Kepala Lilia terasa pening saat ia menengadahkan wajah untuk menatap sejenak langit muram siang ini.
Ia meriang sejak kemarin tetapi masih memaksakan diri untuk menjenguk ibunya di rumah sakit. Sudah sekitar lebih dari dua minggu pasca ia meninggalkan rumah William. Ia diterima menjadi seorang guru tambahan di sebuah taman kanak-kanak. Meski dulu ia menjadi pelayan di rumah keluarga Roseanne—rumah keluarga Ivana—tetapi ia diizinkan untuk tetap melanjutkan pendidikan. Berkat itu jugalah ia memiliki bekal untuk menata ulang hidupnya. Menapaki lantai pucat di sepanjang lorong yang mengantarnya tiba di depan sebuah jendela besar ruang ICU, sebuah rasa takut memburunya. “Ada apa ini?” tanyanya dalam kebingungan. Ia melihat kepanikan yang terjadi di dalam sana, seorang dokter dan beberapa perawat yang mengerumuni ranjang tempat di mana seorang wanita terbaring tak berdaya. “Ibu ….” sebutnya lirih. “Tidak—” Hatinya terasa hancur melihat ibunya—Alya—yang tubuhnya terguncang saat dokter meletakkan alat kejut jantung di dada wanita paruh baya itu. Ketegangan memenjarakan napasnya untuk beberapa menit hingga berangsur memudar saat sepertinya keadaan Alya kembali stabil. Lilia melihat pintu ruang ICU yang terbuka dan ia segera bertanya pada dokter, “Apa yang terjadi pada Ibu saya, Dokter?” “Hal yang sedikit kurang baik,” jawab beliau. “Apakah Anda sudah mengurus soal operasi transplantasi hati untuk pasien?” Mendengarnya membuat Lilia meremas jari-jari tangannya hingga terasa kebas. “B-belum,” jawabnya. “Saya sarankan untuk segera menyelesaikannya, Bu Lilia,” kata beliau. “Karena jika terus ditunda, kami tidak bisa lagi menjamin keselamatannya.” Bibirnya seketika terbungkam, ia tertunduk saat dokter beranjak pergi dari hadapannya. Menyisakan dirinya yang berdiri dalam hening dan terombang-ambing dalam kebimbangan. ‘Harus bagaimana caraku mendapatkan uang?’ tanyanya dalam hati. Ia belum mendapatkan gaji dari mengajar, sekalipun sudah … itu masih sangat jauh dari nilai fantastis untuk menutup semua biaya operasi transplantasi hati sang ibu. ‘Kalau sebelumnya aku bisa mengadu pada Nona Ivana, sekarang tidak lagi,’ batinnya. Lilia tak memiliki tujuan atau pun pandangan, meski sempat terbesit di pikirannya ia bisa menemui Nicholas dan meminta bantuan darinya … ia tepis jauh-jauh pikiran itu! ‘Kalau aku lakukan itu, artinya aku sama saja dengan membenarkan apa yang dituduhkan oleh William bahwa aku hanya mementingkan uang.’ “Aku pulang dulu, Bu,” ucap Lilia mengulum senyum getir. “Aku pasti akan menemukan cara untuk bisa menyelamatkan Ibu.” Lilia pergi meninggalkan jendela besar ruang ICU itu dengan putus asa. Langkah membawanya pergi dari rumah sakit hingga tiba di rumahnya. Saat ia melewati pintu masuk, Lilia menyadari ada orang lain di dalam. Suaranya terdengar dari salah satu kamar yang pintunya terbuka. Lilia mendekat dan menjumpai ayah angkatnya—Arya—yang tengah mengobrak-abrik isi lemari. Pria paruh baya itu diketahuinya tidak pernah pulang sejak ibunya jatuh sakit, dan sore ini Lilia menjumpainya ada di dalam rumah dan membuat kekacauan? Apa maunya? “Apa yang Ayah lakukan?” tanya Lilia dengan suara yang serak. “Mencari sertifikat rumah,” jawabnya tanpa