Anisa Rahma dipaksa oleh ayahnya agar menjadi pengantin pengganti untuk menikahi tuan muda dari Keluarga Hutapea yang berkebutuhan khusus. Meskipun dihadapkan pada tantangan dan godaan, Anisa tetap teguh dalam cintanya pada suaminya yang sakit-sakitan. Anisa menunjukkan kesetiaan dan kepedulian yang luar biasa, mengesampingkan prasangka dan bisikan negatif di sekitarnya. Dalam kesederhanaan dan kejujuran, Anisa dan David menemukan arti sejati dari cinta dan kesetiaan, melewati segala rintangan untuk meraih kebahagiaan sejati. Kisah ini menggugah hati dan memberikan pelajaran tentang cinta, kesetiaan, dan kejujuran dalam menghadapi kehidupan yang penuh kejutan.
Lihat lebih banyakSeseorang berdiri di depan cermin dengan gaun pengantin yang tidak pas dengan badannya. Dia adalah Anisa Rahma, dia mengamati bayangannya dan merasakan sudut bibirnya berubah menjadi senyuman masam.
"Cepat! Tanda tangani kontrak ini!" Anisa Rahma mengambil dokumen yang diberikan oleh Ardiansyah Siregar kepada dirinya. Matanya beralih ke bagian bawah halaman, di sana tertera tanda tangan berserta nama yang tecetak jelas, David Hutapea. Ardiansyah Siregar adalah ayah kandung Anisa Rahma dari hubungan gelapnya. Dia selalu menghinakan Anisa, dan tidak mengakuinya sebagia anaknya. Walaupun Anisa selalu diperlakukan buruk oleh ayahnya, dia sebagai anak yang baik hanya bisa menurut apa yang dikatakan ayahnya. "Baiklah," balas Anisa sambil menghela napas panjang. Tulisan tangannya sangat rapi, seolah-olah dicetak dengan menggunakan mesin cetak, tetapi penanya dicengkeram dengan cukup kuat hingga tintanya merembes ke sisi lain kertas yang membuatnya sedikit kotor. "Kamu akan dirawat dengan baik sebagai istrinya. Tapi..." Ardiansyah memperingatkan, "...sebaiknya kamu bersikap baik juga kepadanya." Suaranya terdengar tajam sambil mengancam, seperti tanda awan gelap yang menjulang di cakrawala. "Pikirkan apa yang akan terjadi kepada nenekmu di kampung, jika kamu merusak rencanaku ini," ancam Ardiansyah kepada Anisa. "Seharusnya Amanda Santika yang menikah hari ini!" ucap Anisa dengan kesal. Namun Amanda Santika tidak ingin menikah dengan pria yang berada di ambang kematiannya. Kemudian Anisa bertanya dengan hati-hati kepada orang yang ada di depannya, “Mengapa aku harus menggantikannya?” Amanda Santika melarikan diri hanya beberapa jam sebelum pernikahannya. Namun, jika Ardiansyah Siregar mengatakan kebenarannya kepada keluarga mempelai pria, sama saja dengan menghina, bahkan mempermalukan. Itulah sebabnya Ardiansyah dengan agak tidak berperasaan mengancam Anisa dengan nyawa neneknya untuk memaksanya menggantikan Amanda. Dengan demikian, untuk melindungi neneknya, Anisa mendapati dirinya mengenakan gaun pengantin milik wanita lain, menjadi calon pengantin dari putra pertama Keluarga Hutapea yang sakit-sakitan. Ardiansyah mungkin bersikeras bahwa berada di posisinya adalah suatu kehormatan, tetapi Anisa lebih tahu. Jika dia benar-benar seberuntung itu, mengapa Amanda bisa melarikan diri? “Ini demi reputasi diriku, cepat! Tanda tangani surat kontraknya, aku akan menjaga nenek kamu. Aku berjanji,” kata Ardiansyah dengan tegas. "Kamu benar," jawab Anisa dengan suaranya yang halus dan jelas. "Terima kasih untuk mengingatkan aku. Jika tidak, masalah kecil mengenai diriku yang akan menjadi nyonya muda Keluarga Hutapea akan hilang sepenuhnya dari pikiranku." Anisa dipaksa oleh ayahnya untuk menjadi pengantin pengganti dan menikahi tuan muda