Share

6. Di Atas Ranjang William Quist

Lilia tahu William sedikit mabuk. Ia bisa menghidu bau alkohol yang menguar dari bibirnya saat mereka berdiri dalam jarak sedekat ini.

Pria itu menunduk mensejajari pandangannya saat tawa lirihnya baru saja terdengar.

“Kamu tidak memiliki hak untuk memutuskan apakah kamu bisa pergi dari rumah ini atau bertahan, Lilia Zamora,” ucapnya tegas.

Lilia tak sempat menjawab apa yang dikatakan oleh pria itu sebab William lebih dulu menariknya dan membuatnya terhempas di atas ranjang.

“Apa kamu mau pergi dari sini karena ingin hidup dengan Nicholas?” tanyanya. “Apa yang kamu lakukan dengannya tadi? Kalian bersenang-senang di luar saat aku tidak di rumah?”

Pertanyaan datang bertubi-tubi seiring William yang naik ke atas tempat tidur. Pria itu menunduk di atas Lilia yang wajahnya seketika pias. Ia mencoba melepaskan diri, tetapi itu sia-sia sebab William telah membuatnya terkunci tak bisa bergerak.

“T-tidak,” jawab Lilia dalam ketidakberdayaan. “Saya benar-benar hanya pergi ke rumah sakit untuk menjenguk ibu saya setelah kami bertemu di pemakaman Nona Ivana tadi,” jelasnya, berharap secercah kesempatan yang barangkali dapat diberikan oleh pria itu agar membebaskannya.

Tapi Lilia tahu William tak mempercayainya begitu saja. Seringai di bibirnya itu menyebutkan lebih banyak bahwa jawaban Lilia hanya sebatas kebohongan baginya.

“Aku tahu bahwa kamu akan melakukan apapun untuk mendapatkan uang,” ujarnya. “Kamu pikir aku tidak tahu kalau Ivana memberimu uang sebagai imbalan agar kamu mau menikah denganku?”

Wajah Lilia kian pias, benaknya berkecamuk penuh tanya, ‘Dari mana William tahu soal itu?’

Apa selama ini ia tahu tapi diam saja?

“Apa kedatanganmu ke sini karena kamu sengaja ingin menggodaku, Lilia?”

“Tidak, Tuan!” tepis Lilia dengan cepat. “Saya benar-benar hanya ingin berpamitan.”

“Bohong! Aku tahu bagaimana cara licik wanita agar bisa mendapatkan uang,” ujarnya. “Aku juga bisa memberimu uang, Lilia. Tidur saja denganku, aku akan membayarmu.”

Jari-jari besar William menyentuh tulang rahangnya, matanya penuh kebencian saat ia menarik plester luka dari sudut kiri bibirnya seraya bertanya, “Siapa yang memberimu ini? Nicholas?”

Lilia menggeleng, “Bu-bukan.”

Ia memutuskan untuk berbohong karena jika ia jujur bahwa benar Nicholas yang memberikan itu, ia tak tahu akan menjadi apa dirinya.

Tatapan William berubah sayu saat ia memindai setiap sudut wajah Lilia yang tak bisa lagi menahan air mata.

Lilia merasa ketakutan, tatapan William mengintimidasinya secara sempurna. Pipinya basah, air mata bermuara hebat di sana saat bayangan asing itu kembali berlalu-lalang.

Sentuhan William seakan sengaja membunuhnya secara pelan-pelan.

Namun rupanya, melihat air mata itu tak membuat William iba. Bukan pengampunan yang ia berikan melainkan seulas senyum mengiringi lisannya yang menuturkan, “Jangan berpura-pura,” bisiknya. “Bukankah kamu datang ke sini untuk menggodaku? Jadi nikmati saja apa yang akan kita lakukan malam ini.”

“Akh—” rintihan lolos dari bibir Lilia yang menahan sakit saat William mencengkeram erat kedua tangannya, memastikan Lilia tak bisa melawan saat ia menguncinya di samping kanan dan kiri telinga. “Sakit, Tuan, jangan—”

Ia berhenti bicara saat William menjatuhkan bibirnya pada Lilia. Dari sekadar kecupan yang lambat laun berubah menjadi ciuman membara. Gigitannya bertubi-tubi menghujani Lilia dengan rasa perih.

Lilia berusaha melawan, tetapi semakin hal itu ia lakukan, William semakin mendominasi dirinya.

Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya terbakar oleh rasa takut.

Seakan belum cukup menyakiti bibirnya, William kini menjamah leher jenjangnya. Ia tinggalkan jejaknya di sana, perih menggerus kulit.

“Jangan lakukan ini,” pinta Lilia mengiba. “Tolong lepaskan saya ….”

Tubuhnya kebas dibebani gagah postur William yang menindihnya.