beban. “Kamu tahu di mana ibumu menyimpannya?” Ia sekilas menoleh pada Lilia seraya terus menarik pakaian dari dalam lemari hingga semua bagiannya berserakan. “Untuk apa sertifikat rumah?” “Mau aku berikan pada penagih utang,” jawabnya. “Mereka akan datang dan menagih uang yang aku pinjam, Lia. Bantu aku mencarinya!” Rahang Lilia menggertak penuh amarah. Napasnya seakan terperangkap di dalam dada saat ia mendengar alasan ketidaktenangan ayah angkatnya itu. “Apa Ayah tidak sadar kalau Ayah itu sangat egois?!” seru Lilia. Kemarahan menyeruak dari caranya berucap dan itu membuat Arya berhenti melakukan apapun dan memilih untuk memandangnya. “Bicara apa kamu?!” “Ayah tidak pernah peduli dengan bagaimana keadaan Ibu,” sahutnya. “Ayah tidak peduli apakah Ibu sakit atau hampir mati. Yang Ayah pedulikan hanya diri ayah sendiri.” “Anak kurang aj—” “Apakah yang aku katakan salah?” desak Lilia. “Uang yang Ayah pinjam itu harusnya untuk berobat Ibu, bukan untuk kesenangan Ayah sendiri dengan berjudi atau main gila dengan wanita lain! Ibu sedang sakit, Ayah! Tolong mengertilah!” Plak! Tepat saat Lilia berhenti bicara, ia merasakan nyeri pada pipi sebelah kirinya. Tubuhnya limbung menerima hantaman tangan Arya yang melayang hingga rahang kecil itu seakan remuk. “Lancang kamu, Lilia!” hardiknya tajam. “Apa hakmu menceramahiku seperti itu, hah?!” tudingnya dengan wajah memerah karena marah. “Ingat baik-baik, kamu itu hanya anak angkat! Kamu aku besarkan tidak untuk kurang ajar begini! Kamu harusnya menjadi anak yang berbakti! Mengerti kamu?!” “AKH!” Lilia berteriak kesakitan saat telapak besar pria itu mendorongnya. Kepalanya membentur kaki meja yang berada tak jauh darinya, mengakibatkan benda-benda yang ada di atasnya jatuh berhamburan dan pecah di lantai. Dengung asing menyakiti telinganya sedetik setelah benturan itu terjadi. Lilia mengangkat wajahnya yang sudah penuh air mata. Ia hendak membalas Arya tetapi sayangnya pria itu lebih kuat. Ayah angkatnya itu lebih dulu menepisnya. Ia meringkuk melindungi kepalanya saat ia melihat Arya membawa sebuah tongkat panjang yang digunakannya untuk menyakiti Lilia. Pukulan itu bertubi-tubi menghujani lengan, bahu atau bahkan punggungnya. “Arya, aku tahu kamu di dalam! Keluar sekarang juga!” Jika suara berat seseorang tak terdengar dari luar, Lilia pasti akan mati di tangan besi pria ini! Arya tampak ketakutan saat beberapa pria datang memasuki rumah dan menemukannya di dalam kamar. “Kamu sudah janji membayarnya hari ini!” ucap pria dengan tato di lehernya. “Lunasi sekarang atau besok kamu ditemukan di tepi jalan dengan keadaan tidak bernyawa!” ancamnya. “Aku—aku—” Arya terlihat bingung untuk menjawab atau menata kata. Lilia yang bersimpuh di lantai dan menahan sekujur tubuhnya yang remuk terkejut saat ayah angkatnya itu mengatakan, “Bawa saja dia!” tunjuknya pada Lilia. “Kalian bisa menyerahkannya pada Madam sebagai ganti karena aku tidak bisa membayar utang!” ….jangan lupa tinggalkan komentar dan ulasan ☺️ sampai jumpa besok lagi ya akak semua 🦩🌸 maaf 1 bab dulu update nya yah, TYSM ILYTTMAB 🌝
