“T-terima kasih,” ucap Lilia sungkan. Ia menunduk menghindari tatapan itu, berpikir bahwa barangkali Nicholas tak nyaman melihatnya memiliki luka yang mencolok seperti ini.
Pria itu mengangguk tak keberatan sebelum kembali memacu mobilnya menuju rumah sakit. Hampir tak ada percakapan yang terjadi. Lilia juga tak berani membuka suara mengingat dirinya yang memang tak setara dengan pria di balik kemudi itu. Status sosial mereka berbeda. Hanya kebetulan yang membuat mereka bertemu dan pria itu tak keberatan mengantarnya. Tak berapa lama kemudian mereka tiba di rumah sakit, meninggalkan mobil di parkiran, langkah mereka berhenti di depan ruang ICU. Jendela besar itu menunjukkan keberadaan ibunya yang belum bangun pasca operasi. “Apa yang terjadi, Lilia?” tanya Nicholas yang berdiri di samping kanannya. “Ibu saya jatuh di kamar mandi, Tuan,” jawabnya. “Ada pendarahan di kepalanya. Setelah operasi itu berhasil, ternyata dokter menemukan sakit lain di tubuh Ibu yang membuat beliau masih belum sadar sampai hari ini.” Nicholas terdengar menghela dalam napasnya. Matanya terlihat berbinar membiaskan cahaya lampu saat ia menatap Lilia, “Aku pikir ujianmu sedikit berat,” katanya. “Biasanya ada kebahagiaan yang menunggu di depan sana setelah ujian yang berat, Lilia. Bertahanlah.” “Terima kasih, Tuan.” Kalimat itu terdengar sederhana, tetapi terasa hangat. Senyumnya yang tulus seolah memberi semangat agar Lilia menguatkan diri lebih lama. Beberapa saat berada di sana, Nicholas menepati janjinya untuk mengantarnya pulang. Sekitar pukul delapan malam setelah mereka menerobos macetnya jalanan, akhirnya mereka tiba di halaman rumah William. “Kalau kamu membutuhkan bantuan, kamu bisa menghubungiku, Lilia,” ujar Nicholas sewaktu mereka keluar dari mobil. “Terima kasih, Tuan Nicholas,” jawabnya. “Saya merepotkan Anda yang sudah mau mengantar saya ke rumah sakit, bahkan sampai pulang.” “Tidak masalah.” “Mama Lilia,” sebut suara Keano yang membuat Lilia terkejut. Ia menoleh ke arah pintu rumah dan muncullah Keano yang berlari dan seketika itu memeluknya. “Keano sudah pulang?” tanya Lilia seraya berlutut membalas pelukan anak itu. Ia tak menyangka ternyata William dan Keano sudah ada di rumah. Pria itu menampakkan batang hidung saat menyusul anak lelakinya keluar. Tapi ia tak sendirian, melainkan bersama dengan Gretha. “Dari mana, Lilia?” tanya Gretha lebih dulu. “Oh? Sama Kak Nicholas?” Lilia mencuri pandang pada William setelah Gretha bertanya demikian, menyadari sepasang mata pria itu yang menggelap, dan sepertinya berpikir bahwa ia sengaja pergi dengan Nicholas saat ia tak di rumah. “S-saya hanya menjenguk Ibu saya, Tuan William,” ujar Lilia setelah berdiri dari berlututnya. Namun, pria itu tak memberi reaksi. Sedangkan Gretha menoleh pada William sebelum kembali memandang Lilia. “Kalian pergi berdua ke rumah sakit?” tanyanya sekali lagi. “Hanya kebetulan bertemu,” sahut Nicholas yang sedari tadi hanya diam. “Aah, begitu. Kalau begitu aku pulang dulu. Bye, Kak Liam,” ucap Gretha pada William yang sekilas membalas lambaian tangannya. “Bye-bye juga, Keano. Kita bersenang-senang lagi lain kali ya.” Mendengar itu membuat Lilia berpikir bahwa kepergian mereka semalam ternyata menghabiskan waktu bersama Gretha. Alih-alih menanggapi Gretha, Keano justru meraih tangan Lilia, “Mama Lilia, ayo tidur! Keano mengantuk.” Sepertinya karena melihat satu per satu membubarkan diri, Nicholas pun akhirnya berpamitan. “Aku juga pergi,” katanya pada William yang hanya mengangguk samar. Setelah mengikuti Keano yang menarik tangannya masuk ke dalam kamar, Lilia lebih dulu memintanya untuk