Seseorang berdiri di depan cermin dengan gaun pengantin yang tidak pas dengan badannya. Dia adalah Anisa Rahma, dia mengamati bayangannya dan merasakan sudut bibirnya berubah menjadi senyuman masam. "Cepat! Tanda tangani kontrak ini!" Anisa Rahma mengambil dokumen yang diberikan oleh Ardiansyah Siregar kepada dirinya. Matanya beralih ke bagian bawah halaman, di sana tertera tanda tangan berserta nama yang tecetak jelas, David Hutapea. Ardiansyah Siregar adalah ayah kandung Anisa Rahma dari hubungan gelapnya. Dia selalu menghinakan Anisa, dan tidak mengakuinya sebagia anaknya. Walaupun Anisa selalu diperlakukan buruk oleh ayahnya, dia sebagai anak yang baik hanya bisa menurut apa yang dikatakan ayahnya. "Baiklah," balas Anisa sambil menghela napas panjang. Tulisan tangannya sangat rapi, seolah-olah dicetak dengan menggunakan mesin cetak, tetapi penanya dicengkeram dengan cukup kuat hingga tintanya merembes ke sisi lain kertas yang membuatnya sedikit kotor. "Kamu akan dira
Saat di dalam mobil, Anisa Rahma menjadi tenang, tapi telapak tangannya lengket karena keringat. Dia merasa gugup karena belum pernah sedekat ini dengan seorang pria sebelumnya, dan sekarang dia yang harus bersandar, menempelkan bibirnya ke bibir pria itu. Seseorang yang pada dasarnya adalah orang asing bagi Anisa, karena mereka belum saling mengenal. “Sebaiknya diselesaikan dengan cepat,” gumam Anisa di dalam hatinya. Untuk memuaskan keinginan suaminya, Anisa menutup matanya dan mendekatkan bibir tipisnya ke bibir David Hutapea, sebelum menarik penutup wajahnya kembali ke tempatnya dan berdiri. David terkejut dengan tindakannya yang dilakukan Anisa yang cepat dan lugas. Tatapannya menyempit dipenuhi rasa curiga, mendidih dengan kedalaman yang tak terbaca. “Apakah wanita ini benar-benar baru saja memberikan bibirnya kepadaku dengan berani?” gumam David di dalam hatinya. Jelas David sedang menguji keromantisan dan kesetiaan istri barunya itu. Saat Anisa bangkit, kerudungny
Sebelum kepala pelayan membukakan pintu, sebuah suara lemah terdengar dari dalam kamar tidur, diselingi oleh batuk, "Uhuk... Uhuk... Apakah itu kamu, Anisa Rahma? Masuk." Anisa mengangkat satu alisnya ke arah kepala pelayan, yang tidak punya pilihan selain membukakan pintu dan membiarkannya masuk. “Silakan masuk, Nona. Tuan Muda menginginkan kamu untuk masuk,” kata Paman Iskandar Muda sambil membukakan pintu kamar dan membungkukkan badannya. “Terima kasih,” ucap Anisa sambil melangkahkan kakinya masuk ke kamar David Hutapea dan membungkukkan badan dalam proses perjalanannya. Sungguh sangat sopan sikap Anisa, hingga dia membungkukkan badannya saat berjalan memasuki kamar David. Walaupun Anisa sudah menjadi istri dari David, dia tetap menjaga sikap dan adab untuk menghormati orang lain. Lalu paman Iskandar Muda keluar dari kamar David dan menunggu di luar. “Sangat sopan sekali Anisa Rahma ini, inilah yang aku suka darinya. Aku akan menilai seberapa jauh kesetiaannya kepada ak
