari itu biaya perawatan ayahnya sangat besar dan dia bukan dari kalangan orang berada. Selama ini Jake yang berjasa karena mau membantu membiayai rumah sakit ayahnya meskipun sangat besar.
Setidaknya itulah yang membuat Naina masih begitu mencintai Jake walaupun Jake terkadang sangat kejam padanya, karena Jake rela berkorban untuknya dan ayahnya.
“Aku harus kuat, anggap ini adalah balasan untuk kebaikan Jake selama ini. Kau harus bertahan Naina, dia hanya kekasih sedangkan kau adalah istrinya” Itu adalah kata penguat Naina setiap hari jika merasa kehidupan ini tidak adil.
Naina melangkah perlahan menuju kamar ayahnya. Meski tubuhnya terasa semakin lemah, ia tetap tersenyum saat membuka pintu kamar itu.
“Ayah...” panggilnya lembut.
Di atas ranjang rumah sakit, pria tua yang terlihat semakin rapuh menoleh perlahan. Matanya yang redup menyala sejenak saat melihat Naina. “Kamu sudah datang, Nak.”
Naina mendekat, duduk di samping tempat tidur ayahnya, lalu menggenggam tangan yang sudah lemah itu. “Bagaimana hari ini? Apa ayah merasa lebih baik?” tanyanya sambil mencoba menyembunyikan rasa letihnya.
Ayahnya hanya tersenyum tipis. “Seperti biasanya. Tidak banyak berubah, tapi aku masih bisa melihat wajahmu, dan itu sudah cukup untukku.”
Mendengar itu, dada Naina terasa sesak. Ia tahu waktu ayahnya tidak banyak, tapi ia ingin terus percaya bahwa masih ada harapan, bahwa setiap detik yang ia korbankan tidak sia-sia.
“Kamu terlihat lelah, Nak. Apa Jake baik padamu?” tanya ayahnya tiba-tiba.
Naina terdiam, pertanyaan itu selalu menjadi momok baginya. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya, mengungkap semua rasa sakit yang ia pendam, tapi ia tahu itu hanya akan membuat ayahnya merasa bersalah. Jadi, ia hanya mengangguk dan tersenyum kecil.
“Dia sangat baik, Ayah. Dia bahkan memberiku supir agar aku tidak terlalu lelah.”
Ayahnya tersenyum lega. “Syukurlah. Jake pria yang bertanggung jawab. Aku selalu percaya dia akan menjaga kamu.”
Kata-kata itu menghantam Naina seperti palu. Bertanggung jawab? Menjaga? Dua kata itu terasa begitu jauh dari kenyataan hidupnya. Tapi ia tetap diam, menggenggam tangan ayahnya lebih erat, seolah mencoba menyerap kekuatan dari pria yang telah mengorbankan segalanya untuk membesarkannya.
“Jangan menyusahkan Jake ya, Nak. Jadilah istri yang patuh, jika ayah sudah tidak ada hanya Jake, suamimu, yang akan menjagamu.”
Kata-kata itu berhasil membuat Naina menangis, dia segera mencium tangan ayahnya sambil menahan isak.
‘Ayah, andai kau tahu yang sebenarnya, apakah kau akan mengatakan hal seperti itu?’ Batinnya yang tak bisa dia ungkapkan.
