akak semuaaa... yang 1 bab lagi agak sore yah :)) mohon ditunggu, terima kasih. ʘ‿ʘ
Lilia bingung, dalam hatinya berulang kali menanyakan, ‘Kenapa aku merusak pesta ulang tahunnya?’ Karena setahu Lilia ... semuanya berlangsung baik-baik saja sejak awal hingga selesai.Sekalipun Keano membuat keributan kecil, setelah itu tak ada halangan sama sekali. Bahkan saat Lilia keluar dari kamar mandi malam itu, lagu ucapan ‘selamat ulang tahun’ dinyanyikan dengan suka cita. Lantas mengapa Lilia dituduh merusak pesta ulang tahun milik Gretha?“Semua orang melihat dua anak lelakiku di taman seolah mereka itu sedang memperebutkanmu, Lilia!” tegur Nyonya Donna, mengakhiri panjangnya tanya yang berkecamuk di dalam benak Lilia.“A-apa maksud Nyonya?” tanya Lilia memberanikan diri.“Jangan sok polos!” jawab wanita itu. “Kamu ada di tempat kejadian saat Nicholas dan William bertengkar, ‘kan? Mereka memperebutkanmu?”“Kejadian yang sebenarnya tidak seperti itu, Nyonya,” terang Lilia. “Saya bisa menjelaskan. Tuan—”“Siapa yang peduli dengan penjelasanmu itu sekarang?” potong Nyonya Do
“Saya mohon, Tuan William,” pinta Lilia sekali lagi. Pria itu menarik punggungnya dari sandaran sofa, tubuhnya condong pada Lilia saat ia menyentuh dagu dan pipinya yang barangkali kini terlihat memerah akibat tamparan Nyonya Donna. William terdiam cukup lama, sepasang matanya yang gelap memindai wajah Lilia dengan alis yang berkerut. Lilia tak bisa menebak isi pikiran pria itu saat tatapannya berpindah ke bawah, pada jemari Lilia yang saling meremas, seolah mengamati dan menilai gerak-geriknya. William tiba-tiba berdiri dengan rahang yang menegang, “Bangun!” Sementara ia berjalan lebih dulu meninggalkan kamar. Ada sedikit kelegaan saat Lilia melihat William sepertinya akan datang pada sang ibu. Lilia pun bangun dari sana, mengikuti ke mana perginya William yang langkah kakinya sangat cepat saat menuruni undakan tangga. Tiba di ruang tamu, yang terjadi masih sama parahnya seperti saat Lilia meninggalkan mereka tadi. Masalahnya masih sama, wanita itu menanyakan mengapa Lilia
Siang hari yang terbilang cukup mendung saat Lilia menjemput Keano di preschool. Dari dalam sedan yang dikemudikan oleh Ron yang tengah mengantarnya, ia melihat beberapa anak yang berlarian di dalam sana.Ia tak bisa membendung senyumnya sewaktu melihat mereka atau mendengar tawa yang tanpa beban. Lilia suka dengan anak-anak, sudah sejak dulu.Mungkin hal itu jugalah yang membuatnya ingin menjadi guru.Dan memang ia pernah menjadi guru, sekalipun itu hanya sebentar. Di taman kanak-kanak dalam usahanya melanjutkan hidup, sebelum bencana itu terjadi. Hari di mana kehidupannya berubah saat ayah angkatnya membuatnya menjadi alat penebus utang sehingga ia kembali terjebak di rumah William.Lilia menggeleng saat sesak membuat dadanya terasa berat.Ia mencoba menghindari datangnya ingatan itu dengan membuka pintu mobil. Ia harus menampakkan diri agar Keano lebih mudah menjumpai keberadaannya.Beberapa langkah menjauh dari sedan mewah milik William untuk mendekat ke arah gerbang, Lilia dikeju
“Saya tahu semua yang Tuan Nicholas katakan itu benar,” kata Lilia dengan masih meremas ujung jarinya. “Tapi, saya tidak bisa pergi begitu saja dari sana.” “Kenapa, Lilia?” tanya Nicholas—entah dari mana Lilia mendapatkannya, tapi ia merasa ada seberkas rasa kecewa saat pria itu bicara. “Ada hal yang tidak bisa saya jelaskan pada Anda, Tuan Nicholas.” Lilia menundukkan kepalanya di hadapan Nicholas, merasa tidak enak hati jika dirinya yang bukan siapa-siapa ini terus bertukar pandang dengan pria yang terhormat sepertinya. Lilia beranjak pergi, ia ingin lebih dekat ke gerbang sekolah Keano sebelum pergelangan tangannya diraih oleh Nicholas. “Lilia,” panggil pria itu sekali lagi. “Aku tidak bisa melihatmu seperti ini,” katanya. “Aku tahu kamu tidak bahagia dengannya, ‘kan?” Lilia tertawa lirih, yang berbanding terbalik dengan matanya yang masih berair. “Benar,” akunya. “Saya memang tidak bahagia, Tuan Nicholas. Tapi saya juga tidak bisa meninggalkan Keano yang tidak tahu masalah or
