mulai besok akan update 2 bab, jadi pastikan akak semua sudah menambahkan Wil-Lia couple ke dalam perpustakaan 🤗 tinggalkan komentar dan ulasan juga, terima kasih sudah membaca 🤗😍
Dengan gugup … Lilia pergi ke kamar atas—kamar William—sesuai yang diinginkan oleh pria itu tadi pagi. Malam datang begitu cepatnya, seolah sengaja agar Lilia bisa segera datang untuk menemui pria itu.Lilia menapaki undakan tangga satu demi satu seperginya ia dari kamar Keano dan memastikan anak itu dalam tidurnya yang pulas. Tangannya terasa kebas dan dingin setibanya ia di depan pintu berdaun dua.Debar jantungnya memberontak saat Lilia mengetuk pintu kamar itu.Rasanya seperti déjà vu sebab beberapa waktu sebelumnya Lilia juga melakukan ini—mengetuk pintu kamar William.“Masuk,” sambut suara bariton pria itu dari dalam sana.Setelah pintunya terbuka, Lilia bisa melihat William berdiri di dekat ranjang, seolah memang sengaja menunggunya.Bibir pria itu terkunci tanpa suara. Kebisingan kecil terjadi saat menutup pintu dan berjalan ke arahnya sehingga mereka berdiri berhadapan.Di bawah samar cahaya lampu yang berpendar sendu di atasnya, Lilia menahan gigil pada tubuhnya saat menden
“Kenapa tubuhmu penuh luka seperti itu, Lilia?” tanya William, sepasang matanya yang gelap tampak menunjukkan berbagai macam emosi. Sebuah rasa terkejut, ada seberkas marah yang dijumpai Lilia dari alis lebatnya yang nyaris bersinggungan. Lilia tak serta merta menjawab tanya William sekalipun ia tahu pria itu tengah menunggunya bicara. Ia hanya … takut William mengira ia mencari simpati. “Apa Madam Savannah yang melakukan itu padamu?” tanya William sekali lagi. Dingin suaranya kian menjadi-jadi sementara Lilia memberi sebuah gelengan samar untuk tak membenarkannya. William tampak terdiam cukup lama, Lilia dibuat tak berkutik sepanjang detik-detik yang mencekam itu hingga pria itu menghela dalam napasnya. “Apa ayahmu yang melakukan itu?” Lilia meremas jemarinya yang terasa kebas, mengingat tongkat kayu yang dibawa oleh ayah angkatnya beberapa waktu yang lalu seolah membuat luka yang ada di sekujur tubuhnya ini kembali nyeri, meremukkan tubuhnya. Barangkali melihat reaksi Li
Entah ini hanya perasaan Lilia, atau memang karena suasana hati William yang sedang baik. Lilia merasa sikap William melunak beberapa hari terakhir ini.Ia tidak terus menunjukkan rahangnya yang tegang atau alis lebatnya yang setiap waktu Lilia melihatnya selalu nyaris bersinggungan, tetapi senyum tipis dan itu kadang membuat Lilia berdebar jika tanpa sengaja melihatnya.‘Dia tersenyum untuk anak lelakinya karena mereka sudah berbaikan, bukan tersenyum padamu, Lilia!’ ucap Lilia dalam hati, meyakinkan dirinya sendiri.Sebab hal itu juga baru saja terjadi. Beberapa detik manik mereka bertemu saat Lilia meletakkan makanan di depan Keano yang tengah duduk di ruang makan, berseberangan meja dengan William.Keano tampak tak bisa berhenti tersenyum saat Lilia meletakkan sepiring nugget buatannya sendiri—ini adalah makanan yang saat itu dikatakan William bahwa bocah kecil itu meminta makanan pada para pelayan tetapi tak ada yang tahu.“Terima kasih, Mama,” ucap Keano sebelum ia menggunakan
