“Saya tahu semua yang Tuan Nicholas katakan itu benar,” kata Lilia dengan masih meremas ujung jarinya. “Tapi, saya tidak bisa pergi begitu saja dari sana.” “Kenapa, Lilia?” tanya Nicholas—entah dari mana Lilia mendapatkannya, tapi ia merasa ada seberkas rasa kecewa saat pria itu bicara. “Ada hal yang tidak bisa saya jelaskan pada Anda, Tuan Nicholas.” Lilia menundukkan kepalanya di hadapan Nicholas, merasa tidak enak hati jika dirinya yang bukan siapa-siapa ini terus bertukar pandang dengan pria yang terhormat sepertinya. Lilia beranjak pergi, ia ingin lebih dekat ke gerbang sekolah Keano sebelum pergelangan tangannya diraih oleh Nicholas. “Lilia,” panggil pria itu sekali lagi. “Aku tidak bisa melihatmu seperti ini,” katanya. “Aku tahu kamu tidak bahagia dengannya, ‘kan?” Lilia tertawa lirih, yang berbanding terbalik dengan matanya yang masih berair. “Benar,” akunya. “Saya memang tidak bahagia, Tuan Nicholas. Tapi saya juga tidak bisa meninggalkan Keano yang tidak tahu masalah or
Lilia bingung dengan apa yang dikatakan oleh Keano. Berpikir dalam hati, ‘Apa yang tidak aku ketahui sampai membuat Keano menyebut omanya jahat?’Apakah Keano bertemu dengan Nyonya Donna atau Nyonya Bertha tanpa sepengetahuannya?Entahlah ….Lilia menggeleng, ketimbang memikirkan hal itu, yang lebih penting baginya sekarang adalah memberitahu William soal kondisi Keano.Ia pergi menemui Agni yang kebetulan sedang berada di dapur, wanita paruh baya itu baru saja datang untuk belanja bulanan dan sibuk memasukkan bahan makanan ke dalam lemari pendingin.Lilia meminjam ponsel milik Agni yang kemudian terhubung pada William.“T-Tuan William?” sapa Lilia ragu-ragu saat panggilan mereka terhubung.“Ada apa, Lilia?”“Keano demam sejak pulang sekolah,” jawabnya. “Dan baru saja saya lihat demamnya semakin tinggi.”“Aku akan meminta dokter yang kemarin menangani Keano untuk datang,” sahut William dengan segera dari seberang sana, mungkin karena mendengar suara Lilia yang sedikit panik membuatny
Lilia tak peduli dengan apa yang akan dikatakan oleh William setelah pria itu menyebut namanya dengan sedikit geram. Ia memilih untuk melangkah pergi meninggalkan kamar agar tidak melihat wajah pria itu lebih lama lagi seraya berpikir, ‘Terserah dia mau percaya atau tidak,’ gumamnya dalam hati. ‘Kalau dia tidak percaya atau berpikir aku mengada-ada, biar nanti dia tanyakan sendiri pada Keano.’ Beranjak petang … panas Keano sudah mulai turun. Ia masih berada di dalam kamar, beraktivitas di dalam dengan mainan ringan yang dibawakan oleh Lilia ke atas ranjangnya. William datang sekitar pukul tujuh malam dan menyapa Keano yang saat itu sedang disuapi oleh Lilia. “Apakah enak?” tanya pria itu pada anak lelakinya. “Keano suka masakan yang dibuat Mama Lilia?” Tetapi berapa kali pun William bertanya, ia tetap tak menuai jawaban. Dan daripada diusir pergi, William sepertinya lebih memilih untuk diam dan melihat apa yang dilakukan oleh Keano serta Lilia. Betapa manjanya anak itu saat melah