“Kau pulang terlambat lagi!”Sentakan dengan suara keras itu membuat Naina yang baru masuk ke dalam rumah langsung kaget.Dia tak tahu kenapa Jake akhir-akhir ini menjadi sangat pemarah, tapi dia hanya diam.“Kau mau makan? Tadi aku beli makanan dulu karena Bibi sedang pulang kampung.” Kata Naina dengan lembut.Namun kantong berisi makanan itu langsung dibuang oleh Jake, “Evelyn akan makan malam disini! Kau ingin meracuninya dengan junkfood itu!”Naina terdiam, menyaksikan kantong makanan itu jatuh ke lantai dengan bunyi yang memekakkan telinga di tengah keheningan. Hatinya seketika teriris, bukan hanya karena perlakuan kasar Jake, tetapi juga karena kenyataan bahwa suaminya lebih peduli pada Evelyn dibanding dirinya.“Maaf, aku tidak tahu,” jawab Naina lirih, sambil berjongkok untuk memungut kantong makanan yang berserakan. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia mencoba tetap tenang.Jake hanya mendengus kesal. “Aku sudah bilang padamu, Evelyn sedang dalam masa pemulihan. Dia butuh perha
BYUR!!!Air dingin langsung tersiram di wajah Naina yang tengah tertidur nyenyak, matanya langsung terbuka dan mulutnya terengah-engah karena terkejut.Disana, Naina melihat Jake dan juga Evelyn yang sedang menangis di belakang pria itu.Naina menatap bingung, terlebih melihat Jake terlihat sangat murka terhadapnya.“Beraninya kau mengatai Evelyn mandul!” Kata Jake dengan keras.Tak cukup hanya itu, bahkan Naina di tampar keras oleh suaminya itu hingga membuat sudut bibirnya berdarah.Naina langsung menggeleng, “A-aku tak pernah mengatakan itu, aku juga jarang berinteraksi dengan Evelyn. Bagaimana bisa aku sempat mengatakan hal itu?” Kata Naina membela diri.Jake menatap Naina dengan mata menyala penuh kemarahan, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Evelyn, yang berdiri di belakang Jake, terisak dengan sempurna, memainkan perannya sebagai korban. "Jangan berbohong, Naina!" Jake berteriak, nadanya tajam seperti belati. "Evelyn mendengar itu langsung dari salah satu
“Kau sudah sadar?” Suara dingin itu langsung membuat Naina langsung membuka matanya.Dia melihat sekeliling, ternyata dia berada di rumah sakit dan di depannya sudah ada Jake dengan wajah dingin.“Kau ceroboh sekali, bagaimana kau bisa pingsan. Untung ada yang membawamu ke rumah sakit.” Kata Jake dengan ketus.Naina masih memproses apa yang terjadi, ingatan terakhirnya adalah dia ditolong oleh seorang pria. Apakah dia yang membawanya ke rumah sakit?“Naina!” Sentak Jake yang membuat Naina terkejut dan menatap ke arah suaminya.“Maaf.” Kata Naina dengan pelan.Jake menghela nafasnya, “Kata dokter kau kekurangan hemoglobin dan kekurangan gizi. Sebenarnya apa yang kau lakukan sampai kau seperti ini. Kau membuatku malu karena seperti suami yang tak merawatmu.” Kata Jake dengan ketus.Naina hanya diam, bahkan sampai akhir Jake tak mengakui jika keadaannya yang seperti ini adalah ulahnya sendiri.“Kenapa kita tidak cerai saja?” Kata Naina dengan pelan.Jake langsung mencengkram dagu Naina sa