menggosok gigi dan berganti pakaian. Dibelainya rambut hitam Keano yang berbaring di sampingnya, ia bisikkan, “Apakah Keano bisa berhenti memanggil Sus Lili dengan ‘Mama’?” pinta Lilia. “Tidak mau,” jawab bocah itu. “Harusnya kemarin Mama Lilia ikut Keano pergi dengan Papa, dan menginap di luar,” ucap Keano saat memeluk Lilia semakin erat. “Tidak apa-apa, Keano ‘kan sudah dengan Papa?” “Keano tidak suka, Keano ingin pulang dan bertemu Mama Lilia,” jawabnya. “Apa Mama Lilia janji tidak akan pergi juga seperti Mama Iva yang sudah tidak ada di dalam kamar?” Tanya itu membawa gelombang kejut yang membuat Lilia sesaat tak bisa berucap. Tapi melihat mata polos Keano yang menunggu jawabannya, ia dengan cepat mengangguk. “Iya,” jawabnya. “Sekarang tutup mata dulu dan tidur.” “Nyanyikan lagu untuk Keano, Mama.” Lilia mengusap rambut hitamnya kembali, ia senandungkan lagu pengantar tidur kesukaannya yang hanya dalam waktu singkat mengantar bocah kecil itu terlelap. Lilia menatapnya cukup lama, meski senang melihatnya tumbuh, tapi ia pikir ini sudah waktunya untuk pergi. Lilia hanya tak ingin semakin disalahpahami telah mencuci otak anak ini. Apalagi mengingat ucapan ibunya William tadi pagi, dirinya dan keluarga ini dipisahkan oleh dinding tinggi yang tak akan bisa ditembus. Ia menarik dirinya yang tengah dipeluk Keano. Memberinya selimut dan mengecup pipinya sebelum beranjak turun dari tempat tidur. Lilia membawa langkah kakinya keluar dari kamar, ia sudah membulatkan keputusan bahwa ia akan berhenti menjadi babysitter, berhenti bekerja di rumah ini. Ia berjalan menuju ke kamar William yang ada di lantai atas. Tiba di depan pintu berdaun dua itu, ia mengetuknya. “Masuk,” sambut suara bariton William dari dalam sana. Saat Lilia membuka pintunya, ia melihat William yang berdiri di dekat meja, terlihat baru saja meletakkan gelas minuman dan menoleh pada kedatangannya. “T-Tuan William,” panggil Lilia gugup. “Ada apa?” “S-saya akan berhenti mengasuh Keano mulai besok,” jawabnya. “Saya ingin berhenti, jadi—akh!” Lilia terperanjat saat tanpa sepengetahuannya William sudah berdiri di hadapannya. Pria itu merenggut dagunya dengan kasar sehingga Lilia menengadah, perutnya seakan membeku saat pria itu menutup pintu dan menguncinya dari dalam ….Lilia tahu William sedikit mabuk. Ia bisa menghidu bau alkohol yang menguar dari bibirnya saat mereka berdiri dalam jarak sedekat ini.Pria itu menunduk mensejajari pandangannya saat tawa lirihnya baru saja terdengar.“Kamu tidak memiliki hak untuk memutuskan apakah kamu bisa pergi dari rumah ini atau bertahan, Lilia Zamora,” ucapnya tegas.Lilia tak sempat menjawab apa yang dikatakan oleh pria itu sebab William lebih dulu menariknya dan membuatnya terhempas di atas ranjang.“Apa kamu mau pergi dari sini karena ingin hidup dengan Nicholas?” tanyanya. “Apa yang kamu lakukan dengannya tadi? Kalian bersenang-senang di luar saat aku tidak di rumah?”Pertanyaan datang bertubi-tubi seiring William yang naik ke atas tempat tidur. Pria itu menunduk di atas Lilia yang wajahnya seketika pias. Ia mencoba melepaskan diri, tetapi itu sia-sia sebab William telah membuatnya terkunci tak bisa bergerak.“T-tidak,” jawab Lilia dalam ketidakberdayaan. “Saya benar-benar hanya pergi ke rumah sakit untuk m