Pria itu menarik wajahnya, menegakkan punggungnya dan menguraikan kancing kemeja yang ia kenakan.

Setelah ia melemparkan atasannya secara sembarangan ke lantai, dress yang dikenakan oleh Lilia berusaha ia lepas.

“Tuan William!” jerit Lilia mencoba menyadarkan pria itu saat tangannya bergerak liar menyelinap masuk melalui bagian bawah dress miliknya.

Lilia melihatnya seolah sedang sangat marah, kemarahan yang tak bisa ia jelaskan apa maksudnya. Apakah itu karena ia dalam pengaruh alkohol, atau ia menganggap Lilia ini hanya seorang perempuan mata duitan yang menggertaknya dengan berpamitan, sehingga William akan menahannya dengan iming-iming uang?

Benak Lilia resah, sekalipun William adalah suaminya, tak ada di dalam pikiran Lilia ia akan berakhir dengan cara seperti ini.

Ia tidak siap. Dan tidak ingin!

Lilia menahan sekuat tenaga pergelangan tangan William yang masih berusaha merenggut pakaiannya.

“Diamlah, Lilia!” hardik pria itu. “Kamu berharap bisa menjadi nyonya, ‘kan? Tak apa sekalipun kamu babysitter-nya Keano, karena aku bisa membuatmu menjadi nyonya semalam, aku pinjamkan ranjangku untukmu.”

Hati Lilia seperti dirajam lara mendengar apa yang dikatakan oleh William yang secara tak langsung ingin menyebutnya tak lebih dari seorang wanita bayaran.

Lilia lebih keras melawannya, ia tepis sekuat tenaga lengan pria itu sehingga Lilia bisa mengangkat tangan dan melayangkan tamparan menghantam pipi sebelah kiri William.

Kebekuan menghampiri mereka dalam sesaat. William terkejut dan termangu, barangkali membutuhkan waktu baginya untuk menyadari bahwa Lilia baru saja menamparnya.

Dalam situasi lengah itu, Lilia mendorong William untuk enyah dari atasnya.

Lilia merapatkan dress bagian atasnya yang dua kancingnya telah terburai karena sentakan William. Bibirnya gemetar saat ia menatap pria itu dengan netranya yang pirau akibat air mata.

“Saya memang butuh uang,” aku Lilia. “Tapi uang itu bukan untuk diri saya atau kesenangan saya sendiri. Jika bukan demi ibu saya, saya juga tidak akan pernah sudi menjadi istri kedua Anda, Tuan William Quist.”

Lilia beringsut turun dari ranjang tersebut, kakinya mengayun gontai mengenyahkan diri saat William dari belakang berseru, “Kamu tidak akan bisa pergi dariku begitu saja, Lilia!” peringatnya. “Di manapun tempatnya, aku pasti akan menemukanmu!”

Lilia tak mempedulikannya. Ia keluar dari kamar William dengan terisak-isak.

Saat pintu berdebum setelah ia tutup, kakinya tiba-tiba terpancang di lantai marmer tempatnya berpijak sebab ia menjumpai Keano berdiri di sana.

Anak itu sepertinya terbangun dan mencarinya, mungkin karena tak menemukan Lilia bersamanya, sehingga ia pergi ke kamar atas.

“Mama,” sebut Keano lirih. “Kenapa Mama menangis?” tanyanya. “Ayo kembali ke kamar, Keano takut tidur sendirian.”

Lilia berlutut di depan Keano, ia raih kedua bahu kecilnya saat air matanya berderai semakin deras.

“Maaf, Keano.”

Setelah itu Lilia berlari meninggalkan bocah kecil yang kebingungan itu.

“MAMA!”

Tangisan Keano pecah di belakangnya. Teriakannya berulang kali memanggil Lilia yang lebih dulu tiba di ujung anak tangga.

“Mama! Jangan pergi!”

Suara lari kecilnya mengejar ke mana Lilia pergi.

“Mama, Keano ikut!”

Meski pilu dan berat, keputusan Lilia sudah bulat. Ia tidak ingin ada di rumah ini.

“MAMA!”

‘Maaf, Keano ….’

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Nissya
hemmmmm tinggalin saja niku si will manusia babi
goodnovel comment avatar
Eva
Ini si William cemburu liat Lilia pergi sama Nicholas. Dan buat melampiaskan amarahnya dia begitu ke Lilia. Kalau Lilia pergi kasian si Keano, dia pasti kesepian dan jadi sedih banget
goodnovel comment avatar
Aya Melodi Agrifina
lu cemburu si Lili sma si Nicholas tapi lu sendiri ngapain sma si Gretan korek api???adil kah begitu??? sakit hati weh part ini,si Wili weleh² keterlaluan banget jadi laki²,kata²nya bikin uluhati perih....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status