terima kasih sudah membaca, jangan lupa tinggalkan komentar dan ulasan ☺️ sampai jumpa besok lagi 🩷 ILYTTMAB 🌝
“Tanyakan saja pada Mama Liliamu, Keano,” jawab William atas tanya anak lelakinya. Sekilas sudut mata pria itu mengarah pada Lilia yang tak mengira ia akan lempar tangan seperti itu. “Tanyakan padanya kenapa memanggil Papa dengan ‘Tuan’ begitu,” tukasnya kemudian menggapai minuman dari atas meja dan meneguknya. Keano benar menoleh pada Lilia. Matanya yang berbinar mengiringi munculnya tanya, “Kenapa, Mama?” Lilia menghela dalam napasnya, bingung mencari jawaban. “M-Mama tidak akan memanggil ‘Tuan’ lagi mulai sekarang,” jawab Lilia sekenanya. Tapi sepertinya itu bisa diterima oleh Keano sebab anak itu terlihat setuju dan tampak senang setelah mendengarnya. “Nice,” pujinya senang. Tapi mungkin William yang tidak senang karena Lilia tidak melihat ekspresi pria itu berubah atau sekadar mengimbangi antusiasnya Keano dengan seulas senyuman. Makan siang berlangsung setelah itu. Keano dengan lahap menghabiskan makanannya sebelum akhirnya mereka pulang. Tidak membutuhkan waktu lam
Lilia bisa menjumpai wajah terkejut Gretha saat melihatnya masuk dengan bergandengan tangan bersama dengan Keano. “Lilia?” sapanya lebih dulu, gadis itu menarik tangannya dari William dan memandangnya lekat. “A-aku baru tahu kalau kamu kembali ke rumah ini. Sejak kapan?” tanyanya, menoleh pada William seolah meminta pria itu menjelaskan kemudian pada Lilia bergantian. “Selamat siang, Nona Gretha,” balas Lilia atas sapaannya, tetapi tak menanggapi soal keingintahuannya tentang keberadaannya di rumah ini. “Siang,” balasnya sebelum ia menoleh pada Keano dan menyapanya juga. “Halo, Keano. Dari mana, Sayang?” “Baru pulang sekolah bersama dengan Mama,” jawabnya. Gretha tampak terpaku selama beberapa saat, di mata Lilia … gadis itu sepertinya sedang mencerna kalimat polos Keano hingga akhirnya memberi tepuk tangan kecil untuk keponakannya itu. “Congrats,” ucapnya. “Apakah ini hari pertamanya Keano?” “Iya, Tante.” Keano mengangguk kemudian memandang William dan bertanya, “Kenapa Papa
“T-tidak, Tuan William,” jawab Lilia. “Saya tidak cemburu. Untuk apa saya cemburu? Yang Anda dan Nona Gretha lakukan itu tidak ada hubungannya dengan saya.”William hanya terdiam mendengar jawaban Lilia. Dagunya sedikit terangkat saat matanya memindai Lilia dari bawah hingga ke atas dan mengunci maniknya.Setelah mengatakan itu, Lilia lebih memilih untuk beranjak pergi.Namun, baru satu langkah ia kembali memandang William dan menyisihkan keragu-raguannya sebelum ia mengucap, “Maaf, saya tidak bermaksud lancang,” katanya. “Tapi … mungkin ada baiknya Tuan William mempertimbangkan untuk berhenti merokok.”Lilia melihat salah satu alis pria itu terangkat saat punggungnya ia letakkan di sandaran kursi.“Keano sering batuk saat bangun tengah malam, tidak ada yang tahu jika mungkin saja itu berasal dari asap rokok yang menempel di pakaian Anda dan dihirup oleh Keano,” imbuh Lilia. “Mungkin efek besarnya belum terlihat sekarang, melainkan di kemudian hari. I-ini hanya saran, saya harap Anda