“Evelyn akan tinggal dirumah ini mulai sekarang. Aku akan mempersiapkan kamar utama untuknya.” Kata Jake begitu mereka sampai rumah setelah Naina pulang dari rumah sakit.Naina mengangguk tak banyak komentar, percuma dia menolak karena itu akan membuatnya semakin sakit hati.“Aku akan pergi ke kamar.” Kata Naina dengan tenang lalu naik ke lantai dua.Jake menatap punggung kecil Naina, tatapannya begitu dalam hingga akhirnya teralihkan saat Evelyn memeluk lengannya.“Hari ini aku ingin makan es krim, bagaimana jika kita keluar dan ke kedai es krim?” Kata wanita itu dengan manis.Jake langsung tersenyum, “Oke. Kita ajak Naina juga.”Evelyn langsung berubah cemberut, “Aku hanya ingin berdua denganmu, bukankah dia baru kembali dari rumah sakit?”Jake terdiam sesaat, menatap Evelyn yang kini merajuk seperti anak kecil. Senyuman tipis kembali terukir di wajahnya, tapi pandangannya menyiratkan keraguan yang sekilas.“Baiklah,” kata Jake akhirnya, suaranya pelan namun tegas. “Kita pergi berdu
Hujan mengguyur kota.Pakaian basah kuyup dan juga mata sembab itu membuat Naina tampak begitu menyedihkan.Suara gelak tawa di dalam mansion membuat sakit Naina semakin dalam, dengan cepat dia membuka pintu itu dengan kasar.Suara yang begitu keras membuat tawa dua insan yang tengah duduk bersama di ruang keluarga itu berhenti.“NAINA! Apa kau tak punya sopan santun!!” Teriak Jake, jelas pria itu marah.Naina tak peduli, dia berjalan cepat menuju ke arah mereka berdua.Tatapannya seolah ingin membunuh mereka.Jake yang menyadari keanehan istrinya langsung berdiri, lalu mendorong tubuh itu sedikit menjauh. “Kau basah seperti ini malah mendekat ke sini. Tidak lihat karpet mahalku jadi kotor!”Naina masih diam, bibirnya terkatup seolah menahan semuanya agar tak keluar.Evelyn langsung memegang tangan Jake, lalu memasang wajah lemah. “Jake, aku sepertinya pusing. Apa kau bisa mengantarkanku ke kamar?”Jake langsung mengangguk, lalu menggendong Evelyn menuju ke kamarnya sambil menyenggol t
Canggung.Itu yang dirasakan oleh Naina sekarang.Ruangan mewah yang bertuliskan president suite itu membuatnya gelisah. Dia tak menyangka Marven akan membawanya ke ruangan yang terlihat untuk tamu penting itu.“Kenapa diam disitu?” Tanya Marven saat melihat Naina seolah tak berani masuk.“S-saya rasa ruangan ini terlalu mewah, saya takut mengotorinya.” Jawab Naina dengan jujur.Marven menaikkan alisnya, lalu duduk dengan tenang sambil menatap Naina dengan serius.“Duduk.” Titahnya penuh otoritas.Naina terkejut, tapi tatapan tajam Marven membuat Naina ketakutan dan buru-buru duduk di sofa empuk itu.“Jadi…” Ucapan Marven menggantung.Naina segera angkat bicara, “Selamat siang tuan Marven, saya Naina Rosely. Mungkin anda masih mengingat wanita yang anda tolong beberapa hari yang lalu. Anda meninggalkan kartu nama anda pada saya, jadi saya berpikir untuk berterima kasih secara langsung dan meminta bantuan anda.” Kata Naina segera.Marven mengamati Naina, lama hening akhirnya pria itu be
“Terima kasih, pak.” Kata Naina sopan, saat dia sudah diantar sampai di rumahnya.“Rumah anda bagus ya Nona,” Kata supir Marven pada Naina yang melihat rumahnya dan Jake dari dalam mobil.“Ah– itu rumah suami saya.” Kata Naina dengan sopan.“Oh anda sudah menikah? Maafkan saya, saya kira anda masih lajang hingga saya panggil Nona.”Naina mengangguk dan hanya tersenyum formal lalu keluar dari mobil itu untuk menghindari pertanyaannya selanjutnya.Begitu mobil itu menjauh, Naina langsung berbalik dan tubuhnya langsung menegang saat melihat Jake tengah berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.“Mobil siapa yang mengantarmu tadi?” Tanya Jake seolah menyelidik.Naina berusaha tetap tenang, “Itu mobil orang baik, tadi bertemu di rumah sakit.” Katanya pelan.“Ck, kau buang-buang waktu saja ke rumah sakit. Ayahmu juga tak bisa sembuh jika kau terus jenguk, lebih baik kau rawat Evelyn. Dia butuh gizi baik untuk pemulihannya!”Naina menatap ke arah Jake, tatapan yang dalam suli