“Apa?!” Lilia menatap Arya dengan sepasang matanya yang berair. “Ayah mau menjadikan aku sebagai alat penebus utang?!” “Dengan begitu kamu akan sedikit berguna, ‘kan?” balas Arya dengan tawa puas. Pria dengan tato di lehernya itu tampak memindai Lilia selama beberapa saat sebelum ia kembali memandang ayah angkatnya. “Akan aku bawa dulu dia, biar Madam yang menentukannya nanti. Ingat, urusan kita belum selesai!” “Lepas!” teriak Lilia saat pria itu merenggut lengannya dengan kasar dan memaksanya bangkit dari posisinya. Lilia seperti tak diberi kesempatan untuk menolak. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, tenaganya seolah terkuras habis untuk bertahan dari serangan Arya beberapa saat yang lalu. Ia pontang-panting diseret keluar dari kamar, langkah kakinya terseok. Telapaknya terasa dingin menapaki lantai dengan tanpa alas. Air mata dan permohonannya diabaikan. Ia melihat sebuah mobil jeep warna hitam yang ada di halaman, yang entah akan membawanya ke mana setelah ini. “Masuk!” titah si
“A-apa yang A-Anda lakukan di tempat ini?” tanya Lilia terbata-bata saat pria itu menegakkan punggungnya setelah menyapa Lilia yang kebingungan. Benaknya berkecamuk penuh tanya, benarkah pertemuan mereka memang hanya sebatas kebetulan? ‘Apa memang telah menjadi kebiasaan William datang ke tempat yang menyediakan wanita malam seperti ini?’ Jika benar seperti itu, apakah dia juga sering melakukannya sejak Ivana— “Bukankah harusnya aku yang bertanya?” tanya balik pria itu sehingga mengakhiri kemelut yang ada di dalam dada Lilia. Salah satu alis William yang lebat terangkat, mengisyaratkan sebuah kebingungan, “Kenapa kamu di tempat ini, Lilia? Aah … apa mungkin seperginya kamu dari rumahku hal yang kamu putuskan adalah menjadi wanita malam?” “Tidak,” sangkal Lilia. “S-saya di sini karena ….” Ia menggigit bibirnya, sekujur tubuhnya terasa nyeri saat mengingat lagi apa yang dilakukan oleh Arya—alasan berakhirnya ia di tempat ini. “Karena ayah saya t-tidak bisa membayar utang pada Madam
Pria tua yang hampir menindihnya itu limbung saat Lilia menendang bagian sensitif di kedua pangkal pahanya. Selagi ia mengaduh kesakitan, Lilia memandang William dengan matanya yang basah. Air mata tak hentinya mengalir, rasa takut, frustrasi, ingin lari … semuanya bercampur menjadi satu, memburunya seperti rusa kecil yang dikejar pemangsa. “Tuan William,” panggil Lilia yang membuat pria itu urung pergi. Ia menoleh pada Lilia dengan kepalanya yang condong beberapa derajat ke kiri. “Saya setuju,” kata Lilia. “Tolong bawa saya pergi dari sini,” pintanya, menelan rasa malu padahal baru saja menolak tawarannya mentah-mentah. William menunjukkan seulas senyum tipisnya saat menghadapkan tubuhnya pada Lilia seraya bertanya, “Apapun resikonya, Lilia?” Lilia mengangguk sembari menyilangkan kedua tangannya di depan tubuh. “Apapun yang aku minta, kamu akan menerimanya?” William mempertegasnya. “Saya menerimanya,” jawab Lilia, suaranya sarat akan putus asa. Ia sungguh tak ingin berada l