Lilia baru saja memiliki pikiran buruk, bahwa Gretha yang semakin sering datang ke rumah ini atau ia yang membelikan hadiah untuk Keano adalah caranya mendapatkan simpati. Seolah belum cukup dengan dibebani pikiran buruk, tubuh Lilia seakan membeku saat William justru menyambut permintaan itu dengan bertanya, “Apakah homeschooling lebih baik daripada sekolah pada umumnya?” “Tentu saja, Kak Liam,” jawab Gretha dengan cepat. “Tentu saja lebih baik karena Keano akan aku awasi perkembangannya. Aku bisa mengambil sertifikasi guru homeschooling jika memang Kak Liam mengizinkanku untuk menjadi gurunya Keano.” Lilia tak mendengar suara William untuk beberapa saat hingga baritonnya yang dingin menggema lirih di setiap sudut ruangan. “Kalau memang bagus, akan aku pikirkan, Gretha.” “Aww, thanks, Kak Liam.” Lilia melihat dari balik pilar, Gretha terlihat sangat senang. Kedua tangan kecil gadis itu bertepuk di depan William yang hanya melemparkan senyumnya. “Sudah malam,” ucap William setel
“Kamu tidak setuju?” ulang Gretha setelah mendengar jawaban Lilia. “Kenapa?” “Karena saya merasa kalau Keano tidak memiliki hambatan saat dia berada di sekolah umum,” jawab Lilia. “Saya pikir Keano cukup senang dengan lingkungan dan teman-temannya di sekolahnya sehingga tidak perlu melakukan homeschooling.” Gretha tampak tercenung untuk beberapa saat, sebelum tersenyum dan mengangguk, tetapi matanya terlihat tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. “Apa kamu yang memutuskan semua hal yang berkaitan dengan Keano?” tanya Gretha, sekilas memandang Keano sebelum kembali pada Lilia. “Memang benar saya yang memilihkan sekolah untuk Keano, Nona Gretha,” jawab Lilia. “Tapi tentu saja atas persetujuan dari Tuan William, saya tidak mungkin memutuskannya sendiri.” “Aah, begitu rupanya.” Mereka sedikit terkejut saat Keano yang semula sibuk dengan puzzle buah memandang ke belakang Gretha seraya menyebut, “Papa?!” Mereka menoleh pada kehadiran William yang mendekat seraya melepas jas dan melong
“Bukankah aku yang harusnya bertanya padamu?” tanya William balik. “Aku memintamu untuk menemuiku saat sudah sampai di sini, tapi kenapa kamu datang dengan Nicholas?! Beraninya kamu, Lilia.”Napas Lilia tercekat, ia berusaha melepas cengkeraman tangan William di rahangnya. Tetapi semakin keras Lilia berusaha melakukan itu, maka semakin kuat juga tekanan darinya.“S-saya tidak sengaja bertemu dengan Tuan Nicholas di depan,” jawab Lilia, menengadahkan wajah menatap William, memilih untuk tidak melawan daripada rahangnya remuk. “Saya bingung bagaimana harus masuk ke dalam jadi saya mengikutinya,” tutur Lilia sesederhana mungkin.Ia harap William memahaminya. Detik demi detik berlalu, tangan pria itu perlahan enyah darinya.Lilia memandangnya dengan mata yang berair saat tawa lirih William terdengar.“Apakah kamu tidak bisa meminta Ron untuk mengantarmu ke dalam?” tanya William, dingin dan membuat tubuh Lilia menggigil. Sedang ‘Ron’ yang disebutnya adalah nama sopir yang tadi mengantar L
Lilia mematung di tempat ia berdiri. Lengannya yang tengah digandeng oleh Gretha seakan mati rasa. Lilia tahu Gretha tidak mengatakan sesuatu yang salah tentangnya. Benar memang dirinya adalah seorang yatim-piatu yang diadopsi dari panti asuhan oleh salah seorang pelayan yang bekerja di keluarga Roseanne sebelum menjadi babysitter untuk anak Nonanya. Tetapi … bolehkah Lilia merasa itu justru semakin menyakiti hatinya? Seolah-olah ketidakberuntungannya itu sedang diumbar dan menjadi konsumsi semua orang. Ia meremas bagian depan gaun safir yang dikenakannya, memaksakan bibirnya untuk tersenyum saat salah seorang teman Gretha mengatakan, “Gretha memang sangat baik karena dia berteman dengan siapapun, Lilia,” ujarnya. “Kamu harusnya merasa beruntung karena Gretha menganggap kamu seperti keluarganya,” imbuh suara wanita yang lain. “Jangan berlebihan,” sahut Gretha, gerakan tangannya mengisyaratkan agar mereka berhenti memujinya. Lilia tertunduk semakin dalam, menyembunyikan sepasang
