Kepala Lilia terasa pening saat ia menengadahkan wajah untuk menatap sejenak langit muram siang ini.
Ia meriang sejak kemarin tetapi masih memaksakan diri untuk menjenguk ibunya di rumah sakit. Sudah sekitar lebih dari dua minggu pasca ia meninggalkan rumah William. Ia diterima menjadi seorang guru tambahan di sebuah taman kanak-kanak. Meski dulu ia menjadi pelayan di rumah keluarga Roseanne—rumah keluarga Ivana—tetapi ia diizinkan untuk tetap melanjutkan pendidikan. Berkat itu jugalah ia memiliki bekal untuk menata ulang hidupnya. Menapaki lantai pucat di sepanjang lorong yang mengantarnya tiba di depan sebuah jendela besar ruang ICU, sebuah rasa takut memburunya. “Ada apa ini?” tanyanya dalam kebingungan. Ia melihat kepanikan yang terjadi di dalam sana, seorang dokter dan beberapa perawat yang mengerumuni ranjang tempat di mana seorang wanita terbaring tak berdaya. “Ibu ….” sebutnya lirih. “Tidak—” Hatinya terasa hancur melihat ibunya—Alya—yang tubuhnya terguncang saat dokter meletakkan alat kejut jantung di dada wanita paruh baya itu. Ketegangan memenjarakan napasnya untuk beberapa menit hingga berangsur memudar saat sepertinya keadaan Alya kembali stabil. Lilia melihat pintu ruang ICU yang terbuka dan ia segera bertanya pada dokter, “Apa yang terjadi pada Ibu saya, Dokter?” “Hal yang sedikit kurang baik,” jawab beliau. “Apakah Anda sudah mengurus soal operasi transplantasi hati untuk pasien?” Mendengarnya membuat Lilia meremas jari-jari tangannya hingga terasa kebas. “B-belum,” jawabnya. “Saya sarankan untuk segera menyelesaikannya, Bu Lilia,” kata beliau. “Karena jika terus ditunda, kami tidak bisa lagi menjamin keselamatannya.” Bibirnya seketika terbungkam, ia tertunduk saat dokter beranjak pergi dari hadapannya. Menyisakan dirinya yang berdiri dalam hening dan terombang-ambing dalam kebimbangan. ‘Harus bagaimana caraku mendapatkan uang?’ tanyanya dalam hati. Ia belum mendapatkan gaji dari mengajar, sekalipun sudah … itu masih sangat jauh dari nilai fantastis untuk menutup semua biaya operasi transplantasi hati sang ibu. ‘Kalau sebelumnya aku bisa mengadu pada Nona Ivana, sekarang tidak lagi,’ batinnya. Lilia tak memiliki tujuan atau pun pandangan, meski sempat terbesit di pikirannya ia bisa menemui Nicholas dan meminta bantuan darinya … ia tepis jauh-jauh pikiran itu! ‘Kalau aku lakukan itu, artinya aku sama saja dengan membenarkan apa yang dituduhkan oleh William bahwa aku hanya mementingkan uang.’ “Aku pulang dulu, Bu,” ucap Lilia mengulum senyum getir. “Aku pasti akan menemukan cara untuk bisa menyelamatkan Ibu.” Lilia pergi meninggalkan jendela besar ruang ICU itu dengan putus asa. Langkah membawanya pergi dari rumah sakit hingga tiba di rumahnya. Saat ia melewati pintu masuk, Lilia menyadari ada orang lain di dalam. Suaranya terdengar dari salah satu kamar yang pintunya terbuka. Lilia mendekat dan menjumpai ayah angkatnya—Arya—yang tengah mengobrak-abrik isi lemari. Pria paruh baya itu diketahuinya tidak pernah pulang sejak ibunya jatuh sakit, dan sore ini Lilia menjumpainya ada di dalam rumah dan membuat kekacauan? Apa maunya? “Apa yang Ayah lakukan?” tanya Lilia dengan suara yang serak. “Mencari sertifikat rumah,” jawabnya tanpa beban. “Kamu tahu di mana ibumu menyimpannya?” Ia sekilas menoleh pada Lilia seraya terus menarik pakaian dari dalam lemari hingga semua bagiannya berserakan. “Untuk apa sertifikat rumah?” “Mau aku berikan pada penagih utang,” jawabnya. “Mereka akan datang dan menagih uang yang aku pinjam, Lia. Bantu aku mencarinya!” Rahang Lilia menggertak penuh amarah. Napasnya seakan terperangkap di dalam dada saat ia mendengar alasan ketidaktenangan ayah angkatnya itu. “Apa Ayah tidak sadar kalau Ayah itu sangat egois?!” seru Lilia. Kemarahan menyeruak dari caranya berucap dan itu membuat Arya berhenti melakukan apapun dan memilih untuk memandangnya. “Bicara apa kamu?!” “Ayah tidak pernah peduli dengan bagaimana keadaan Ibu,” sahutnya. “Ayah tidak peduli apakah Ibu sakit atau hampir mati. Yang Ayah pedulikan hanya diri ayah sendiri.” “Anak kurang aj—” “Apakah yang aku katakan salah?” desak Lilia. “Uang yang Ayah pinjam itu harusnya untuk berobat Ibu, bukan untuk kesenangan Ayah sendiri dengan berjudi atau main gila dengan wanita lain! Ibu sedang sakit, Ayah! Tolong mengertilah!” Plak! Tepat saat Lilia berhenti bicara, ia merasakan nyeri pada pipi sebelah kirinya. Tubuhnya limbung menerima hantaman tangan Arya yang melayang hingga rahang kecil itu seakan remuk. “Lancang kamu, Lilia!” hardiknya tajam. “Apa hakmu menceramahiku seperti itu, hah?!” tudingnya dengan wajah memerah karena marah. “Ingat baik-baik, kamu itu hanya anak angkat! Kamu aku besarkan tidak untuk kurang ajar begini! Kamu harusnya menjadi anak yang berbakti! Mengerti kamu?!” “AKH!” Lilia berteriak kesakitan saat telapak besar pria itu mendorongnya. Kepalanya membentur kaki meja yang berada tak jauh darinya, mengakibatkan benda-benda yang ada di atasnya jatuh berhamburan dan pecah di lantai. Dengung asing menyakiti telinganya sedetik setelah benturan itu terjadi. Lilia mengangkat wajahnya yang sudah penuh air mata. Ia hendak membalas Arya tetapi sayangnya pria itu lebih kuat. Ayah angkatnya itu lebih dulu menepisnya. Ia meringkuk melindungi kepalanya saat ia melihat Arya membawa sebuah tongkat panjang yang digunakannya untuk menyakiti Lilia. Pukulan itu bertubi-tubi menghujani lengan, bahu atau bahkan punggungnya. “Arya, aku tahu kamu di dalam! Keluar sekarang juga!” Jika suara berat seseorang tak terdengar dari luar, Lilia pasti akan mati di tangan besi pria ini! Arya tampak ketakutan saat beberapa pria datang memasuki rumah dan menemukannya di dalam kamar. “Kamu sudah janji membayarnya hari ini!” ucap pria dengan tato di lehernya. “Lunasi sekarang atau besok kamu ditemukan di tepi jalan dengan keadaan tidak bernyawa!” ancamnya. “Aku—aku—” Arya terlihat bingung untuk menjawab atau menata kata. Lilia yang bersimpuh di lantai dan menahan sekujur tubuhnya yang remuk terkejut saat ayah angkatnya itu mengatakan, “Bawa saja dia!” tunjuknya pada Lilia. “Kalian bisa menyerahkannya pada Madam sebagai ganti karena aku tidak bisa membayar utang!” ….jangan lupa tinggalkan komentar dan ulasan ☺️ sampai jumpa besok lagi ya akak semua 🦩🌸 maaf 1 bab dulu update nya yah, TYSM ILYTTMAB 🌝
“Apa?!” Lilia menatap Arya dengan sepasang matanya yang berair. “Ayah mau menjadikan aku sebagai alat penebus utang?!” “Dengan begitu kamu akan sedikit berguna, ‘kan?” balas Arya dengan tawa puas. Pria dengan tato di lehernya itu tampak memindai Lilia selama beberapa saat sebelum ia kembali memandang ayah angkatnya. “Akan aku bawa dulu dia, biar Madam yang menentukannya nanti. Ingat, urusan kita belum selesai!” “Lepas!” teriak Lilia saat pria itu merenggut lengannya dengan kasar dan memaksanya bangkit dari posisinya. Lilia seperti tak diberi kesempatan untuk menolak. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, tenaganya seolah terkuras habis untuk bertahan dari serangan Arya beberapa saat yang lalu. Ia pontang-panting diseret keluar dari kamar, langkah kakinya terseok. Telapaknya terasa dingin menapaki lantai dengan tanpa alas. Air mata dan permohonannya diabaikan. Ia melihat sebuah mobil jeep warna hitam yang ada di halaman, yang entah akan membawanya ke mana setelah ini. “Masuk!” titah si
“A-apa yang A-Anda lakukan di tempat ini?” tanya Lilia terbata-bata saat pria itu menegakkan punggungnya setelah menyapa Lilia yang kebingungan. Benaknya berkecamuk penuh tanya, benarkah pertemuan mereka memang hanya sebatas kebetulan? ‘Apa memang telah menjadi kebiasaan William datang ke tempat yang menyediakan wanita malam seperti ini?’ Jika benar seperti itu, apakah dia juga sering melakukannya sejak Ivana— “Bukankah harusnya aku yang bertanya?” tanya balik pria itu sehingga mengakhiri kemelut yang ada di dalam dada Lilia. Salah satu alis William yang lebat terangkat, mengisyaratkan sebuah kebingungan, “Kenapa kamu di tempat ini, Lilia? Aah … apa mungkin seperginya kamu dari rumahku hal yang kamu putuskan adalah menjadi wanita malam?” “Tidak,” sangkal Lilia. “S-saya di sini karena ….” Ia menggigit bibirnya, sekujur tubuhnya terasa nyeri saat mengingat lagi apa yang dilakukan oleh Arya—alasan berakhirnya ia di tempat ini. “Karena ayah saya t-tidak bisa membayar utang pada Madam
Pria tua yang hampir menindihnya itu limbung saat Lilia menendang bagian sensitif di kedua pangkal pahanya. Selagi ia mengaduh kesakitan, Lilia memandang William dengan matanya yang basah. Air mata tak hentinya mengalir, rasa takut, frustrasi, ingin lari … semuanya bercampur menjadi satu, memburunya seperti rusa kecil yang dikejar pemangsa. “Tuan William,” panggil Lilia yang membuat pria itu urung pergi. Ia menoleh pada Lilia dengan kepalanya yang condong beberapa derajat ke kiri. “Saya setuju,” kata Lilia. “Tolong bawa saya pergi dari sini,” pintanya, menelan rasa malu padahal baru saja menolak tawarannya mentah-mentah. William menunjukkan seulas senyum tipisnya saat menghadapkan tubuhnya pada Lilia seraya bertanya, “Apapun resikonya, Lilia?” Lilia mengangguk sembari menyilangkan kedua tangannya di depan tubuh. “Apapun yang aku minta, kamu akan menerimanya?” William mempertegasnya. “Saya menerimanya,” jawab Lilia, suaranya sarat akan putus asa. Ia sungguh tak ingin berada l
“Dia pernah menjalani rawat inap di rumah sakit sebelum dibawa pulang dan melakukan rawat jalan di rumah,” terang Agni. “Saat itu kondisinya cukup buruk, bahkan sampai hari ini. Tuan Muda Keano tidak mau makan sejak Anda pergi, dan tidak mau bertemu dengan Tuan William sama sekali.” Kalimat Agni memasung bibirnya kian hebat, air mata tak kuasa terbendung dan luruh saat Lilia satu langkah mendekat pada keano. “K-kenapa Keano tidak mau bertemu dengan Tuan William, Bu Agni?” tanya Lilia setelah ia menata kata. “Dia sangat marah pada Tuan William karena menganggap Tuan lah yang membuat Anda pergi dari rumah,” jawabnya. “Dia melihat Anda menangis dari kamar Tuan pada hari Anda pergi dari rumah ini.” Sesak menggelegak kala ia mendapati Keano secara langsung, dalam pandangannya bahwa kondisinya memprihatinkan. Tubuhnya sangat kurus, anak itu kehilangan banyak berat badan. Pipinya yang dulu ia cium tiap malam itu berubah tirus. Seolah Lilia tengah melihat orang lain, bukan Keano kesayang
“K-kenapa kalian memanggilku Nona?” tanya Lilia sekali lagi, dibuat bingung dengan julukan barunya. Namun alih-alih memberi jawaban pasti, beberapa pelayan yang berdiri di sekitarnya hanya menunjukkan seulas senyum saat menjawab, “Bukankah memang seperti itu seharusnya?” “Tidak—” Lilia menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mau kalian memanggilku seperti itu karena aku bukan ‘Nona’,” ucapnya sungguh-sungguh. “Peraturan tidak akan diubah, Nona Lilia,” sahut Agni—kepala pelayan—yang berdiri tak jauh darinya. Wanita paruh baya itu tersenyum saat mendekat. “Kami akan tetap memanggil Anda seperti itu.” “A-aturan apa?” tanyanya memperjelas, tapi mereka seolah sepakat untuk tak membuka mulut. ‘Aturan apa maksudnya?’ batinnya. ‘Apa William yang meminta mereka begitu?’ Tapi mungkin ini menjelaskan kenapa sejak kedatangannya semalam Agni begitu sopan dan formal padanya. ‘Aneh sekali ….’ Lilia tidak suka dengan julukan itu, nanti akan ia desak Agni untuk jujur kenapa dirinya dipanggil seba
Lilia terjaga dari tidurnya saat merasa tenggorokannya kering. Ia hendak turun dari ranjang tempat ia membersamai Keano untuk meraih sebotol minuman yang tadi ia letakkan di atas meja sebelum gelombang kejut menghantam dadanya secara tiba-tiba. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat ia melihat sesosok pria bertubuh tinggi menjulang tengah berdiri di samping ranjang. Di bawah temaram pencahayaan, Lilia bisa mengenalinya dengan baik. Wangi musk ini adalah milik William. Entah sejak kapan pria itu ada di dalam sini, berdiri seolah sengaja melihat Lilia yang terlelap bersama dengan Keano. “T-Tuan?” sapa Lilia seraya menunduk. “A-apakah Anda membutuhkan sesuatu?” tanyanya lirih agar tak turut membangunkan Keano. “Kamu belum mengatakan hasil pemeriksaan dokter tadi padaku, Lilia,” jawabnya dengan suara yang seakan membekukan setiap sudut ruangan. “M-maaf,” jawab Lilia gugup sebab saat ia mengangkat wajah, maniknya mendadak terkunci dengan William. “Dokter mengatakan bahwa Keano sudah
Dengan gugup … Lilia pergi ke kamar atas—kamar William—sesuai yang diinginkan oleh pria itu tadi pagi. Malam datang begitu cepatnya, seolah sengaja agar Lilia bisa segera datang untuk menemui pria itu.Lilia menapaki undakan tangga satu demi satu seperginya ia dari kamar Keano dan memastikan anak itu dalam tidurnya yang pulas. Tangannya terasa kebas dan dingin setibanya ia di depan pintu berdaun dua.Debar jantungnya memberontak saat Lilia mengetuk pintu kamar itu.Rasanya seperti déjà vu sebab beberapa waktu sebelumnya Lilia juga melakukan ini—mengetuk pintu kamar William.“Masuk,” sambut suara bariton pria itu dari dalam sana.Setelah pintunya terbuka, Lilia bisa melihat William berdiri di dekat ranjang, seolah memang sengaja menunggunya.Bibir pria itu terkunci tanpa suara. Kebisingan kecil terjadi saat menutup pintu dan berjalan ke arahnya sehingga mereka berdiri berhadapan.Di bawah samar cahaya lampu yang berpendar sendu di atasnya, Lilia menahan gigil pada tubuhnya saat menden
“Kenapa tubuhmu penuh luka seperti itu, Lilia?” tanya William, sepasang matanya yang gelap tampak menunjukkan berbagai macam emosi. Sebuah rasa terkejut, ada seberkas marah yang dijumpai Lilia dari alis lebatnya yang nyaris bersinggungan. Lilia tak serta merta menjawab tanya William sekalipun ia tahu pria itu tengah menunggunya bicara. Ia hanya … takut William mengira ia mencari simpati. “Apa Madam Savannah yang melakukan itu padamu?” tanya William sekali lagi. Dingin suaranya kian menjadi-jadi sementara Lilia memberi sebuah gelengan samar untuk tak membenarkannya. William tampak terdiam cukup lama, Lilia dibuat tak berkutik sepanjang detik-detik yang mencekam itu hingga pria itu menghela dalam napasnya. “Apa ayahmu yang melakukan itu?” Lilia meremas jemarinya yang terasa kebas, mengingat tongkat kayu yang dibawa oleh ayah angkatnya beberapa waktu yang lalu seolah membuat luka yang ada di sekujur tubuhnya ini kembali nyeri, meremukkan tubuhnya. Barangkali melihat reaksi Li
Namun, alih-alih menjawab Gretha, yang dilakukan William justru memandang kedatangan Lilia. “Sebentar,” katanya pada Gretha seraya menguraikan tangan kecil gadis itu yang melilit lengannya. William mendekat pada Lilia dan mengarahkan kedua tangannya pada Keano, mengangkat anak lelakinya itu ke gendongannya. Setelah hal itu ia lakukan, Lilia terkejut karena William menarik pergelangan tangannya agar mendekat. Menghentikan gerakan Nicholas yang akan menghampiri Lilia. Nicholas yang sepertinya menyadari tatapan tak nyaman William segera mencari topik pembicaraan. “Apa yang kamu lakukan di sini, Lilia?” tanyanya. “Aku yang memintanya ke sini,” jawab William lebih dulu. “Kalau kamu mau meeting dengan Gretha, biar Keano dan Lilia bersamaku, Liam. Aku bisa membawa mereka berkeliling sampai kamu selesai.” William menyeringai, “Tidak perlu,” jawabnya. Sedetik kemudian ia menoleh pada Gretha yang berdiri tak jauh darinya. “Kamu bisa memberikan file-nya pada Giff, Gretha,” pint
Keberadaannya di sini … bukankah Lilia tak perlu mempertanyakannya? Gretha adalah seorang pebisnis. Bisa dikatakan ia adalah perpanjangan tangan dari ayahnya—Alaric Roseanne—dalam menjalankan bisnis keluarga. “Apa yang kamu lakukan di sini, Lilia?” tanya Gretha masih dengan suara yang sama manisnya. Lilia membuka bibirnya, ia hampir menjawab gadis itu sebelum merasakam tarikan di tangan Keano yang mengatakan, “Ayo masuk, Mama! Liftnya sudah terbuka. Nanti Papa menunggu kita,” tunjuknya pada pintu lift yang ada di hadapan mereka. “Iya, Sayang,” jawab Lilia dengan tersenyum pada Keano kemudian mereka masuk ke dalam lift. Staf yang tadi menemani mereka tertahan di luar saat Gretha mengatakan bahwa ia yang akan menemani Lilia menuju ke lantai lima belas, ruang kerja William berada. “Aku juga akan bertemu dengan Kak Liam,” ujar Gretha saat ia ikut masuk, menyusul Lilia dan berdiri di sampingnya. Pintu lift tertutup, Gretha memandang Lilia saat mereka melewati lantai tiga sembari meng
Lilia tak bisa membendung rasa bahagianya mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh William. Jadi guru ia bilang? Lilia menunduk, meraih kertas yang ada di atas meja sebelum kembali memandang William seraya bertanya, “Sungguh saya boleh menjadi guru?” William mengangguk menjawabnya, sedang Keano yang tadinya sibuk dengan serangga di dalam toples itu mendekat pada Lilia, menatapnya dengan sepasang mata yang berbinar. “Apa yang terjadi, Mama?” tanyanya polos. “Kenapa Mama sangat senang?” “Papa bilang kalau ada kesempatan untuk bisa menjadi guru di sekolah tempat Keano belajar,” jawab Lilia dengan mengusap rambut hitamnya yang tebal. “Artinya, kalau Mama jadi guru di sana, Keano akan bisa bertemu dengan Mama setiap hari?” celotehnya dengan antusias. “Mau saja, Mama ….” Lilia juga sangat ingin melakukan itu. Menjadi guru adalah hal yang sedari dulu ia inginkan. Ia kembali menatap William yang anehnya … untuk pertama kalinya ia melihat William tersenyum lepas. “Terima kasih,” ka
“Sayang?” ulang beberapa orang yang ada di sekitar Lilia. “Siapa pria itu?” “Dia tadi sepertinya keluar dari mobil mewah yang ada di sana?” tunjuk lainnya pada sedan milik William yang berada beberapa jarak di dekat gerbang sekolah Keano. Selagi bisikan terus bergulir, semakin lama semakin keras, Lilia masih memandang William. Ingin rasanya menguraikan tangannya yang ada di pinggangnya ini tetapi yang terjadi justru William merengkuhnya semakin erat. “Ayo pulang,” kata William dengan menundukkan kepalanya di samping Lilia. Mereka hampir beranjak sebelum salah seorang ibu muda menghentikan keduanya. “Maaf—” katanya pertama-tama. “Tapi sepertinya saya pernah melihat Anda. Apa … Anda William Quist dari Velox Corp?” tanyanya. “Velox Corp?” ulang beberapa orang lain, semakin banyak yang ingin tahu. “Anda CEO di Velox Corp, benar?” tanya si Ibu muda kembali. William hanya tersenyum, tipis sepanjang beberapa milimeter sebagai sebuah tanggapan. “Suami saya bekerja di Velox Corp, s
“Tidak,” jawab Lilia dengan cepat. “Tapi ada film yang memang tidak boleh ditonton oleh anak-anak.” “Itu memang film yang khusus ditonton oleh keluarga, Lilia,” tegas William. “Kamu ikut atau tidak?” Lilia memandang Keano yang sepasang matanya tampak berbinar. Memangnya siapa yang sanggup menolak permintaan bocah kecil itu jika sudah menunjukkan sisinya yang manja pada seperti ini? “Iya, ikut,” putus Lilia akhirnya. Maka setelah itu, pergilah mereka ke salah satu mall yang cukup ramai saat hari menjelang sore. Di bioskop, William benar saat mengatakan bahwa film yang mereka tonton itu adalah film khusus keluarga. Sebuah film yang hangat dengan karakter superhero lemah yang kemudian berubah menjadi kuat. Film usai dengan mendapat banyak tepuk tangan dari para penonton begitu juga dengan Keano yang terbawa suasana. “Tapi, apa itu film dewasa yang tadi dikatakan oleh Papa?” tanya Keano sekeluarnya mereka dari sana. Bocah kecil itu berjalan di tengah, menggandeng tangan Lilia dan
Daripada berubah panjang, dan mempertimbangkan seandainya Keano bangun karena ‘perdebatan’ mereka, Lilia akhirnya menghadapkan tubuhnya pada William. Mata mereka bertemu di bawah minimnya pencahayaan di dalam ruangan itu. Untuk beberapa saat keheningan menghampiri hingga William kembali membuka suaranya. “Apakah kamu masih takut saat kita sudah berada sedekat ini?” tanyanya. “Yang saya takuti itu lebih pada saat Anda marah pada saya,” jawab Lilia apa adanya. Karena memang seperti itulah yang ia rasakan. “Apalagi sebagian besar dari marah itu saya tidak tahu apa penyebab jelasnya. Saya takut melihat mata Tuan William yang gelap. Itu mengingatkan saya pada ayah saya yang—” Lilia berhenti bicara, pupil hitamnya bergoyang gugup mendapati William yang masih tak berpaling. “Maaf,” kata Lilia. “Saya tidak bermaksud menjual cerita sedih.” “Apa hidupmu memang semenyedihkan itu?” “Menurut Anda?” tanya Lilia balik. “Aneh.” William menatapnya kian lekat, seolah berusaha menyelami isi piki
‘Mencium?’ ulang Lilia dalam hati. Ia terkejut dengan permintaan Keano, dan sebelum itu terjadi, ia lebih dulu mengidekan hal lainnya. “Keano dan Papa saja yang berfoto,” katanya memberi saran. “Nanti biar fotonya Keano dan Papa yang Mama pasang di ponsel barunya Mama, bagaimana?” Lilia harap ia setuju. Tapi, Keano tak serta-merta menjawabnya. Ia menatap Lilia dengan alis yang sedikit berkerut dan bibirnya yang kecil itu bergerak, pasti akan melayangkan protes, Lilia tahu itu. Namun, sebelum suara manisnya terdengar, bariton William lebih dulu singgah di indera pendengar Lilia saat pria itu mengatakan, “Sure,” dengan tanpa bebannya. “Ayo kita berfoto.” Lilia menoleh ke belakang dan melihat William yang bangun dari balik mejanya. Langkah kakinya yang panjang itu dalam sekejap menghabisi jarak sehingga ia tiba di dekat Keano. “Apa yang kamu lakukan?” tanya William seraya memandang Lilia yang masih duduk di tempatnya. “Kamu tidak ingin berfoto denganku dan Keano?” Itu bukan sebat
William cukup lama memandangnya, sepasang matanya yang gelap itu memindai Lilia, seolah membaca gerak tubuhnya, seperti sedang memastikan sesuatu.Lilia meremas jari-jarinya, napas tertahan selama beberapa detik saat jaraknya dan William begitu dekat.Pria itu kemudian menunduk di sampingnya.Tangannya menggapai sesuatu dari atas meja, yang saat Lilia melihatnya itu adalah ponsel miliknya yang pasti ia tinggalkan di sana sebelum mengajak Keano mandi."Temui aku nanti kalau kamu sudah selesai dengan Keano," kata William, sekilas memandang Lilia sebelum ia membawa kakinya untuk pergi dari sana."Papa keluar dulu, Sayang," katanya pada Keano yang membalas lambaian tangannya hingga ia menghilang di balik pintu.Kedua bahu Lilia jatuh penuh kelegaan saat langkah kaki William tak lagi terdengar.Setiap kali dekat dengannya, atau menjumpai tatapan William yang gelap, rasanya ia mendapat ketakutan yang besar.Pria itu seakan-akan bersiap merenggut hidupnya. Menimbulkan ingatan tentang ayah an
Mendengar Lilia mengulangi apa yang ia katakan membuat William berdeham. Pria itu memalingkan wajahnya sebelum membawa kakinya pergi lebih dulu. “Cepatlah!” katanya saat Lilia masih tertegun sehingga mereka dipisahkan sekian meter jarak. “Aku akan meninggalkanmu kalau lama.” “Papa,” rengek Keano saat melihat Lilia masih ada di belakang. “Tidak boleh meninggalkan Mama!” Menuai protes dari anak lelakinya, Lilia melihat William memelankan langkahnya. Lilia lalu menyusul mereka, berjalan di samping William. Ia hendak merapikan kerah baju Keano tetapi yang terjadi justru tangannya tanpa sengaja bersentuhan dengan Willia sehingga Lilia urung melakukan itu dan lebih memilih untuk selangkah menjauh, memberi jarak yang lebih lebar. Di parkiran, Lilia melihat Giff yang tampak terhubung dengan panggilan telepon dengan seseorang. Pemuda itu berdiri tak jauh dari sedan mewah milik William sebelum mengetahui kedatangan mereka sehingga ia harus menyelesaikan panggilan itu. “Selamat d