“Dia pernah menjalani rawat inap di rumah sakit sebelum dibawa pulang dan melakukan rawat jalan di rumah,” terang Agni. “Saat itu kondisinya cukup buruk, bahkan sampai hari ini. Tuan Muda Keano tidak mau makan sejak Anda pergi, dan tidak mau bertemu dengan Tuan William sama sekali.” Kalimat Agni memasung bibirnya kian hebat, air mata tak kuasa terbendung dan luruh saat Lilia satu langkah mendekat pada keano. “K-kenapa Keano tidak mau bertemu dengan Tuan William, Bu Agni?” tanya Lilia setelah ia menata kata. “Dia sangat marah pada Tuan William karena menganggap Tuan lah yang membuat Anda pergi dari rumah,” jawabnya. “Dia melihat Anda menangis dari kamar Tuan pada hari Anda pergi dari rumah ini.” Sesak menggelegak kala ia mendapati Keano secara langsung, dalam pandangannya bahwa kondisinya memprihatinkan. Tubuhnya sangat kurus, anak itu kehilangan banyak berat badan. Pipinya yang dulu ia cium tiap malam itu berubah tirus. Seolah Lilia tengah melihat orang lain, bukan Keano kesayang
“K-kenapa kalian memanggilku Nona?” tanya Lilia sekali lagi, dibuat bingung dengan julukan barunya. Namun alih-alih memberi jawaban pasti, beberapa pelayan yang berdiri di sekitarnya hanya menunjukkan seulas senyum saat menjawab, “Bukankah memang seperti itu seharusnya?” “Tidak—” Lilia menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mau kalian memanggilku seperti itu karena aku bukan ‘Nona’,” ucapnya sungguh-sungguh. “Peraturan tidak akan diubah, Nona Lilia,” sahut Agni—kepala pelayan—yang berdiri tak jauh darinya. Wanita paruh baya itu tersenyum saat mendekat. “Kami akan tetap memanggil Anda seperti itu.” “A-aturan apa?” tanyanya memperjelas, tapi mereka seolah sepakat untuk tak membuka mulut. ‘Aturan apa maksudnya?’ batinnya. ‘Apa William yang meminta mereka begitu?’ Tapi mungkin ini menjelaskan kenapa sejak kedatangannya semalam Agni begitu sopan dan formal padanya. ‘Aneh sekali ….’ Lilia tidak suka dengan julukan itu, nanti akan ia desak Agni untuk jujur kenapa dirinya dipanggil seba
Lilia terjaga dari tidurnya saat merasa tenggorokannya kering. Ia hendak turun dari ranjang tempat ia membersamai Keano untuk meraih sebotol minuman yang tadi ia letakkan di atas meja sebelum gelombang kejut menghantam dadanya secara tiba-tiba. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat ia melihat sesosok pria bertubuh tinggi menjulang tengah berdiri di samping ranjang. Di bawah temaram pencahayaan, Lilia bisa mengenalinya dengan baik. Wangi musk ini adalah milik William. Entah sejak kapan pria itu ada di dalam sini, berdiri seolah sengaja melihat Lilia yang terlelap bersama dengan Keano. “T-Tuan?” sapa Lilia seraya menunduk. “A-apakah Anda membutuhkan sesuatu?” tanyanya lirih agar tak turut membangunkan Keano. “Kamu belum mengatakan hasil pemeriksaan dokter tadi padaku, Lilia,” jawabnya dengan suara yang seakan membekukan setiap sudut ruangan. “M-maaf,” jawab Lilia gugup sebab saat ia mengangkat wajah, maniknya mendadak terkunci dengan William. “Dokter mengatakan bahwa Keano sudah
Dengan gugup … Lilia pergi ke kamar atas—kamar William—sesuai yang diinginkan oleh pria itu tadi pagi. Malam datang begitu cepatnya, seolah sengaja agar Lilia bisa segera datang untuk menemui pria itu.Lilia menapaki undakan tangga satu demi satu seperginya ia dari kamar Keano dan memastikan anak itu dalam tidurnya yang pulas. Tangannya terasa kebas dan dingin setibanya ia di depan pintu berdaun dua.Debar jantungnya memberontak saat Lilia mengetuk pintu kamar itu.Rasanya seperti déjà vu sebab beberapa waktu sebelumnya Lilia juga melakukan ini—mengetuk pintu kamar William.“Masuk,” sambut suara bariton pria itu dari dalam sana.Setelah pintunya terbuka, Lilia bisa melihat William berdiri di dekat ranjang, seolah memang sengaja menunggunya.Bibir pria itu terkunci tanpa suara. Kebisingan kecil terjadi saat menutup pintu dan berjalan ke arahnya sehingga mereka berdiri berhadapan.Di bawah samar cahaya lampu yang berpendar sendu di atasnya, Lilia menahan gigil pada tubuhnya saat menden