Lilia bingung dengan apa yang dikatakan oleh Keano. Berpikir dalam hati, ‘Apa yang tidak aku ketahui sampai membuat Keano menyebut omanya jahat?’Apakah Keano bertemu dengan Nyonya Donna atau Nyonya Bertha tanpa sepengetahuannya?Entahlah ….Lilia menggeleng, ketimbang memikirkan hal itu, yang lebih penting baginya sekarang adalah memberitahu William soal kondisi Keano.Ia pergi menemui Agni yang kebetulan sedang berada di dapur, wanita paruh baya itu baru saja datang untuk belanja bulanan dan sibuk memasukkan bahan makanan ke dalam lemari pendingin.Lilia meminjam ponsel milik Agni yang kemudian terhubung pada William.“T-Tuan William?” sapa Lilia ragu-ragu saat panggilan mereka terhubung.“Ada apa, Lilia?”“Keano demam sejak pulang sekolah,” jawabnya. “Dan baru saja saya lihat demamnya semakin tinggi.”“Aku akan meminta dokter yang kemarin menangani Keano untuk datang,” sahut William dengan segera dari seberang sana, mungkin karena mendengar suara Lilia yang sedikit panik membuatny
Lilia tak peduli dengan apa yang akan dikatakan oleh William setelah pria itu menyebut namanya dengan sedikit geram. Ia memilih untuk melangkah pergi meninggalkan kamar agar tidak melihat wajah pria itu lebih lama lagi seraya berpikir, ‘Terserah dia mau percaya atau tidak,’ gumamnya dalam hati. ‘Kalau dia tidak percaya atau berpikir aku mengada-ada, biar nanti dia tanyakan sendiri pada Keano.’ Beranjak petang … panas Keano sudah mulai turun. Ia masih berada di dalam kamar, beraktivitas di dalam dengan mainan ringan yang dibawakan oleh Lilia ke atas ranjangnya. William datang sekitar pukul tujuh malam dan menyapa Keano yang saat itu sedang disuapi oleh Lilia. “Apakah enak?” tanya pria itu pada anak lelakinya. “Keano suka masakan yang dibuat Mama Lilia?” Tetapi berapa kali pun William bertanya, ia tetap tak menuai jawaban. Dan daripada diusir pergi, William sepertinya lebih memilih untuk diam dan melihat apa yang dilakukan oleh Keano serta Lilia. Betapa manjanya anak itu saat melah
“Saya tidak pernah mengatakan hal seperti itu pada Keano, Nyonya,” kata Lilia membela diri, karena ia merasa memang tidak pernah melarang Keano untuk bertemu dengan mereka berdua.“Jangan beralasan!” hardik Nyonya Bertha dengan jari telunjuk yang mengarah kepadanya. “Sejak tahu kamu berusaha mencuci otak Keano di hari kematian Ivana, jangan harap aku mempercayai sepatah kata pun yang keluar dari bibirmu itu, Lilia!” “Mama ….” panggil Gretha seraya meraih lengan sang ibu yang terulur kaku ke depan. “Mama tidak boleh bicara seperti itu. Bagaimanapun sekarang Lilia adalah—”“Adalah apa?!” potong Nyonya Bertha seolah tahu apa yang akan dikatakan oleh anak perempuannya. “Lilia adalah istrinya William, begitu maksudmu?!”“Bukankah itu—”“Menjadi istri juga hasil merebut, ‘kan?” tuding beliau yang membuat sekujur badan Lilia kebas.‘Hasil ... merebut?’ batin Lilia, dadanya terasa berat, disesakkan oleh jelaga yang membuatnya tertampar bahwa selamanya akan disebut seperti itulah dirinya—per
“Mama Lilia adalah Mamanya Keano,” ucap Keano saat ia mengatur napasnya yang naik turun, tersengal dijajah oleh rasa sesak. “Oma tidak boleh bilang kalau Mama itu jahat! Oma dan Tante Gretha yang jahat! Di dunia ini yang baik hanya Mama Lilia!” Bibirnya tertekuk sedih, suaranya masih sama serak, bersaing antara sedih dan marah. Membuat Nyonya Bertha serta Gretha yang ada di sofa duduk tegang dihujam kalimat-kalimat Keano yang seakan tak menerima Lilia dituduh mencuci otaknya. Lilia yang mendengar betapa marahnya Keano segera membawa kakinya yang semula hanya terpancang di lantai untuk menghampirinya. “Keano,” sebut Lilia lirih. Ia berlutut di hadapan Keano dan mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya yang masih terasa hangat. “Kenapa Keano bangun, Nak?” tanyanya. “Keano bangun karena mendengar Oma yang berteriak,” jawabnya. Sepasang mata turunan manik gelap William itu memandang lurus pada Nyonya Bertha yang masih duduk di sofa ruang tamu. “Mama juga tidak ada di kamar jadi
"Ke ... napa kamu tanya seperti itu?" tanya Lilia dengan sekilas menyentuh pipinya, saat William berhenti bergerak dan urung melanjutkan yang ia lakukan."Aku pikir ini bukan yang pertama kali untukmu, Lilia.""Bagaimana bisa bukan yang pertama kali? Kamu yang pertama.""Sebentar—" Pria itu seperti baru menyadari sesuatu. "Lalu saat kamu pergi dengan Nicholas waktu itu, kamu tidak melakukan apapun dengannya?"Lilia menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku tidak pernah melakukan apapun dengannya."Lilia bisa melihat William menelan pahit tuduhan itu sebelum matanya terpejam penuh sesal."Maaf ... aku terlalu jauh menuduhmu," katanya. "Aku pastikan kamu menikmati malam ini, Lilia ...."Lilia menutup matanya saat William menciumnya, ia memindahkan tangannya dari bahu William, melingkarkan di lehernya saat pria itu memenuhi dirinya."Ahh ..." Air matanya lolos, bibir manis William mencoba mengalihkan perhatian dengan mengecup leher dan bahunya."Ergh ...." Tidak, ini masih belum berakhir, be
Ciumannya rasanya sangat manis, lebih manis dari ciuman-ciuman yang pernah mereka lakukan sebelumnya.Mungkin karena mereka telah saling memiliki, tanpa takut akan adanya sebuah perpisahan esok hari.Dari menit pertama sejak William mengangkatnya berpindah dari sofa, menuju ke menit-menit berikutnya sebelum akhirnya Lilia merasakan pria itu menarik diri darinya.Bibirnya terasa bengkak, tapi William masih belum usai sebab ia kembali mendaratkan satu kecupan lain untuknya."Aku matikan dulu lampunya," bisiknya pada Lilia yang akhirnya menguraikan kedua tangan kecilnya dari leher William teriring sebuah anggukan.William tersenyum saat ia beranjak turun dari ranjang, meninggalkan sejenak Lilia kemudian ruangan di dalam sana berganti menjadi hanya diterangi oleh lampu tidur saja.Pria itu kembali dan menunduk di atas Lilia.Suara baritonnya yang hangat menyinggahi indera pendengarnya saat bertanya, "Kamu sungguh baik-baik saja?"Maniknya yang gelap menerpa Lilia yang sekali lagi mengangg
Malam harinya, 'setelah dipaksa' mendengar suara para sekretaris yang tak seburuk yang William tuduhkan, Lilia berjalan masuk ke dalam kamar di mana Keano beristirahat di sana. Bocah kecil itu terlelap dalam satu tempat yang sama dengan Alya yang menyambut kedatangan Lilia dengan senyumnya. Selagi di dalam ruangan tempat di mana para pemuda masih bersuka cita dan menghibur William, Tuan Alaric serta Nicholas, keheningan terjadi di dalam sini. "Ibu belum tidur?" tanyanya saat mendekat pada sang Ibu yang terlihat melepas kacamata yang dikenakannya. "Ibu dibelikan kacamata baru oleh Papamu, jadi Ibu gunakan untuk membaca, sudah lama ibu tidak membaca," jawabnya. "Kamu mau melihat Keano?" "Dia sudah tidur?" Alya sekali lagi mengangguk, "Sudah, Nak. Pasti kelelahan setelah bermain bersama paman-pamannya tadi." "Kalau begitu Ibu istirahat juga, kita bertemu lagi besok pagi." Alya sekilas menunduk dan tersenyum, "Kenapa buru-buru? Ibu bisa mengurus Keano, kamu pergilah ke kamarmu!"
William tak menjawab, ia hanya meraih tangan Lilia yang ada di pipinya dan memberinya remasan lembut, seolah itu adalah 'Iya' yang tak terlahirkan dalam lisan. Mereka saling pandang untuk beberapa lama hingga suara Jovan—sekretarisnya Nicholas—yang hari ini mereka jadikan sebagai pembawa acara dadakan meminta mereka agar duduk berhadapan dengan pemuka agama yang pagi hari ini akan menikahkan mereka. Dalam keheningan pagi dan khusyuk doa yang mereka lantunkan tanpa henti, akhirnya semuanya menjadi sempurna. "....dengan mas kawin uang senilai dua puluh satu ribu dolar Amerika dibayar tunai." "Bagaimana, Saksi?" "Sah." Delapan puluh hari dalam kekosongan Lilia, tentang ia yang tak mengenali orang lain selain dirinya dan ingatannya yang berhenti pada lima tahun lalu, ia telah memiliki hidupnya yang baru sekarang. Dalam penantian William yang penuh dengan luka dan kehilangan yang membelenggunya, dalam setiap angka di kalender yang ia lingkari hingga bulan demi bulan berlalu, ia telah
Waktu pernikahannya akan diberlangsungkan pada pagi hari, sekitar pukul delapan. Tadi pagi-pagi sekali—sekitar pukul tiga dini hari—Lilia, Keano dan Alya dijemput oleh Giff dan Zain untuk menuju ke hotel. Lilia dibawa masuk ke sebuah kamar hotel tersendiri oleh staf yang telah menunggunya di sana. Keano yang masih mengantuk digendong Giff masuk ke dalam kamar William. Lilia sudah melihat gaunnya sebelumnya, benar seperti tak ada bedanya dengan gaunnya yang hari itu ia lihat dilahap bara api. Gaun itu akhirnya ia kenakan setelah make up yang cantik dibubuhkan di wajahnya oleh seorang teman William yang secara khusus dimintanya ke sini. "Gaunnya pas dengan bentuk tubuhmu, Lilia," ucap wanita bernama Sherly itu. "Terima kasih." "Kamu juga memilih crown yang cocok untuk gaunnya." Lilia mengangguk dan tak bisa menahan senyumnya, atau sebenarnya ia sedang berusaha menyembunyikan rasa harunya yang sangat besar ini? Satu demi satu prosesnya terlewati, dari make up hingga gaun yang te
Setelah mengantar Keano dan Alya pulang ke rumah yang mereka tinggali, Alaric menuju ke hotel tempat ia beristirahat. Ia melepas coat yang ia kenakan saat berjalan memasuki lift bersama dengan Zain yang berjalan mengekor di belakangnya. "Kamu sudah memberikan bukti-bukti yang kita bicarakan kemarin pada William, Zain?" tanyanya setelah lift naik meninggalkan lobi. "Sudah, Tuan Alaric," jawab pemuda itu. "Saya sudah memberikannya tadi setelah hampir mengganggu Tuan William dan Nona Lilia di dalam." Alaric tersenyum mendengarnya sebelum ia menghela napas dengan lega. "Setidaknya sekarang kita bisa melihat mereka bahagia, dan mendampingi mereka sampai nanti pada hari pernikahan, dan selama-lamanya." "Benar." "Soal rumah baru dan rumah lama? Sudah kamu selesaikan juga?" imbuhnya. "Sudah, rumah barunya sesuai dengan permintaan Anda, dan rumah lamanya sudah terjual," jawab Zain. "Saya meminta pemilik barunya untuk menempatinya bulan depan. Seperti yang Anda katakan, kita masih harus
