TING!
__BCX Mobile :
Dana masuk melalui layanan BI-Fast sebesar Rp. 20,000,000.00
Naina hanya diam melamun.
Tak ada binar dimatanya, hanya ada tatapan kosong yang tak tersentuh disana.
Tak berselang lama, ponselnya berbunyi nyaring. Dengan tenang dia mengangkat ponselnya.
“Halo.” Jawaban Naina terdengar lemah.
“Kau sudah menerima uangnya kan? sekarang datang ke rumah sakit, Evelyn butuh donor darah lagi.”
Suara dingin penuh perintah mutlak itu membuat Naina muak, dengan memejamkan matanya dia menjawab.
“Lagi?” Kata Naina dengan pelan.
“Ya, dia sangat butuh karena kondisinya memburuk lagi.”
Naina terdiam sebentar, sudah berapa kali dia mendonorkan darah untuk kekasih masa kecil suaminya itu dalam satu bulan ini?
Karena tak ingin berdebat, dia hanya menjawab, “Oke, tapi setelah itu aku ingin menemui ayah.”
“Terserah. Tapi hanya tiga puluh menit, kata dokter jika kita ingin punya anak kau harus sehat dan banyak istirahat. Kita sudah dua tahun menikah, tapi kau selalu keguguran.” Suara dingin dan menusuk itu tak dihiraukan oleh Naina, dia hanya diam hingga Jake mengakhiri panggilannya.
Dengan pelan dia bangkit dari ranjang, memoles wajahnya sedikit dengan sentuhan make up tipis agar tak terlihat pucat.
Dua tahun ternyata berlalu sangat lama baginya. Dua tahun yang menguras isi hati dan pikirannya. Sudah banyak air mata yang jatuh selama itu? Naina sampai tak bisa menghitung, tubuh di depan cermin itu begitu mengerikan. Sangat kurus dan pucat.
Jake adalah suaminya, tapi dia lebih mementingkan kekasih masa kecilnya. Apapun itu dia selalu menjadi yang kedua setelah wanita itu.
Tak cukup hanya berkorban itu saja, dia juga dipaksa untuk mendonorkan darah setiap waktu jika wanita itu membutuhkan darah. Padahal darah yang mereka miliki tidaklah langka, tapi kenapa suaminya lebih memilih mengorbankan kesehatan istrinya hanya untuk wanita itu?
Bahkan dengan kejamnya suaminya, menjebaknya dan mendonorkan hatinya dengan paksa demi menyelamatkan kekasihnya, padahal saat itu dia tengah hamil muda.
Dia masih merasa sakit hati dengan keputusan Jake, dia menelan semua pil pahit itu sendirian.
Dan sekarang, dia masih menyalahkannya karena keguguran?
Air mata Naina langsung jatuh, tapi buru-buru dia menghapusnya.
“Ini demi ayah, Naina. Ayah butuh pengobatan.” Gumam Naina menguatkan diri ketika merasa dunia tak adil baginya.
Dengan segera dia mengambil tasnya dan pergi dengan mobilnya sendiri.
Naina mengemudikan mobilnya dengan tangan yang bergetar. Matanya fokus pada jalan, meskipun pikirannya melayang ke arah kenangan-kenangan pahit yang tak pernah bisa ia singkirkan. Setiap deru mesin terasa seperti detak waktu yang menuntunnya pada takdir yang tak ia pilih.
Saat tiba di rumah sakit, aroma khas desinfektan langsung menusuk hidungnya. Langkah kakinya berat, seakan tubuhnya enggan bergerak. Dia melirik layar ponselnya sekali lagi. Pesan terakhir dari Jake tertera dengan jelas: "Jangan lama-lama." Pesan yang dingin dan tanpa emosi.
"Nyonya Naina," seorang perawat menyapanya lembut ketika ia tiba di ruang donor. Wanita itu tampak sudah mengenal Naina, mungkin karena frekuensinya datang ke rumah sakit terlalu sering. "Kami sudah menyiapkan semuanya. Anda bisa langsung ke ruangan."
Naina hanya mengangguk, tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Dalam diam, ia mengikuti langkah perawat menuju ruangan tempat ia akan kembali menyerahkan tubuhnya demi seseorang yang tak pernah peduli pada keberadaannya. Tubuhnya berbaring di tempat tidur donor, dan pandangan matanya menatap langit-langit putih di atasnya.