“Kenapa tubuhmu penuh luka seperti itu, Lilia?” tanya William, sepasang matanya yang gelap tampak menunjukkan berbagai macam emosi. Sebuah rasa terkejut, ada seberkas marah yang dijumpai Lilia dari alis lebatnya yang nyaris bersinggungan. Lilia tak serta merta menjawab tanya William sekalipun ia tahu pria itu tengah menunggunya bicara. Ia hanya … takut William mengira ia mencari simpati. “Apa Madam Savannah yang melakukan itu padamu?” tanya William sekali lagi. Dingin suaranya kian menjadi-jadi sementara Lilia memberi sebuah gelengan samar untuk tak membenarkannya. William tampak terdiam cukup lama, Lilia dibuat tak berkutik sepanjang detik-detik yang mencekam itu hingga pria itu menghela dalam napasnya. “Apa ayahmu yang melakukan itu?” Lilia meremas jemarinya yang terasa kebas, mengingat tongkat kayu yang dibawa oleh ayah angkatnya beberapa waktu yang lalu seolah membuat luka yang ada di sekujur tubuhnya ini kembali nyeri, meremukkan tubuhnya. Barangkali melihat reaksi Li
“Masuklah, Lilia!” kata William dari ambang pintu. “Kalau kamu berdiam diri di sana kamu akan tertular si Giffran Alfrond yang cerewet itu!”Lilia kemudian masuk ke dalam rumah, menyusul William yang menunggunya mendekat kemudian mereka menuju ke ruang makan.Lilia membantu Alya untuk menyiapkan makanan sebelum akhirnya mereka semua duduk di sana untuk santap sore—karena William lapar.Giff yang duduk di samping Keano terlihat memeriksa ponselnya dengan serius hingga William berdeham dan pemuda itu dengan cepat meletakkan benda pipih berwarna hitam itu ke atas meja—yang bagi Lilia suara William yang baru terdengar itu ia artikan sebagai sebuah teguran.Yang jika William bicara barangkali ia akan mengatakan, ‘Taruh ponselmu! Tidak sopan!’“Maaf,” kata Giff akhirnya. “Saya baru saja menerima pesan, setelah ini kita harus meeting online dengan orang dari Sada Construction dan desainer dari luar negeri yang akan mengerjakan interior ruangan di dalam sekolah itu, Tuan William,” terangnya.
Lilia berdeham, kemudian menunduk agar tak bertemu pandang dengan William.“Sepertinya sangat aneh,” kata Lilia.“Aneh kenapa?”“Karena Anda mencintai saya. Bagaimana Anda bisa jatuh cinta pada anak pelayan?”“Kamu ‘kan bukan anak pelayan?” tanya William balik.“I-itu ‘kan sekarang. Tapi dulu saat Anda mengatakan itu … bukankah Anda tahunya saya adalah anak angkat seorang pelayan?”“Memangnya ada peraturan yang mengatakan dengan siapa seseorang boleh atau tidak boleh jatuh cinta?” sanggah William. “Jika yang diatur itu adalah aku, akan aku hancurkan peraturannya, orang yang membuat aturan itu sekalian.”“T-tidak seperti itu maksud saya.” Lilia akhirnya menatap pria itu lagi, kalimatnya yang baru saja ia katakan itu terdengar tak bisa dibantah—dan sepertinya ia sungguh-sungguh saat mengatakan akan menghancurkan peraturan yang melarangnya jatuh cinta pada siapa.“Jadi?”“Saya hanya merasa aneh, itu saja,” kata Lilia.“Jika aku yang jatuh cinta padamu kamu anggap aneh, mungkin jika kamu
