Lilia tahu William sedikit mabuk. Ia bisa menghidu bau alkohol yang menguar dari bibirnya saat mereka berdiri dalam jarak sedekat ini.
Pria itu menunduk mensejajari pandangannya saat tawa lirihnya baru saja terdengar. “Kamu tidak memiliki hak untuk memutuskan apakah kamu bisa pergi dari rumah ini atau bertahan, Lilia Zamora,” ucapnya tegas. Lilia tak sempat menjawab apa yang dikatakan oleh pria itu sebab William lebih dulu menariknya dan membuatnya terhempas di atas ranjang. “Apa kamu mau pergi dari sini karena ingin hidup dengan Nicholas?” tanyanya. “Apa yang kamu lakukan dengannya tadi? Kalian bersenang-senang di luar saat aku tidak di rumah?” Pertanyaan datang bertubi-tubi seiring William yang naik ke atas tempat tidur. Pria itu menunduk di atas Lilia yang wajahnya seketika pias. Ia mencoba melepaskan diri, tetapi itu sia-sia sebab William telah membuatnya terkunci tak bisa bergerak. “T-tidak,” jawab Lilia dalam ketidakberdayaan. “Saya benar-benar hanya pergi ke rumah sakit untuk menjenguk ibu saya setelah kami bertemu di pemakaman Nona Ivana tadi,” jelasnya, berharap secercah kesempatan yang barangkali dapat diberikan oleh pria itu agar membebaskannya. Tapi Lilia tahu William tak mempercayainya begitu saja. Seringai di bibirnya itu menyebutkan lebih banyak bahwa jawaban Lilia hanya sebatas kebohongan baginya. “Aku tahu bahwa kamu akan melakukan apapun untuk mendapatkan uang,” ujarnya. “Kamu pikir aku tidak tahu kalau Ivana memberimu uang sebagai imbalan agar kamu mau menikah denganku?” Wajah Lilia kian pias, benaknya berkecamuk penuh tanya, ‘Dari mana William tahu soal itu?’ Apa selama ini ia tahu tapi diam saja? “Apa kedatanganmu ke sini karena kamu sengaja ingin menggodaku, Lilia?” “Tidak, Tuan!” tepis Lilia dengan cepat. “Saya benar-benar hanya ingin berpamitan.” “Bohong! Aku tahu bagaimana cara licik wanita agar bisa mendapatkan uang,” ujarnya. “Aku juga bisa memberimu uang, Lilia. Tidur saja denganku, aku akan membayarmu.” Jari-jari besar William menyentuh tulang rahangnya, matanya penuh kebencian saat ia menarik plester luka dari sudut kiri bibirnya seraya bertanya, “Siapa yang memberimu ini? Nicholas?” Lilia menggeleng, “Bu-bukan.” Ia memutuskan untuk berbohong karena jika ia jujur bahwa benar Nicholas yang memberikan itu, ia tak tahu akan menjadi apa dirinya. Tatapan William berubah sayu saat ia memindai setiap sudut wajah Lilia yang tak bisa lagi menahan air mata. Lilia merasa ketakutan, tatapan William mengintimidasinya secara sempurna. Pipinya basah, air mata bermuara hebat di sana saat bayangan asing itu kembali berlalu-lalang. Sentuhan William seakan sengaja membunuhnya secara pelan-pelan. Namun rupanya, melihat air mata itu tak membuat William iba. Bukan pengampunan yang ia berikan melainkan seulas senyum mengiringi lisannya yang menuturkan, “Jangan berpura-pura,” bisiknya. “Bukankah kamu datang ke sini untuk menggodaku? Jadi nikmati saja apa yang akan kita lakukan malam ini.” “Akh—” rintihan lolos dari bibir Lilia yang menahan sakit saat William mencengkeram erat kedua tangannya, memastikan Lilia tak bisa melawan saat ia menguncinya di samping kanan dan kiri telinga. “Sakit, Tuan, jangan—” Ia berhenti bicara saat William menjatuhkan bibirnya pada Lilia. Dari sekadar kecupan yang lambat laun berubah menjadi ciuman membara. Gigitannya bertubi-tubi menghujani Lilia dengan rasa perih. Lilia berusaha melawan, tetapi semakin hal itu ia lakukan, William semakin mendominasi dirinya. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya terbakar oleh rasa takut. Seakan belum cukup menyakiti bibirnya, William kini menjamah leher jenjangnya. Ia tinggalkan jejaknya di sana, perih menggerus kulit. “Jangan lakukan ini,” pinta Lilia mengiba. “Tolong lepaskan saya ….” Tubuhnya kebas dibebani gagah postur William yang menindihnya. Pria itu menarik wajahnya, menegakkan punggungnya dan menguraikan kancing kemeja yang ia kenakan. Setelah ia melemparkan atasannya secara sembarangan ke lantai, dress yang dikenakan oleh Lilia berusaha ia lepas. “Tuan William!” jerit Lilia mencoba menyadarkan pria itu saat tangannya bergerak liar menyelinap masuk melalui bagian bawah dress miliknya. Lilia melihatnya seolah sedang sangat marah, kemarahan yang tak bisa ia jelaskan apa maksudnya. Apakah itu karena ia dalam pengaruh alkohol, atau ia menganggap Lilia ini hanya seorang perempuan mata duitan yang menggertaknya dengan berpamitan, sehingga William akan menahannya dengan iming-iming uang? Benak Lilia resah, sekalipun William adalah suaminya, tak ada di dalam pikiran Lilia ia akan berakhir dengan cara seperti ini. Ia tidak siap. Dan tidak ingin! Lilia menahan sekuat tenaga pergelangan tangan William yang masih berusaha merenggut pakaiannya. “Diamlah, Lilia!” hardik pria itu. “Kamu berharap bisa menjadi nyonya, ‘kan? Tak apa sekalipun kamu babysitter-nya Keano, karena aku bisa membuatmu menjadi nyonya semalam, aku pinjamkan ranjangku untukmu.” Hati Lilia seperti dirajam lara mendengar apa yang dikatakan oleh William yang secara tak langsung ingin menyebutnya tak lebih dari seorang wanita bayaran. Lilia lebih keras melawannya, ia tepis sekuat tenaga lengan pria itu sehingga Lilia bisa mengangkat tangan dan melayangkan tamparan menghantam pipi sebelah kiri William. Kebekuan menghampiri mereka dalam sesaat. William terkejut dan termangu, barangkali membutuhkan waktu baginya untuk menyadari bahwa Lilia baru saja menamparnya. Dalam situasi lengah itu, Lilia mendorong William untuk enyah dari atasnya. Lilia merapatkan dress bagian atasnya yang dua kancingnya telah terburai karena sentakan William. Bibirnya gemetar saat ia menatap pria itu dengan netranya yang pirau akibat air mata. “Saya memang butuh uang,” aku Lilia. “Tapi uang itu bukan untuk diri saya atau kesenangan saya sendiri. Jika bukan demi ibu saya, saya juga tidak akan pernah sudi menjadi istri kedua Anda, Tuan William Quist.” Lilia beringsut turun dari ranjang tersebut, kakinya mengayun gontai mengenyahkan diri saat William dari belakang berseru, “Kamu tidak akan bisa pergi dariku begitu saja, Lilia!” peringatnya. “Di manapun tempatnya, aku pasti akan menemukanmu!” Lilia tak mempedulikannya. Ia keluar dari kamar William dengan terisak-isak. Saat pintu berdebum setelah ia tutup, kakinya tiba-tiba terpancang di lantai marmer tempatnya berpijak sebab ia menjumpai Keano berdiri di sana. Anak itu sepertinya terbangun dan mencarinya, mungkin karena tak menemukan Lilia bersamanya, sehingga ia pergi ke kamar atas. “Mama,” sebut Keano lirih. “Kenapa Mama menangis?” tanyanya. “Ayo kembali ke kamar, Keano takut tidur sendirian.” Lilia berlutut di depan Keano, ia raih kedua bahu kecilnya saat air matanya berderai semakin deras. “Maaf, Keano.” Setelah itu Lilia berlari meninggalkan bocah kecil yang kebingungan itu. “MAMA!” Tangisan Keano pecah di belakangnya. Teriakannya berulang kali memanggil Lilia yang