Lilia merasa dadanya berat, ia menunduk menahan air mata saat tak hanya Nyonya Donna saja yang mengatakan bahwa perempuan bergaun cantik yang membungkukkan badan seperti pelayan itu bukanlah bagian dari keluarga mereka, melainkan juga Nyonya Bertha dan disahuti oleh tamu-tamu yang lainnya.Lilia terkejut saat tiba-tiba datang seorang pria yang berlutut di hadapannya.Pria dengan setelan jas itu turut memungut pecahan gelas yang berserakan di lantai dengan tanpa beban. Di kedua sudut bibirnya, senyum malah terlihat manis.“T-Tuan Nicholas?” sebut Lilia tak percaya. Kedatanngan Nicholas seolah menyelamatkan Lilia. Gunjingan yang semula ramai bersahut-sahutan untuk Lilia seketika redam.“Tolong pergilah,” pinta Lilia memohon. “Tuan Nicholas sebaiknya tidak melakukan ini, Anda tidak pantas bersikap seperti ini karena—”“Semua manusia sama, Lilia,” sela Nicholas, beberapa detik iris cokelat gelapnya menerpa Lilia sebelum jemari besarnya meraih kaki gelas yang ada di dekat sepatunya. “Tida
“Aku tidak bisa melakukan itu begitu saja,” jawan William dengan cepat, seolah memang ia telah siap dengan jawaban tersebut. “Butuh waktu bertahun-tahun sejak kematian Madeline sampai Mama dan Papa mengatakan bahwa kalian bersalah karena telah menyia-nyiakannya. Aku bahkan harus menyalah pahami Nicholas melakukan sesuatu yang buruk padahal Madeline lah yang lelah dengan semua ketidak adilan yang terjadi untuknya.” Lilia meredakan detak jantungnya bertubi-tubi lebih cepat. Matanya perih memandang William dan netra kelamnya yang tampak menanggung kesakitan. Suara gemetarnya mengatakan segalanya, tentang kekecewaan, dan juga keretakan yang bertahun-tahun ada di bahunya. “Aku mungkin memaafkan kalian, tapi nanti ....” imbuh William setelah hening merengkuh mereka lebih dari enam puluh detik lamanya. “Biar aku lihat seperti apa kesungguhan Mama dan Papa dalam mencintai keluargaku, istriku, anak-anakku. Terhadap Nicholas pun juga begitu. Bukan hanya Madeline yang kalian buat menderita, t
Lilia tak begitu saja menjawabnya. Ia memandang Nyonya Donna yang menunduk dengan meremas jari-jarinya yang ada di atas paha, begitu juga dengan Tuan Adam yang menghela dalam napasnya. Terlihat sangat jelas sesal yang terukir dari caranya mengatakan, ‘Maafkan kami, Lilia ....’ Tuan Adam tak seperti sang istri yang lebih emosional dengan menunjukkan gestur akan sebuah sesal. Beliau tersenyum, maniknya menerpa Lilia degan bibirnya yang tersenyum. Tapi meski tak mengatakan apapun, Lilia tahu Tuan Adam sama menyesalnya. Sejak dulu Lilia tahu bahwa Tuan Adam memang cenderung pendiam dan lebih sering mengalah. Hingga hari ini pun ... sikap itu masih melekat di sana. Sebuah dinamika keluarga yang sering dijumpai oleh Lilia. “Kami tahu kamu tidak akan begtu saja mau memaafkan kami,” ucap kembali Nyonya Donna. “Kami juga memaklumi akan hal itu, Lilia. Tapi mungkin ... kamu bisa memberi sedikit harapan bahwa rasa bersalah kami ini akan bisa mendapat pemutihan nanti, meski membutuhkan waktu l