dari Keluarga Hutapea. Sebelumnya dia sudah didoktrin agar menjadi nyonya muda Keluarga Hutapea yang baik, agar Ardiansyah dapat memperluas jaringan bisnisnya. Ekspresi Ardiansyah langsung berubah menjadi gelap. Anisa mengangkat kepalanya untuk menatap mata Ardiansyah, ekspresinya sopan dan polos lalu berkata, "Jadi jangan sakiti nenekku. Bagaimanapun, dia satu-satunya keluarga yang tersisa bagiku. Jika sesuatu terjadi padanya, aku tidak dapat membayangkan apa yang mampu aku lakukan untuk membalaskan dendamku kepada kamu." "Arrgh... Oke, oke. Kita sepakat, tapi jalankan rencana aku dengan sebaik mungkin," seketika Ardiansyah mendidih marah dan menatap Anisa dengan tatapan tajam. Dia membuka mulutnya, seolah-olah ingin melontarkan lebih banyak makian padanya. Namun saat itu, staf acara pernikahan datang memberi tahu mereka bahwa sudah waktunya pengantin wanita menggantikan tempatnya. Menahan amarahnya, Ardiansyah menghaluskan ekspresinya dan dengan kasar mengantar Anisa ke hadapan para tamu acara pernikahan itu. Perlahan, Anisa berjalan ke tengah. Kain penutup menyembunyikan wajahnya dari lautan tamu di sekitarnya, tapi gagal menghalangi bisikan dan tawa mereka. "Siapa yang mengira bahwa bahkan anak yang sakit-sakitan seperti David Hutapea akan mendapatkan pengantin?" "Saya mendengar bahwa dia hampir berada di ranjang kematiannya, dan dia hanya menikahi putri Ardiansyah Siregar untuk meningkatkan keberuntungannya dan memperpanjang masa hidupnya." "Ardiansyah Siregar? Anak perempuan nakal mereka yang kurang ajar itu? Kudengar dia menawarkan dirinya ke arah pria yang ditemuinya di sebuah pesta malam belum lama ini. Tuan Muda Hutapea pasti memohon untuk diceraikan olehnya." "Omong-omong, pengantin wanitanya agak kurus, bukan? Dia hampir tidak bisa menahan gaunnya yang terlalu besar, aku lihat gaun pengantin yang dia gunakan terlalu besar.” Dengan setiap langkahnya, Anisa mengabaikan gumaman orang banyak, pandangannya tertuju pada pria di kursi roda di depannya. Masker menutupi bagian bawah wajahnya, tapi alisnya membentuk dua garis lembut. Tiba-tiba saja dia akan mengeluarkan suara batuk-batuk kecil, jari tangannya mengepal dalam upaya yang gagah berani untuk mengendalikan dirinya dan menghindari gangguan pada pernikahan, tetapi dia hanya berhasil membuat dirinya terbatuk-batuk lebih keras lagi. Itu berlangsung begitu lama sehingga Anisa tidak bisa tidak bertanya-tanya apakah dia akan selamat dari pernikahan itu. “Aku akan menjadi pengantin dan meninggalkan status aku sebagai seorang janda,” ucap Anisa di dalam hatinya dengan tatapan yang penuh kepasrahan. Ardiansyah pasti takut bahwa suara-suara batuk yang keluar dari calon menantunya adalah akibat dari suatu jenis penyakit menular. Setelah meletakkan tangan Anisa Rahma ke tangan David Hutapea, dia tidak membuang waktu untuk menutup hidungnya dan bergegas pergi. Petugas Kantor Urusan Agama bertanya kepada Anisa, "Apakah kamu setuju untuk menjadikan pria ini sebagai suamimu, baik kaya atau miskin, dalam keadaan sakit dan sehat, mulai hari ini sampai hari terakhirmu?" Apakah Anisa benar-benar punya pilihan? Padahal dia sudah menandatangani kontrak pernikahan? "Saya bersedia." Petugas Kantor Urusan Agama mengulangi pertanyaan tersebut kepada mempelai pria, yang menjawabnya dengan beberapa kali batuk keras sebelum mengerahkan kekuatan untuk berkata, "Saya bersedia." Segera setelah dia mengucapkan kata-kata itu, ekspresi malu terlihat di wajah David. Jika