Lilia mematung di tempat ia berdiri. Lengannya yang tengah digandeng oleh Gretha seakan mati rasa. Lilia tahu Gretha tidak mengatakan sesuatu yang salah tentangnya. Benar memang dirinya adalah seorang yatim-piatu yang diadopsi dari panti asuhan oleh salah seorang pelayan yang bekerja di keluarga Roseanne sebelum menjadi babysitter untuk anak Nonanya. Tetapi … bolehkah Lilia merasa itu justru semakin menyakiti hatinya? Seolah-olah ketidakberuntungannya itu sedang diumbar dan menjadi konsumsi semua orang. Ia meremas bagian depan gaun safir yang dikenakannya, memaksakan bibirnya untuk tersenyum saat salah seorang teman Gretha mengatakan, “Gretha memang sangat baik karena dia berteman dengan siapapun, Lilia,” ujarnya. “Kamu harusnya merasa beruntung karena Gretha menganggap kamu seperti keluarganya,” imbuh suara wanita yang lain. “Jangan berlebihan,” sahut Gretha, gerakan tangannya mengisyaratkan agar mereka berhenti memujinya. Lilia tertunduk semakin dalam, menyembunyikan sepasang
Lilia merasa dadanya berat, ia menunduk menahan air mata saat tak hanya Nyonya Donna saja yang mengatakan bahwa perempuan bergaun cantik yang membungkukkan badan seperti pelayan itu bukanlah bagian dari keluarga mereka, melainkan juga Nyonya Bertha dan disahuti oleh tamu-tamu yang lainnya.Lilia terkejut saat tiba-tiba datang seorang pria yang berlutut di hadapannya.Pria dengan setelan jas itu turut memungut pecahan gelas yang berserakan di lantai dengan tanpa beban. Di kedua sudut bibirnya, senyum malah terlihat manis.“T-Tuan Nicholas?” sebut Lilia tak percaya. Kedatanngan Nicholas seolah menyelamatkan Lilia. Gunjingan yang semula ramai bersahut-sahutan untuk Lilia seketika redam.“Tolong pergilah,” pinta Lilia memohon. “Tuan Nicholas sebaiknya tidak melakukan ini, Anda tidak pantas bersikap seperti ini karena—”“Semua manusia sama, Lilia,” sela Nicholas, beberapa detik iris cokelat gelapnya menerpa Lilia sebelum jemari besarnya meraih kaki gelas yang ada di dekat sepatunya. “Tida
Lilia meremas gaun biru safir yang dikenakannya, jemarinya yang perih itu seakan tak lagi terasa. Rasa nyerinya berpindah ke dalam hati Lilia. Sebuah perasaan aneh yang ia benci saat melihat pemandangan di seberang sana sehingga ia dengan cepat memalingkan wajahnya. ‘Apa aku cemburu?’ batin Lilia mencoba menelaah isi hatinya ini. ‘Tidak!’ tolaknya. Lilia harus sadar dirinya tidak boleh jatuh cinta atau memiliki rasa tidak suka pada segala hal yang dilakukan oleh William. Dirinya dan pria itu tidak setara. Sekalipun status Lilia adalah istrinya William, tapi itu hanyalah istri kedua. Kematian Ivana tidak bisa membuat Lilia menjadi seorang istri sah—dan ia pun juga tak mengharapkan itu. Lilia bangun dari berlututnya di hadapan Keano, ia menarik tangannya untuk beranjak pergi meninggalkan teras. “Mau berkeliling sebentar?” ajak Lilia yang disambut antusias oleh bocah kecil itu. Di sisi sebelah barat gedung, Lilia membiarkan Keano berlari-lari kecil mengitari air mancur, terli
