Sebagai seorang istri kedua yang dinikahi secara diam-diam, apalagi dirinya hanyalah seorang babysitter, Lilia Zamora sadar ia tak berhak meminta William Quist untuk mencintainya. Pernikahan itu dilakukan William untuk memenuhi keinginan terakhir sang istri, sekaligus cara agar Lilia mendapatkan uang untuk pengobatan ibunya yang sedang sakit. Suatu hari saat istri pertama William meninggal, Lilia tak menyangka hal itu akan menjadi awal dari hubungan rumit antara mereka. Keluarga besar William menuduhnya mencuci otak Keano—anak lelaki pria itu—hanya karena ia dipanggil sebagai 'Mama'. Kala Lilia memutuskan menjauh dari kehidupan William, sebuah peristiwa nahas membuat mereka kembali bersua. “Akan aku bawa kau pergi dari tempat terkutuk ini, Lilia. Tapi dengan syarat, kembalilah padaku!” IG @almiftiafay
View MoreMemasuki rumah, Lilia harus menghela dalam napasnya untuk menguraikan sesak yang baru saja menjeratnya ini. “Kamu baik-baik aja?” tanya William seraya memindah tangannya dari pinggang Lilia ke bahunya, ia rangkul dan ia beri usapan lembut. “Iya, William. Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Hanya ... sedikit terkejut saja mendengar Gretha berbicara seperti itu tadi.” “Sama. Aku juga terkejut.” “Aku harap dia mendapatkan poinnya bahwa setiap dari yang kita lakukan itu memiliki akibatnya. Yang baik atau yang buruk.” William mengusap bagian belakang kepalanya, pada rambut panjangnya yang hitam legam. Terpesona pada cara Lilia berucap tentang akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Itu lembut dan sangat keibuan. “Seperti yang kamu katakan tadi, Lilia,” ucap William. “Kamu memiliki hak untuk menolak. Jadi keputusan kamu untuk menolak permintaannya tadi itu adalah pilihan yang benar.” “Aku sepertinya terlalu banyak menonton drama,” ujar Lilia saat mereka terus berjalan menuju k
‘A-apa dia bilang?’ batin Lilia, tubuhnya berdiri membeku di belakang William yang tak bisa menahan diri untuk tetap menjaga ketenangannya. “Apa kamu bilang?!” tanya William dengan lantang. Ia selangkah maju tetapi Lilia meraih tangannya sehingga pria itu tetap tertahan di tempatnya. “Kamu bilang agar Lilia merawat anakmu?” Gretha tampak memberikan anggukannya, ia kembali menatap Lilia dan dari jarak yang memisahkan mereka ini, Lilia melihat netra wanita itu berair. Ekspresinya penuh dengan harap, seolah memang Lilia adalah satu-satunya harapannya yang tersisa. Seakan ia tak memiliki lagi tempat ke mana ia harus mengadu. “Iya,” katanya. “Aku berjanji akan menebus semua kesalahanku tapi bisakah Lilia dan Kak Liam merawat anakku? Dia tidak bersalah, tapi harus menanggung dosa yang aku lakukan dan—“ “Artinya kamu sadar,” sela William sebelum Gretha berceloteh lebih panjang. “Artinya kamu sadar apa yang kamu lakukan adalah sebuah dosa besar. Kenapa baru sekarang? Ke mana saja kamu s
“Apa yang dia lakukan di sini?” tanya William seraya bangun dari duduknya. Jarinya yang terluka yang ia keluhkan pada Lilia itu seketika terlupakan. Alisnya berkerut saat ia menatap Giff yang sekilas menggeleng saat menjawab, “Saya tidak tahu, Tuan William. Dia hanya bilang ingin bertemu dengan Nona Lilia. Itu saja.” “Suruh dia pergi saja, Giff!” ucap William tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Tetapi hal itu tak disetujui oleh Lilia begitu saja. Ia ikut bangun dan meraih tangan William seraya berujar, “Biar aku temui saja dia, William.” “Tidak!” tepis William, wajahnya mengeras, menolak dengan tegas. “Apa setelah semua yang dia lakukan padamu aku bisa membiarkan dia bertemu denganmu begitu saja. Tidak, Lilia! Tidak akan ada yang pergi menemui wanita itu!” Lilia menjumpai kekhawatiran yang besar dari cara William bertutur. Penolakannya yang tegas itu mengatakan lebih banyak bahwa ia tak akan membiarkan Lilia bertatap muka dengan Gretha. “Kalau kamu khawatir kamu bisa peri bers