“Kenapa kamu bangun?” tanya William setelah Lilia menyebutkan namanya.“Bukannya saya yang harus bertanya?” tanya Lilia balik seraya bangun, duduk dan merapikan rambutnya. “Kenapa Anda tidak tidur?”“Tidak apa-apa, senang saja melihatmu dan Keano bisa bersamaku, Lilia,” jawabnya. “Hal yang sebelumnya sepertinya sudah pupus dari harapanku kita akan bisa seperti ini lagi. Terima kasih karena kamu mau menginap denganku di sini.”“Bukankah saya sudah pernah bilang, jika itu bertujuan untuk membuat Keano senang, saya pasti akan setuju.”Di bawah temaramnya lampu kamar hotel itu, Lilia bisa melihat senyum manis William saat pria itu mengangguk sebagai tanggapan atas ungkapannya.Mata Lilia berpindah dari iris kelamnya ke atas meja. Pada sekotak rokok yang ada di atas asbak keramik yang mencuri perhatiannya. “Apa Anda merokok juga?” tanya Lilia memberanikan diri.“Itu milik Giff.”“Pak Giff masih muda, kenapa dia merokok?” gumam Lilia yang jelas bisa didengar oleh William.“Hanya sesekali s
“Aku tidak keberatan,” jawab William. “Tapi semuanya kembali lagi pada Lilia dan Keano, ‘kan?”Ia menoleh pada Lilia, memandang bergantian pada anak lelakinya juga.“Mau ya, Mama?” bujuk Keano pada Lilia yang hanya bergeming.Ibunya yang duduk di ruang tengah kemudian bangkit dan menghampiri Lilia, menyentuh punggung tangannya seraya berbisik, “Pergilah … siapa tahu dengan begitu ingatanmu akan segera pulih, Nak ….”Alya menunjukkan senyum tulusnya sebelum beranjak pergi dari sana, membiarkan Lilia mengambil keputusan setelah memikirkannya.“Mama?” panggil Keano sekali lagi, mungkin tidak sabar karena Lilia tak kunjung menjawabnya. “Apakah Mama tidak mau?”Sepasang matanya menatap Lilia dengan mengiba. Hatinya pasti terluka jika Lilia menolak permintaannya itu.“Iya baik, Mama mau,” jawab Lilia seraya menunjukkan senyumnya agar bocah kecil itu juga tersenyum dan berhenti menunjukkan bibir tertekuknya seperti itu.Setelah bersiap dengan membawa beberapa pakaian, mereka pergi meninggalk
Lilia panik, ia berusaha menutupi bagian depan tubuhnya yang pasti tampak, entah itu bra atau bahkan—“Ambilkan coat punyaku yang ada di mobil, Giff!” pinta William pada Giff yang lalu berlari pergi dari sana.Lilia menyilangkan kedua tangannya di depan dada saat William tersenyum dan memalingkan wajahnya. Mengisyaratkan pada Keano agar anak lelakinya itu melakukan hal yang sama meski ia tahu Keano terlihat khawatir.Tidak membutuhkan waktu lama bagi Giff untuk kembali den dengan mata terpejam menyerahkan coat panjang itu pada William, memindahnya pada Lilia tanpa menoleh, meminta agar ia memakainya.“Pakailah,” ucapnya. “Coat ini panjang, kamu bisa menutupi semua bagian yang basah dengan ini.”“Terima kasih,” jawab Lilia kemudian mengenakannya dengan gugup—atau lebih tepatnya malu.Ia hanya wanita sendiri sementara dua orang yang ada di sekitarnya adalah pria dan seorang anak lelaki.“Kita pulang saja, Papa,” ajak Keano. “Kasihan Mama bajunya basah, nanti kalau Mama sakit bagaimana?”