“Saya tidak pernah mengatakan hal seperti itu pada Keano, Nyonya,” kata Lilia membela diri, karena ia merasa memang tidak pernah melarang Keano untuk bertemu dengan mereka berdua.“Jangan beralasan!” hardik Nyonya Bertha dengan jari telunjuk yang mengarah kepadanya. “Sejak tahu kamu berusaha mencuci otak Keano di hari kematian Ivana, jangan harap aku mempercayai sepatah kata pun yang keluar dari bibirmu itu, Lilia!” “Mama ….” panggil Gretha seraya meraih lengan sang ibu yang terulur kaku ke depan. “Mama tidak boleh bicara seperti itu. Bagaimanapun sekarang Lilia adalah—”“Adalah apa?!” potong Nyonya Bertha seolah tahu apa yang akan dikatakan oleh anak perempuannya. “Lilia adalah istrinya William, begitu maksudmu?!”“Bukankah itu—”“Menjadi istri juga hasil merebut, ‘kan?” tuding beliau yang membuat sekujur badan Lilia kebas.‘Hasil ... merebut?’ batin Lilia, dadanya terasa berat, disesakkan oleh jelaga yang membuatnya tertampar bahwa selamanya akan disebut seperti itulah dirinya—per
“Mama Lilia adalah Mamanya Keano,” ucap Keano saat ia mengatur napasnya yang naik turun, tersengal dijajah oleh rasa sesak. “Oma tidak boleh bilang kalau Mama itu jahat! Oma dan Tante Gretha yang jahat! Di dunia ini yang baik hanya Mama Lilia!” Bibirnya tertekuk sedih, suaranya masih sama serak, bersaing antara sedih dan marah. Membuat Nyonya Bertha serta Gretha yang ada di sofa duduk tegang dihujam kalimat-kalimat Keano yang seakan tak menerima Lilia dituduh mencuci otaknya. Lilia yang mendengar betapa marahnya Keano segera membawa kakinya yang semula hanya terpancang di lantai untuk menghampirinya. “Keano,” sebut Lilia lirih. Ia berlutut di hadapan Keano dan mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya yang masih terasa hangat. “Kenapa Keano bangun, Nak?” tanyanya. “Keano bangun karena mendengar Oma yang berteriak,” jawabnya. Sepasang mata turunan manik gelap William itu memandang lurus pada Nyonya Bertha yang masih duduk di sofa ruang tamu. “Mama juga tidak ada di kamar jadi
Sekalipun kunjungan Nyonya Bertha dan Gretha malam itu cukup menguras hati, tetapi kabar baiknya … Keano tak terbawa arus. Kondisinya membaik, demamnya turun pada pagi harinya dan saat Lilia memeriksanya, suhu tubuhnya kembali normal.Pagi menuju siang ini, Keano mendapat kembali tamu yang ingin menjenguknya.Nicholas, pria itu sedang berada di dalam kamar Keano sejak setengah jam yang lalu. Tak hanya ia dan keponakannya itu saja yang ada di sana, melainkan juga William.Meski dilihat dari ekspresi wajahnya yang jelas tidak suka dengan kedatangan Nicholas, William tak bisa menepis bahwa anak lelakinya tampak senang dengan kedatangan pamannya itu.Lilia baru akan kembali ke dalam kamar setelah menyiapkan bahan makan siang untuk bocah kecil itu, sebelum langkah kakinya berhenti di balik pilar besar kala ia mendengar suara bariton dalam milik William dari depan kamar Keano.“Yang harus kamu ingat dengan jelas adalah, apa yang kamu lakukan pada Keano sekarang ini tidak akan bisa menghapu
Lilia sejenak termangu mendengar itu. Ia menelan ludahnya penuh dengan sesal. Mengutuk dirinya sendiri yang lagi-lagi ikut campur padahal tahu seberapa buruk temperamen William jika itu bersinggungan dengan Nicholas. “Kenapa Tuan meminta saya memilih?” tanya Lilia akhirnya. “Jawab saja!” “Bukankah Tuan William harusnya sudah tahu jawabannya?” kata Lilia, karena ia berpikir bahwa memang William harusnya bisa melihat dengan jelas pada siapa ia berdiri. “Keberadaan saya di sini dengan Anda dan Keano, bukankah itu sudah menjawabnya?” “Keberadaanmu di sini bukan karena kamu ingin membuat keluarga yang sempurna, Lilia!” tanggap pria itu. Gema suaranya terasa membekukan seluruh sudut ruangan hingga lantai yang ia pijaki berubah dingin. “Kamu di sini karena terpaksa. Jika tidak ada Keano, atau Keano tidak memintamu untuk tinggal, kamu sudah pasti akan pergi dari sini dan tidak akan pernah memilih bersamaku.” Lilia mendapati serak kekecewaan yang entah darimana datangnya saat William ber
Lilia mendekat pada Keano, beberapa orang juga tampak ke sana dan berusaha mengangkatnya keluar dari kolam.Bocah kecil itu dibaringkan di tepian, salah seorang petugas yang sepertinya adalah staf kolam renang memberi pertolongan pada Keano dengan melepas pelampungnya dan menekan dada kecilnya sebanyak beberapa kali.“Keano, bangun, Sayang ….” pinta Lilia dengan suara yang gemetar.Tapi, itu belum menuai hasil karena Keano tak memberi reaksi.Lilia dilanda kepanikan yang besar. Tak menyangka keputusannya untuk meninggalkan sejenak Keano akan berakibat seperti ini!Beberapa menit berlalu, kelegaan yang besar menghampiri Lilia saat melihat Keano memuntahkan air yang telah masuk ke dalam tubuhnya.Bocah kecil itu sempat sadar tetapi kondisinya sangat lemah. Dan sebelum sesuatu yang lebih buruk menimpanya, Lilia memutuskan untuk membawanya pergi ke rumah sakit.Sepanjang jalan … rasanya doa tak putus dari dalam hati Lilia. Agar Tuhan menyelamatkan Keano sekalipun itu harus mengambil sebag
“Aku tidak bisa melakukan itu begitu saja,” jawan William dengan cepat, seolah memang ia telah siap dengan jawaban tersebut. “Butuh waktu bertahun-tahun sejak kematian Madeline sampai Mama dan Papa mengatakan bahwa kalian bersalah karena telah menyia-nyiakannya. Aku bahkan harus menyalah pahami Nicholas melakukan sesuatu yang buruk padahal Madeline lah yang lelah dengan semua ketidak adilan yang terjadi untuknya.” Lilia meredakan detak jantungnya bertubi-tubi lebih cepat. Matanya perih memandang William dan netra kelamnya yang tampak menanggung kesakitan. Suara gemetarnya mengatakan segalanya, tentang kekecewaan, dan juga keretakan yang bertahun-tahun ada di bahunya. “Aku mungkin memaafkan kalian, tapi nanti ....” imbuh William setelah hening merengkuh mereka lebih dari enam puluh detik lamanya. “Biar aku lihat seperti apa kesungguhan Mama dan Papa dalam mencintai keluargaku, istriku, anak-anakku. Terhadap Nicholas pun juga begitu. Bukan hanya Madeline yang kalian buat menderita, t
Lilia tak begitu saja menjawabnya. Ia memandang Nyonya Donna yang menunduk dengan meremas jari-jarinya yang ada di atas paha, begitu juga dengan Tuan Adam yang menghela dalam napasnya. Terlihat sangat jelas sesal yang terukir dari caranya mengatakan, ‘Maafkan kami, Lilia ....’ Tuan Adam tak seperti sang istri yang lebih emosional dengan menunjukkan gestur akan sebuah sesal. Beliau tersenyum, maniknya menerpa Lilia degan bibirnya yang tersenyum. Tapi meski tak mengatakan apapun, Lilia tahu Tuan Adam sama menyesalnya. Sejak dulu Lilia tahu bahwa Tuan Adam memang cenderung pendiam dan lebih sering mengalah. Hingga hari ini pun ... sikap itu masih melekat di sana. Sebuah dinamika keluarga yang sering dijumpai oleh Lilia. “Kami tahu kamu tidak akan begtu saja mau memaafkan kami,” ucap kembali Nyonya Donna. “Kami juga memaklumi akan hal itu, Lilia. Tapi mungkin ... kamu bisa memberi sedikit harapan bahwa rasa bersalah kami ini akan bisa mendapat pemutihan nanti, meski membutuhkan waktu l