sekedar mengucapkan ijab kabul adalah suatu hal yang cukup menyulitkan, tentu saja pria berkursi roda ini tidak mampu berbagi ciuman dengan pengantinnya. Dia hendak membatalkan perkataannya ketika istrinya membungkuk dan mengangkat kain yang menutupi kepala suaminya, melindungi mereka berdua dari pandangan. Dikatakan bahwa dua orang menjadi satu di balik tabir pernikahan. Anisa telah bersiap untuk momen ini sejak dia mengenakan gaunnya. Dia mungkin dipaksa dalam posisi ini oleh Ardiansyah untuk menangkal kemarahan Keluarga Hutapea, tapi dia membutuhkan kekuatan nama keluarga Hutapea untuk menjaga keselamatan neneknya. Semakin lama suaminya hidup, semakin baik. Anisa menurunkan kain penutup suaminya, memperlihatkan bagian bawah wajah suaminya, yang dihiasi pola bekas luka yang mengerikan. Pemandangan itu menjijikkan dan bahkan mengerikan, tetapi dia pura-pura tidak menyadarinya. “Ijab kabul pernikahan kita sudah selesai dan surat nikahnya sudah ditandatangani,” kata Anisa sambil menjaga wajahnya tetap netral. “Kami adalah suami-istri sekarang. Apa yang tidak dapat kamu lakukan sendiri, aku dapat membantu kamu.” Tanpa kain penutup untuk menyembunyikan wajah David, Anisa bisa melihat raut wajah suaminya berkerut sedikit, mungkin karena tidak diberi kesempatan untuk berbicara. Tapi kemudian Anisa mendengarkan kata-kata David, dan dia melihat secercah cahaya di matanya.“Aku merasa bersalah. Aku… Aku tidak sengaja menumpahkan air panas kepadamu… Aku akan lebih hati-hati lagi…” Anisa sangat terpukul akibat perbuatannya sendiri yang tak mampu menjaga suaminya dengan baik.“Aku tidak apa-apa, sayang. Itu adalah kecelakaan… Maafkan aku juga yang tidak bisa memegang cangkir itu dengan benar,” balas David berusaha menjelaskan kondisi dirinya.“Kamu benar-benar tidak bisa merasakan apa pun di kakimu, sayang? Padahal airnya panas sekali?” kata Anisa sambil meneteskan air matanya di pipinya. “Sebenarnya aku merasakannya, tapi hanya sedikit.” David benci melihat Anisa menangis. Dengan cepat dia meraih Anisa untuk memeluknya, membungkus istri kecilnya dalam pelukan hangatnya. Selain itu, dia pada dasarnya berhati-hati, dan airnya paling hangat, tidak sepanas yang Anisa katakan. “Apakah kamu yakin tidak apa-apa, sayang?” kata Anisa sambil menyeka air matanya yang menetes. “Sungguh, aku baik-baik saja, Rahma. Hapus air matamu, aku akan merasa bersalah
Setelah mengirim pesan, David melirik Anisa. Istrinya benar-benar cantik, dan penuh semangat. Tidak mengherankan jika Anisa memiliki beberapa pengagum di universitas, tetapi jika ada yang berani mencoba mengambil wanita itu darinya, mereka sama saja dengan mencari masalah. Anisa telah mempelajari dokumen yang diberikan Profesor Jalaluddin dengan cermat. Tiba-tiba, dia berseru, “Ternyata kemaluan pria penuh dengan saraf, sehingga sangat mudah untuk mendapatkan ereksi. Sungguh menarik...” Anisa terlalu fokus dengan tugasnya dan tidak sadar mengucapkan kata-kata sensitif yang bisa saja menyinggung suaminya. David terdiam mendengar kata-kata Anisa saat membaca dokumen milik Profesor Jalaluddin. “Ereksi adalah kondisi ketika kemaluan pria dalam keadaan tegang, keras, dan membesar karena peningkatan aliran darah. Apa ini? Aku jadi penasaran.” Anisa sedang memeriksa informasi tersebut murni melalui kacamata seorang mahasiswa kedokteran, tanpa memikirkan sesuatu yang tidak senonoh, i