Lilia menahan air mata saat menunduk memandang Keano yang seolah tengah memasang badan untuknya.Sementara di hadapan mereka, William tengah naik turun napasnya setelah didorong pergi oleh anak lelakinya.Bisu membelenggu mereka selama beberapa detik berlalu. Yang terdengar hanya suara napas dan isak tangis Keano.“Keano,” sebut William lirih. “Sayang—”“Papa jahat!” potongnya tanpa peduli dengan apa yang akan ia katakan. “Kenapa Papa selalu berteriak?”“Sayang—”“Keano benci Papa!”Setelah mengatakan itu Keano menarik tangan Lilia dengan sedikit kuat untuk masuk ke dalam kamar. Ia meminta Lilia dengan cepat menutup dan mengunci pintunya.“Kunci, Mama!” pintanya. “Keano tidak mau Papa masuk ke sini!”Tangisnya masih terisak-isak, napasnya tersengal dan Lilia berlutut untuk memeluknya.Ia membalas pelukan Lilia, menjatuhkan dagu kecil itu di bahunya untuk beberapa lama. Saat menit bergulir, dan keadaan sedikit lebih tenang, barulah Lilia menghapus air mata Keano.“Sudah ….” ucapnya lir
‘Maksudnya dia akan menciumku?’ batin Lilia begitu ia mendengar kalimat ‘yang aku dan Gretha lakukan’ yang baru saja dikatakan oleh William. “Tidak,” jawab Lilia dengan cepat. “Saya bahkan sama sekali tidak memikirkan itu.” Lilia berusaha melepaskan diri dari pria itu, tetapi masih tidak bisa. Rahangnya masih dicengkeram dengan kuat, jari-jari besar William itu seolah tak segan untuk menyakitinya. William tertawa lirih, ibu jarinya bergerak mengusap bibir Lilia dengan lembut tetapi tidak dengan tatapan matanya yang nyalang. “Apakah sekarang kamu bisa melihatnya dengan jelas, Lilia?” tanyanya. “Tanpa aku, kamu bukanlah siapa-siapa. Di dalam pesta itu tidak ada yang tahu siapa kamu. Seandainya kamu melakukan yang aku mau, aku pasti akan membuatmu berharga di sisiku, bukan dipermalukan dari tempat satu ke tempat yang lainnya.” “Sejak awal saya tidak ingin ada di pesta itu, tapi Anda yang meminta saya untuk datang, Tuan William,” jawab Lilia. “Jika bisa mengulang kembali waktu, saya b
“Mama tidak sedih,” jawab Lilia. “Hanya … mengantuk saja,” lanjutnya mencari alasan. “Air mata sering tanpa sadar keluar saat mengantuk, Keano.” Alis Keano berkerut mendengar Lilia, ekspresinya menunjukkan bahwa ia tidak percaya dengan apa yang ia katakan. “Apakah Mama membenci Papa?” tanya Keano. “Tidak, Sayang. Kenapa Keano tanya begitu?” “Karena Papa ingkar janji,” jawab Keano. “Padahal ‘kan Papa sudah berjanji untuk tidak membuat Mama menangis lagi.” Lilia tersenyum, ia meraih tangan Keano kemudian memeluknya. “Sudahlah ….” katanya. “Keano jangan memikirkan itu. Ini masih malam, kita sebaiknya tidur lagi,” rayunya. “Boneka yang dicari Keano juga sudah ketemu, jadi kamu bisa tidur dengan nyenyak.” “Iya, Mama.” Keano mengangguk, menuruti Lilia. Dan seolah tak ingin Lilia pergi, Keano menggenggam tangannya kuat-kuat. Saat keheningan menyelimuti mereka, sewaktu Keano sudah kembali terlelap, Lilia masih berkutat dengan pikirannya yang masih belum bisa tenang. Diam-diam … ia j
Lilia bingung, dalam hatinya berulang kali menanyakan, ‘Kenapa aku merusak pesta ulang tahunnya?’ Karena setahu Lilia ... semuanya berlangsung baik-baik saja sejak awal hingga selesai.Sekalipun Keano membuat keributan kecil, setelah itu tak ada halangan sama sekali. Bahkan saat Lilia keluar dari kamar mandi malam itu, lagu ucapan ‘selamat ulang tahun’ dinyanyikan dengan suka cita. Lantas mengapa Lilia dituduh merusak pesta ulang tahun milik Gretha?