“Jangan takut kepadaku, Gadis manis,” goda Victor Hutapea sambil mengulurkan tangannya ke arah wajah Anisa Rahma. Dengan cepat Anisa menipis tangan Victor dan berkata, “Jaga sikapmu! Jangan ganggu aku! Aku ini wanita baik-baik yang tidak suka bermain dengan pria hidung belang seperti kamu!” "Gadis kecil nakal, memukul aku. Aku suka itu." Victor mengusap bibirnya dan perlahan menyudutkan Anisa ke dinding. "Mengapa kamu tidak memberiku kesempatan? Kamu akan menyadari bahwa aku adalah pria tampan yang jauh lebih baik daripada kakak laki-lakiku yang lemah. Aku bisa memberikan kamu rumah, mobil, tas desainer mewah, dan tentu saja, banyak kesenangan duniawi jika bersamaku." Paman Iskandar Muda menyaksikan pemandangan itu dari sudut tangga di ruang tamu. Dengan suara rendah, dia bertanya, "Tuan Muda, haruskah saya melakukan sesuatu?" David melihat tangan Victor yang menyentuh wajah istrinya. Kilatan kebencian memasuki tatapannya yang lembut dan kini dia sangat marah kepada Victor la
Amanda Santika bertubuh sedikit gemuk, yang membuat kakak laki-lakinya itu sedikit tidak senang. Tetapi Victor Hutapea meyakinkan David Hutapea bahwa calon istrinya yang sedikit gemuk adalah simbol keberuntungan yang abadi, ditambah lagi, dia cenderung tidak menimbulkan masalah dengan cara itu, sehingga mereka bisa merasa aman meninggalkannya di sekitar David. Itulah satu-satunya hal yang mampu meyakinkan ayahnya. Tapi betapa terkejutnya Victor ketika melihat wanita ini, dengan sosok langsing memiliki wajah yang sangat cantik dan menawan. Wanita ini bukanlah Amanda Santika. "Kamu pasti bercanda, Saudaraku. Aku secara pribadi membantu ayah untuk memilih calon pengantin Kakak. Apakah menurutmu aku tidak akan mengenalinya? Aku tahu Amanda bukan wanita yang cantik, tapi itu tidak berarti kamu boleh selingkuh, kamu harus terima apa adanya istri pertamamu." "Jadi, Amanda telah menjadi pengantin pilihan Victor untuk saudaranya?" gumam Anisa di dalam hatinya. Anisa menyembunyikan cemo
Victor menatap Anisa dengan sedikit kilatan kebingungan di matanya. Dia benar-benar menyukai semangat penuh dari semangat wanita ini. Terutama ketika dia tahu bahwa Anisa adalah istri saudara laki-lakinya. "Kakak ipar, jika kamu pulang kembali ke keluargamu sendirian, orang-orang akan bergosip bahwa Keluarga Hutapea telah memperlakukanmu dengan tidak baik dan menganiaya kamu." "Tidak apa-apa. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka katakan," kata Anisa dengan nadanya yang lembut. "Aku akan menemani Anisa ketika dia kembali ke rumah keluarganya," balas David sambil mengeluskan tangannya kepada tangan Anisa. "Kamu tidak perlu khawatir tentang apa pun, Saudaraku." Tidak lama setelah David selesai berbicara, dia tiba-tiba kembali terbatuk-batuk. Anisa mengeluskan tangannya ke punggung suaminya dengan cemas. Melihat bagaimana David batuk cukup keras hingga dadanya terangkat, Victor dengan cepat mencubit hidungnya, lalu mengejek, "Jangan memaksakan dirimu sendiri, saudaraku. Semu
Mereka kembali ke ruang tamu. Menurut Anisa, urusan mereka sudah selesai dan mereka bisa pergi. Anisa tidak penting bagi Keluarga Siregar, dan dia tidak peduli bahwa peraturan mengamanatkan bahwa dia harus pulang ke rumah mereka. Jika memungkinkan, dia akan puas tidak melihat Keluarga Siregar lagi seumur hidup. “Sebaiknya kita pulang saja, keluargaku tidak ada di rumah. Aku khawatir dengan kesehatan kamu, suamiku tersayang,” kata Anisa sambil membujuk David untuk pulang. Namun ketika Anisa mengutarakan pikirannya, dia mendapat jawaban mendesak yang tidak seperti biasanya dari David: “Kami akan menunggu.” Jika David tidak tahu apa-apa tentang kehidupan yang dialami Anisa di Keluarga Siregar, dia mungkin tidak rela membiarkan segalanya berlalu begitu saja. Tapi setelah menyaksikannya dengan kedua matanya sendiri, dia tidak bisa hanya duduk diam dan tidak melakukan apa pun. “Baiklah aku akan menunggu, aku akan mencari informasi tentang Anisa di Keluarga Siregar,” gumam David d