"Ini tidak akan lama," ujar perawat itu dengan suara lembut. Jarum pun menusuk kulitnya, mengalirkan darahnya yang berharga untuk Evelyn. Wanita yang menjadi poros dari segala penderitaan ini.
****
Proses donor darah selesai, tapi rasa lelah dalam tubuhnya tak hilang. Bahkan, semakin berat.
Ketika dia meninggalkan ruangan, Jake sudah menunggu di lorong rumah sakit. Tangannya bersilang, ekspresinya dingin seperti biasanya. "Ayo," ucapnya singkat.
Naina menatapnya sejenak. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi seperti biasa, semua kata-kata itu hanya tertahan di ujung lidahnya. Dia menunduk dan berjalan ke arahnya, mengikuti langkah suaminya yang tak pernah benar-benar menjadi miliknya.
Saat langkah Jake berhenti, Naina otomatis berhenti.
Jake berbalik dan menatap Naina dengan tajam.
“Kau datang terlalu lama, bagaimana jika Evelyn tak bisa bertahan?” Kata pria itu dengan dingin. Seolah tak peduli keadaan Naina yang jauh lebih membutuhkan perawatan dibandingkan Evelyn.
Naina hanya bisa menunduk, “Maaf, badanku lemas jadi aku menyetir dengan hati-hati dijalan.” Katanya dengan pelan.
“Kau selalu saja berpura-pura lemah! Mulai besok aku akan memberimu supir, jadi tak ada alasan buat terlambat!” Kata Jake lagi lalu pergi begitu saja meninggalkan Naina.
Naina hanya mendesah lelah, kemudian duduk di kursi besi yang ada di rumah sakit. Rasa pusingnya semakin kuat, tapi siapa yang peduli?
“Supir katanya?” Gumamnya dengan sarkas.
Sejak awal menikah seharusnya fasilitas menjadi nyonya rumah seperti halnya supir sudah harus diberikan oleh Jake, tapi nyatanya semua fasilitas itu diberikan pada Evelyn.
Naina tertawa pelan mengingat itu, “Dia memberikanku supir karena tak ingin aku terlambat mendonorkan darah. Apa kau benar-benar kejam seperti ini, Jake?” Gumamnya sambil menatap lantai dingin rumah sakit itu.
Dengan perlahan dia berjalan pelan menuju ke ruang tempat ayahnya di rawat. Sudah tiga tahun ayahnya sakit parah, terlebih ayahnya mengidap kanker otak dimana sulit untuk disembuhkan, obat hanya untuk menghentikan pertumbuhannya saja.
Maka dari itu biaya perawatan ayahnya sangat besar dan dia bukan dari kalangan orang berada. Selama ini Jake yang berjasa karena mau membantu membiayai rumah sakit ayahnya meskipun sangat besar.
Setidaknya itulah yang membuat Naina masih begitu mencintai Jake walaupun Jake terkadang sangat kejam padanya, karena Jake rela berkorban untuknya dan ayahnya.
“Aku harus kuat, anggap ini adalah balasan untuk kebaikan Jake selama ini. Kau harus bertahan Naina, dia hanya kekasih sedangkan kau adalah istrinya” Itu adalah kata penguat Naina setiap hari jika merasa kehidupan ini tidak adil.
Naina melangkah perlahan menuju kamar ayahnya. Meski tubuhnya terasa semakin lemah, ia tetap tersenyum saat membuka pintu kamar itu.
“Ayah...” panggilnya lembut.
Di atas ranjang rumah sakit, pria tua yang terlihat semakin rapuh menoleh perlahan. Matanya yang redup menyala sejenak saat melihat Naina. “Kamu sudah datang, Nak.”
Naina mendekat, duduk di samping tempat tidur ayahnya, lalu menggenggam tangan yang sudah lemah itu. “Bagaimana hari ini? Apa ayah merasa lebih baik?” tanyanya sambil mencoba menyembunyikan rasa letihnya.
Ayahnya hanya tersenyum tipis. “Seperti biasanya. Tidak banyak berubah, tapi aku masih bisa melihat wajahmu, dan itu sudah cukup untukku.”
Mendengar itu, dada Naina terasa sesak. Ia tahu waktu ayahnya tidak banyak, tapi ia ingin terus percaya bahwa masih ada harapan, bahwa setiap detik yang ia korbankan tidak sia-sia.
“Kamu terlihat lelah, Nak. Apa Jake baik padamu?” tanya ayahnya tiba-tiba.