lebih dulu tiba di ujung anak tangga. “Mama! Jangan pergi!” Suara lari kecilnya mengejar ke mana Lilia pergi. “Mama, Keano ikut!” Meski pilu dan berat, keputusan Lilia sudah bulat. Ia tidak ingin ada di rumah ini. “MAMA!” ‘Maaf, Keano ….’Kepala Lilia terasa pening saat ia menengadahkan wajah untuk menatap sejenak langit muram siang ini. Ia meriang sejak kemarin tetapi masih memaksakan diri untuk menjenguk ibunya di rumah sakit. Sudah sekitar lebih dari dua minggu pasca ia meninggalkan rumah William. Ia diterima menjadi seorang guru tambahan di sebuah taman kanak-kanak. Meski dulu ia menjadi pelayan di rumah keluarga Roseanne—rumah keluarga Ivana—tetapi ia diizinkan untuk tetap melanjutkan pendidikan. Berkat itu jugalah ia memiliki bekal untuk menata ulang hidupnya. Menapaki lantai pucat di sepanjang lorong yang mengantarnya tiba di depan sebuah jendela besar ruang ICU, sebuah rasa takut memburunya. “Ada apa ini?” tanyanya dalam kebingungan. Ia melihat kepanikan yang terjadi di dalam sana, seorang dokter dan beberapa perawat yang mengerumuni ranjang tempat di mana seorang wanita terbaring tak berdaya. “Ibu ….” sebutnya lirih. “Tidak—” Hatinya terasa hancur melihat ibunya—Alya—yang tubuhnya terguncang saat dokter
“Apa?!” Lilia menatap Arya dengan sepasang matanya yang berair. “Ayah mau menjadikan aku sebagai alat penebus utang?!” “Dengan begitu kamu akan sedikit berguna, ‘kan?” balas Arya dengan tawa puas. Pria dengan tato di lehernya itu tampak memindai Lilia selama beberapa saat sebelum ia kembali memandang ayah angkatnya. “Akan aku bawa dulu dia, biar Madam yang menentukannya nanti. Ingat, urusan kita belum selesai!” “Lepas!” teriak Lilia saat pria itu merenggut lengannya dengan kasar dan memaksanya bangkit dari posisinya. Lilia seperti tak diberi kesempatan untuk menolak. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, tenaganya seolah terkuras habis untuk bertahan dari serangan Arya beberapa saat yang lalu. Ia pontang-panting diseret keluar dari kamar, langkah kakinya terseok. Telapaknya terasa dingin menapaki lantai dengan tanpa alas. Air mata dan permohonannya diabaikan. Ia melihat sebuah mobil jeep warna hitam yang ada di halaman, yang entah akan membawanya ke mana setelah ini. “Masuk!” titah si
“A-apa yang A-Anda lakukan di tempat ini?” tanya Lilia terbata-bata saat pria itu menegakkan punggungnya setelah menyapa Lilia yang kebingungan. Benaknya berkecamuk penuh tanya, benarkah pertemuan mereka memang hanya sebatas kebetulan? ‘Apa memang telah menjadi kebiasaan William datang ke tempat yang menyediakan wanita malam seperti ini?’ Jika benar seperti itu, apakah dia juga sering melakukannya sejak Ivana— “Bukankah harusnya aku yang bertanya?” tanya balik pria itu sehingga mengakhiri kemelut yang ada di dalam dada Lilia. Salah satu alis William yang lebat terangkat, mengisyaratkan sebuah kebingungan, “Kenapa kamu di tempat ini, Lilia? Aah … apa mungkin seperginya kamu dari rumahku hal yang kamu putuskan adalah menjadi wanita malam?” “Tidak,” sangkal Lilia. “S-saya di sini karena ….” Ia menggigit bibirnya, sekujur tubuhnya terasa nyeri saat mengingat lagi apa yang dilakukan oleh Arya—alasan berakhirnya ia di tempat ini. “Karena ayah saya t-tidak bisa membayar utang pada Madam