Tadinya, Lilia berpikir bahwa William akan menolak keinginan Keano. Tetapi dugaannya itu salah. Karena pria itu mengangguk tak keberatan. “Boleh,” jawabnya. Ia urung menaiki tangga dan berdiri di lantai marmer yang sama dengan Lilia dan anak lelakinya. “Papa akan tidur di kamar Keano nanti.” Keano lalu menoleh pada Lilia yang juga tengah ia gandeng tangannya. “Mama ayo masuk ke kamar, hari ini kita akan tidur dengan Papa.” Sepasang matanya yang berbinar sedang menunggu tanggapan. Lilia tersenyum, ia melepas tangan kecil Keano dan mengusap puncak kepalanya. “Keano saja yang tidur dengan Papa,” jawabnya hati-hati. “Karena sudah lama juga Keano dan Papa tidak bersama-sama, ‘kan?” Mendengar itu, raut wajah Keano berubah. Senyum di kedua sudut bibirnya yang semula terukir lebar sirna dalam sesaat. Kedua pipinya sedikit menggembung, air mata tertahan membingkai netranya yang beriris kelam. “Apakah … Mama tidak sayang sama Keano?” tanyanya, napasnya sedikit tersengal saat air matanya
Atmosfer berubah buruk saat William datang. Pria itu berdiri di depan Nicholas, seolah menyembunyikan Lilia di belakang punggungnya.“Aku hanya ingin menjenguk keponakanku saja kok,” jawab Nicholas dengan suaranya yang tenang. Seolah tanya mendesak soal mengapa ia di tempat ini dari adik lelakinya itu bukan sesuatu yang membebani. “Tapi aku tidak tahu kalau Lilia ada di sini juga,” lanjutnya, sekilas mengintip Lilia melalui bahu William.“Apa yang kamu harapkan memangnya? Lilia istriku.”“Benarkah Lilia istrimu?” sangsinya. “Tapi kelihatannya tidak begitu karena Lilia terlihat ketakutan sekarang ini.”Menyambut ucapannya, William dengan segera menoleh kepada Lilia yang berdiri di belakangnya.Lilia yang melihat alis pria itu nyaris bertautan mengantisipasi agar atmosfer tegang ini tak berkelanjutan.“Maaf menyela,” ucapnya. “Tapi jika Tuan Nicholas ingin bertemu, Keano sedang ada di dalam kamar.”“Baiklah, aku akan ke sana,” tanggap Nicholas seraya melemparkan seulas senyumnya yang ma
Malam hari saat Lilia baru menidurkan Keano dan hendak menutup kelambu yang sedikit tersingkap, ia melihat pintu kamar yang terbuka perlahan dari luar. Wajah Agni terlihat sebelum wanita berambut sebahu itu mengayunkan kakinya ke dalam dan menundukkan kepalanya. “Apakah Tuan Muda Keano sudah tidur?” tanya Agni pertama-tama. “Sudah, Bu Agni,” jawab Lilia. Ia berpikir ini adalah waktu yang tepat baginya meminta izin menggunakan ponsel Agni untuk meminjam uang—seperti yang direncanakannya tadi sore. Tapi, sebelum Lilia sempat mengatakan apapun, Agni lebih dulu berujar, “Tuan William meminta Anda untuk menemui beliau, Nona Lilia,” ucapnya lirih. “Sekarang?” tanya Lilia memastikan. “Iya, Nona, sekarang.” Lilia mengangguk, mengurungkan niat yang sudah tersusun di kepalanya. Ia mengikuti Agni untuk keluar dari kamar. Cahaya lampu yang masih terang menyambutnya, keadaan yang berbeda dengan ia yang sebelumnya ada di dalam kamar Keano. Tadinya, Lilia mengira Agni akan memintanya untuk n