Naina terdiam, pertanyaan itu selalu menjadi momok baginya. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya, mengungkap semua rasa sakit yang ia pendam, tapi ia tahu itu hanya akan membuat ayahnya merasa bersalah. Jadi, ia hanya mengangguk dan tersenyum kecil.
“Dia sangat baik, Ayah. Dia bahkan memberiku supir agar aku tidak terlalu lelah.”
Ayahnya tersenyum lega. “Syukurlah. Jake pria yang bertanggung jawab. Aku selalu percaya dia akan menjaga kamu.”
Kata-kata itu menghantam Naina seperti palu. Bertanggung jawab? Menjaga? Dua kata itu terasa begitu jauh dari kenyataan hidupnya. Tapi ia tetap diam, menggenggam tangan ayahnya lebih erat, seolah mencoba menyerap kekuatan dari pria yang telah mengorbankan segalanya untuk membesarkannya.
“Jangan menyusahkan Jake ya, Nak. Jadilah istri yang patuh, jika ayah sudah tidak ada hanya Jake, suamimu, yang akan menjagamu.”
Kata-kata itu berhasil membuat Naina menangis, dia segera mencium tangan ayahnya sambil menahan isak.
‘Ayah, andai kau tahu yang sebenarnya, apakah kau akan mengatakan hal seperti itu?’ Batinnya yang tak bisa dia ungkapkan.
“Kau pulang terlambat lagi!”Sentakan dengan suara keras itu membuat Naina yang baru masuk ke dalam rumah langsung kaget.Dia tak tahu kenapa Jake akhir-akhir ini menjadi sangat pemarah, tapi dia hanya diam.“Kau mau makan? Tadi aku beli makanan dulu karena Bibi sedang pulang kampung.” Kata Naina dengan lembut.Namun kantong berisi makanan itu langsung dibuang oleh Jake, “Evelyn akan makan malam disini! Kau ingin meracuninya dengan junkfood itu!”Naina terdiam, menyaksikan kantong makanan itu jatuh ke lantai dengan bunyi yang memekakkan telinga di tengah keheningan. Hatinya seketika teriris, bukan hanya karena perlakuan kasar Jake, tetapi juga karena kenyataan bahwa suaminya lebih peduli pada Evelyn dibanding dirinya.“Maaf, aku tidak tahu,” jawab Naina lirih, sambil berjongkok untuk memungut kantong makanan yang berserakan. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia mencoba tetap tenang.Jake hanya mendengus kesal. “Aku sudah bilang padamu, Evelyn sedang dalam masa pemulihan. Dia butuh perha
BYUR!!!Air dingin langsung tersiram di wajah Naina yang tengah tertidur nyenyak, matanya langsung terbuka dan mulutnya terengah-engah karena terkejut.Disana, Naina melihat Jake dan juga Evelyn yang sedang menangis di belakang pria itu.Naina menatap bingung, terlebih melihat Jake terlihat sangat murka terhadapnya.“Beraninya kau mengatai Evelyn mandul!” Kata Jake dengan keras.Tak cukup hanya itu, bahkan Naina di tampar keras oleh suaminya itu hingga membuat sudut bibirnya berdarah.Naina langsung menggeleng, “A-aku tak pernah mengatakan itu, aku juga jarang berinteraksi dengan Evelyn. Bagaimana bisa aku sempat mengatakan hal itu?” Kata Naina membela diri.Jake menatap Naina dengan mata menyala penuh kemarahan, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Evelyn, yang berdiri di belakang Jake, terisak dengan sempurna, memainkan perannya sebagai korban. "Jangan berbohong, Naina!" Jake berteriak, nadanya tajam seperti belati. "Evelyn mendengar itu langsung dari salah satu