Pria tua yang hampir menindihnya itu limbung saat Lilia menendang bagian sensitif di kedua pangkal pahanya. Selagi ia mengaduh kesakitan, Lilia memandang William dengan matanya yang basah. Air mata tak hentinya mengalir, rasa takut, frustrasi, ingin lari … semuanya bercampur menjadi satu, memburunya seperti rusa kecil yang dikejar pemangsa. “Tuan William,” panggil Lilia yang membuat pria itu urung pergi. Ia menoleh pada Lilia dengan kepalanya yang condong beberapa derajat ke kiri. “Saya setuju,” kata Lilia. “Tolong bawa saya pergi dari sini,” pintanya, menelan rasa malu padahal baru saja menolak tawarannya mentah-mentah. William menunjukkan seulas senyum tipisnya saat menghadapkan tubuhnya pada Lilia seraya bertanya, “Apapun resikonya, Lilia?” Lilia mengangguk sembari menyilangkan kedua tangannya di depan tubuh. “Apapun yang aku minta, kamu akan menerimanya?” William mempertegasnya. “Saya menerimanya,” jawab Lilia, suaranya sarat akan putus asa. Ia sungguh tak ingin berada l
“Dia pernah menjalani rawat inap di rumah sakit sebelum dibawa pulang dan melakukan rawat jalan di rumah,” terang Agni. “Saat itu kondisinya cukup buruk, bahkan sampai hari ini. Tuan Muda Keano tidak mau makan sejak Anda pergi, dan tidak mau bertemu dengan Tuan William sama sekali.” Kalimat Agni memasung bibirnya kian hebat, air mata tak kuasa terbendung dan luruh saat Lilia satu langkah mendekat pada keano. “K-kenapa Keano tidak mau bertemu dengan Tuan William, Bu Agni?” tanya Lilia setelah ia menata kata. “Dia sangat marah pada Tuan William karena menganggap Tuan lah yang membuat Anda pergi dari rumah,” jawabnya. “Dia melihat Anda menangis dari kamar Tuan pada hari Anda pergi dari rumah ini.” Sesak menggelegak kala ia mendapati Keano secara langsung, dalam pandangannya bahwa kondisinya memprihatinkan. Tubuhnya sangat kurus, anak itu kehilangan banyak berat badan. Pipinya yang dulu ia cium tiap malam itu berubah tirus. Seolah Lilia tengah melihat orang lain, bukan Keano kesayang
“K-kenapa kalian memanggilku Nona?” tanya Lilia sekali lagi, dibuat bingung dengan julukan barunya. Namun alih-alih memberi jawaban pasti, beberapa pelayan yang berdiri di sekitarnya hanya menunjukkan seulas senyum saat menjawab, “Bukankah memang seperti itu seharusnya?” “Tidak—” Lilia menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mau kalian memanggilku seperti itu karena aku bukan ‘Nona’,” ucapnya sungguh-sungguh. “Peraturan tidak akan diubah, Nona Lilia,” sahut Agni—kepala pelayan—yang berdiri tak jauh darinya. Wanita paruh baya itu tersenyum saat mendekat. “Kami akan tetap memanggil Anda seperti itu.” “A-aturan apa?” tanyanya memperjelas, tapi mereka seolah sepakat untuk tak membuka mulut. ‘Aturan apa maksudnya?’ batinnya. ‘Apa William yang meminta mereka begitu?’ Tapi mungkin ini menjelaskan kenapa sejak kedatangannya semalam Agni begitu sopan dan formal padanya. ‘Aneh sekali ….’ Lilia tidak suka dengan julukan itu, nanti akan ia desak Agni untuk jujur kenapa dirinya dipanggil seba
Lilia terjaga dari tidurnya saat merasa tenggorokannya kering. Ia hendak turun dari ranjang tempat ia membersamai Keano untuk meraih sebotol minuman yang tadi ia letakkan di atas meja sebelum gelombang kejut menghantam dadanya secara tiba-tiba. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat ia melihat sesosok pria bertubuh tinggi menjulang tengah berdiri di samping ranjang. Di bawah temaram pencahayaan, Lilia bisa mengenalinya dengan baik. Wangi musk ini adalah milik William. Entah sejak kapan pria itu ada di dalam sini, berdiri seolah sengaja melihat Lilia yang terlelap bersama dengan Keano. “T-Tuan?” sapa Lilia seraya menunduk. “A-apakah Anda membutuhkan sesuatu?” tanyanya lirih agar tak turut membangunkan Keano. “Kamu belum mengatakan hasil pemeriksaan dokter tadi padaku, Lilia,” jawabnya dengan suara yang seakan membekukan setiap sudut ruangan. “M-maaf,” jawab Lilia gugup sebab saat ia mengangkat wajah, maniknya mendadak terkunci dengan William. “Dokter mengatakan bahwa Keano sudah