Amaya merasa hatinya sedang tak karuan sekarang melihat Kelvin yang menjatuhkan air mata. Saat manik mereka bertemu, Amaya melihat betapa pria itu sangat tulus meletakkan seluruh perasaannya dan seolah menunggu agar hari ini tiba.Gafi tersenyum saat memandang keduanya bergantian sebelum ia memindah tangan Amaya pada Kelvin.Pembawa acara meminta agar Gafi kemudian memberikan ruang dan tempat untuk kedua pengantin yang tengah berbahagia.Amaya tak bisa memalingkan wajahnya, ia terpesona, terperangkap pada Kelvin saat pria itu terus menatapnya dengan teduh.Gerakan bibirnya yang tanpa suara sedang mengatakan, ‘Cantik sekali.’Dan tentu saja itu diketahui oleh semua orang yang hadir di sana dan itu membuat tubuh Amaya meremang.Apalagi saat pembawa acara mengatakan, “Bapak-Ibu tamu undangan sekalian, sepertinya kedua mempelai kita ini sudah tidak sabar untuk mengatakan apa yang mereka rasakan selama ini,” ujarnya. “Mari kita dengarkan terlebih dahulu sepatah dua patah kata dari masing-
Lagi pula … bagaimana bisa Lilia menyebutnya berbohong jika matanya yang seolah dipenuhi oleh cumulonimbus itu berbicara lebih banyak sebesar apa lukanya. Sepertinya Tuan Alaric juga benar saat menyebut tentang William yang hampir gila selama pria itu berpikir bahwa Lilia dan Keano telah tewas terpanggang bara api.Lilia tersenyum sebagai jawaban. “Tidak apa-apa,” katanya. “Dan terima kasih karena sudah mengakuinya. Saya juga meminta maaf karena melupakan semuanya sehingga kita harus menjadi seperti ini. Asing, seperti orang yang tidak saling mengenal sebelumnya padahal sudah melewati banyak peristiwa.”“Kamu tidak bersalah, Lilia,” jawab William. “Kamu hanya korban dari keserakahan orang lain.”Dan Lilia tahu bahwa ‘orang lain’ yang dimaksudkan oleh William itu adalah Gretha—meski ia juga tak ingat seperti apa kejadiannya.Mereka kembali terhening selama beberapa saat. Dimulai sejak William menyesap teh hangat miliknya hingga pria itu kembali memperdengarkan suara baritonnya.Sepasa
Benar itu adalah William! Lilia dengan cepat membuka pintu rumah, udara dingin yang datang dari luar menyinggahi wajahnya bersamaan saat William tiba di hadapannya dengan tersenyum. Ia terlihat hendak berbicara sebelum Lilia lebih dulu memberinya teguran. “Kenapa Anda selalu tidak memakai payung padahal Anda tahu sedang hujan?” tanyanya. “Kita bertemu pertama kali di depan preschool itu Anda juga tidak memakai payung, ‘kan? Apa tidak ada payung di dalam mobil mahal Anda itu?” Alih-alih menjawab, yang dilakukan oleh William adalah tetap tersenyum, seolah ia sangat senang mendengar celotehan Lilia ini. “Maaf,” jawab William pertama-tama. “Aku hanya tidak sabar untuk segera bertemu denganmu, Lilia.” “Ini masih pagi, apakah Anda dari kota langsung ke sini?” “Tidak. Aku sudah ada di hotel beberapa jam yang lalu dan pagi-pagi ke sini karena aku ingin melihatmu,” terang William. “Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” “Anda bisa datang lebih siang, setidaknya tidak segelap ini. Apa A
‘LILIA?!’ seru William dalam hati. Ia terhenyak bangun dari berbaringnya dan mengetuk kontak itu dengan tidak sabar. ‘Apa benar ini dia? Apa dia sudah diizinkan Papa memakai ponsel?’ banyak tanya di dalam hatinya. [Lilia Zamora?] balas William memastikan. [Benar.] Napasnya tercekat di dada saat membaca balasan itu. Ia duduk dengan punggung tegak saat tangannya yang dirasanya gemetar itu kembali mengetik. [Aku akan datang besok. Tolong katakan pada Keano juga ya. Sampai jumpa, Lilia.] William beringsut turun dari ranjang, ia berlari keluar dari kamar Keano dan menuju ke kamar di mana Giff berada selama ia tinggal di rumahnya. “Giff!” panggil William setelah membuka pintu kamar itu tanpa mengetuknya lebih dulu. Si pemilik nama yang tengah berbaring di atas ranjangnya itu menoleh pada William dengan alisnya yang bersinggungan. “Anda tidak bisa mengetuk pintu dulu?” “Ini rumahku,” jawabnya singkat—dan ketus. “Ayo kita pergi, kamu siapkan mobilnya!” “Pergi? Pergi ke ma