“Tidurlah di kamar Lilia nanti malam, biar bagaimanapun dia adalah istrimu juga. Sama sepertiku, dia juga berhak mendapatkan nafkah batin darimu, William.” Suara manis yang terdengar menembus pintu kamar membuat Lilia menghentikan langkahnya. Ia berdiri di luar dengan kedua tangan yang mencengkeram erat keranjang berisi pakaian yang harusnya ia bawa masuk, sebelum ia menyadari bahwa tuan dan nonanya tengah berada di dalam sana. “Tidak mau, Sayang,” jawab suara bariton seorang pria menyambut permintaan itu. “Aku tidak bisa melakukan itu dengan wanita lain selain kamu.” “Kamu tidak boleh begitu, William. Karena nanti setelah aku mati, kamu akan hidup dengan Lilia.” “Tapi kamu tidak akan meninggalkan aku secepat itu, Ivana.” Lilia termangu dengan tubuh yang terasa kebas. Tuan dan nonanya itu sedang membicarakan dirinya, babysitter anak mereka, yang sekaligus telah menjadi istri kedua William. Hal itu mereka lakukan untuk memenuhi permintaan Ivana yang kondisinya memburuk akibat le
Lilia melihat pria itu sedikit berbalik untuk menutup pintu sehingga ruangan ini seolah menjebak mereka hanya berdua saja.Ia merasa tubuhnya nyeri mendengar yang baru saja dikatakan oleh William. ‘Yang dilakukan oleh dua orang yang sudah menikah’ itu, Lilia tahu betul apa artinya.Hubungan suami istri, seperti yang tadi diminta oleh Ivana, bukan?Lilia ketakutan, pandangan William tajam mengintimidasinya. Sesuatu yang gelap tersembunyi di balik iris dan wajahnya yang rupawan.Dadanya bertalu ribut sehingga Lilia membawa langkahnya mundur untuk menghindarinya. Membawa dirinya sejauh mungkin dari William jika perlu.“Apa sekarang kamu sedang menolakku?” tanya pria itu. Tak mendapati jawaban, William menekan saat mengucap, “Jangan salah, aku datang ke sini karena istriku yang meminta,” katanya. “Bukan karena keinginanku sendiri. Jadi lakukan ini sebagai cara kita memenuhi apa yang diinginkan oleh Ivana.”Kalimatnya telah menegaskan dengan kuat bahwa tak ada wanita lain yang dicintai ole
Lilia tertegun cukup lama mendengar William.‘Nona Ivana ... meninggal?’ batinnya, merasakan sensasi perih yang tiba-tiba menusuk ulu hatinya. Ia bangun dan mengangkat Keano ke gendongannya untuk mendekat ke arah kamar.Saat hampir melewati William yang baru saja mengakhiri panggilannya—entah dengan siapa itu—Lilia terkejut karena pria itu justru membentaknya.“Apa kamu bodoh?!” hardiknya. “Kenapa kamu malah membawa Keano untuk masuk?”“S-saya—” Lilia mendekap Keano semakin erat saat anak itu sepertinya lebih terkejut mendengar suara ayahnya yang meninggi. “Saya hanya ingin Keano melihat saat-saat terakhir Nona Ivana, Tuan,” jawab Lilia akhirnya.Tapi William tak menerima alasan itu. Ia meraih lengan Lilia dan menariknya pergi menjauh dari pintu.“Jangan sampai Keano melihat ini!” peringatnya sungguh-sungguh. “Bawa dia pergi sampai aku memintamu membawanya pulang!”“Kenapa Papa berteriak?!” tanya Keano—yang barangkali menganggap seruan William ditujukan untuknya.Ia nyaris jatuh dari
Tudingannya menggebu-gebu.Lilia menatap ibu Ivana dengan mata yang basah, bibirnya berusaha mengeluarkan kata untuk menepis tuduhan itu, tapi suara lain lebih dulu menyahut, “Apa yang terjadi?”Wanita lain yang datang itu merupakan ibunya William, bimbang memandang Lilia dan besannya itu bergantian.“Perempuan ini yang baru saja membawa Keano, ‘kan?” tanggapnya. “Aku baru saja melihat Keano di kamar dan dia mengatakan dia baru saja pergi dengan ‘Mama Lilia.’”“Apa?!” Ibunya William terkejut, sepasang bola matanya melebar mendengar hal itu. “B-bagaimana bisa seorang babysitter dipanggil ‘Mama’ oleh cucuku?!”Ia beralih pandang dari sang besan pada Lilia yang juga sama terkejutnya.Kalimat-kalimat pembelaan diri yang sempat tersusun di bibirnya seolah tertelan kembali ke tenggorokan.“Apa itu benar, Lilia?” tanya beliau. “Apa kamu meminta Keano untuk memanggilmu ‘Mama’ setelah kamu menyingkirkan Ivana?”“Itu tidak benar, Nyonya!” tepis Lilia dengan suara yang gemetar. “Saya tidak membu