Dengan gugup … Lilia pergi ke kamar atas—kamar William—sesuai yang diinginkan oleh pria itu tadi pagi. Malam datang begitu cepatnya, seolah sengaja agar Lilia bisa segera datang untuk menemui pria itu.Lilia menapaki undakan tangga satu demi satu seperginya ia dari kamar Keano dan memastikan anak itu dalam tidurnya yang pulas. Tangannya terasa kebas dan dingin setibanya ia di depan pintu berdaun dua.Debar jantungnya memberontak saat Lilia mengetuk pintu kamar itu.Rasanya seperti déjà vu sebab beberapa waktu sebelumnya Lilia juga melakukan ini—mengetuk pintu kamar William.“Masuk,” sambut suara bariton pria itu dari dalam sana.Setelah pintunya terbuka, Lilia bisa melihat William berdiri di dekat ranjang, seolah memang sengaja menunggunya.Bibir pria itu terkunci tanpa suara. Kebisingan kecil terjadi saat menutup pintu dan berjalan ke arahnya sehingga mereka berdiri berhadapan.Di bawah samar cahaya lampu yang berpendar sendu di atasnya, Lilia menahan gigil pada tubuhnya saat menden
"Sudah, semuanya sudah berakhir, tidak ada lagi yang akan menyakiti kamu, menyakiti anak-anak kita, maaf untuk semua kelalaiannya ...."William menunjukkan senyumnya, merekah tapi di mata Lilia penuh rasa kecewa.Mungkin prianya itu merasa bersalah karena telah membiarkan Lilia diculik dan berakhir seperti ini."Kamu juga tidak bersalah," balas Lilia sembari mengusap dagu William, pada sudut bibirnya, pada tegasnya rahang pria miliknya ini. "Kamu sudah menjagaku sebaik mungkin, tapi si jahat itu memang sedang memiliki kesempatan dan membuat semuanya jadi seperti ini.""Terima kasih untuk pengertianmu, Lilia."William menggapai bibir Lilia dengan lembut, tak ingin memberikan pagutan, sebatas kecupan beberapa detik seolah sedang meyakinkannya bahwa semuanya telah baik-baik saja.Saat William menarik wajahnya, ia menghela dalam napasnya sebelum berujar, "Aku harap setelah peristiwa ini kamu tidak semakin terpuruk dalam trauma itu," resahnya sendu."Aku pikir tidak, William," balas Lilia.
Setelah merasa terombang-ambing di tengah laut yang sunyi dan tanpa tepian serta dirundung kesendirian dalam waktu yang ia kira berlalu lebih dari satu dasawarsa, Lilia akhirnya bisa melihat dunia yang sebenarnya. Langit-langit kamar asing yang lalu disadarinya sebagai langit-langit ruang rawat tempat ia berbaring, aroma obat-obatan yang menyentuh indera pembaunya, serta hangatnya tangan seorang pria yang ia rindukan, William. Mengerjapkan matanya dengan pelan, Lilia ingat apa yang telah membuatnya berbaring di sini dengan selang infus yang tergantung di lengan kirinya. Tak lain karena ia nyaris saja mati di tangan mantan ayah angkatnya yang kejam. Rasa sesak saat jemari tangan pria itu mencekik lehernya dan membuat napasnya terputus seperti masih tersisa di sana, memberinya sensasi aneh yang membuat Lilia ketakutan bahwa peristiwa itu akan berulang. Ah ... begitukah rasanya ada di ambang batas hidup dan mati? Gelap dingin dan menakutkan? Seperti itu jugakah alam bawah sadar yang
