Lilia sejenak termangu mendengar itu. Ia menelan ludahnya penuh dengan sesal. Mengutuk dirinya sendiri yang lagi-lagi ikut campur padahal tahu seberapa buruk temperamen William jika itu bersinggungan dengan Nicholas. “Kenapa Tuan meminta saya memilih?” tanya Lilia akhirnya. “Jawab saja!” “Bukankah Tuan William harusnya sudah tahu jawabannya?” kata Lilia, karena ia berpikir bahwa memang William harusnya bisa melihat dengan jelas pada siapa ia berdiri. “Keberadaan saya di sini dengan Anda dan Keano, bukankah itu sudah menjawabnya?” “Keberadaanmu di sini bukan karena kamu ingin membuat keluarga yang sempurna, Lilia!” tanggap pria itu. Gema suaranya terasa membekukan seluruh sudut ruangan hingga lantai yang ia pijaki berubah dingin. “Kamu di sini karena terpaksa. Jika tidak ada Keano, atau Keano tidak memintamu untuk tinggal, kamu sudah pasti akan pergi dari sini dan tidak akan pernah memilih bersamaku.” Lilia mendapati serak kekecewaan yang entah darimana datangnya saat William ber
Lilia mendekat pada Keano, beberapa orang juga tampak ke sana dan berusaha mengangkatnya keluar dari kolam.Bocah kecil itu dibaringkan di tepian, salah seorang petugas yang sepertinya adalah staf kolam renang memberi pertolongan pada Keano dengan melepas pelampungnya dan menekan dada kecilnya sebanyak beberapa kali.“Keano, bangun, Sayang ….” pinta Lilia dengan suara yang gemetar.Tapi, itu belum menuai hasil karena Keano tak memberi reaksi.Lilia dilanda kepanikan yang besar. Tak menyangka keputusannya untuk meninggalkan sejenak Keano akan berakibat seperti ini!Beberapa menit berlalu, kelegaan yang besar menghampiri Lilia saat melihat Keano memuntahkan air yang telah masuk ke dalam tubuhnya.Bocah kecil itu sempat sadar tetapi kondisinya sangat lemah. Dan sebelum sesuatu yang lebih buruk menimpanya, Lilia memutuskan untuk membawanya pergi ke rumah sakit.Sepanjang jalan … rasanya doa tak putus dari dalam hati Lilia. Agar Tuhan menyelamatkan Keano sekalipun itu harus mengambil sebag
“N-Nona Gretha bilang dia tidak ada di dalam daftar lifeguard Paradise?” ulang Lilia dengan pupilnya yang bergoyang cemas. “Iya,” jawab Gretha dengan tegas. “Aku dan Mama belum lama ini ke sana dan menanyakan soal peristiwa yang terjadi pada Keano, terutama siapa yang hari itu membersamai Keano. Kemudian salah satu petugas yang ada di sana memberi kami daftar nama lifeguard yang bekerja di sana. Seingatku … tidak ada yang namanya Henry,” tutur Gretha lalu meraih ponsel dari dalam tas mahal miliknya. Ponsel itu lalu ia serahkan pada Lilia yang menerimanya dengan tangan yang gemetar. “Itu yang diserahkan pada kami, apakah ada salah satu di antara mereka yang kamu maksudkan itu?” tanya gadis itu saat Lilia memandang satu demi satu orang yang ada di sana. Dari sekian puluh orang, tak ada seorang pun yang bernama Henry. Tak ada pula foto pria yang hari itu bersama dengan Keano. Pria yang harusnya menjadi saksi itu lenyap. Seberkas pikiran buruk baru saja terlintas di pikiran Lilia ba