“Apa? Bawa Amanda kembali? Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh Victor? Apakah dia ingin menghancurkan pernikahan aku?” Anisa mau tidak mau mencuri pandang ke arah David, namun dia tetap bergeming dan diam seperti biasanya. Anisa Rahma merasakan tawa masam dan pahit di bibirnya setelah mendengar pernyataan Victor Hutapea. Dia telah membodohi dirinya sendiri dengan berpikir bahwa David Hutapea telah menyetujuinya. Seperti orang bodoh yang mengalami delusi dan mabuk cinta, dia bahkan sangat menyayanginya. Anisa telah menjadi istri David yang berbakti kepada suaminya. Dia ingat pelajaran dari neneknya, jika telah menjadi seorang istri seseorang, maka surga dan neraka seorang istri berada di tangan suami. “Bagaimanapun juga aku telah resmi menjadi istri David. Kenapa kemudian Victor ingin memisahkan aku dengan suamiku? Lalu bagaimana dengan nasib nenek aku jika aku gagal menjalankan perjanjiannya? Bukankah itu kejam?” gumam Anisa di dalam hatinya dengan menahan air matanya yang i
“Aku merasa bersalah. Aku… Aku tidak sengaja menumpahkan air panas kepadamu… Aku akan lebih hati-hati lagi…” Anisa sangat terpukul akibat perbuatannya sendiri yang tak mampu menjaga suaminya dengan baik.“Aku tidak apa-apa, sayang. Itu adalah kecelakaan… Maafkan aku juga yang tidak bisa memegang cangkir itu dengan benar,” balas David berusaha menjelaskan kondisi dirinya.“Kamu benar-benar tidak bisa merasakan apa pun di kakimu, sayang? Padahal airnya panas sekali?” kata Anisa sambil meneteskan air matanya di pipinya. “Sebenarnya aku merasakannya, tapi hanya sedikit.” David benci melihat Anisa menangis. Dengan cepat dia meraih Anisa untuk memeluknya, membungkus istri kecilnya dalam pelukan hangatnya. Selain itu, dia pada dasarnya berhati-hati, dan airnya paling hangat, tidak sepanas yang Anisa katakan. “Apakah kamu yakin tidak apa-apa, sayang?” kata Anisa sambil menyeka air matanya yang menetes. “Sungguh, aku baik-baik saja, Rahma. Hapus air matamu, aku akan merasa bersalah
Setelah mengirim pesan, David melirik Anisa. Istrinya benar-benar cantik, dan penuh semangat. Tidak mengherankan jika Anisa memiliki beberapa pengagum di universitas, tetapi jika ada yang berani mencoba mengambil wanita itu darinya, mereka sama saja dengan mencari masalah. Anisa telah mempelajari dokumen yang diberikan Profesor Jalaluddin dengan cermat. Tiba-tiba, dia berseru, “Ternyata kemaluan pria penuh dengan saraf, sehingga sangat mudah untuk mendapatkan ereksi. Sungguh menarik...” Anisa terlalu fokus dengan tugasnya dan tidak sadar mengucapkan kata-kata sensitif yang bisa saja menyinggung suaminya. David terdiam mendengar kata-kata Anisa saat membaca dokumen milik Profesor Jalaluddin. “Ereksi adalah kondisi ketika kemaluan pria dalam keadaan tegang, keras, dan membesar karena peningkatan aliran darah. Apa ini? Aku jadi penasaran.” Anisa sedang memeriksa informasi tersebut murni melalui kacamata seorang mahasiswa kedokteran, tanpa memikirkan sesuatu yang tidak senonoh, i