“Kau sudah sadar?” Suara dingin itu langsung membuat Naina langsung membuka matanya.Dia melihat sekeliling, ternyata dia berada di rumah sakit dan di depannya sudah ada Jake dengan wajah dingin.“Kau ceroboh sekali, bagaimana kau bisa pingsan. Untung ada yang membawamu ke rumah sakit.” Kata Jake dengan ketus.Naina masih memproses apa yang terjadi, ingatan terakhirnya adalah dia ditolong oleh seorang pria. Apakah dia yang membawanya ke rumah sakit?“Naina!” Sentak Jake yang membuat Naina terkejut dan menatap ke arah suaminya.“Maaf.” Kata Naina dengan pelan.Jake menghela nafasnya, “Kata dokter kau kekurangan hemoglobin dan kekurangan gizi. Sebenarnya apa yang kau lakukan sampai kau seperti ini. Kau membuatku malu karena seperti suami yang tak merawatmu.” Kata Jake dengan ketus.Naina hanya diam, bahkan sampai akhir Jake tak mengakui jika keadaannya yang seperti ini adalah ulahnya sendiri.“Kenapa kita tidak cerai saja?” Kata Naina dengan pelan.Jake langsung mencengkram dagu Naina sa
“Evelyn akan tinggal dirumah ini mulai sekarang. Aku akan mempersiapkan kamar utama untuknya.” Kata Jake begitu mereka sampai rumah setelah Naina pulang dari rumah sakit.Naina mengangguk tak banyak komentar, percuma dia menolak karena itu akan membuatnya semakin sakit hati.“Aku akan pergi ke kamar.” Kata Naina dengan tenang lalu naik ke lantai dua.Jake menatap punggung kecil Naina, tatapannya begitu dalam hingga akhirnya teralihkan saat Evelyn memeluk lengannya.“Hari ini aku ingin makan es krim, bagaimana jika kita keluar dan ke kedai es krim?” Kata wanita itu dengan manis.Jake langsung tersenyum, “Oke. Kita ajak Naina juga.”Evelyn langsung berubah cemberut, “Aku hanya ingin berdua denganmu, bukankah dia baru kembali dari rumah sakit?”Jake terdiam sesaat, menatap Evelyn yang kini merajuk seperti anak kecil. Senyuman tipis kembali terukir di wajahnya, tapi pandangannya menyiratkan keraguan yang sekilas.“Baiklah,” kata Jake akhirnya, suaranya pelan namun tegas. “Kita pergi berdu
Hujan mengguyur kota.Pakaian basah kuyup dan juga mata sembab itu membuat Naina tampak begitu menyedihkan.Suara gelak tawa di dalam mansion membuat sakit Naina semakin dalam, dengan cepat dia membuka pintu itu dengan kasar.Suara yang begitu keras membuat tawa dua insan yang tengah duduk bersama di ruang keluarga itu berhenti.“NAINA! Apa kau tak punya sopan santun!!” Teriak Jake, jelas pria itu marah.Naina tak peduli, dia berjalan cepat menuju ke arah mereka berdua.Tatapannya seolah ingin membunuh mereka.Jake yang menyadari keanehan istrinya langsung berdiri, lalu mendorong tubuh itu sedikit menjauh. “Kau basah seperti ini malah mendekat ke sini. Tidak lihat karpet mahalku jadi kotor!”Naina masih diam, bibirnya terkatup seolah menahan semuanya agar tak keluar.Evelyn langsung memegang tangan Jake, lalu memasang wajah lemah. “Jake, aku sepertinya pusing. Apa kau bisa mengantarkanku ke kamar?”Jake langsung mengangguk, lalu menggendong Evelyn menuju ke kamarnya sambil menyenggol t
Canggung.Itu yang dirasakan oleh Naina sekarang.Ruangan mewah yang bertuliskan president suite itu membuatnya gelisah. Dia tak menyangka Marven akan membawanya ke ruangan yang terlihat untuk tamu penting itu.“Kenapa diam disitu?” Tanya Marven saat melihat Naina seolah tak berani masuk.“S-saya rasa ruangan ini terlalu mewah, saya takut mengotorinya.” Jawab Naina dengan jujur.Marven menaikkan alisnya, lalu duduk dengan tenang sambil menatap Naina dengan serius.“Duduk.” Titahnya penuh otoritas.Naina terkejut, tapi tatapan tajam Marven membuat Naina ketakutan dan buru-buru duduk di sofa empuk itu.“Jadi…” Ucapan Marven menggantung.Naina segera angkat bicara, “Selamat siang tuan Marven, saya Naina Rosely. Mungkin anda masih mengingat wanita yang anda tolong beberapa hari yang lalu. Anda meninggalkan kartu nama anda pada saya, jadi saya berpikir untuk berterima kasih secara langsung dan meminta bantuan anda.” Kata Naina segera.Marven mengamati Naina, lama hening akhirnya pria itu be