Anisa menggelengkan kepalanya. Dia adalah seorang mahasiswa kedokteran, ditambah lagi, dia memiliki pengetahuan umum untuk mendukungnya. Dia sudah bertekad untuk mencari cara mengobati suaminya tercinta. “Aku adalah istrimu, senang maupun sulit kita jalani bersama. Tidak masalah tentang penyakitmu, sayang. Aku menyayangi kamu karena aku mau. Aku menginginkan kamu seutuhnya, selamanya, setiap hari.” Anisa berusaha untuk meyakinkan suaminya, jika dia sungguh-sungguh mencintai David. Tatapan matanya melebar dengan senyuman manis terpancar dari sikap keterbukaannya. “Apakah kamu menerima aku apa adanya?” tanya David dengan mengerutkan keningnya, dia masih meragukan kesetian Anisa. “Ya, mengapa tidak? Belah dada ini dan lihatlah hatiku, jika itu bisa meyakinkan kamu. Hidup dan matiku hanya untukmu, rasa hati ini tak akan pernah bisa dusta.” Sebuah ungkapan rasa cinta yang mendalam diucapkan oleh Anisa, dia mencintai suaminya dengan setulus hatinya. David seketika tersenyum lebar sa
Terkejut dengan kata-kata temannya, Anisa melirik David dengan tatapan meminta maaf sebelum mematikan pengeras suara. “Kau sudah memberitahuku semua ini sebelumnya, Adelia. David adalah suamiku! Aku sudah menikah. Jadi, berhentilah membicarakan dia seperti itu.” Adelia masih menolak untuk mendengarkan alasan Anisa dengan berkata, “Berhentilah terlalu memedulikan pria berkebutuhan khusus itu. Lagi pula, dia tidak punya banyak waktu lagi untuk hidup. Tidakkah kamu setidaknya mencoba mendengarkan aku? Senior Ibrahim adalah segalanya yang diinginkan seorang gadis di kampus. Kamu akan menghancurkan hatiku jika terus melakukan ini, tahu.” Anisa tahu bahwa temannya hanya bermaksud yang terbaik untuknya. Kalau tidak, dia pasti sudah menutup telepon sejak lama. Namun kata-kata ini hanya akan melukai perasaan David jika dia mendengarnya. Sejenak Anisa mengabaikan suara telepon Adelia untuk melihat ekspresi suaminya, dia melihat David menundukkan pandangannya dan terdiam membeku saat mende
Anisa menoleh ke arah sumber suara dan melihat suaminya bersama Paman Iskandar Muda datang, “Kedatangan kamu tepat waktu, sayang.” Dia memberi David sebuah sendok dan garpu makan sambil tersenyum lalu berkata, “Cobalah ini dan lihat bagaimana kamu menyukainya.” David mengambil tiga piring, dua mangkuk, dan alat makan lainnya di depannya, sebelum duduk dia memasang ekspresi di wajahnya yang berseri-seri. Kehidupan yang mereka jalani adalah hal yang rutin dan biasa saja, namun ada sesuatu yang istimewa juga di dalamnya, yaitu kualitas rumah tangga yang berbagi tempat tinggal, makan bersama, seiring pergantian musim dan perubahan di sekitar mereka. “Untuk apa kamu menatapku? Ayo makan, kenapa kamu hanya tersenyum?” kata Anisa mengajak suami untuk segera makan. “Karena kecantikanmu memanjakan mata,” jawab David sambil mengangkat alisnya. Sebuah pujian yang membuat hati berbunga-bunga saat mendengarnya. Anisa tersipu malu hingga pipinya memerah merona. Suaminya kadang-kadang
Wajah Anisa memerah merona indah bagaikan sebuah tomat yang matang. Karena bingung dan tidak berdaya, dia menjelaskan sekali lagi, "Aku hanya mengkhawatirkan penyakitmu, sayang. Aku tidak menolak untuk menciummu..." Jika Anisa benar-benar menolaknya, dia pasti sudah marah sejak lama. "Kalau begitu cium aku sekarang," kata David sambil tersenyum manis ke arah Anisa dan tatapan matanya dipenuhi rasa kasih sayang. David bersikap tidak adil, dia sudah memaksakan ciuman pada Anisa sebelumnya. Tapi Anisa tidak bisa menahan beban tatapan pria itu padanya, cerah dan membara, jadi dia memberinya kecupan di pipi, sapuan bibir paling halus di kulit. Sekarang David percaya, jika cinta Anisa hanya ada untuk dia seorang diri. David tidak tergerak lalu berkata dengan nadanya yang manja, "Aku sudah memberitahumu bahwa ciuman yang pantas antara suami dan istri dilakukan di bibir, bukan?" Terpecah antara menangis dan tertawa, Anisa hanya bisa bersandar dengan patuh dan menyentuh bibirnya den