Ruang kerja itu didominasi oleh warna hitam, dengan sentuhan emas di beberapa sudut yang memberikan kesan mewah, meski tetap terasa suram.Seorang pria duduk di kursi kerjanya, wajahnya memperlihatkan ekspresi tak sabar. Tangannya mengetuk meja kayu berukir dengan ritme pelan, menciptakan ketegangan di udara."Katakan," ucapnya dengan suara rendah namun penuh otoritas, memecah kesunyian yang menggantung di ruangan itu.“Sesuai perintah. Saya telah menyelidiki rumah tangga Naina Rosely, tuan. Memang, disana terlihat tidak harmonis dan juga ada wanita lain yang tinggal disana. Sepertinya, suami dari Naina Rosely berselingkuh secara terang-terangan di depan istrinya sendiri. Selain itu juga, Naina Rosely juga sering mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. Itu saja laporan singkat yang bisa saya sampaikan, dokumentasi dan keterangan lengkap sudah saya kirim melalui email.” Kata pria itu dengan sopan.Marven, pria itu tampak mengerutkan dahinya. “Berapa lama?”“Mungkin sejak tahun kedua
“Aku ada perjalanan dinas selama tiga hari.” Kata Naina sambil meletakkan kopi pagi di depan Jake. Hal itu membuat Jake yang sedang bekerja di depan laptopnya langsung mengalihkan perhatiannya, “Aku rasa kau baru saja bekerja, kenapa sudah diajak perjalanan dinas?” Tanyanya dengan curiga.Naina masih bersikap tenang, seolah dia tak membohongi Jake. “Ada karyawan lama yang sedang cuti melahirkan, jadi atasan menyuruhku untuk ikut sambil belajar.” Jake yang mendengar itu ragu, “Oke, hanya tiga hari kan?” Tanya Jake dengan santai.Naina yang mendengar itu langsung mengangguk, dia sedikit bersemangat kala melihat Jake tak mempersulitnya.Jake menyesap kopi yang disajikan Naina sambil tetap menatapnya penuh selidik. "Kau pergi dengan siapa saja?" tanyanya lagi.Naina tersenyum tipis. "Dengan tim kantor, tentu saja," jawabnya ringan, menghindari menyebut nama Marven secara langsung.Jake mengangguk, seolah menerima jawaban itu. Namun, sorot matanya tetap tajam, seakan ingin mencari celah
BRAK!!Suara pintu yang terbanting membuat Naina sedikit tersentak, setelah mereka kembali ke apartemen amarah Jake masih belum mereda.Naina menghela nafasnya kemudian masuk ke dalam kamar, lalu mulai melepaskan semua perhiasan yang dia pakai.Dan pada saat itu juga Jake ikut masuk ke dalam kamar, namun hal yang tak Naina duga, pria itu langsung mencekiknya.Naina terkejut, tangannya secara refleks mencengkram pergelangan tangan Jake, mencoba melepaskan cekikannya. Matanya membelalak, dada terasa sesak, sementara napasnya mulai tersengal. "Ka—kau gila...!" desisnya dengan suara tercekik, berusaha keras untuk melepaskan diri. Mata Jake merah penuh amarah. "Kau mempermalukanku, Naina! Di depan semua orang! Kau menamparku demi pria lain!" suaranya dipenuhi kebencian, cengkeramannya semakin erat. Naina mulai kehilangan tenaga. Kepalanya terasa pusing, pandangannya mulai buram. Jika ini terus berlanjut, dia bisa kehabisan napas. Namun, di saat kesadarannya hampir hilang, tiba-tiba