Untuk pertama kalinya setelah mereka meresmikan pernikahan, Lilia akan beraktivitas sebagai istri William dan tinggal untuk seterusnya di rumah ini. Selama bulan madu itu, ibunya—Alya—dengan bantuan Agni serta pelayan rumah tangga yang ada di rumah William mengemas barang yang ada di rumah neneknya Zain untuk kembali ke kota. Lebih dari sepuluh hari yang panjang dan Lilia melihat barang-barangnya sudah tiba di rumah ini. Alya akhirnya setuju untuk tinggal di rumah yang dibelikan oleh William. Tempatnya tidak jauh dari mereka, hanya berbeda perumahan dengan bangunan yang lebih sederhana sebab yang tinggal di sana hanya Alya dan dua orang pelayan serta seorang security. Lilia senang sebab ibunya itu akhirnya setuju untuk tinggal dirumah baru karena sebelumnya terus saja menolak dan mengatakan ia bisa tinggal di panti asuhan dan merawat anak-anak di sana—Ibu panti itu adalah teman Alya. Tuan Alaric lah yang melobinya, beliau mengatakan kurang lebih seperti, ‘Aku tidak ingin melihat
Sebenarnya Bertha tahu bahwa keputusannya memberanikan diri untuk menemui Alaric itu adalah sesuatu yang ‘bodoh’, tapi hal itu ia lakukan sebab ia tak ingin terus melihat Gretha menangis dan mengkhawatirkan akan seperti apa masa depan yang menunggu mereka, terutama bayi yang dikandungnya itu—yang mau tak mau harus Bertha akui sebagai cucunya. Namun, setibanya di sini, Bertha telah mendapatkan jawaban yang sangat jelas sekarang. Penolakan. Alaric tak bersedia membantunya, bagaimanapun Bertha mencoba menyentuh hati baik pria itu. Sudah tak ada lagi sisa belas kasih di dalam hatinya, caranya bertutur telah menjelaskan segalanya betapa mantan suaminya itu teramat membencinya. Dan alih-alih mengulurkan tangannya, Alaric justru membebaninya dengan sebuah ancaman. Meminta Zain mengamankannya dan memanggil polisi ke sini. “TIDAK, ALARIC!” seru Bertha sekali lagi. Ia menggelengkan kepalanya dengan panik. Bertha berlari meninggalkan teras lobi Seans Holdings saat melihat Zain selangkah me
Setelah kemarin seharian hiking di sekitar gunung Pilatus—yang sebenarnya itu tak bisa dikatakan sepenuhnya hiking karena mereka tak sampai seperempat perjalanan dan lebih memilih untuk menikmati pemandangannya saja—hari ini di dalam rumah tempat tinggal selama bulan madu, Giff tak menjumpai suara apapun saat ia berkunjung ke sana. Sepertinya semua orang bangun kesiangan, mungkin karena lelah. Di depan perapian, ia melihat Lilia, William dan Keano terlelap di sana. Ia tersenyum saat memelankan langkahnya. Hatinya hangat, seperti sisa-sisa perapian semalam melihat Lilia yang tidur di tengah William dan Keano, seolah ayah dan anak itu sangat bahagia dan tak ingin kehilangan Lilia. 'Apa seperti itu wujud seorang pria yang sudah menemukan dunianya?' batin Giff kemudian menuju ke ruang makan, membongkar makanan yang dibelinya pelan-pelan hingga semuanya selesai. Baru setelah itulah ia membangunkan keluarga kecil William itu. Lilia yang pertama bangkit, berterima kasih pada Giff yang m