Setelah di rumah sejak kemarin siang, pagi hari ini Lilia akan kembali ke rumah sakit untuk melihat keadaan Keano.Mempertimbangkan bahwa Gretha beserta Nyonya Bertha sudah tidak ada di sana, Lilia ingin segera bertemu dengan Keano.Ingin ia pastikan dengan mata kepalanya sendiri apakah bocah kecil itu sudah sadar dan dalam keadaan baik-baik saja.Lilia juga tak tega pada William yang sejak kemarin tidak pulang.Langkahnya sedikit gegas saat ia berjalan keluar dari kamar. Angannya sudah memikirkan bahwa setelah ini ia akan menemui Ron agar mengantarnya ke rumah sakit.Namun, keinginan Lilia sepertinya harus berhenti sampai di sana, sebab saat ia membuka pintu rumah, ia melihat beberapa orang berseragam polisi yang berjalan menaiki undakan tangga di teras dan berhenti di hadapannya.“Selamat pagi,” sapa pria berseragam yang paling depan. “Benar ini kediaman Bu Lilia Zamora?”“S-saya sendiri, Pak,” jawab Lilia. “A-ada perlu apa?”“Anda kami tahan atas dugaan percobaan pembunuhan berenca
“Itu sangat mungkin terjadi,” tanggap Giff, membenarkan pendapat William dan pikiran kritisnya yang bekerja dengan tenang. “Pengunjung yang ada di sekitar Keano tidak curiga dengan mereka berdua, sampai akhirnya Keano ditemukan tidak sadar.” William turut mengangguk, setuju dengan sekretarisnya itu. “Tapi—” Pemuda itu memandang William dengan sedikit bingung. “Tapi kenapa dia melakukan hal seperti itu pada Keano, Tuan?” tanyanya. “Apa itu sebuah ketidaksengajaan atau memang dia berniat mencelakai Keano?” “Kalau dia memang tidak sengaja, yang dia lakukan harusnya menolong Keano, bukan lari seperti seorang pengecut seperti itu,” jawab William, sangsi jika apa yang menimpa anak lelakinya itu adalah ‘sebuah ketidaksengajaan’. William mendesis saat memijit keningnya yang terasa sakit sehingga membuat Giff berhenti untuk membahasnya dan memilih untuk melakukan hal yang lainnya. “Anda makanlah dulu,” katanya. “Saya belikan makanan di perjalanan ke sini tadi.” William hanya mengangguk s
“Kapan kamu berhenti ikut campur?” tanya William, geram sehingga rahangnya itu terlihat mengetat. “Apakah kamu tidak tertarik pada hal lain sampai harus menginginkan istriku?!”“Terserah apa katamu, William!” Nicholas menyeringai tak peduli. “Jika kamu tidak bertindak, akan aku lakukan apa yang tadi aku katakan padamu,” pungkasnya kemudian membuang wajah dan pergi dari sana.Meninggalkan William yang kedua tangannya mengepal erat, otot-ototnya seakan memberontak dan memprovokasinya agar sebaiknya ia menghajar Nicholas saja.‘Nicholas brengsek,’ umpatnya dalam hati. ‘Benar-benar tidak tahu diri,’ batinnya.“Tuan William,” panggil suara Giff yang baru datang dari sebelah kirinya. Seperti yang ia katakan sebelumnya bahwa ia akan kembali saat sore, pemuda itu datang dengan sebuah ransel di bahunya.“Yang barusan itu Tuan Nicholas?” tanya Giff yang mengangguk menjawabnya. “Anda berdua bertengkar?”“Tidak,” jawab William diiringi dengan gelengan kepala. “Hanya mulutnya yang ingin aku puku
“Benar, mulai hari ini kami yang akan mendampingi Anda sampai kasus ini usai,” jawab Roy atas keterkejutan Lilia. Meski Lilia bingung siapa yang memberinya pengacara, tapi ada sebuah rasa lega yang memenuhi dadanya. “Terima kasih,” kata Lilia, membalas senyum antusias Roy dan Elsa. “Kami akan memulai bertanya dengan bagaimana kronologi saat Keano tenggelam, Bu Lilia,” kata Roy memulai percakapan. Lilia jelaskan seperti apa situasinya pada saat-saat Keano tenggelam. Siapa orang yang ia lihat di tempat kejadian termasuk pria yang ia yakini adalah seorang lifeguard tetapi nyatanya—seperti yang diperlihatkan oleh Gretha padanya—bukanlah bagian dari kolam renang yang dikunjunginya hari itu. “Kami sudah mempelajari tentang kasus Anda sebelumnya,” ucap Roy. “Sekalipun tidak ada rekaman CCTV di dalam kolam renang yang menunjukan bukti bahwa ada pria yang Anda sebutkan, tapi kami mendapat sedikit petunjuk dari CCTV toko yang ada di seberang Paradise. Bahwa ciri-ciri pria yang Bu Lilia samp
Lilia menarik tangannya yang ditimpa oleh William, menggunakan jarinya untuk menyeka air mata. Ia memalingkan wajah dan tubuhnya seraya mengatakan, “Maaf.”William tak memberi tanggapan selain turut menarik tangannya. Saat Lilia kembali menghadapkan tubuh pada William, ia menjumpai sebuah sapu tangan yang diselipkannya dan didorong sehingga lebih dekat dengannya.“Pakai itu,” kata William. Lilia meraihnya, membuka sapu tangannya yang wangi musk dan menggunakannya untuk menghapus sisa air mata di wajahnya.“Maaf,” ucap Lilia sekali lagi, ia menggigit bibir untuk menahan air mata agar tak kembali jatuh. “Saya sungguh menyesal meninggalkan Keano saat itu, Tuan.”“Sudah terlanjur,” tanggap pria itu dengan suaranya yang tenang. “Yang penting Keano sudah baik-baik saja sekarang.”Lilia menengadahkan wajahnya mengikuti William yang bangun dari duduknya.“Aku pulang,” katanya. “Jaga dirimu.”William beranjak pergi tetapi langkahnya terhalang Lilia yang membuatnya kembali menoleh ke belakan
“Aku tidak bisa melakukan itu begitu saja,” jawan William dengan cepat, seolah memang ia telah siap dengan jawaban tersebut. “Butuh waktu bertahun-tahun sejak kematian Madeline sampai Mama dan Papa mengatakan bahwa kalian bersalah karena telah menyia-nyiakannya. Aku bahkan harus menyalah pahami Nicholas melakukan sesuatu yang buruk padahal Madeline lah yang lelah dengan semua ketidak adilan yang terjadi untuknya.” Lilia meredakan detak jantungnya bertubi-tubi lebih cepat. Matanya perih memandang William dan netra kelamnya yang tampak menanggung kesakitan. Suara gemetarnya mengatakan segalanya, tentang kekecewaan, dan juga keretakan yang bertahun-tahun ada di bahunya. “Aku mungkin memaafkan kalian, tapi nanti ....” imbuh William setelah hening merengkuh mereka lebih dari enam puluh detik lamanya. “Biar aku lihat seperti apa kesungguhan Mama dan Papa dalam mencintai keluargaku, istriku, anak-anakku. Terhadap Nicholas pun juga begitu. Bukan hanya Madeline yang kalian buat menderita, t
Lilia tak begitu saja menjawabnya. Ia memandang Nyonya Donna yang menunduk dengan meremas jari-jarinya yang ada di atas paha, begitu juga dengan Tuan Adam yang menghela dalam napasnya. Terlihat sangat jelas sesal yang terukir dari caranya mengatakan, ‘Maafkan kami, Lilia ....’ Tuan Adam tak seperti sang istri yang lebih emosional dengan menunjukkan gestur akan sebuah sesal. Beliau tersenyum, maniknya menerpa Lilia degan bibirnya yang tersenyum. Tapi meski tak mengatakan apapun, Lilia tahu Tuan Adam sama menyesalnya. Sejak dulu Lilia tahu bahwa Tuan Adam memang cenderung pendiam dan lebih sering mengalah. Hingga hari ini pun ... sikap itu masih melekat di sana. Sebuah dinamika keluarga yang sering dijumpai oleh Lilia. “Kami tahu kamu tidak akan begtu saja mau memaafkan kami,” ucap kembali Nyonya Donna. “Kami juga memaklumi akan hal itu, Lilia. Tapi mungkin ... kamu bisa memberi sedikit harapan bahwa rasa bersalah kami ini akan bisa mendapat pemutihan nanti, meski membutuhkan waktu l
Agni benar saat mengatakan bahwa itu akan menjadi obat pelipur lara bagi Lilia, William dan juga Keano. Mereka berbahagia, melewati masa pemulihan Lilia dengan berharap bahwa bayi kembar dalam kandungannya itu tumbuh dengan baik, menjadi anak yang juga baik dan lembut hatinya—setidaknya begitu yang dikatakan oleh Keano berulang kali. Bocah kecil itu teramat senang saat tahu ia akan memiliki adik kembar laki-laki dan perempuan, senang tak kepalang. 'Mama, Keano sudah mengatakan pada Jayce dan Jasenna kalau Keano akan punya adik kembar laki-laki dan perempuan, mereka bilang nanti kalau adik lahir akan datang, apakah boleh, Mama?' Celotehannya menghidupkan satu hari Lilia yang terasa membosankan di rumah sakit. Dan jika Lilia tak kunjung menjawab dengan mengatakan, 'Boleh, Sayangku ....' maka Keano masih akan antusias menunggunya, menatapnya dengan mata berbinar. Kabar dirinya yang hamil kembar sepasang itu telah sampai pada Tuan Alaric yang datang memberinya selamat. Pada ibunya y
"Sudah, semuanya sudah berakhir, tidak ada lagi yang akan menyakiti kamu, menyakiti anak-anak kita, maaf untuk semua kelalaiannya ...." William menunjukkan senyumnya, merekah tapi di mata Lilia penuh rasa kecewa. Mungkin prianya itu merasa bersalah karena telah membiarkan Lilia diculik dan berakhir seperti ini. "Kamu juga tidak bersalah," balas Lilia sembari mengusap dagu William, pada sudut bibirnya, pada tegasnya rahang pria miliknya ini. "Kamu sudah menjagaku sebaik mungkin, tapi si jahat itu memang sedang memiliki kesempatan dan membuat semuanya jadi seperti ini." "Terima kasih untuk pengertianmu, Lilia." William menggapai bibir Lilia dengan lembut, tak ingin memberikan pagutan, sebatas kecupan beberapa detik seolah sedang meyakinkannya bahwa semuanya telah baik-baik saja. Saat William menarik wajahnya, ia menghela dalam napasnya sebelum berujar, "Aku harap setelah peristiwa ini kamu tidak semakin terpuruk dalam trauma itu," resahnya sendu. "Aku pikir tidak, William,"
Setelah merasa terombang-ambing di tengah laut yang sunyi dan tanpa tepian serta dirundung kesendirian dalam waktu yang ia kira berlalu lebih dari satu dasawarsa, Lilia akhirnya bisa melihat dunia yang sebenarnya. Langit-langit kamar asing yang lalu disadarinya sebagai langit-langit ruang rawat tempat ia berbaring, aroma obat-obatan yang menyentuh indera pembaunya, serta hangatnya tangan seorang pria yang ia rindukan, William. Mengerjapkan matanya dengan pelan, Lilia ingat apa yang telah membuatnya berbaring di sini dengan selang infus yang tergantung di lengan kirinya. Tak lain karena ia nyaris saja mati di tangan mantan ayah angkatnya yang kejam. Rasa sesak saat jemari tangan pria itu mencekik lehernya dan membuat napasnya terputus seperti masih tersisa di sana, memberinya sensasi aneh yang membuat Lilia ketakutan bahwa peristiwa itu akan berulang. Ah ... begitukah rasanya ada di ambang batas hidup dan mati? Gelap dingin dan menakutkan? Seperti itu jugakah alam bawah sadar yang
Pemantik yang dibawa oleh Niel itu mengeluarkan api, menyala di hadapan Arya yang wajahnya pias. Saat pria itu berpikir bahwa Niel benar akan membakarnya, dugaannya salah. Pemuda itu justru menariknya kembali. Ia memang membakar sesuatu, tapi bukan dirinya. Melainkan rokok yang terselip di antara jari tengah dan jari telunjuknya, lalu menyesapnya. Aksi itu membuat tawa Zain terdengar, begitu juga dengan Alaric yang lebih patut disebut sebagai 'mencemoohnya'. "Lihat, bukankah dia sangat bodoh?" tanya Niel, asap mengepul keluar dari bibirnya saat ia menunjuk pada Arya. "Dia benar-benar berpikir kalau yang aku tuangkan ke tubuhnya itu adalah bahan bakar." Dagunya mengedik pada Arya yang berekspresi penuh kebingungan. Pria itu mengendus tubuhnya sendiri, bahu kanan dan kirinya, pada tangan dan juga sekitarnya yang tak mengeluarkan aroma apapun selayaknya aroma bahan bakar. Yang disiramkan oleh Niel itu bukanlah bensin atau sesuatu sejenisnya, tapi air minum. Di saat seperti ini, si
Setelah William pergi dari hadapannya, Arya berpikir ia akan bebas dan bisa melarikan diri dari sini. Namun, harapan itu ditolak mentah-mentah oleh semesta, sebab pria berjas yang ada di seberang sana yang tadi memanggil William itu adalah batu sandungan barunya. Setahu Arya, pria itu adalah atasan mantan istrinya—Alya—Alaric Roseanne namanya. Mengejutkannya, pria itu tak selembut yang terlihat. Ia tampak bersahaja dan tenang, tetapi sepertinya Arya salah. Di dalam diri seseorang yang tenang, bukankah tak ada yang tahu apa yang hidup di dalamnya? Dan yang hidup di dalam ketenangan seorang Alaric adalah badai, badai yang menakutkan. Dengan telinganya ia mendengar Alaric yang mengatakan pada pemuda yang berdiri di sebelahnya, yang matanya menyipit seperti serigala. "Bawa dia ke sini, Zain! Biar aku bisa melihat wajahnya dengan jelas, iblis seperti apa yang menyakiti anakku." Pemuda yang disebut sebagai 'Zain' itu mengangguk sebelum kakinya yang ditopang oleh Oxford mengayun ke ara
Kepala William terasa berat, ia menunduk memandang lantai tempat ia berpijak sebelum langkah kaki seseorang berhenti di depannya. "Tuan William," sapanya sebelum pemilik suara tersebut duduk di sampingnya, Giff. "Sudah ada kabar dari Nona Lilia?" William menggeleng, "Belum," jawabnya. "Aku harap yang keluar dari sana adalah kabar yang baik." Kepalanya terangkat, matanya tampak berkabut kala memandang pintu ruang IGD yang dilalui banyak orang. "Pasti, pasti yang dibawa oleh dokter adalah kabar yang baik." Giff menyerahkan selembar tisu pada William yang menerimanya dengan bingung. Wajahnya yang tampak kosong itu menatap Giff seolah sedang bertanya, 'Untuk apa?' "Bersihkan wajah Anda," ucap Giff seolah tahu makna tatapan matanya itu. "Ada darah di pipi Anda, Tuan William." William tersenyum miris, "Ini darah milik Lilia, Giff." Giff mengangguk, ia pun tahu bahwa itu adalah darah milik Lilia. Mereka melihat dengan jelas bagaimana Lilia meregang nyawa di tangan mantan ayah angkat
Tangan William membeku di udara. Panggilan yang datang dari suara yang tak asing itu membuat William seperti mendapatan kembali akal sehatnya. Kebencian yang tadi bertumpuk dan membuat kepalanya berat itu berangsur melemah hingga tangannya perlahan turun meski kepalan pada jemarinya tak teruraikan. Melalui sudut matanya, ia melihat kedatangan ayah mertuanya, Tuan Alaric. Beliau pasti datang ke sini setelah Giff—atau mungkin Niel—memberi tahunya bahwa Lilia dalam bahaya dan menyusul ke tempat ini. Suara yang memanggil William agar tak menuruti egonya untuk memukuli Arya itu adalah Tuan Alaric. “Tinggalkan dia!” pinta beliau. “Bawa Lilia pergi dari sini!” Mendengar nama Lilia membuat William beringsut pergi dari sana, meninggalkan Arya yang entah akan jadi apa di tangan Tuan Alaric setelah ini. Baginya sudah cukup. Saat Arya itu mengatakan agar sebaiknya William membunuhnya saja membuat ia tahu pria itu telah mendapatkan pelajarannya. William berlari menuju pada Lilia yang terkul