William memandang Tuan Alaric cukup lama dengan keadaan bibir terbungkam. Dan itu membuat beliau berdeham seraya bertanya, "Kenapa, Nak?" William menghela dalam napasnya kemudian menggeleng, "Tidak, Pa," jawabnya. "Aku hanya ... senang karena mendapat sosok seorang Papa dari Alaric Roseanne dan bukan dari Adam Quist. Sejak menikah dengan Ivana, aku bisa melihat cinta tulus seorang ayah justru dari ayah mertuaku, dan Papa masih akan terus menjadi ayah mertuaku, selamanya." "Papa sudah pernah bilang, 'kan?" tanggap beliau. "Papa juga sedang melakukan penebusan kesalahan atas apa yang pernah Papa lakukan di masa lalu, kegagalan Papa melindungi Ivana dan ibunya jadi Papa melakukan apapun untuk bisa membuat Leonora bahagia. Dan karena dia adalah istrimu, jadi Papa juga akan melindungi kamu dan Keano." William mengangguk dengan penuh terima kasih, "Terima kasih, Pa," ucapnya. "Seperti yang Papa katakan, aku akan menyelesaikan apa yang sudah Papa mulai. Terima kasih sudah menjaga Lilia dan
"Papa sudah tahu?" ulang William, seolah sedang memastikan bahwa ia tak salah dengar. "Iya, William." "Sejak kapan?" "Sejak Lilia dan Keano Papa sembunyikan," jawab Tuan Alaric. "Papa meminta Zain untuk menempatkan penyadap di dalam mobilnya dengan mempertimbangkan bahwa dia akan pergi menemui seseorang, siapapun itu nanti kita bisa mencari tahunya lebih jauh. Semua bukti rekaman suara yang dia lakukan di dalam sana Papa memilikinya." William tak tahu bagaimana cara mengapresiasi cara kerja beliau. Bukankan tidak salah jika ia mengatakan pada Giff bahwa Tuan Alaric adalah sang maestro? "Lalu apa yang terjadi di dalam rekaman itu, Pa?" tanyanya kembali. "Dia paling sering bertemu dengan Henry, kamu tahu, 'kan? Sopirnya Reynold." William menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, "Iya aku tahu." "Di sana mereka berdua mengatakan bahwa anak yang dia kandung itu adalah hasil hubungan semalam keduanya," jawab Tuan Alaric. "Papa bisa mendapatkan banyak hal sebagai bukti bahwa mereka be
Pipi Lilia seketika memanas. Ia menyentuhnya dan mengulang apa yang dikatakan oleh William. "S-sayangku?!" William mengangguk sebagai jawaban, "Iya, Sayangku. Apa kamu tidak suka aku memanggilmu seperti itu?" "B-bukannya tidak suka, t-tapi aku pikir itu cukup terburu-buru." "Terburu-buru? Setelah kita berciuman? Setelah kita semalaman tidur dengan berpelukan? Setelah kita—Lilia!" Lilia yang tak ingin mendengar ucapan William lebih banyak dengan segera berlari pergi dari sana. Suara stiletto-nya meninggalkan ruang rawat William yang hanya tersenyum melihat betapa cantik gadisnya itu saat kedua pipinya memerah dan lambat laun ronanya menyebar ke seluruh wajah. Ia menghela dalam napasnya lalu berdeham. "Tidak apa-apa 'kan aku begitu pada istriku sendiri?" Tapi di luar semua itu .... Ada sesuatu yang tadi lupa ia tanyakan pada Keano gara-gara si Giff itu lebih dulu meminta anaknya melakukan kemauannya. Ia ingin menanyakan pada Keano apakah pegawai kelurahan yang bernama Zavian