“Terima kasih, pak.” Kata Naina sopan, saat dia sudah diantar sampai di rumahnya.“Rumah anda bagus ya Nona,” Kata supir Marven pada Naina yang melihat rumahnya dan Jake dari dalam mobil.“Ah– itu rumah suami saya.” Kata Naina dengan sopan.“Oh anda sudah menikah? Maafkan saya, saya kira anda masih lajang hingga saya panggil Nona.”Naina mengangguk dan hanya tersenyum formal lalu keluar dari mobil itu untuk menghindari pertanyaannya selanjutnya.Begitu mobil itu menjauh, Naina langsung berbalik dan tubuhnya langsung menegang saat melihat Jake tengah berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.“Mobil siapa yang mengantarmu tadi?” Tanya Jake seolah menyelidik.Naina berusaha tetap tenang, “Itu mobil orang baik, tadi bertemu di rumah sakit.” Katanya pelan.“Ck, kau buang-buang waktu saja ke rumah sakit. Ayahmu juga tak bisa sembuh jika kau terus jenguk, lebih baik kau rawat Evelyn. Dia butuh gizi baik untuk pemulihannya!”Naina menatap ke arah Jake, tatapan yang dalam suli
Ruang kerja itu didominasi oleh warna hitam, dengan sentuhan emas di beberapa sudut yang memberikan kesan mewah, meski tetap terasa suram.Seorang pria duduk di kursi kerjanya, wajahnya memperlihatkan ekspresi tak sabar. Tangannya mengetuk meja kayu berukir dengan ritme pelan, menciptakan ketegangan di udara."Katakan," ucapnya dengan suara rendah namun penuh otoritas, memecah kesunyian yang menggantung di ruangan itu.“Sesuai perintah. Saya telah menyelidiki rumah tangga Naina Rosely, tuan. Memang, disana terlihat tidak harmonis dan juga ada wanita lain yang tinggal disana. Sepertinya, suami dari Naina Rosely berselingkuh secara terang-terangan di depan istrinya sendiri. Selain itu juga, Naina Rosely juga sering mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. Itu saja laporan singkat yang bisa saya sampaikan, dokumentasi dan keterangan lengkap sudah saya kirim melalui email.” Kata pria itu dengan sopan.Marven, pria itu tampak mengerutkan dahinya. “Berapa lama?”“Mungkin sejak tahun kedua
“Sudah habis kek?” tanya Naina saat melihat tuan ANtony turun dari lantai dua.Pria tua itu terkekeh, “apa suamimu memang manja seperti itu?”Naina tersenyum malu, sudah dia duga pasti Marven akan membuat dirinya malu sendiri. “Tidak, hanya kadang-kadang saja. Apa dia menyusahkan kakek?” tanyanya dengan khawatir.Tuan Antony menggeleng pelan, senyum hangat masih tergantung di wajahnya. “Tidak, tidak. Dia hanya… sulit menerima kalau dirinya juga butuh dimanja sesekali. Tapi ekspresinya saat tahu aku yang menyuapi, speechless,” katanya sambil tertawa pelan.Naina ikut tertawa, membayangkan wajah kaget suaminya. “Pasti dia langsung sok cool setelahnya, ya kek?”“Awalnya iya,” jawab tuan Antony sambil menuruni anak tangga perlahan, “tapi akhirnya dia pasrah juga. Kupikir, dia hanya butuh alasan untuk bersikap lembut tanpa merasa malu.”Naina tersenyum, matanya hangat. “Dia memang begitu. Di balik keras kepalanya, dia lembut… tapi tidak semua orang bisa lihat sisi itu.”Tuan Antony menepuk