“Tanyakan saja pada Mama Liliamu, Keano,” jawab William atas tanya anak lelakinya. Sekilas sudut mata pria itu mengarah pada Lilia yang tak mengira ia akan lempar tangan seperti itu. “Tanyakan padanya kenapa memanggil Papa dengan ‘Tuan’ begitu,” tukasnya kemudian menggapai minuman dari atas meja dan meneguknya. Keano benar menoleh pada Lilia. Matanya yang berbinar mengiringi munculnya tanya, “Kenapa, Mama?” Lilia menghela dalam napasnya, bingung mencari jawaban. “M-Mama tidak akan memanggil ‘Tuan’ lagi mulai sekarang,” jawab Lilia sekenanya. Tapi sepertinya itu bisa diterima oleh Keano sebab anak itu terlihat setuju dan tampak senang setelah mendengarnya. “Nice,” pujinya senang. Tapi mungkin William yang tidak senang karena Lilia tidak melihat ekspresi pria itu berubah atau sekadar mengimbangi antusiasnya Keano dengan seulas senyuman. Makan siang berlangsung setelah itu. Keano dengan lahap menghabiskan makanannya sebelum akhirnya mereka pulang. Tidak membutuhkan waktu lam
Lilia bisa menjumpai wajah terkejut Gretha saat melihatnya masuk dengan bergandengan tangan bersama dengan Keano. “Lilia?” sapanya lebih dulu, gadis itu menarik tangannya dari William dan memandangnya lekat. “A-aku baru tahu kalau kamu kembali ke rumah ini. Sejak kapan?” tanyanya, menoleh pada William seolah meminta pria itu menjelaskan kemudian pada Lilia bergantian. “Selamat siang, Nona Gretha,” balas Lilia atas sapaannya, tetapi tak menanggapi soal keingintahuannya tentang keberadaannya di rumah ini. “Siang,” balasnya sebelum ia menoleh pada Keano dan menyapanya juga. “Halo, Keano. Dari mana, Sayang?” “Baru pulang sekolah bersama dengan Mama,” jawabnya. Gretha tampak terpaku selama beberapa saat, di mata Lilia … gadis itu sepertinya sedang mencerna kalimat polos Keano hingga akhirnya memberi tepuk tangan kecil untuk keponakannya itu. “Congrats,” ucapnya. “Apakah ini hari pertamanya Keano?” “Iya, Tante.” Keano mengangguk kemudian memandang William dan bertanya, “Kenapa Papa
“Masuklah, Lilia!” kata William dari ambang pintu. “Kalau kamu berdiam diri di sana kamu akan tertular si Giffran Alfrond yang cerewet itu!”Lilia kemudian masuk ke dalam rumah, menyusul William yang menunggunya mendekat kemudian mereka menuju ke ruang makan.Lilia membantu Alya untuk menyiapkan makanan sebelum akhirnya mereka semua duduk di sana untuk santap sore—karena William lapar.Giff yang duduk di samping Keano terlihat memeriksa ponselnya dengan serius hingga William berdeham dan pemuda itu dengan cepat meletakkan benda pipih berwarna hitam itu ke atas meja—yang bagi Lilia suara William yang baru terdengar itu ia artikan sebagai sebuah teguran.Yang jika William bicara barangkali ia akan mengatakan, ‘Taruh ponselmu! Tidak sopan!’“Maaf,” kata Giff akhirnya. “Saya baru saja menerima pesan, setelah ini kita harus meeting online dengan orang dari Sada Construction dan desainer dari luar negeri yang akan mengerjakan interior ruangan di dalam sekolah itu, Tuan William,” terangnya.
Lilia berdeham, kemudian menunduk agar tak bertemu pandang dengan William.“Sepertinya sangat aneh,” kata Lilia.“Aneh kenapa?”“Karena Anda mencintai saya. Bagaimana Anda bisa jatuh cinta pada anak pelayan?”“Kamu ‘kan bukan anak pelayan?” tanya William balik.“I-itu ‘kan sekarang. Tapi dulu saat Anda mengatakan itu … bukankah Anda tahunya saya adalah anak angkat seorang pelayan?”“Memangnya ada peraturan yang mengatakan dengan siapa seseorang boleh atau tidak boleh jatuh cinta?” sanggah William. “Jika yang diatur itu adalah aku, akan aku hancurkan peraturannya, orang yang membuat aturan itu sekalian.”“T-tidak seperti itu maksud saya.” Lilia akhirnya menatap pria itu lagi, kalimatnya yang baru saja ia katakan itu terdengar tak bisa dibantah—dan sepertinya ia sungguh-sungguh saat mengatakan akan menghancurkan peraturan yang melarangnya jatuh cinta pada siapa.“Jadi?”“Saya hanya merasa aneh, itu saja,” kata Lilia.“Jika aku yang jatuh cinta padamu kamu anggap aneh, mungkin jika kamu