“Semua orang melihat dua anak lelakiku di taman seolah mereka itu sedang memperebutkanmu, Lilia!” tegur Nyonya Donna, mengakhiri panjangnya tanya yang berkecamuk di dalam benak Lilia.“A-apa maksud Nyonya?” tanya Lilia memberanikan diri.“Jangan sok polos!” jawab wanita itu. “Kamu ada di tempat kejadian saat Nicholas dan William bertengkar, ‘kan? Mereka memperebutkanmu?”“Kejadian yang sebenarnya tidak seperti itu, Nyonya,” terang Lilia. “Saya bisa menjelaskan. Tuan—”“Siapa yang peduli dengan penjelasanmu itu sekarang?” potong Nyonya Do
“Saya mohon, Tuan William,” pinta Lilia sekali lagi. Pria itu menarik punggungnya dari sandaran sofa, tubuhnya condong pada Lilia saat ia menyentuh dagu dan pipinya yang barangkali kini terlihat memerah akibat tamparan Nyonya Donna. William terdiam cukup lama, sepasang matanya yang gelap memindai wajah Lilia dengan alis yang berkerut. Lilia tak bisa menebak isi pikiran pria itu saat tatapannya berpindah ke bawah, pada jemari Lilia yang saling meremas, seolah mengamati dan menilai gerak-geriknya. William tiba-tiba berdiri dengan rahang yang menegang, “Bangun!” Sementara ia berjalan lebih dulu meninggalkan kamar. Ada sedikit kelegaan saat Lilia melihat William sepertinya akan datang pada sang ibu. Lilia pun bangun dari sana, mengikuti ke mana perginya William yang langkah kakinya sangat cepat saat menuruni undakan tangga. Tiba di ruang tamu, yang terjadi masih sama parahnya seperti saat Lilia meninggalkan mereka tadi. Masalahnya masih sama, wanita itu menanyakan mengapa Lilia
“Masuklah, Lilia!” kata William dari ambang pintu. “Kalau kamu berdiam diri di sana kamu akan tertular si Giffran Alfrond yang cerewet itu!”Lilia kemudian masuk ke dalam rumah, menyusul William yang menunggunya mendekat kemudian mereka menuju ke ruang makan.Lilia membantu Alya untuk menyiapkan makanan sebelum akhirnya mereka semua duduk di sana untuk santap sore—karena William lapar.Giff yang duduk di samping Keano terlihat memeriksa ponselnya dengan serius hingga William berdeham dan pemuda itu dengan cepat meletakkan benda pipih berwarna hitam itu ke atas meja—yang bagi Lilia suara William yang baru terdengar itu ia artikan sebagai sebuah teguran.Yang jika William bicara barangkali ia akan mengatakan, ‘Taruh ponselmu! Tidak sopan!’“Maaf,” kata Giff akhirnya. “Saya baru saja menerima pesan, setelah ini kita harus meeting online dengan orang dari Sada Construction dan desainer dari luar negeri yang akan mengerjakan interior ruangan di dalam sekolah itu, Tuan William,” terangnya.
Lilia berdeham, kemudian menunduk agar tak bertemu pandang dengan William.“Sepertinya sangat aneh,” kata Lilia.“Aneh kenapa?”“Karena Anda mencintai saya. Bagaimana Anda bisa jatuh cinta pada anak pelayan?”“Kamu ‘kan bukan anak pelayan?” tanya William balik.“I-itu ‘kan sekarang. Tapi dulu saat Anda mengatakan itu … bukankah Anda tahunya saya adalah anak angkat seorang pelayan?”“Memangnya ada peraturan yang mengatakan dengan siapa seseorang boleh atau tidak boleh jatuh cinta?” sanggah William. “Jika yang diatur itu adalah aku, akan aku hancurkan peraturannya, orang yang membuat aturan itu sekalian.”“T-tidak seperti itu maksud saya.” Lilia akhirnya menatap pria itu lagi, kalimatnya yang baru saja ia katakan itu terdengar tak bisa dibantah—dan sepertinya ia sungguh-sungguh saat mengatakan akan menghancurkan peraturan yang melarangnya jatuh cinta pada siapa.“Jadi?”“Saya hanya merasa aneh, itu saja,” kata Lilia.“Jika aku yang jatuh cinta padamu kamu anggap aneh, mungkin jika kamu