Anisa menggelengkan kepalanya. Dia adalah seorang mahasiswa kedokteran, ditambah lagi, dia memiliki pengetahuan umum untuk mendukungnya. Dia sudah bertekad untuk mencari cara mengobati suaminya tercinta. “Aku adalah istrimu, senang maupun sulit kita jalani bersama. Tidak masalah tentang penyakitmu, sayang. Aku menyayangi kamu karena aku mau. Aku menginginkan kamu seutuhnya, selamanya, setiap hari.” Anisa berusaha untuk meyakinkan suaminya, jika dia sungguh-sungguh mencintai David. Tatapan matanya melebar dengan senyuman manis terpancar dari sikap keterbukaannya. “Apakah kamu menerima aku apa adanya?” tanya David dengan mengerutkan keningnya, dia masih meragukan kesetian Anisa. “Ya, mengapa tidak? Belah dada ini dan lihatlah hatiku, jika itu bisa meyakinkan kamu. Hidup dan matiku hanya untukmu, rasa hati ini tak akan pernah bisa dusta.” Sebuah ungkapan rasa cinta yang mendalam diucapkan oleh Anisa, dia mencintai suaminya dengan setulus hatinya. David seketika tersenyum lebar sa
Terkejut dengan kata-kata temannya, Anisa melirik David dengan tatapan meminta maaf sebelum mematikan pengeras suara. “Kau sudah memberitahuku semua ini sebelumnya, Adelia. David adalah suamiku! Aku sudah menikah. Jadi, berhentilah membicarakan dia seperti itu.” Adelia masih menolak untuk mendengarkan alasan Anisa dengan berkata, “Berhentilah terlalu memedulikan pria berkebutuhan khusus itu. Lagi pula, dia tidak punya banyak waktu lagi untuk hidup. Tidakkah kamu setidaknya mencoba mendengarkan aku? Senior Ibrahim adalah segalanya yang diinginkan seorang gadis di kampus. Kamu akan menghancurkan hatiku jika terus melakukan ini, tahu.” Anisa tahu bahwa temannya hanya bermaksud yang terbaik untuknya. Kalau tidak, dia pasti sudah menutup telepon sejak lama. Namun kata-kata ini hanya akan melukai perasaan David jika dia mendengarnya. Sejenak Anisa mengabaikan suara telepon Adelia untuk melihat ekspresi suaminya, dia melihat David menundukkan pandangannya dan terdiam membeku saat mende
Anisa menoleh ke arah sumber suara dan melihat suaminya bersama Paman Iskandar Muda datang, “Kedatangan kamu tepat waktu, sayang.” Dia memberi David sebuah sendok dan garpu makan sambil tersenyum lalu berkata, “Cobalah ini dan lihat bagaimana kamu menyukainya.” David mengambil tiga piring, dua mangkuk, dan alat makan lainnya di depannya, sebelum duduk dia memasang ekspresi di wajahnya yang berseri-seri. Kehidupan yang mereka jalani adalah hal yang rutin dan biasa saja, namun ada sesuatu yang istimewa juga di dalamnya, yaitu kualitas rumah tangga yang berbagi tempat tinggal, makan bersama, seiring pergantian musim dan perubahan di sekitar mereka. “Untuk apa kamu menatapku? Ayo makan, kenapa kamu hanya tersenyum?” kata Anisa mengajak suami untuk segera makan. “Karena kecantikanmu memanjakan mata,” jawab David sambil mengangkat alisnya. Sebuah pujian yang membuat hati berbunga-bunga saat mendengarnya. Anisa tersipu malu hingga pipinya memerah merona. Suaminya kadang-kadang
Wajah Anisa memerah merona indah bagaikan sebuah tomat yang matang. Karena bingung dan tidak berdaya, dia menjelaskan sekali lagi, "Aku hanya mengkhawatirkan penyakitmu, sayang. Aku tidak menolak untuk menciummu..." Jika Anisa benar-benar menolaknya, dia pasti sudah marah sejak lama. "Kalau begitu cium aku sekarang," kata David sambil tersenyum manis ke arah Anisa dan tatapan matanya dipenuhi rasa kasih sayang. David bersikap tidak adil, dia sudah memaksakan ciuman pada Anisa sebelumnya. Tapi Anisa tidak bisa menahan beban tatapan pria itu padanya, cerah dan membara, jadi dia memberinya kecupan di pipi, sapuan bibir paling halus di kulit. Sekarang David percaya, jika cinta Anisa hanya ada untuk dia seorang diri. David tidak tergerak lalu berkata dengan nadanya yang manja, "Aku sudah memberitahumu bahwa ciuman yang pantas antara suami dan istri dilakukan di bibir, bukan?" Terpecah antara menangis dan tertawa, Anisa hanya bisa bersandar dengan patuh dan menyentuh bibirnya den