“Selamat datang tuan Marven Tuner!”Semua orang membungkuk dengan hormat kecuali Jake yang terpaku pada sosok yang berjalan dengan langkah tegas memasuki ballroom.Tuan Dasman yang melihat itu buru-buru menarik tangan Jake untuk segera membungkuk, Jake yang masih linglung langsung membungkuk namun tatapannya masih tetap berada pada pria itu.“Marven Tuner?” Gumamnya bingung.Bukankah pria itu….Jake langsung menatap ke arah Naina yang ikut membungkuk disana, namun raut wajah istrinya itu tampak biasa seolah sudah mengetahui hal ini.Jake masih tidak ingin menerima hal ini, apa mungkin dia palsu? Tidak mungkin pria sepertinya adalah Marven Tuner yang merupakan elite di ibukota.Jake merasa dadanya sesak. Matanya terus menatap ke arah Marven, mencari-cari sesuatu yang bisa membuktikan bahwa ini semua hanya kesalahpahaman. Namun, semakin lama dia memperhatikan, semakin jelas baginya bahwa pria yang berdiri dengan penuh wibawa di tengah ballroom itu memang benar Marven Tuner—tokoh berpeng
“Sudah siap?” Tanya Jake dengan lembut kala menghampiri Naina di kamarnya yang tengah bersiap.Naina yang selesai berdandan langsung berbalik, “sebentar aku ingin memakai anting.” Katanya dengan tenang.Jake mengangguk kemudian menunggu di ruang tamu.Naina yang melihat Jake keluar langsung mengeluarkan anting berlian yang diberikan oleh Marven kemarin.“Sangat indah, cocok dengan gaun ini.” Gumam Naina dan memutuskan untuk mengenakan anting itu hari ini.Begitu Naina keluar dari kamar, langkahnya anggun dengan gaun yang membalut tubuhnya sempurna. Setiap detail dari penampilannya terlihat memukau, membuat siapapun yang melihatnya terpikat, termasuk Jake. Jake yang tengah menyesap minuman di ruang tamu refleks berhenti. Matanya membesar sedikit, terpesona oleh sosok istrinya yang begitu memesona malam itu. Gaun itu memang indah, tapi yang lebih mencuri perhatiannya adalah aura percaya diri yang terpancar dari Naina. Ditambah dengan kilauan anting berlian di telinganya, wanita itu ta
“Kamu ingin pulang, Naina?” Suara Marven mengejutkan Naina yang tengah merapikan barang-barangnya. “Eh, benar, Tuan. Apakah Anda ada perlu dengan saya?” tanyanya sopan. Marven menggeleng. “Kita searah, ayo saya antar pulang,” katanya dengan tenang. Namun, Naina tersenyum sopan dan menolak. “Saya tidak langsung pergi ke apartemen, Tuan, tapi ke butik. Suami saya meminta saya untuk ke sana hari ini,” ujarnya halus. “Butik?” Marven mengernyit. Naina mengangguk. “Katanya besok ada acara penting, jadi saya harus ikut.” Mendengar itu, Marven langsung menyadari acara penting yang dimaksud Naina. Sudah pasti itu adalah makan malam pebisnis ibu kota yang akan diadakan besok. “Baiklah kalau begitu,” katanya dengan senyum ramah, tak memaksa Naina untuk pulang bersamanya. Naina mengangguk, tersenyum sopan, lalu meminta izin pergi. Marven hanya bisa menatap punggung kecil itu dengan tatapan dalam, seolah memikirkan sesuatu. Sesampainya di butik, Naina tampak menghela nafas kala
“Kopi anda, tuan.” Kata Naina sambil menyajikan kopi hitam untuk Marven.“Hm.” Jawab Marven sambil mengangguk kemudian fokus pada pekerjaannya.Naina hanya diam berdiri disana sambil menunggu instruksi selanjutnya, meskipun dia bingung kenapa tuannya kembali begitu cepat saat pekerjaannya menumpuk.“Nyonya Naina, boleh saya minta kopi juga?” Tanya Ben yang sebelumnya tidak ada di ruangan itu, namun saat Naina kembali ternyata Ben sudah duduk disana.Naina langsung mengangguk, “Baik.”Namun Marven langsung menatap Ben dengan tajam, “Kamu punya kaki untuk membuatnya sendiri.” Katanya dengan datar.Ben langsung terdiam, lalu tertawa kecil sambil mengangkat kedua tangannya. “Tuan, saya hanya bercanda. Tidak perlu menatap saya seperti ingin membunuh.” Naina menahan senyum, sedikit bingung dengan suasana ini. Biasanya, Marven selalu tenang dan serius, tapi kali ini dia terlihat lebih... protektif? Marven kembali menyesap kopinya tanpa menanggapi lebih lanjut. Namun, sesekali matanya mel