Agni benar saat mengatakan bahwa itu akan menjadi obat pelipur lara bagi Lilia, William dan juga Keano. Mereka berbahagia, melewati masa pemulihan Lilia dengan berharap bahwa bayi kembar dalam kandungannya itu tumbuh dengan baik, menjadi anak yang juga baik dan lembut hatinya—setidaknya begitu yang dikatakan oleh Keano berulang kali. Bocah kecil itu teramat senang saat tahu ia akan memiliki adik kembar laki-laki dan perempuan, senang tak kepalang. 'Mama, Keano sudah mengatakan pada Jayce dan Jasenna kalau Keano akan punya adik kembar laki-laki dan perempuan, mereka bilang nanti kalau adik lahir akan datang, apakah boleh, Mama?' Celotehannya menghidupkan satu hari Lilia yang terasa membosankan di rumah sakit. Dan jika Lilia tak kunjung menjawab dengan mengatakan, 'Boleh, Sayangku ....' maka Keano masih akan antusias menunggunya, menatapnya dengan mata berbinar. Kabar dirinya yang hamil kembar sepasang itu telah sampai pada Tuan Alaric yang datang memberinya selamat. Pada ibunya y
"Sudah, semuanya sudah berakhir, tidak ada lagi yang akan menyakiti kamu, menyakiti anak-anak kita, maaf untuk semua kelalaiannya ...." William menunjukkan senyumnya, merekah tapi di mata Lilia penuh rasa kecewa. Mungkin prianya itu merasa bersalah karena telah membiarkan Lilia diculik dan berakhir seperti ini. "Kamu juga tidak bersalah," balas Lilia sembari mengusap dagu William, pada sudut bibirnya, pada tegasnya rahang pria miliknya ini. "Kamu sudah menjagaku sebaik mungkin, tapi si jahat itu memang sedang memiliki kesempatan dan membuat semuanya jadi seperti ini." "Terima kasih untuk pengertianmu, Lilia." William menggapai bibir Lilia dengan lembut, tak ingin memberikan pagutan, sebatas kecupan beberapa detik seolah sedang meyakinkannya bahwa semuanya telah baik-baik saja. Saat William menarik wajahnya, ia menghela dalam napasnya sebelum berujar, "Aku harap setelah peristiwa ini kamu tidak semakin terpuruk dalam trauma itu," resahnya sendu. "Aku pikir tidak, William,"
Setelah merasa terombang-ambing di tengah laut yang sunyi dan tanpa tepian serta dirundung kesendirian dalam waktu yang ia kira berlalu lebih dari satu dasawarsa, Lilia akhirnya bisa melihat dunia yang sebenarnya. Langit-langit kamar asing yang lalu disadarinya sebagai langit-langit ruang rawat tempat ia berbaring, aroma obat-obatan yang menyentuh indera pembaunya, serta hangatnya tangan seorang pria yang ia rindukan, William. Mengerjapkan matanya dengan pelan, Lilia ingat apa yang telah membuatnya berbaring di sini dengan selang infus yang tergantung di lengan kirinya. Tak lain karena ia nyaris saja mati di tangan mantan ayah angkatnya yang kejam. Rasa sesak saat jemari tangan pria itu mencekik lehernya dan membuat napasnya terputus seperti masih tersisa di sana, memberinya sensasi aneh yang membuat Lilia ketakutan bahwa peristiwa itu akan berulang. Ah ... begitukah rasanya ada di ambang batas hidup dan mati? Gelap dingin dan menakutkan? Seperti itu jugakah alam bawah sadar yang
Pemantik yang dibawa oleh Niel itu mengeluarkan api, menyala di hadapan Arya yang wajahnya pias. Saat pria itu berpikir bahwa Niel benar akan membakarnya, dugaannya salah. Pemuda itu justru menariknya kembali. Ia memang membakar sesuatu, tapi bukan dirinya. Melainkan rokok yang terselip di antara jari tengah dan jari telunjuknya, lalu menyesapnya. Aksi itu membuat tawa Zain terdengar, begitu juga dengan Alaric yang lebih patut disebut sebagai 'mencemoohnya'. "Lihat, bukankah dia sangat bodoh?" tanya Niel, asap mengepul keluar dari bibirnya saat ia menunjuk pada Arya. "Dia benar-benar berpikir kalau yang aku tuangkan ke tubuhnya itu adalah bahan bakar." Dagunya mengedik pada Arya yang berekspresi penuh kebingungan. Pria itu mengendus tubuhnya sendiri, bahu kanan dan kirinya, pada tangan dan juga sekitarnya yang tak mengeluarkan aroma apapun selayaknya aroma bahan bakar. Yang disiramkan oleh Niel itu bukanlah bensin atau sesuatu sejenisnya, tapi air minum. Di saat seperti ini, si
Setelah William pergi dari hadapannya, Arya berpikir ia akan bebas dan bisa melarikan diri dari sini. Namun, harapan itu ditolak mentah-mentah oleh semesta, sebab pria berjas yang ada di seberang sana yang tadi memanggil William itu adalah batu sandungan barunya. Setahu Arya, pria itu adalah atasan mantan istrinya—Alya—Alaric Roseanne namanya. Mengejutkannya, pria itu tak selembut yang terlihat. Ia tampak bersahaja dan tenang, tetapi sepertinya Arya salah. Di dalam diri seseorang yang tenang, bukankah tak ada yang tahu apa yang hidup di dalamnya? Dan yang hidup di dalam ketenangan seorang Alaric adalah badai, badai yang menakutkan. Dengan telinganya ia mendengar Alaric yang mengatakan pada pemuda yang berdiri di sebelahnya, yang matanya menyipit seperti serigala. "Bawa dia ke sini, Zain! Biar aku bisa melihat wajahnya dengan jelas, iblis seperti apa yang menyakiti anakku." Pemuda yang disebut sebagai 'Zain' itu mengangguk sebelum kakinya yang ditopang oleh Oxford mengayun ke ara
Kepala William terasa berat, ia menunduk memandang lantai tempat ia berpijak sebelum langkah kaki seseorang berhenti di depannya. "Tuan William," sapanya sebelum pemilik suara tersebut duduk di sampingnya, Giff. "Sudah ada kabar dari Nona Lilia?" William menggeleng, "Belum," jawabnya. "Aku harap yang keluar dari sana adalah kabar yang baik." Kepalanya terangkat, matanya tampak berkabut kala memandang pintu ruang IGD yang dilalui banyak orang. "Pasti, pasti yang dibawa oleh dokter adalah kabar yang baik." Giff menyerahkan selembar tisu pada William yang menerimanya dengan bingung. Wajahnya yang tampak kosong itu menatap Giff seolah sedang bertanya, 'Untuk apa?' "Bersihkan wajah Anda," ucap Giff seolah tahu makna tatapan matanya itu. "Ada darah di pipi Anda, Tuan William." William tersenyum miris, "Ini darah milik Lilia, Giff." Giff mengangguk, ia pun tahu bahwa itu adalah darah milik Lilia. Mereka melihat dengan jelas bagaimana Lilia meregang nyawa di tangan mantan ayah angkat
Tangan William membeku di udara. Panggilan yang datang dari suara yang tak asing itu membuat William seperti mendapatan kembali akal sehatnya. Kebencian yang tadi bertumpuk dan membuat kepalanya berat itu berangsur melemah hingga tangannya perlahan turun meski kepalan pada jemarinya tak teruraikan. Melalui sudut matanya, ia melihat kedatangan ayah mertuanya, Tuan Alaric. Beliau pasti datang ke sini setelah Giff—atau mungkin Niel—memberi tahunya bahwa Lilia dalam bahaya dan menyusul ke tempat ini. Suara yang memanggil William agar tak menuruti egonya untuk memukuli Arya itu adalah Tuan Alaric. “Tinggalkan dia!” pinta beliau. “Bawa Lilia pergi dari sini!” Mendengar nama Lilia membuat William beringsut pergi dari sana, meninggalkan Arya yang entah akan jadi apa di tangan Tuan Alaric setelah ini. Baginya sudah cukup. Saat Arya itu mengatakan agar sebaiknya William membunuhnya saja membuat ia tahu pria itu telah mendapatkan pelajarannya. William berlari menuju pada Lilia yang terkul