David tidak menanggapi. Wajahnya masih suram dan gelap seperti guntur. Khawatir, Anisa mengulurkan tangan dan meraba dahi David, dan dia tidak terasa lebih panas dari biasanya. Anisa masih bingung dengan sikap David yang seperti ini. "Apa yang salah? Bagian mana dari dirimu yang tidak sehat?" kata Anisa berusaha bertanya tentang kondisi suaminya yang dari tadi memasang ekspresi muram. "Aku baik-baik saja..." David menghela napas dengan beberapa kali batuk yang terdengar menyakitkan. Anisa menggenggam tangan David dan memeluknya, sekali lagi bersikeras bahwa dia baik-baik saja. “Apakah kamu yakin, sayang?” tanya Anisa dengan mengerutkan keningnya. Dia sangat khawatir dengan kondisi suaminya, sikap David tidak seperti biasanya. Kulit Paman Iskandar Muda merinding ketika dia melihat tuan mudanya kembali menunjukkan kerapuhannya, untuk menipu istri kecilnya. David terus terbatuk-batuk keras hingga dadanya terangkat. Anisa terlihat sangat cemas, dia menyusapkan tangannya dengan l
"Aku serius, Kak Senior. Mengapa aku bercanda tentang sesuatu yang begitu penting? Aku benar-benar sudah menikah, Kak Senior. Paman Iskandar Muda adalah ajudan suamiku," kata Anisa dengan tatapan meyakinkan untuk meyakinkan Ibrahim jika dia sudah menjadi istri seseorang. Kata-kata Anisa seperti jarum yang menusuk telinga Ibrahim, tajam, menusuk ke dalam hatinya dengan rasa sakit yang berdenyut-denyut tak bisa dibayangkan. “Apa? Kamu sudah menjadi istri seseorang? Ha ha ha... Lucu sekali, Anisa.” Ibrahim tertawa terbahak-bahak seperti hilang akal karena belum bisa menerima kenyataan ini. “Kamu pasti bercanda, kan?” Ibrahim tidak percaya, jika gadis yang disukainya sudah menikah dan telah menjadi kekasih seseorang. Terlebih lagi, bagian yang paling lucu adalah dia masih menunggu Anisa menyadari perasaannya, seperti orang bodoh yang naif. Dia hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Jika Anisa tidak bercanda, maka pastilah hatinya sedang mempermainkan perasaannya. "Apakah kamu baik-
Paman Iskandar Muda merapikan pakaiannya, kemudian dia keluar dari mobil, meringis dalam hati saat dia melangkah menuju Anisa. Saat dia mendekat, dia mendengar Anisa berkata, “Terima kasih telah menangkap saya, Senior Ibrahim. Jika tidak, aku akan terjatuh tadi.” “Hati-hati Anisa, perhatikan setiap langkah kakimu.” Saat mereka berjalan ke arah gerbang sekolah, Anisa dan Ibrahim sedang memeriksa dokumen yang diminta Profesor Jalaluddin untuk diterjemahkan, untuk melihat apakah dia dapat membantunya. Anisa terlalu terpaku pada beberapa bagian yang tidak bisa dia pahami, lupa arah dan hampir tersandung, tetapi Ibrahim telah mengulurkan tangan dan memeluk Anisa lalu menenangkannya. Anisa dan Ibrahim saling bertatapan sejenak dengan wajah mereka yang memerah merona karena tersipu malu. Ibrahim hampir bisa merasakan telapak tangannya kesemutan karena aroma Anisa yang sangat menggoda. Menjaga wajahnya tetap netral, dia bertanya, “Apakah kamu baik-baik saja?” “Aku baik-baik saja, ko