“Kenapa kamu bangun?” tanya William setelah Lilia menyebutkan namanya.“Bukannya saya yang harus bertanya?” tanya Lilia balik seraya bangun, duduk dan merapikan rambutnya. “Kenapa Anda tidak tidur?”“Tidak apa-apa, senang saja melihatmu dan Keano bisa bersamaku, Lilia,” jawabnya. “Hal yang sebelumnya sepertinya sudah pupus dari harapanku kita akan bisa seperti ini lagi. Terima kasih karena kamu mau menginap denganku di sini.”“Bukankah saya sudah pernah bilang, jika itu bertujuan untuk membuat Keano senang, saya pasti akan setuju.”Di bawah temaramnya lampu kamar hotel itu, Lilia bisa melihat senyum manis William saat pria itu mengangguk sebagai tanggapan atas ungkapannya.Mata Lilia berpindah dari iris kelamnya ke atas meja. Pada sekotak rokok yang ada di atas asbak keramik yang mencuri perhatiannya. “Apa Anda merokok juga?” tanya Lilia memberanikan diri.“Itu milik Giff.”“Pak Giff masih muda, kenapa dia merokok?” gumam Lilia yang jelas bisa didengar oleh William.“Hanya sesekali s
“Aku tidak keberatan,” jawab William. “Tapi semuanya kembali lagi pada Lilia dan Keano, ‘kan?”Ia menoleh pada Lilia, memandang bergantian pada anak lelakinya juga.“Mau ya, Mama?” bujuk Keano pada Lilia yang hanya bergeming.Ibunya yang duduk di ruang tengah kemudian bangkit dan menghampiri Lilia, menyentuh punggung tangannya seraya berbisik, “Pergilah … siapa tahu dengan begitu ingatanmu akan segera pulih, Nak ….”Alya menunjukkan senyum tulusnya sebelum beranjak pergi dari sana, membiarkan Lilia mengambil keputusan setelah memikirkannya.“Mama?” panggil Keano sekali lagi, mungkin tidak sabar karena Lilia tak kunjung menjawabnya. “Apakah Mama tidak mau?”Sepasang matanya menatap Lilia dengan mengiba. Hatinya pasti terluka jika Lilia menolak permintaannya itu.“Iya baik, Mama mau,” jawab Lilia seraya menunjukkan senyumnya agar bocah kecil itu juga tersenyum dan berhenti menunjukkan bibir tertekuknya seperti itu.Setelah bersiap dengan membawa beberapa pakaian, mereka pergi meninggalk
Lilia panik, ia berusaha menutupi bagian depan tubuhnya yang pasti tampak, entah itu bra atau bahkan—“Ambilkan coat punyaku yang ada di mobil, Giff!” pinta William pada Giff yang lalu berlari pergi dari sana.Lilia menyilangkan kedua tangannya di depan dada saat William tersenyum dan memalingkan wajahnya. Mengisyaratkan pada Keano agar anak lelakinya itu melakukan hal yang sama meski ia tahu Keano terlihat khawatir.Tidak membutuhkan waktu lama bagi Giff untuk kembali den dengan mata terpejam menyerahkan coat panjang itu pada William, memindahnya pada Lilia tanpa menoleh, meminta agar ia memakainya.“Pakailah,” ucapnya. “Coat ini panjang, kamu bisa menutupi semua bagian yang basah dengan ini.”“Terima kasih,” jawab Lilia kemudian mengenakannya dengan gugup—atau lebih tepatnya malu.Ia hanya wanita sendiri sementara dua orang yang ada di sekitarnya adalah pria dan seorang anak lelaki.“Kita pulang saja, Papa,” ajak Keano. “Kasihan Mama bajunya basah, nanti kalau Mama sakit bagaimana?”