Pemantik yang dibawa oleh Niel itu mengeluarkan api, menyala di hadapan Arya yang wajahnya pias. Saat pria itu berpikir bahwa Niel benar akan membakarnya, dugaannya salah. Pemuda itu justru menariknya kembali. Ia memang membakar sesuatu, tapi bukan dirinya. Melainkan rokok yang terselip di antara jari tengah dan jari telunjuknya, lalu menyesapnya. Aksi itu membuat tawa Zain terdengar, begitu juga dengan Alaric yang lebih patut disebut sebagai 'mencemoohnya'. "Lihat, bukankah dia sangat bodoh?" tanya Niel, asap mengepul keluar dari bibirnya saat ia menunjuk pada Arya. "Dia benar-benar berpikir kalau yang aku tuangkan ke tubuhnya itu adalah bahan bakar." Dagunya mengedik pada Arya yang berekspresi penuh kebingungan. Pria itu mengendus tubuhnya sendiri, bahu kanan dan kirinya, pada tangan dan juga sekitarnya yang tak mengeluarkan aroma apapun selayaknya aroma bahan bakar. Yang disiramkan oleh Niel itu bukanlah bensin atau sesuatu sejenisnya, tapi air minum. Di saat seperti ini, si
Setelah William pergi dari hadapannya, Arya berpikir ia akan bebas dan bisa melarikan diri dari sini. Namun, harapan itu ditolak mentah-mentah oleh semesta, sebab pria berjas yang ada di seberang sana yang tadi memanggil William itu adalah batu sandungan barunya. Setahu Arya, pria itu adalah atasan mantan istrinya—Alya—Alaric Roseanne namanya. Mengejutkannya, pria itu tak selembut yang terlihat. Ia tampak bersahaja dan tenang, tetapi sepertinya Arya salah. Di dalam diri seseorang yang tenang, bukankah tak ada yang tahu apa yang hidup di dalamnya? Dan yang hidup di dalam ketenangan seorang Alaric adalah badai, badai yang menakutkan. Dengan telinganya ia mendengar Alaric yang mengatakan pada pemuda yang berdiri di sebelahnya, yang matanya menyipit seperti serigala. "Bawa dia ke sini, Zain! Biar aku bisa melihat wajahnya dengan jelas, iblis seperti apa yang menyakiti anakku." Pemuda yang disebut sebagai 'Zain' itu mengangguk sebelum kakinya yang ditopang oleh Oxford mengayun ke ara
Kepala William terasa berat, ia menunduk memandang lantai tempat ia berpijak sebelum langkah kaki seseorang berhenti di depannya. "Tuan William," sapanya sebelum pemilik suara tersebut duduk di sampingnya, Giff. "Sudah ada kabar dari Nona Lilia?" William menggeleng, "Belum," jawabnya. "Aku harap yang keluar dari sana adalah kabar yang baik." Kepalanya terangkat, matanya tampak berkabut kala memandang pintu ruang IGD yang dilalui banyak orang. "Pasti, pasti yang dibawa oleh dokter adalah kabar yang baik." Giff menyerahkan selembar tisu pada William yang menerimanya dengan bingung. Wajahnya yang tampak kosong itu menatap Giff seolah sedang bertanya, 'Untuk apa?' "Bersihkan wajah Anda," ucap Giff seolah tahu makna tatapan matanya itu. "Ada darah di pipi Anda, Tuan William." William tersenyum miris, "Ini darah milik Lilia, Giff." Giff mengangguk, ia pun tahu bahwa itu adalah darah milik Lilia. Mereka melihat dengan jelas bagaimana Lilia meregang nyawa di tangan mantan ayah angkat
Tangan William membeku di udara. Panggilan yang datang dari suara yang tak asing itu membuat William seperti mendapatan kembali akal sehatnya. Kebencian yang tadi bertumpuk dan membuat kepalanya berat itu berangsur melemah hingga tangannya perlahan turun meski kepalan pada jemarinya tak teruraikan. Melalui sudut matanya, ia melihat kedatangan ayah mertuanya, Tuan Alaric. Beliau pasti datang ke sini setelah Giff—atau mungkin Niel—memberi tahunya bahwa Lilia dalam bahaya dan menyusul ke tempat ini. Suara yang memanggil William agar tak menuruti egonya untuk memukuli Arya itu adalah Tuan Alaric. “Tinggalkan dia!” pinta beliau. “Bawa Lilia pergi dari sini!” Mendengar nama Lilia membuat William beringsut pergi dari sana, meninggalkan Arya yang entah akan jadi apa di tangan Tuan Alaric setelah ini. Baginya sudah cukup. Saat Arya itu mengatakan agar sebaiknya William membunuhnya saja membuat ia tahu pria itu telah mendapatkan pelajarannya. William berlari menuju pada Lilia yang terkul