“Kenapa kamu bangun?” tanya William setelah Lilia menyebutkan namanya.“Bukannya saya yang harus bertanya?” tanya Lilia balik seraya bangun, duduk dan merapikan rambutnya. “Kenapa Anda tidak tidur?”“Tidak apa-apa, senang saja melihatmu dan Keano bisa bersamaku, Lilia,” jawabnya. “Hal yang sebelumnya sepertinya sudah pupus dari harapanku kita akan bisa seperti ini lagi. Terima kasih karena kamu mau menginap denganku di sini.”“Bukankah saya sudah pernah bilang, jika itu bertujuan untuk membuat Keano senang, saya pasti akan setuju.”Di bawah temaramnya lampu kamar hotel itu, Lilia bisa melihat senyum manis William saat pria itu mengangguk sebagai tanggapan atas ungkapannya.Mata Lilia berpindah dari iris kelamnya ke atas meja. Pada sekotak rokok yang ada di atas asbak keramik yang mencuri perhatiannya. “Apa Anda merokok juga?” tanya Lilia memberanikan diri.“Itu milik Giff.”“Pak Giff masih muda, kenapa dia merokok?” gumam Lilia yang jelas bisa didengar oleh William.“Hanya sesekali s
“Aku tidak keberatan,” jawab William. “Tapi semuanya kembali lagi pada Lilia dan Keano, ‘kan?”Ia menoleh pada Lilia, memandang bergantian pada anak lelakinya juga.“Mau ya, Mama?” bujuk Keano pada Lilia yang hanya bergeming.Ibunya yang duduk di ruang tengah kemudian bangkit dan menghampiri Lilia, menyentuh punggung tangannya seraya berbisik, “Pergilah … siapa tahu dengan begitu ingatanmu akan segera pulih, Nak ….”Alya menunjukkan senyum tulusnya sebelum beranjak pergi dari sana, membiarkan Lilia mengambil keputusan setelah memikirkannya.“Mama?” panggil Keano sekali lagi, mungkin tidak sabar karena Lilia tak kunjung menjawabnya. “Apakah Mama tidak mau?”Sepasang matanya menatap Lilia dengan mengiba. Hatinya pasti terluka jika Lilia menolak permintaannya itu.“Iya baik, Mama mau,” jawab Lilia seraya menunjukkan senyumnya agar bocah kecil itu juga tersenyum dan berhenti menunjukkan bibir tertekuknya seperti itu.Setelah bersiap dengan membawa beberapa pakaian, mereka pergi meninggalk
Lilia panik, ia berusaha menutupi bagian depan tubuhnya yang pasti tampak, entah itu bra atau bahkan—“Ambilkan coat punyaku yang ada di mobil, Giff!” pinta William pada Giff yang lalu berlari pergi dari sana.Lilia menyilangkan kedua tangannya di depan dada saat William tersenyum dan memalingkan wajahnya. Mengisyaratkan pada Keano agar anak lelakinya itu melakukan hal yang sama meski ia tahu Keano terlihat khawatir.Tidak membutuhkan waktu lama bagi Giff untuk kembali den dengan mata terpejam menyerahkan coat panjang itu pada William, memindahnya pada Lilia tanpa menoleh, meminta agar ia memakainya.“Pakailah,” ucapnya. “Coat ini panjang, kamu bisa menutupi semua bagian yang basah dengan ini.”“Terima kasih,” jawab Lilia kemudian mengenakannya dengan gugup—atau lebih tepatnya malu.Ia hanya wanita sendiri sementara dua orang yang ada di sekitarnya adalah pria dan seorang anak lelaki.“Kita pulang saja, Papa,” ajak Keano. “Kasihan Mama bajunya basah, nanti kalau Mama sakit bagaimana?”