“Marven sakit?” tuan Antony bertanya pada Naina yang menemaninya sarapan bersama hari ini.Naina yang tadi akan menyendokkan sup ayam ke dalam mulutnya berhenti dan meletakkannya dengan pelan. “Iya kek, tadi setelah bangun dia mual dan sekarang merasa pusing. Setelah sarapan aku akan menyuapi bubur agar dia mau sarapan.”Tuan Antony mengangguk, “anak itu memang terlalu banyak bekerja.” Gumamnya, “biar aku yang menyuapinya, kau sedang hamil jangan terlalu lelah.”Naina langsung terbatuk-batuk kala mendengar ucapan tuan Antony, “A-apa?”Tuan Antony menatap Naina sambil tersenyum tipis, “Kenapa? Apa ada masalah?”Naina buru-buru menegakkan punggungnya, masih berdehem pelan, lalu menatap kakek dengan wajah bingung sekaligus canggung. “B-bukan begitu, Kek… Tapi… Kakek mau nyuapin Marven? M-maksudku, aku bisa menyuapinya tanpa perlu kakek yang turun tangan.”Tuan Antony terkekeh, melihat wajah canggung sekaligus panik dari cucu menantunya itu. “Tak masalah, kakek juga ingin memanjakan cucu
Air mata menetes pelan di sudut mata Tuan Antony, tapi ia tersenyum lebar, tangannya gemetar saat menggenggam erat jemari Naina. “Astaga… Tuhan benar-benar memberiku hadiah terakhir yang luar biasa sebelum aku pergi…”“Sayang, padahal aku ingin mengatakan ini pada kakek saat merayakan ulang tahun mu nanti.Naina tertawa pelan, “aku tak sabar memberitahu kakek kabar bahagia ini. Lihat, kakek tampak terkejut karena bahagia.” ucap Naina sambil melihat tuan Antony yang masih terkejut dengan kabar kehamilannya itu.Tuan Antony menghela napas pelan, lalu tertawa kecil sambil mengusap sudut matanya yang masih basah, “Terkejut sekali, tentu saja. Tapi ini kejutan terbaik yang pernah kudapatkan seumur hidupku.”Marven merangkul istrinya dari samping, lalu menoleh ke arah kakeknya. “Kami ingin membuat kakek bangga. Jadi nanti waktu ulang tahun kakek tahun depan, kita rayakan bersama dengan buyut kecil sebagai anggota baru kita.”“Benar,” sahut Naina, tersenyum manis sambil menepuk lembut perutn
Suasana di mansion terasa sangat hangat, hari ini Naina tengah membuat kue untuk suaminya yang sedang lembut meskipun hari ini adalah hari weekend.“Nyonya, anda akan membuat apa hari ini?” tanya salah satu pelayan yang ikut penasaran dan juga antusias karena mereka pasti juga akan mencicipi makanan nyonyanya yang sangat lezat itu.Naina tersenyum manis sambil menggulung lengan bajunya, terlihat santai namun penuh semangat. “Hari ini aku ingin membuat cheese cake stroberi. Marven bilang ingin sesuatu yang manis-manis… jadi aku akan berikan yang paling manis,” ujarnya sambil tertawa kecil.Para pelayan langsung bersorak kecil, ikut senang dan tak sabar mencicipinya.“Wah, pasti Tuan Marven tambah sayang!”Naina mengedipkan mata sambil menunjuk spatula ke arah mereka, “Makanya, bantu aku angkut bahan-bahannya dari kulkas, nanti kalian dapat satu loyang sendiri.”Tak butuh waktu lama, dapur mansion pun berubah menjadi tempat penuh tawa dan aroma manis dari adonan yang mulai dipanggang. S
“Ayah sudah memutuskan tinggal di Jerman?” suara Nyonya Sisca terdengar lebih serius.Tuan Antony menatap putri angkatnya itu dengan lembut, “Ibumu ada disana, ayah juga ingin di makamkan disana jika ayah sudah meninggal.”Nyonya Sisca menghela nafasnya pelan, “Ayah seperti benar-benar akan pergi jauh. Ayah sehat kan?” tanyanya dengan khawatir, “disana Sisca maupun Marven tak ada yang bisa menjaga ayah, kenapa tidak tinggal disini saja agar Sisca bisa memantau dan menjaga kesehatan ayah?”Tuan Antony tersenyum kecil, namun ada kesedihan lembut di balik tatapan matanya. Ia menggenggam tangan Nyonya Sisca perlahan, seperti ingin menenangkan sekaligus menegaskan sesuatu yang berat.“Ayah sehat, nak. Tapi yang namanya usia… tak ada yang benar-benar bisa menjamin. Dan di sini… ayah sudah melihat cukup. Marven bahagia. Kamu pun hidup dengan tenang. Apa lagi yang perlu ayah khawatirkan?”“Tapi, ayah...”“Ayah hanya ingin kembali ke tempat di mana semuanya dimulai, dan mungkin, akan diakhiri.