Amaya merasa hatinya sedang tak karuan sekarang melihat Kelvin yang menjatuhkan air mata. Saat manik mereka bertemu, Amaya melihat betapa pria itu sangat tulus meletakkan seluruh perasaannya dan seolah menunggu agar hari ini tiba.Gafi tersenyum saat memandang keduanya bergantian sebelum ia memindah tangan Amaya pada Kelvin.Pembawa acara meminta agar Gafi kemudian memberikan ruang dan tempat untuk kedua pengantin yang tengah berbahagia.Amaya tak bisa memalingkan wajahnya, ia terpesona, terperangkap pada Kelvin saat pria itu terus menatapnya dengan teduh.Gerakan bibirnya yang tanpa suara sedang mengatakan, ‘Cantik sekali.’Dan tentu saja itu diketahui oleh semua orang yang hadir di sana dan itu membuat tubuh Amaya meremang.Apalagi saat pembawa acara mengatakan, “Bapak-Ibu tamu undangan sekalian, sepertinya kedua mempelai kita ini sudah tidak sabar untuk mengatakan apa yang mereka rasakan selama ini,” ujarnya. “Mari kita dengarkan terlebih dahulu sepatah dua patah kata dari masing-
Lagi pula … bagaimana bisa Lilia menyebutnya berbohong jika matanya yang seolah dipenuhi oleh cumulonimbus itu berbicara lebih banyak sebesar apa lukanya. Sepertinya Tuan Alaric juga benar saat menyebut tentang William yang hampir gila selama pria itu berpikir bahwa Lilia dan Keano telah tewas terpanggang bara api.Lilia tersenyum sebagai jawaban. “Tidak apa-apa,” katanya. “Dan terima kasih karena sudah mengakuinya. Saya juga meminta maaf karena melupakan semuanya sehingga kita harus menjadi seperti ini. Asing, seperti orang yang tidak saling mengenal sebelumnya padahal sudah melewati banyak peristiwa.”“Kamu tidak bersalah, Lilia,” jawab William. “Kamu hanya korban dari keserakahan orang lain.”Dan Lilia tahu bahwa ‘orang lain’ yang dimaksudkan oleh William itu adalah Gretha—meski ia juga tak ingat seperti apa kejadiannya.Mereka kembali terhening selama beberapa saat. Dimulai sejak William menyesap teh hangat miliknya hingga pria itu kembali memperdengarkan suara baritonnya.Sepasa
Benar itu adalah William! Lilia dengan cepat membuka pintu rumah, udara dingin yang datang dari luar menyinggahi wajahnya bersamaan saat William tiba di hadapannya dengan tersenyum. Ia terlihat hendak berbicara sebelum Lilia lebih dulu memberinya teguran. “Kenapa Anda selalu tidak memakai payung padahal Anda tahu sedang hujan?” tanyanya. “Kita bertemu pertama kali di depan preschool itu Anda juga tidak memakai payung, ‘kan? Apa tidak ada payung di dalam mobil mahal Anda itu?” Alih-alih menjawab, yang dilakukan oleh William adalah tetap tersenyum, seolah ia sangat senang mendengar celotehan Lilia ini. “Maaf,” jawab William pertama-tama. “Aku hanya tidak sabar untuk segera bertemu denganmu, Lilia.” “Ini masih pagi, apakah Anda dari kota langsung ke sini?” “Tidak. Aku sudah ada di hotel beberapa jam yang lalu dan pagi-pagi ke sini karena aku ingin melihatmu,” terang William. “Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” “Anda bisa datang lebih siang, setidaknya tidak segelap ini. Apa A
‘LILIA?!’ seru William dalam hati. Ia terhenyak bangun dari berbaringnya dan mengetuk kontak itu dengan tidak sabar. ‘Apa benar ini dia? Apa dia sudah diizinkan Papa memakai ponsel?’ banyak tanya di dalam hatinya. [Lilia Zamora?] balas William memastikan. [Benar.] Napasnya tercekat di dada saat membaca balasan itu. Ia duduk dengan punggung tegak saat tangannya yang dirasanya gemetar itu kembali mengetik. [Aku akan datang besok. Tolong katakan pada Keano juga ya. Sampai jumpa, Lilia.] William beringsut turun dari ranjang, ia berlari keluar dari kamar Keano dan menuju ke kamar di mana Giff berada selama ia tinggal di rumahnya. “Giff!” panggil William setelah membuka pintu kamar itu tanpa mengetuknya lebih dulu. Si pemilik nama yang tengah berbaring di atas ranjangnya itu menoleh pada William dengan alisnya yang bersinggungan. “Anda tidak bisa mengetuk pintu dulu?” “Ini rumahku,” jawabnya singkat—dan ketus. “Ayo kita pergi, kamu siapkan mobilnya!” “Pergi? Pergi ke ma