Amaya merasa hatinya sedang tak karuan sekarang melihat Kelvin yang menjatuhkan air mata. Saat manik mereka bertemu, Amaya melihat betapa pria itu sangat tulus meletakkan seluruh perasaannya dan seolah menunggu agar hari ini tiba.Gafi tersenyum saat memandang keduanya bergantian sebelum ia memindah tangan Amaya pada Kelvin.Pembawa acara meminta agar Gafi kemudian memberikan ruang dan tempat untuk kedua pengantin yang tengah berbahagia.Amaya tak bisa memalingkan wajahnya, ia terpesona, terperangkap pada Kelvin saat pria itu terus menatapnya dengan teduh.Gerakan bibirnya yang tanpa suara sedang mengatakan, ‘Cantik sekali.’Dan tentu saja itu diketahui oleh semua orang yang hadir di sana dan itu membuat tubuh Amaya meremang.Apalagi saat pembawa acara mengatakan, “Bapak-Ibu tamu undangan sekalian, sepertinya kedua mempelai kita ini sudah tidak sabar untuk mengatakan apa yang mereka rasakan selama ini,” ujarnya. “Mari kita dengarkan terlebih dahulu sepatah dua patah kata dari masing-
Lagi pula … bagaimana bisa Lilia menyebutnya berbohong jika matanya yang seolah dipenuhi oleh cumulonimbus itu berbicara lebih banyak sebesar apa lukanya. Sepertinya Tuan Alaric juga benar saat menyebut tentang William yang hampir gila selama pria itu berpikir bahwa Lilia dan Keano telah tewas terpanggang bara api.Lilia tersenyum sebagai jawaban. “Tidak apa-apa,” katanya. “Dan terima kasih karena sudah mengakuinya. Saya juga meminta maaf karena melupakan semuanya sehingga kita harus menjadi seperti ini. Asing, seperti orang yang tidak saling mengenal sebelumnya padahal sudah melewati banyak peristiwa.”“Kamu tidak bersalah, Lilia,” jawab William. “Kamu hanya korban dari keserakahan orang lain.”Dan Lilia tahu bahwa ‘orang lain’ yang dimaksudkan oleh William itu adalah Gretha—meski ia juga tak ingat seperti apa kejadiannya.Mereka kembali terhening selama beberapa saat. Dimulai sejak William menyesap teh hangat miliknya hingga pria itu kembali memperdengarkan suara baritonnya.Sepasa
Benar itu adalah William! Lilia dengan cepat membuka pintu rumah, udara dingin yang datang dari luar menyinggahi wajahnya bersamaan saat William tiba di hadapannya dengan tersenyum. Ia terlihat hendak berbicara sebelum Lilia lebih dulu memberinya teguran. “Kenapa Anda selalu tidak memakai payung padahal Anda tahu sedang hujan?” tanyanya. “Kita bertemu pertama kali di depan preschool itu Anda juga tidak memakai payung, ‘kan? Apa tidak ada payung di dalam mobil mahal Anda itu?” Alih-alih menjawab, yang dilakukan oleh William adalah tetap tersenyum, seolah ia sangat senang mendengar celotehan Lilia ini. “Maaf,” jawab William pertama-tama. “Aku hanya tidak sabar untuk segera bertemu denganmu, Lilia.” “Ini masih pagi, apakah Anda dari kota langsung ke sini?” “Tidak. Aku sudah ada di hotel beberapa jam yang lalu dan pagi-pagi ke sini karena aku ingin melihatmu,” terang William. “Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” “Anda bisa datang lebih siang, setidaknya tidak segelap ini. Apa A
‘LILIA?!’ seru William dalam hati. Ia terhenyak bangun dari berbaringnya dan mengetuk kontak itu dengan tidak sabar. ‘Apa benar ini dia? Apa dia sudah diizinkan Papa memakai ponsel?’ banyak tanya di dalam hatinya. [Lilia Zamora?] balas William memastikan. [Benar.] Napasnya tercekat di dada saat membaca balasan itu. Ia duduk dengan punggung tegak saat tangannya yang dirasanya gemetar itu kembali mengetik. [Aku akan datang besok. Tolong katakan pada Keano juga ya. Sampai jumpa, Lilia.] William beringsut turun dari ranjang, ia berlari keluar dari kamar Keano dan menuju ke kamar di mana Giff berada selama ia tinggal di rumahnya. “Giff!” panggil William setelah membuka pintu kamar itu tanpa mengetuknya lebih dulu. Si pemilik nama yang tengah berbaring di atas ranjangnya itu menoleh pada William dengan alisnya yang bersinggungan. “Anda tidak bisa mengetuk pintu dulu?” “Ini rumahku,” jawabnya singkat—dan ketus. “Ayo kita pergi, kamu siapkan mobilnya!” “Pergi? Pergi ke ma