Agni benar saat mengatakan bahwa itu akan menjadi obat pelipur lara bagi Lilia, William dan juga Keano. Mereka berbahagia, melewati masa pemulihan Lilia dengan berharap bahwa bayi kembar dalam kandungannya itu tumbuh dengan baik, menjadi anak yang juga baik dan lembut hatinya—setidaknya begitu yang dikatakan oleh Keano berulang kali. Bocah kecil itu teramat senang saat tahu ia akan memiliki adik kembar laki-laki dan perempuan, senang tak kepalang. 'Mama, Keano sudah mengatakan pada Jayce dan Jasenna kalau Keano akan punya adik kembar laki-laki dan perempuan, mereka bilang nanti kalau adik lahir akan datang, apakah boleh, Mama?' Celotehannya menghidupkan satu hari Lilia yang terasa membosankan di rumah sakit. Dan jika Lilia tak kunjung menjawab dengan mengatakan, 'Boleh, Sayangku ....' maka Keano masih akan antusias menunggunya, menatapnya dengan mata berbinar. Kabar dirinya yang hamil kembar sepasang itu telah sampai pada Tuan Alaric yang datang memberinya selamat. Pada ibunya y
"Sudah, semuanya sudah berakhir, tidak ada lagi yang akan menyakiti kamu, menyakiti anak-anak kita, maaf untuk semua kelalaiannya ...." William menunjukkan senyumnya, merekah tapi di mata Lilia penuh rasa kecewa. Mungkin prianya itu merasa bersalah karena telah membiarkan Lilia diculik dan berakhir seperti ini. "Kamu juga tidak bersalah," balas Lilia sembari mengusap dagu William, pada sudut bibirnya, pada tegasnya rahang pria miliknya ini. "Kamu sudah menjagaku sebaik mungkin, tapi si jahat itu memang sedang memiliki kesempatan dan membuat semuanya jadi seperti ini." "Terima kasih untuk pengertianmu, Lilia." William menggapai bibir Lilia dengan lembut, tak ingin memberikan pagutan, sebatas kecupan beberapa detik seolah sedang meyakinkannya bahwa semuanya telah baik-baik saja. Saat William menarik wajahnya, ia menghela dalam napasnya sebelum berujar, "Aku harap setelah peristiwa ini kamu tidak semakin terpuruk dalam trauma itu," resahnya sendu. "Aku pikir tidak, William,"
Setelah merasa terombang-ambing di tengah laut yang sunyi dan tanpa tepian serta dirundung kesendirian dalam waktu yang ia kira berlalu lebih dari satu dasawarsa, Lilia akhirnya bisa melihat dunia yang sebenarnya. Langit-langit kamar asing yang lalu disadarinya sebagai langit-langit ruang rawat tempat ia berbaring, aroma obat-obatan yang menyentuh indera pembaunya, serta hangatnya tangan seorang pria yang ia rindukan, William. Mengerjapkan matanya dengan pelan, Lilia ingat apa yang telah membuatnya berbaring di sini dengan selang infus yang tergantung di lengan kirinya. Tak lain karena ia nyaris saja mati di tangan mantan ayah angkatnya yang kejam. Rasa sesak saat jemari tangan pria itu mencekik lehernya dan membuat napasnya terputus seperti masih tersisa di sana, memberinya sensasi aneh yang membuat Lilia ketakutan bahwa peristiwa itu akan berulang. Ah ... begitukah rasanya ada di ambang batas hidup dan mati? Gelap dingin dan menakutkan? Seperti itu jugakah alam bawah sadar yang
Pemantik yang dibawa oleh Niel itu mengeluarkan api, menyala di hadapan Arya yang wajahnya pias. Saat pria itu berpikir bahwa Niel benar akan membakarnya, dugaannya salah. Pemuda itu justru menariknya kembali. Ia memang membakar sesuatu, tapi bukan dirinya. Melainkan rokok yang terselip di antara jari tengah dan jari telunjuknya, lalu menyesapnya. Aksi itu membuat tawa Zain terdengar, begitu juga dengan Alaric yang lebih patut disebut sebagai 'mencemoohnya'. "Lihat, bukankah dia sangat bodoh?" tanya Niel, asap mengepul keluar dari bibirnya saat ia menunjuk pada Arya. "Dia benar-benar berpikir kalau yang aku tuangkan ke tubuhnya itu adalah bahan bakar." Dagunya mengedik pada Arya yang berekspresi penuh kebingungan. Pria itu mengendus tubuhnya sendiri, bahu kanan dan kirinya, pada tangan dan juga sekitarnya yang tak mengeluarkan aroma apapun selayaknya aroma bahan bakar. Yang disiramkan oleh Niel itu bukanlah bensin atau sesuatu sejenisnya, tapi air minum. Di saat seperti ini, si