Dengan sebelah kaki kanannya, William telah membuat Arya terjerembab jatuh hingga terbentur ke dinding. “Akh!” Ia berteriak kesakitan, bingung untuk meraba sebelah mana yang sakit sebab semua bagian tubuhnya terasa remuk. Baik itu bahunya yang ditendang oleh William atau kepala yang tadi telah lebih dulu dihabisi Lilia semasa ia memberikan perlawanan. Napas William naik turun, ia menatap Arya yang tergelatak sembari meraba dadanya dan tertatih lalu bangkit. Manik mereka bertemu di bawah kegelapan yang nyaris memenuhi setiap sisinya jika lampu dari mobil yang ada di seberang sana tidak menyala. “Ah—ini ternyata yang sudah membawa Lilia pergi,” ucap Arya saat ia telah berhasil menegakkan tubuhnya. “Bukankah kamu sebaiknya mengucapkan salam padaku karena aku adalah ayahnya?” “Aku? Mengucapkan salam pada bedebah sepertimu?” BUGH! Tepat setelah William selesai bicara, kakinya kembali membuat Arya terpental. Ia yang telah tumbang ke lantai beringsut menyeret tubuhnya agar berjarak s
⚠️⚠️TRIGGER WARNING ⚠️ ⚠️ Bab memuat konten yang mengandung kekerasan dan dapat memicu rasa tidak nyaman. Harap bijak dalam membaca! ———— “Tidak akan!” Lilia kembali menepis tangan Arya, sebisa mungkin ia menutupi bagian depan tubuhya yang telah terekspos. Ia menatap pria di hadapannya itu dengan penuh kebencian, semakin dipandang rasanya ia tak lagi layak disebut manusia. Bukan juga iblis, sebab iblis pun sepertinya tidak ingin dibandingkan dengan betapa kejinya mantan ayah angkatnya itu. Lilia tak ingin berakhir di tangan pria itu meski tubuhnya terasa remuk. Yang paling menyakiti hatinya adalah, bagaimana jika nanti sesuatu yang buruk terjadi pada bayinya yang ada di dalam kandungan? Bagaimana jika Lilia tak bisa menjaganya? Air matanya kembali luruh, berkabut membingkai kedua netranya kala Arya meraih bahunya, berusaha menyingkirkan tangan Lilia yang menyilang di depan dada. Saat pria itu kembali menjamahnya, Lilia dengan segera menunduk, untuk menggigit tangan A
⚠ ⚠ TRIGGER WARNING ⚠ ⚠ Bab memuat konten yang mengandung kekerasan dan dapat memicu rasa tidak nyaman. Harap bijak dalam membaca! ———— “LEPAS!” Lilia semakin kuat memberontak, berusaha menguraikan tangan keji mantan ayah angkatnya yang masih ada di rambutnya, menyeretnya melewati lantai kasar yang ada di luar ruangan hingga tempat yang lebih lembab yang penuh dengan lumut, yang bisa ia pastikan membuat pakaiannya menjadi kotor dan lusuh. “ARYA!” Seruan Lilia seperti tak diindahkan. Arya tak mendengar permintaannya agar ia dibebaskan, pria itu justru semakin buruk memperlakukannya. Air matanya seperti akan mengering, ketakutan melandanya hingga membuat Lilia seakan memilih untuk menyerah. Di dalam sebuah bangunan yang telah lama tak digunakan itu, akhirnya Arya melepasnya. Pria dengan kaos berkerah hitam itu menatapnya cukup lama, tawa lirihnya yang memuakkan mencemari indera pendengar Lilia sesaat sebelum ia menunduk dan mengulas seberkas senyum di hadapan Lilia