“Aku mengijinkan kau bekerja, terserah kau mau bekerja apa. Ini ijazahmu yang aku bawa.” Kata Jake dengan datar pada Naina yang tengah sibuk menata buku di rak.Tangan Naina berhenti di udara, lalu menatap ijazah sarjananya yang ada di tangan Jake.Lalu dengan wajah datar dia kembali menyusun buku yang ada di tangannya, “Kenapa tiba-tiba?” Katanya dengan datar seolah tak peduli.Jake menghela napas, meletakkan ijazah itu di meja. “Aku hanya berpikir ini yang terbaik untuk kita berdua,” katanya, berusaha terdengar tenang. Naina hanya tersenyum sinis tanpa menoleh ke arah Jake. “Terbaik untuk siapa? Untukku, atau untukmu?” Jake terdiam, tidak langsung menjawab. Naina akhirnya menatapnya, tatapannya tajam. “Kenapa? Apakah uangmu sudah habis membiayai seseorang sampai akhirnya kau sadar aku bisa menghasilkan uang sendiri?” Jake menggeram pelan. “Naina, aku memberimu kebebasan. Kenapa kau malah mencurigai niatku?” Naina tertawa kecil, tapi dingin. “Kebebasan?” Dia berjalan mende
“Bulan ini kebutuhan rumah hanya ada sepuluh juta.” Kata Jake dengan santai saat mereka makan malam bersama.Naina yang mendengar itu langsung menghentikan sendoknya di udara dan kembali menaruhnya di piring, “Apa kau tahu listrik bulanan kita berapa? biaya makan kita berapa? Bahkan mobil ibumu masih belum lunas dan harus dibayar bulan ini. Kau pikir sepuluh juta cukup?” Kata Naina.Jake menghela napas panjang, meletakkan sendoknya dengan sedikit kesal. “Naina, aku bukan mesin pencetak uang. Aku sudah berusaha sekeras mungkin, dan aku rasa sepuluh juta cukup kalau kau bisa mengatur pengeluaran dengan lebih baik.”Naina tertawa kecil, tapi tawanya penuh dengan sindiran. “Oh, jadi sekarang aku yang harus belajar mengatur keuangan, ya? Sementara kau dengan mudahnya menghamburkan uang entah ke mana? Mungkin untuk membelikan seseorang dress merah, ya?”Jake langsung menegang, ekspresinya berubah. “Naina, jangan mulai,” katanya dengan nada memperingatkan. “Ibu sudah menghabiskan uang hampir
“Terima kasih untuk hari ini,” Kata Marven dengan lembut pada Naina.Naina tersenyum tipis, “Sama-sama, tuan. Senang bisa membantu anda. Apa anda langsung kembali ke ibukota?” Tanya Naina basa-basi.Marven melihat ke arah jam di tangannya, kemudian kembali menatap Naina. “Sepertinya saya menginap di hotel saja. Besok juga tak ada rapat pagi.” Katanya dengan tenang.Naina hanya mengangguk, “Jika begitu saya akan masuk ke dalam.” Kata Naina dengan sopan.“Tunggu Naina.” Tiba-tiba Marven mencegah Naina.Naina akhirnya berhenti dan menatap Marven yang seperti mengambil sesuatu dari sakunya.Marven mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam dari sakunya. Dengan perlahan, dia membukanya, memperlihatkan sepasang anting berlian yang berkilauan di bawah cahaya lampu jalan. "Ini untukmu," kata Marven, suaranya tenang namun dalam. Naina terkejut, matanya membesar saat melihat hadiah itu. "Tuan... ini terlalu berlebihan. Saya tidak bisa menerimanya," katanya dengan ragu, menatap Marven de