Setelah William pergi dari hadapannya, Arya berpikir ia akan bebas dan bisa melarikan diri dari sini. Namun, harapan itu ditolak mentah-mentah oleh semesta, sebab pria berjas yang ada di seberang sana yang tadi memanggil William itu adalah batu sandungan barunya. Setahu Arya, pria itu adalah atasan mantan istrinya—Alya—Alaric Roseanne namanya. Mengejutkannya, pria itu tak selembut yang terlihat. Ia tampak bersahaja dan tenang, tetapi sepertinya Arya salah. Di dalam diri seseorang yang tenang, bukankah tak ada yang tahu apa yang hidup di dalamnya? Dan yang hidup di dalam ketenangan seorang Alaric adalah badai, badai yang menakutkan. Dengan telinganya ia mendengar Alaric yang mengatakan pada pemuda yang berdiri di sebelahnya, yang matanya menyipit seperti serigala. "Bawa dia ke sini, Zain! Biar aku bisa melihat wajahnya dengan jelas, iblis seperti apa yang menyakiti anakku." Pemuda yang disebut sebagai 'Zain' itu mengangguk sebelum kakinya yang ditopang oleh Oxford mengayun ke ara
Kepala William terasa berat, ia menunduk memandang lantai tempat ia berpijak sebelum langkah kaki seseorang berhenti di depannya. "Tuan William," sapanya sebelum pemilik suara tersebut duduk di sampingnya, Giff. "Sudah ada kabar dari Nona Lilia?" William menggeleng, "Belum," jawabnya. "Aku harap yang keluar dari sana adalah kabar yang baik." Kepalanya terangkat, matanya tampak berkabut kala memandang pintu ruang IGD yang dilalui banyak orang. "Pasti, pasti yang dibawa oleh dokter adalah kabar yang baik." Giff menyerahkan selembar tisu pada William yang menerimanya dengan bingung. Wajahnya yang tampak kosong itu menatap Giff seolah sedang bertanya, 'Untuk apa?' "Bersihkan wajah Anda," ucap Giff seolah tahu makna tatapan matanya itu. "Ada darah di pipi Anda, Tuan William." William tersenyum miris, "Ini darah milik Lilia, Giff." Giff mengangguk, ia pun tahu bahwa itu adalah darah milik Lilia. Mereka melihat dengan jelas bagaimana Lilia meregang nyawa di tangan mantan ayah angkat
Tangan William membeku di udara. Panggilan yang datang dari suara yang tak asing itu membuat William seperti mendapatan kembali akal sehatnya. Kebencian yang tadi bertumpuk dan membuat kepalanya berat itu berangsur melemah hingga tangannya perlahan turun meski kepalan pada jemarinya tak teruraikan. Melalui sudut matanya, ia melihat kedatangan ayah mertuanya, Tuan Alaric. Beliau pasti datang ke sini setelah Giff—atau mungkin Niel—memberi tahunya bahwa Lilia dalam bahaya dan menyusul ke tempat ini. Suara yang memanggil William agar tak menuruti egonya untuk memukuli Arya itu adalah Tuan Alaric. “Tinggalkan dia!” pinta beliau. “Bawa Lilia pergi dari sini!” Mendengar nama Lilia membuat William beringsut pergi dari sana, meninggalkan Arya yang entah akan jadi apa di tangan Tuan Alaric setelah ini. Baginya sudah cukup. Saat Arya itu mengatakan agar sebaiknya William membunuhnya saja membuat ia tahu pria itu telah mendapatkan pelajarannya. William berlari menuju pada Lilia yang terkul