“Selamat Ros, akhirnya kamu bisa menyelesaikan proyekmu dengan baik.” Ucap Naina begitu mendekati Rosana yang baru saja turun dari panggung.Marven juga ikut tersenyum bangga, “mobil tesla mu sudah menunggu di rumah.”Mata Rosana langsung berbinar mendengar ucapan itu, “Serius?! Kalian nggak bercanda, kan?”Naina tertawa kecil melihat reaksi adik iparnya yang kembali seperti anak kecil, “Tentu saja tidak. Itu bagian dari kesepakatanmu dengan Marven, kan?”Rosana langsung memeluk Naina dengan semangat. “Aku sayang banget sama kakak ipar yang satu ini!” katanya dengan gaya manja yang khas.Marven menepuk pelan kepala Rosana, meski ekspresinya tetap dingin seperti biasa, namun senyumnya tak bisa ia sembunyikan. “Jangan sampai Tesla itu jadi dekorasi garasi, buktikan kalau kamu memang pantas memilikinya.”Rosana langsung berdiri tegap, wajahnya penuh percaya diri. “Tenang saja! Setelah ini aku akan bikin proyek lebih besar lagi! Andrian harus siap-siap diajak lembur setiap hari!”Marven d
“Selamat datang tuan dan nyonya Tuner, meja anda sudah disiapkan, silahkan masuk.” Salah satu panitia acara ini menyambut Naina dan juga Marven dengan sopan.Malam ini adalah acara perilisan produk yang dibuat oleh Rosana dan Andrian sebagai mitra kerja.Seluruh ruangan menjadi hening sejenak saat pasangan Tuner memasuki area acara. Semua mata tertuju pada Naina yang mengenakan gaun hijau sage yang menambah pesona kecantikannya, sementara Marven dengan setelan jas hitam tampak gagah di sampingnya. Senyum Naina yang memikat dan kehadiran Marven yang karismatik membuat suasana semakin elegan.Panitia yang menyambut mereka langsung memberikan isyarat untuk menuju ke meja VIP yang sudah disiapkan di depan. Ketika mereka berjalan menuju meja, beberapa tamu tak bisa menahan tatapan kagum, terutama pada penampilan Naina yang begitu mempesona malam itu.Setelah duduk, Marven melepaskan tangannya dari tangan Naina dan meraih gelas anggur yang sudah disediakan di meja. “Apa kamu merasa nyaman?”
“Hari ini perilisan resmi produk yang Rosana dan Andrian kerjakan?” tanya Naina pada suaminya itu yang tengah mengangkat barbel di balkon kamar mereka.“Iya, kamu tak ingin datang? Jika tidak ya tak usah datang. Aku bisa membuat alasan.” Ucap Marven dengan enteng.Naina langsung mendengus, suaminya selalu saja menyimpulkan apapun sendiri, “Aku hanya ingin memastikan. Pantas saja pelayan tadi sibuk memilihkan gaun untukku.”Marven menurunkan barbel perlahan, ototnya masih tegang tapi senyumnya mulai mengembang. Ia menatap Naina yang berdiri dengan tangan bersedekap dan alis sedikit terangkat.“Hm, pelayan membuat istriku terlihat tertekan. Sudah aku bilang jika tak ingin tak usah datang, toh ini bukan acara yang wajib kita datangi.”“E-eh, bukan begitu. Kenapa sih kamu, selalu saja seperti ini.”Marven langsung mendekati istrinya dan langsung membopongnya hingga dia duduk di pangkuannya.“Karena aku ingin istriku hidup bebas,”Naina memegang bahu pria itu dengan senyum tipis, “bagaiman
“Iya, apakah tidak ada tanda-tanda kehamilan?” tanya Marven dengan penuh harapan.Mereka melakukannya tanpa libur, seharusnya harapannya bisa tercapai karena dia sudah bekerja sangat keras.Naina terbatuk-batuk sampai Marven segera mengambilkan minum untuknya.“Kamu gila? kita baru menikah jalan tiga minggu ini.”Marven menyodorkan gelas air ke Naina sambil mengelus punggungnya pelan. “Tiga minggu yang produktif,” jawabnya dengan nada serius tapi ekspresi wajah yang terlalu berharap membuat Naina hampir menyemburkan air yang baru ia teguk.“Produktif dari mana?” katanya geli sambil meletakkan gelasnya. “Aku bahkan belum telat datang bulan.”Marven menghela napas dramatis dan bersandar di sofa. “Setiap malam itu perjuangan, sayang. Aku merasa seperti sedang ikut olimpiade.”Naina langsung memukul bantal ke wajah Marven sambil tertawa, “Olimpiade dari mana, dasar lebay!”Marven menarik bantal itu dan menatap istrinya dengan penuh tekad. “Kalau ini gagal, aku akan mengalami paceklik.” N