Sebelum William mengatakan itu, sebenarnya Lilia sempat melihat Keano menepuk bahu ayahnya itu dan membisikkan sesuatu kepadanya. Sepertinya itu adalah agar William segera mengajak Lilia berdansa. Dengan masih termangu, Lilia menatap William dan tangan kanannya yang terulur kepadanya itu. "Terima, Mama!" pinta Keano dengan antusias. "T-tapi aku tidak bisa berdansa," jawab Lilia dengan gugup, merasa bersalah karena ini seperti sebuah penolakan yang tidak kentara. "Tidak apa-apa, aku bisa membuatmu berdansa malam hari ini." Anggukan William seolah sedang meyakinkannya, sehingga Lilia menerima tangan itu dan bangun dari duduknya. Ia berjalan mengikuti William yang tiba di tengah restoran, di bawah lampu chandelier yang bergantung dengan cantik. Meja-meja yang tersisih sejak awal mereka masuk itu sekarang Lilia tahu alasannya. Untuk tempat mereka berdansa. Sekilas melirik pada Keano, bocah kecil itu duduk di sana, tersenyum dengan ditemani oleh Giff yang masuk dan berdir
Gretha mengurungkan niatnya untuk menghubungi Giff. Ia tak yakin pemuda itu akan menjawabnya juga. Yang ada kemungkinan besar ia malah diblokir. Ia lalu meletakkan ponselnya ke samping bantal, memutuskan untuk pelan-pelan membaringkan dirinya di atas tempat tidur. Memiringkan tubuhnya ke kiri, membiarkan air mata menggenang membasahi pipinya. Napasnya terasa berat, ia meraba perutnya. Hari kelahiran bayinya ini sudah semakin dekat. 'Semuanya jadi berantakan,' gumamnya dalam hati. Gigil menyergapnya dari ujung kaki. Saat ia mencoba memejamkan netranya yang lelah, bayangan wajah Ivana tiba-tiba muncul sehingga Gretha dengan cepat kembali membuka matanya. Jantungnya seperti baru saja berhenti berdetak selama beberapa detik karena tiba-tiba saja Ivana yang tak pernah ia pikirkan—dan hampir hilang dari benaknya—muncul tanpa persetujuan. Tatapan mata kakak tirinya itu—ataukah sekarang ia harus menyebutnya sebagai mantan kakak tiri—mendadak datang. Wajah cantik Ivana yang meski puca
Ini seperti deja vu dengan yang terjadi di rumah Henry sebelumnya. Dari jendela Gretha bisa melihat sebuah mobil polisi yang berhenti di depan rumah. Beberapa orang petugas dalam balutan seragam pun juga terlihat keluar dari sana. Meski di luar keadaannya gelap sebab petang mulai merayap, tapi Gretha bisa memastikan bahwa mereka berjumlah lebih dari empat orang. Cukup pas untuk menangkap satu atau dua orang, semisal itu adalah dirinya dan ibunya. Gretha berdiri di sana dalam ketegangan. Ia meneguk ludah dengan dada yang berdebar, menggila hingga seolah akan meledak. Tapi, polisi itu hanya berhenti untuk mengambil sesuatu yang ada di tengah jalan. Sepertinya bongkahan balok yang menghalangi jalan dan menepikannya. Memungut beberapa keping paku dengan alat yang mereka bawa lalu mereka masuk kembali ke dalam mobil dan mengemudikannya menjauh. Dari balik jendela, Gretha duduk merosot dengan air mata yang menggantung di kedua sudutnya. "Tidak apa-apa, tidak akan secepat itu," ucap N
“Tidurlah di kamar Lilia nanti malam, biar bagaimanapun dia adalah istrimu juga. Sama sepertiku, dia juga berhak mendapatkan nafkah batin darimu, William.” Suara manis yang terdengar menembus pintu kamar membuat Lilia menghentikan langkahnya. Ia berdiri di luar dengan kedua tangan yang mencengkeram erat keranjang berisi pakaian yang harusnya ia bawa masuk, sebelum ia menyadari bahwa tuan dan nonanya tengah berada di dalam sana. “Tidak mau, Sayang,” jawab suara bariton seorang pria menyambut permintaan itu. “Aku tidak bisa melakukan itu dengan wanita lain selain kamu.” “Kamu tidak boleh begitu, William. Karena nanti setelah aku mati, kamu akan hidup dengan Lilia.” “Tapi kamu tidak akan meninggalkan aku secepat itu, Ivana.” Lilia termangu dengan tubuh yang terasa kebas. Tuan dan nonanya itu sedang membicarakan dirinya, babysitter anak mereka, yang sekaligus telah menjadi istri kedua William. Hal itu mereka lakukan untuk memenuhi permintaan Ivana yang kondisinya memburuk akibat le...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments