Kepala Lilia terasa pening saat ia menengadahkan wajah untuk menatap sejenak langit muram siang ini.
Ia meriang sejak kemarin tetapi masih memaksakan diri untuk menjenguk ibunya di rumah sakit. Sudah sekitar lebih dari dua minggu pasca ia meninggalkan rumah William. Ia diterima menjadi seorang guru tambahan di sebuah taman kanak-kanak. Meski dulu ia menjadi pelayan di rumah keluarga Roseanne—rumah keluarga Ivana—tetapi ia diizinkan untuk tetap melanjutkan pendidikan. Berkat itu jugalah ia memiliki bekal untuk menata ulang hidupnya. Menapaki lantai pucat di sepanjang lorong yang mengantarnya tiba di depan sebuah jendela besar ruang ICU, sebuah rasa takut memburunya. “Ada apa ini?” tanyanya dalam kebingungan. Ia melihat kepanikan yang terjadi di dalam sana, seorang dokter dan beberapa perawat yang mengerumuni ranjang tempat di mana seorang wanita terbaring tak berdaya. “Ibu ….” sebutnya lirih. “Tidak—” Hatinya terasa hancur melihat ibunya—Alya—yang tubuhnya terguncang saat dokter meletakkan alat kejut jantung di dada wanita paruh baya itu. Ketegangan memenjarakan napasnya untuk beberapa menit hingga berangsur memudar saat sepertinya keadaan Alya kembali stabil. Lilia melihat pintu ruang ICU yang terbuka dan ia segera bertanya pada dokter, “Apa yang terjadi pada Ibu saya, Dokter?” “Hal yang sedikit kurang baik,” jawab beliau. “Apakah Anda sudah mengurus soal operasi transplantasi hati untuk pasien?” Mendengarnya membuat Lilia meremas jari-jari tangannya hingga terasa kebas. “B-belum,” jawabnya. “Saya sarankan untuk segera menyelesaikannya, Bu Lilia,” kata beliau. “Karena jika terus ditunda, kami tidak bisa lagi menjamin keselamatannya.” Bibirnya seketika terbungkam, ia tertunduk saat dokter beranjak pergi dari hadapannya. Menyisakan dirinya yang berdiri dalam hening dan terombang-ambing dalam kebimbangan. ‘Harus bagaimana caraku mendapatkan uang?’ tanyanya dalam hati. Ia belum mendapatkan gaji dari mengajar, sekalipun sudah … itu masih sangat jauh dari nilai fantastis untuk menutup semua biaya operasi transplantasi hati sang ibu. ‘Kalau sebelumnya aku bisa mengadu pada Nona Ivana, sekarang tidak lagi,’ batinnya. Lilia tak memiliki tujuan atau pun pandangan, meski sempat terbesit di pikirannya ia bisa menemui Nicholas dan meminta bantuan darinya … ia tepis jauh-jauh pikiran itu! ‘Kalau aku lakukan itu, artinya aku sama saja dengan membenarkan apa yang dituduhkan oleh William bahwa aku hanya mementingkan uang.’ “Aku pulang dulu, Bu,” ucap Lilia mengulum senyum getir. “Aku pasti akan menemukan cara untuk bisa menyelamatkan Ibu.” Lilia pergi meninggalkan jendela besar ruang ICU itu dengan putus asa. Langkah membawanya pergi dari rumah sakit hingga tiba di rumahnya. Saat ia melewati pintu masuk, Lilia menyadari ada orang lain di dalam. Suaranya terdengar dari salah satu kamar yang pintunya terbuka. Lilia mendekat dan menjumpai ayah angkatnya—Arya—yang tengah mengobrak-abrik isi lemari. Pria paruh baya itu diketahuinya tidak pernah pulang sejak ibunya jatuh sakit, dan sore ini Lilia menjumpainya ada di dalam rumah dan membuat kekacauan? Apa maunya? “Apa yang Ayah lakukan?” tanya Lilia dengan suara yang serak. “Mencari sertifikat rumah,” jawabnya tanpa beban. “Kamu tahu di mana ibumu menyimpannya?” Ia sekilas menoleh pada Lilia seraya terus menarik pakaian dari dalam lemari hingga semua bagiannya berserakan. “Untuk apa sertifikat rumah?” “Mau aku berikan pada penagih utang,” jawabnya. “Mereka akan datang dan menagih uang yang aku pinjam, Lia. Bantu aku mencarinya!” Rahang Lilia menggertak penuh amarah. Napasnya seakan terperangkap di dalam dada saat ia mendengar alasan ketidaktenangan ayah angkatnya itu. “Apa Ayah tidak sadar kalau Ayah itu sangat egois?!” seru Lilia. Kemarahan menyeruak dari caranya berucap dan itu membuat Arya berhenti melakukan apapun dan memilih untuk memandangnya. “Bicara apa kamu?!” “Ayah tidak pernah peduli dengan bagaimana keadaan Ibu,” sahutnya. “Ayah tidak peduli apakah Ibu sakit atau hampir mati. Yang Ayah pedulikan hanya diri ayah sendiri.” “Anak kurang aj—” “Apakah yang aku katakan salah?” desak Lilia. “Uang yang Ayah pinjam itu harusnya untuk berobat Ibu, bukan untuk kesenangan Ayah sendiri dengan berjudi atau main gila dengan wanita lain! Ibu sedang sakit, Ayah! Tolong mengertilah!” Plak! Tepat saat Lilia berhenti bicara, ia merasakan nyeri pada pipi sebelah kirinya. Tubuhnya limbung menerima hantaman tangan Arya yang melayang hingga rahang kecil itu seakan remuk. “Lancang kamu, Lilia!” hardiknya tajam. “Apa hakmu menceramahiku seperti itu, hah?!” tudingnya dengan wajah memerah karena marah. “Ingat baik-baik, kamu itu hanya anak angkat! Kamu aku besarkan tidak untuk kurang ajar begini! Kamu harusnya menjadi anak yang berbakti! Mengerti kamu?!” “AKH!” Lilia berteriak kesakitan saat telapak besar pria itu mendorongnya. Kepalanya membentur kaki meja yang berada tak jauh darinya, mengakibatkan benda-benda yang ada di atasnya jatuh berhamburan dan pecah di lantai. Dengung asing menyakiti telinganya sedetik setelah benturan itu terjadi. Lilia mengangkat wajahnya yang sudah penuh air mata. Ia hendak membalas Arya tetapi sayangnya pria itu lebih kuat. Ayah angkatnya itu lebih dulu menepisnya. Ia meringkuk melindungi kepalanya saat ia melihat Arya membawa sebuah tongkat panjang yang digunakannya untuk menyakiti Lilia. Pukulan itu bertubi-tubi menghujani lengan, bahu atau bahkan punggungnya. “Arya, aku tahu kamu di dalam! Keluar sekarang juga!” Jika suara berat seseorang tak terdengar dari luar, Lilia pasti akan mati di tangan besi pria ini! Arya tampak ketakutan saat beberapa pria datang memasuki rumah dan menemukannya di dalam kamar. “Kamu sudah janji membayarnya hari ini!” ucap pria dengan tato di lehernya. “Lunasi sekarang atau besok kamu ditemukan di tepi jalan dengan keadaan tidak bernyawa!” ancamnya. “Aku—aku—” Arya terlihat bingung untuk menjawab atau menata kata. Lilia yang bersimpuh di lantai dan menahan sekujur tubuhnya yang remuk terkejut saat ayah angkatnya itu mengatakan, “Bawa saja dia!” tunjuknya pada Lilia. “Kalian bisa menyerahkannya pada Madam sebagai ganti karena aku tidak bisa membayar utang!” ….jangan lupa tinggalkan komentar dan ulasan ☺️ sampai jumpa besok lagi ya akak semua 🦩🌸 maaf 1 bab dulu update nya yah, TYSM ILYTTMAB 🌝
“Apa?!” Lilia menatap Arya dengan sepasang matanya yang berair. “Ayah mau menjadikan aku sebagai alat penebus utang?!” “Dengan begitu kamu akan sedikit berguna, ‘kan?” balas Arya dengan tawa puas. Pria dengan tato di lehernya itu tampak memindai Lilia selama beberapa saat sebelum ia kembali memandang ayah angkatnya. “Akan aku bawa dulu dia, biar Madam yang menentukannya nanti. Ingat, urusan kita belum selesai!” “Lepas!” teriak Lilia saat pria itu merenggut lengannya dengan kasar dan memaksanya bangkit dari posisinya. Lilia seperti tak diberi kesempatan untuk menolak. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, tenaganya seolah terkuras habis untuk bertahan dari serangan Arya beberapa saat yang lalu. Ia pontang-panting diseret keluar dari kamar, langkah kakinya terseok. Telapaknya terasa dingin menapaki lantai dengan tanpa alas. Air mata dan permohonannya diabaikan. Ia melihat sebuah mobil jeep warna hitam yang ada di halaman, yang entah akan membawanya ke mana setelah ini. “Masuk!” titah si
“A-apa yang A-Anda lakukan di tempat ini?” tanya Lilia terbata-bata saat pria itu menegakkan punggungnya setelah menyapa Lilia yang kebingungan. Benaknya berkecamuk penuh tanya, benarkah pertemuan mereka memang hanya sebatas kebetulan? ‘Apa memang telah menjadi kebiasaan William datang ke tempat yang menyediakan wanita malam seperti ini?’ Jika benar seperti itu, apakah dia juga sering melakukannya sejak Ivana— “Bukankah harusnya aku yang bertanya?” tanya balik pria itu sehingga mengakhiri kemelut yang ada di dalam dada Lilia. Salah satu alis William yang lebat terangkat, mengisyaratkan sebuah kebingungan, “Kenapa kamu di tempat ini, Lilia? Aah … apa mungkin seperginya kamu dari rumahku hal yang kamu putuskan adalah menjadi wanita malam?” “Tidak,” sangkal Lilia. “S-saya di sini karena ….” Ia menggigit bibirnya, sekujur tubuhnya terasa nyeri saat mengingat lagi apa yang dilakukan oleh Arya—alasan berakhirnya ia di tempat ini. “Karena ayah saya t-tidak bisa membayar utang pada Madam
Pria tua yang hampir menindihnya itu limbung saat Lilia menendang bagian sensitif di kedua pangkal pahanya. Selagi ia mengaduh kesakitan, Lilia memandang William dengan matanya yang basah. Air mata tak hentinya mengalir, rasa takut, frustrasi, ingin lari … semuanya bercampur menjadi satu, memburunya seperti rusa kecil yang dikejar pemangsa. “Tuan William,” panggil Lilia yang membuat pria itu urung pergi. Ia menoleh pada Lilia dengan kepalanya yang condong beberapa derajat ke kiri. “Saya setuju,” kata Lilia. “Tolong bawa saya pergi dari sini,” pintanya, menelan rasa malu padahal baru saja menolak tawarannya mentah-mentah. William menunjukkan seulas senyum tipisnya saat menghadapkan tubuhnya pada Lilia seraya bertanya, “Apapun resikonya, Lilia?” Lilia mengangguk sembari menyilangkan kedua tangannya di depan tubuh. “Apapun yang aku minta, kamu akan menerimanya?” William mempertegasnya. “Saya menerimanya,” jawab Lilia, suaranya sarat akan putus asa. Ia sungguh tak ingin berada l
“Dia pernah menjalani rawat inap di rumah sakit sebelum dibawa pulang dan melakukan rawat jalan di rumah,” terang Agni. “Saat itu kondisinya cukup buruk, bahkan sampai hari ini. Tuan Muda Keano tidak mau makan sejak Anda pergi, dan tidak mau bertemu dengan Tuan William sama sekali.” Kalimat Agni memasung bibirnya kian hebat, air mata tak kuasa terbendung dan luruh saat Lilia satu langkah mendekat pada keano. “K-kenapa Keano tidak mau bertemu dengan Tuan William, Bu Agni?” tanya Lilia setelah ia menata kata. “Dia sangat marah pada Tuan William karena menganggap Tuan lah yang membuat Anda pergi dari rumah,” jawabnya. “Dia melihat Anda menangis dari kamar Tuan pada hari Anda pergi dari rumah ini.” Sesak menggelegak kala ia mendapati Keano secara langsung, dalam pandangannya bahwa kondisinya memprihatinkan. Tubuhnya sangat kurus, anak itu kehilangan banyak berat badan. Pipinya yang dulu ia cium tiap malam itu berubah tirus. Seolah Lilia tengah melihat orang lain, bukan Keano kesayang
“K-kenapa kalian memanggilku Nona?” tanya Lilia sekali lagi, dibuat bingung dengan julukan barunya. Namun alih-alih memberi jawaban pasti, beberapa pelayan yang berdiri di sekitarnya hanya menunjukkan seulas senyum saat menjawab, “Bukankah memang seperti itu seharusnya?” “Tidak—” Lilia menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mau kalian memanggilku seperti itu karena aku bukan ‘Nona’,” ucapnya sungguh-sungguh. “Peraturan tidak akan diubah, Nona Lilia,” sahut Agni—kepala pelayan—yang berdiri tak jauh darinya. Wanita paruh baya itu tersenyum saat mendekat. “Kami akan tetap memanggil Anda seperti itu.” “A-aturan apa?” tanyanya memperjelas, tapi mereka seolah sepakat untuk tak membuka mulut. ‘Aturan apa maksudnya?’ batinnya. ‘Apa William yang meminta mereka begitu?’ Tapi mungkin ini menjelaskan kenapa sejak kedatangannya semalam Agni begitu sopan dan formal padanya. ‘Aneh sekali ….’ Lilia tidak suka dengan julukan itu, nanti akan ia desak Agni untuk jujur kenapa dirinya dipanggil seba
Lilia terjaga dari tidurnya saat merasa tenggorokannya kering. Ia hendak turun dari ranjang tempat ia membersamai Keano untuk meraih sebotol minuman yang tadi ia letakkan di atas meja sebelum gelombang kejut menghantam dadanya secara tiba-tiba. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat ia melihat sesosok pria bertubuh tinggi menjulang tengah berdiri di samping ranjang. Di bawah temaram pencahayaan, Lilia bisa mengenalinya dengan baik. Wangi musk ini adalah milik William. Entah sejak kapan pria itu ada di dalam sini, berdiri seolah sengaja melihat Lilia yang terlelap bersama dengan Keano. “T-Tuan?” sapa Lilia seraya menunduk. “A-apakah Anda membutuhkan sesuatu?” tanyanya lirih agar tak turut membangunkan Keano. “Kamu belum mengatakan hasil pemeriksaan dokter tadi padaku, Lilia,” jawabnya dengan suara yang seakan membekukan setiap sudut ruangan. “M-maaf,” jawab Lilia gugup sebab saat ia mengangkat wajah, maniknya mendadak terkunci dengan William. “Dokter mengatakan bahwa Keano sudah
Dengan gugup … Lilia pergi ke kamar atas—kamar William—sesuai yang diinginkan oleh pria itu tadi pagi. Malam datang begitu cepatnya, seolah sengaja agar Lilia bisa segera datang untuk menemui pria itu.Lilia menapaki undakan tangga satu demi satu seperginya ia dari kamar Keano dan memastikan anak itu dalam tidurnya yang pulas. Tangannya terasa kebas dan dingin setibanya ia di depan pintu berdaun dua.Debar jantungnya memberontak saat Lilia mengetuk pintu kamar itu.Rasanya seperti déjà vu sebab beberapa waktu sebelumnya Lilia juga melakukan ini—mengetuk pintu kamar William.“Masuk,” sambut suara bariton pria itu dari dalam sana.Setelah pintunya terbuka, Lilia bisa melihat William berdiri di dekat ranjang, seolah memang sengaja menunggunya.Bibir pria itu terkunci tanpa suara. Kebisingan kecil terjadi saat menutup pintu dan berjalan ke arahnya sehingga mereka berdiri berhadapan.Di bawah samar cahaya lampu yang berpendar sendu di atasnya, Lilia menahan gigil pada tubuhnya saat menden
“Kenapa tubuhmu penuh luka seperti itu, Lilia?” tanya William, sepasang matanya yang gelap tampak menunjukkan berbagai macam emosi. Sebuah rasa terkejut, ada seberkas marah yang dijumpai Lilia dari alis lebatnya yang nyaris bersinggungan. Lilia tak serta merta menjawab tanya William sekalipun ia tahu pria itu tengah menunggunya bicara. Ia hanya … takut William mengira ia mencari simpati. “Apa Madam Savannah yang melakukan itu padamu?” tanya William sekali lagi. Dingin suaranya kian menjadi-jadi sementara Lilia memberi sebuah gelengan samar untuk tak membenarkannya. William tampak terdiam cukup lama, Lilia dibuat tak berkutik sepanjang detik-detik yang mencekam itu hingga pria itu menghela dalam napasnya. “Apa ayahmu yang melakukan itu?” Lilia meremas jemarinya yang terasa kebas, mengingat tongkat kayu yang dibawa oleh ayah angkatnya beberapa waktu yang lalu seolah membuat luka yang ada di sekujur tubuhnya ini kembali nyeri, meremukkan tubuhnya. Barangkali melihat reaksi Li
Setelah kemarin seharian hiking di sekitar gunung Pilatus—yang sebenarnya itu tak bisa dikatakan sepenuhnya hiking karena mereka tak sampai seperempat perjalanan dan lebih memilih untuk menikmati pemandangannya saja—hari ini di dalam rumah tempat tinggal selama bulan madu, Giff tak menjumpai suara apapun saat ia berkunjung ke sana.Sepertinya semua orang bangun kesiangan, mungkin karena lelah.Di depan perapian, ia melihat Lilia, William dan Keano terlelap di sana.Ia tersenyum saat memelankan langkahnya. Hatinya hangat, seperti sisa-sisa perapian semalam melihat Lilia yang tidur di tengah William dan Keano, seolah ayah dan anak itu sangat bahagia dan tak ingin kehilangan Lilia.'Apa seperti itu wujud seorang pria yang sudah menemukan dunianya?' batin Giff kemudian menuju ke ruang makan, membongkar makanan yang dibelinya pelan-pelan hingga semuanya selesai.Baru setelah itulah ia membangunkan keluarga kecil William itu.Lilia yang pertama bangkit, berterima kasih pada Giff yang menyia
Sebelum William mengatakan itu, sebenarnya Lilia sempat melihat Keano menepuk bahu ayahnya itu dan membisikkan sesuatu kepadanya. Sepertinya itu adalah agar William segera mengajak Lilia berdansa.Dengan masih termangu, Lilia menatap William dan tangan kanannya yang terulur kepadanya itu."Terima, Mama!" pinta Keano dengan antusias."T-tapi aku tidak bisa berdansa," jawab Lilia dengan gugup, merasa bersalah karena ini seperti sebuah penolakan yang tidak kentara."Tidak apa-apa, aku bisa membuatmu berdansa malam hari ini."Anggukan William seolah sedang meyakinkannya, sehingga Lilia menerima tangan itu dan bangun dari duduknya.Ia berjalan mengikuti William yang tiba di tengah restoran, di bawah lampu chandelier yang bergantung dengan cantik.Meja-meja yang tersisih sejak awal mereka masuk itu sekarang Lilia tahu alasannya. Untuk tempat mereka berdansa.Sekilas melirik pada Keano, bocah kecil itu duduk di sana, tersenyum dengan ditemani oleh Giff yang masuk dan berdiri di sampingnya.
Gretha mengurungkan niatnya untuk menghubungi Giff. Ia tak yakin pemuda itu akan menjawabnya juga.Yang ada kemungkinan besar ia malah diblokir.Ia lalu meletakkan ponselnya ke samping bantal, memutuskan untuk pelan-pelan membaringkan dirinya di atas tempat tidur.Memiringkan tubuhnya ke kiri, membiarkan air mata menggenang membasahi pipinya.Napasnya terasa berat, ia meraba perutnya. Hari kelahiran bayinya ini sudah semakin dekat.'Semuanya jadi berantakan,' gumamnya dalam hati.Gigil menyergapnya dari ujung kaki.Saat ia mencoba memejamkan netranya yang lelah, bayangan wajah Ivana tiba-tiba muncul sehingga Gretha dengan cepat kembali membuka matanya.Jantungnya seperti baru saja berhenti berdetak selama beberapa detik karena tiba-tiba saja Ivana yang tak pernah ia pikirkan—dan hampir hilang dari benaknya—muncul tanpa persetujuan.Tatapan mata kakak tirinya itu—ataukah sekarang ia harus menyebutnya sebagai mantan kakak tiri—mendadak datang.Wajah cantik Ivana yang meski pucat sepanja
Ini seperti deja vu dengan yang terjadi di rumah Henry sebelumnya. Dari jendela Gretha bisa melihat sebuah mobil polisi yang berhenti di depan rumah.Beberapa orang petugas dalam balutan seragam pun juga terlihat keluar dari sana.Meski di luar keadaannya gelap sebab petang mulai merayap, tapi Gretha bisa memastikan bahwa mereka berjumlah lebih dari empat orang.Cukup pas untuk menangkap satu atau dua orang, semisal itu adalah dirinya dan ibunya.Gretha berdiri di sana dalam ketegangan. Ia meneguk ludah dengan dada yang berdebar, menggila hingga seolah akan meledak.Tapi, polisi itu hanya berhenti untuk mengambil sesuatu yang ada di tengah jalan. Sepertinya bongkahan balok yang menghalangi jalan dan menepikannya.Memungut beberapa keping paku dengan alat yang mereka bawa lalu mereka masuk kembali ke dalam mobil dan mengemudikannya menjauh.Dari balik jendela, Gretha duduk merosot dengan air mata yang menggantung di kedua sudutnya."Tidak apa-apa, tidak akan secepat itu," ucap Nyonya B
“Maaf,” ucap Lilia sekali lagi. “Aku pikir tidak apa-apa tadi untuk meninggalkanmu dan Keano sebentar. Maaf karena sudah membuat kalian berpikiran buruk.”William menghela dalam napasnya kemudian berlutut di hadapannya.“Tidak apa-apa, yang penting jangan begitu lagi. Kamu tahu seburuk apa kondisiku dan Keano saat kamu meninggalkan kami, ‘kan? Aku sungguh tidak ingin mengulanginya lagi, Lilia.”Lilia mengangguk, ia menunduk untuk menyentuh wajah William, memastikan prianya itu bahwa ia ada di sini dengannya.Tidak untuk pergi atau sengaja meninggalkannya."Kita tidak jadi masuk ke dalam kafe," ucap Lilia, memandang Keano dengan mengerutkan hidungnya. "Maaf, Sayang."Alih-alih marah, anak lelakinya itu justru memberi jawaban yang menghangatkan hati Lilia."Tidak apa-apa, Mama," jawabnya. Senyumnya merekah dan pipinya yang putih itu bersemu merah. "Yang penting Keano masih bisa bertemu dengan Mama. Terima kasih sudah kembali."Lilia memeluk Keano yang membalasnya dengan kedua tangan kec
William menurunkan ponsel dari samping telinganya, ia mendorong napasnya yang berkabut akibat suhu yang menurun secara drastis pada malam hari.Ia mendekap Keano semakin erat saat anak lelakinya itu sepertinya memiliki kekhawatiran yang sama dengannya.Keano memang terdiam, tetapi gerakan tubuhnya yang beberapa kali merasa tidak nyaman membuat William tahu ia tengah cemas.“Apakah kita tidak akan bertemu Mama, Papa?” tanya Keano, suaranya serak, menunggu jawaban William sehingga ia harus menunjukkan senyumnya agar bocah kecil itu tak semakin khawatir.“Kita akan bertemu Mama, Sayang. Tapi tunggu sebentar ya, kita cari Mama dulu?”William menepis jauh-jauh pikiran yang sedari tadi bergulir liar di dalam kepalanya. Bahwa ada orang jahat yang membawa pergi Lilia sehingga istrinya itu tak bisa ia temukan.Ia memutuskan untuk mendekat ke salah seorang yang juga mengantri di sana, barangkali ia tahu ke mana Lilia pergi. “Permisi, apakah kamu melihat seorang wanita dengan sya berwarna putih
Saat Lilia membuka matanya, ia selalu tak menjumpai William. Tapi ia mendengar suara gelak tawa Keano di luar sehingga ia mengintip melalui jendela dan melihat anak lelakinya itu sedang bermain bola dengan ayahnya di halaman samping.Ia beranjak pergi dari kamar, mempersiapkan makanan yang semalam disimpannya di dalam lemari pendingin, menghangatkannya dan meletakkannya di atas meja makan.Menyiapkan juga untuk Keano, sandwich dan tamago, lengkap dengan buah potong dan susu untuknya.Saat ia keluar dan menunjukkan diri, Keano seketika melupakan bola yang tadi ditendangnya bergantian dengan William."Mama," panggilnya seraya berlari pada Lilia.Memeluknya saat Lilia merendahkan tinggi tubuhnya."Mama sudah bangun?" sapanya yang dibalas anggukan oleh Lilia."Sudah, Sayang, sudah dari tadi," jawabnya. "Mama sudah siapkan makanan juga untuk sarapan. Kamu masuk dan cuci tangan dulu lalu kita makan, selagi masih hangat.""Siap, Mama."Keano berlari lebih dulu memasuki rumah, di belakangnya
"William," sebut Lilia kemudian menyelusupkan jari-jari tangannya di antara rambut hitam pria itu, menahan gejolak dalam dadanya yang tengah berdegup sebab bibir William terasa sangat sensual.Bukan hanya gigitan di bahu, tapi tangan besarnya menarik turun tali kecil gaun tidur yang ia kenakan, membuat Lilia tak bisa menolak kenikmatan yang ia berikan kala bagian depan tubuhnya mendapat sentuhan.Bibirnya hampir saja meloloskan desahan yang penuh erotika sebelum William mengangkatnya pergi dari meja makan, meninggalkan dua cangkir teh mereka yang isinya telah kosong.Langkah kaki William menuju ke dalam kamar, membuat Lilia berbaring di atas ranjang sementara dirinya kembali ke pintu, menutup dan memastikannya terkunci dan mematikan lampu.Saat ia kembali mendekat pada Lilia, sepasang matanya yang sayu menerpa di bawah remang lampu tidur.Ia menunduk di atas Lilia, dan sebelum kecupan mendarat di bibirnya, Lilia lebih dulu mencegahnya.Ia menahan wajah William sembari bertanya, "Apaka
Luzern, Swiss, sekitar pukul delapan malam. Sebuah mobil SUV yang dikemudikan oleh Giff tiba di depan sebuah rumah yang nantinya akan ditinggali oleh Lilia, William dan Keano selama mereka berada di sini—untuk kurang lebih sepuluh hari. Tiga hari sebelumnya, Giff lebih dulu terbang menuju ke tempat ini dan mempersiapkan semuanya. Sebuah rumah yang disewa olehnya untuk bisa ditinggali keluarga kecil William sebelum mereka tiba selagi Giff sendiri tinggal di penginapan. Giff banyak menyarankan pilihan tempat tinggal, William memilih sebuah rumah karena ia pikir itu akan menyenangkan menghabiskan waktu seolah mereka adalah 'warga Swiss'. Tadi, ia menjemput tiga orang itu di bandara dan sampai di sini dengan keadaan Keano yang digendong keluar oleh William karena ia terlelap selama perjalanan. Giff membuka pintu rumah, memimpin William masuk ke dalam dan menunjukkan di mana kamar Keano. Sementara Lilia yang ada di luar menurunkan barang-barang yang tak terlalu berat, tas miliknya ata