David tidak menanggapi. Wajahnya masih suram dan gelap seperti guntur. Khawatir, Anisa mengulurkan tangan dan meraba dahi David, dan dia tidak terasa lebih panas dari biasanya. Anisa masih bingung dengan sikap David yang seperti ini. "Apa yang salah? Bagian mana dari dirimu yang tidak sehat?" kata Anisa berusaha bertanya tentang kondisi suaminya yang dari tadi memasang ekspresi muram. "Aku baik-baik saja..." David menghela napas dengan beberapa kali batuk yang terdengar menyakitkan. Anisa menggenggam tangan David dan memeluknya, sekali lagi bersikeras bahwa dia baik-baik saja. “Apakah kamu yakin, sayang?” tanya Anisa dengan mengerutkan keningnya. Dia sangat khawatir dengan kondisi suaminya, sikap David tidak seperti biasanya. Kulit Paman Iskandar Muda merinding ketika dia melihat tuan mudanya kembali menunjukkan kerapuhannya, untuk menipu istri kecilnya. David terus terbatuk-batuk keras hingga dadanya terangkat. Anisa terlihat sangat cemas, dia menyusapkan tangannya dengan l
"Aku serius, Kak Senior. Mengapa aku bercanda tentang sesuatu yang begitu penting? Aku benar-benar sudah menikah, Kak Senior. Paman Iskandar Muda adalah ajudan suamiku," kata Anisa dengan tatapan meyakinkan untuk meyakinkan Ibrahim jika dia sudah menjadi istri seseorang. Kata-kata Anisa seperti jarum yang menusuk telinga Ibrahim, tajam, menusuk ke dalam hatinya dengan rasa sakit yang berdenyut-denyut tak bisa dibayangkan. “Apa? Kamu sudah menjadi istri seseorang? Ha ha ha... Lucu sekali, Anisa.” Ibrahim tertawa terbahak-bahak seperti hilang akal karena belum bisa menerima kenyataan ini. “Kamu pasti bercanda, kan?” Ibrahim tidak percaya, jika gadis yang disukainya sudah menikah dan telah menjadi kekasih seseorang. Terlebih lagi, bagian yang paling lucu adalah dia masih menunggu Anisa menyadari perasaannya, seperti orang bodoh yang naif. Dia hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Jika Anisa tidak bercanda, maka pastilah hatinya sedang mempermainkan perasaannya. "Apakah kamu baik-
Paman Iskandar Muda merapikan pakaiannya, kemudian dia keluar dari mobil, meringis dalam hati saat dia melangkah menuju Anisa. Saat dia mendekat, dia mendengar Anisa berkata, “Terima kasih telah menangkap saya, Senior Ibrahim. Jika tidak, aku akan terjatuh tadi.” “Hati-hati Anisa, perhatikan setiap langkah kakimu.” Saat mereka berjalan ke arah gerbang sekolah, Anisa dan Ibrahim sedang memeriksa dokumen yang diminta Profesor Jalaluddin untuk diterjemahkan, untuk melihat apakah dia dapat membantunya. Anisa terlalu terpaku pada beberapa bagian yang tidak bisa dia pahami, lupa arah dan hampir tersandung, tetapi Ibrahim telah mengulurkan tangan dan memeluk Anisa lalu menenangkannya. Anisa dan Ibrahim saling bertatapan sejenak dengan wajah mereka yang memerah merona karena tersipu malu. Ibrahim hampir bisa merasakan telapak tangannya kesemutan karena aroma Anisa yang sangat menggoda. Menjaga wajahnya tetap netral, dia bertanya, “Apakah kamu baik-baik saja?” “Aku baik-baik saja, ko
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen