“Benar, mulai hari ini kami yang akan mendampingi Anda sampai kasus ini usai,” jawab Roy atas keterkejutan Lilia. Meski Lilia bingung siapa yang memberinya pengacara, tapi ada sebuah rasa lega yang memenuhi dadanya. “Terima kasih,” kata Lilia, membalas senyum antusias Roy dan Elsa. “Kami akan memulai bertanya dengan bagaimana kronologi saat Keano tenggelam, Bu Lilia,” kata Roy memulai percakapan. Lilia jelaskan seperti apa situasinya pada saat-saat Keano tenggelam. Siapa orang yang ia lihat di tempat kejadian termasuk pria yang ia yakini adalah seorang lifeguard tetapi nyatanya—seperti yang diperlihatkan oleh Gretha padanya—bukanlah bagian dari kolam renang yang dikunjunginya hari itu. “Kami sudah mempelajari tentang kasus Anda sebelumnya,” ucap Roy. “Sekalipun tidak ada rekaman CCTV di dalam kolam renang yang menunjukan bukti bahwa ada pria yang Anda sebutkan, tapi kami mendapat sedikit petunjuk dari CCTV toko yang ada di seberang Paradise. Bahwa ciri-ciri pria yang Bu Lilia samp
Lilia menarik tangannya yang ditimpa oleh William, menggunakan jarinya untuk menyeka air mata. Ia memalingkan wajah dan tubuhnya seraya mengatakan, “Maaf.”William tak memberi tanggapan selain turut menarik tangannya. Saat Lilia kembali menghadapkan tubuh pada William, ia menjumpai sebuah sapu tangan yang diselipkannya dan didorong sehingga lebih dekat dengannya.“Pakai itu,” kata William. Lilia meraihnya, membuka sapu tangannya yang wangi musk dan menggunakannya untuk menghapus sisa air mata di wajahnya.“Maaf,” ucap Lilia sekali lagi, ia menggigit bibir untuk menahan air mata agar tak kembali jatuh. “Saya sungguh menyesal meninggalkan Keano saat itu, Tuan.”“Sudah terlanjur,” tanggap pria itu dengan suaranya yang tenang. “Yang penting Keano sudah baik-baik saja sekarang.”Lilia menengadahkan wajahnya mengikuti William yang bangun dari duduknya.“Aku pulang,” katanya. “Jaga dirimu.”William beranjak pergi tetapi langkahnya terhalang Lilia yang membuatnya kembali menoleh ke belakan
“Paman yang ada di kolam renang itu yang mengajak Keano untuk bermain di bawah seluncuran air waktu Mama mengambil minuman,” tegas Keano dengan suaranya yang serak menahan tangis. “Paman itu yang menarik Keano dan memasukkan kepala Keano ke dalam air. Keano memanggil Mama tapi tidak bisa, setiap Keano naik Paman itu akan kembali membuat kepala Keano masuk ke dalam kolam.” Bocah kecil itu bercerita dengan air mata yang akhirnya luruh, napasnya tersengal saat ia bergantian memandang Nyoya Donna dan Gretha sebelum pada William. Netranya sama tegas, seakan ia tak meminta William membelanya dan teguh pada apa yang ia katakan. Bahwa bukan Lilia lah yang membuatnya seperti ini. William menghela dalam napasnya saat menyaksikan anak lelakinya yang … sebenarnya bisa dikatakan sama keras kepala seperti dirinya. Lihat bagaimana ia mengabaikan rasa sakit saat tangannya mengucurkan darah seolah itu bukan hal yang besar. Bocah kecil itu seakan mati rasa, yang ia pedulikan hanya agar oma dan tan
Keano menangis di pelukannya begitu juga sebaliknya. Untuk sesaat seakan dunia berhenti bekerja, jika ini sebatas kebahagiaan semu dalam lamunan … Lilia harap ia tak akan kembali pada kenyataan. Anak yang ia rindukan setiap malam, yang ia ceritakan pada tahanan lainnya tentang betapa baik dirinya itu sekarang ada di hadapannya, dan bahkan memeluknya. Tapi mendengar isak tangis Keano yang dagu kecilnya jatuh di bahu membuat Lilia menarik diri. Dipandanginya wajah yang penuh dengan air mata itu. Satu minggu—atau bahkan lebih—yang rasanya seperti sewindu untuknya tak menjumpai senyum tulus Keano yang tak pernah gagal membuat Lilia merasakan kehangatan. “Mama,” panggil Keano sekali lagi, meski air matanya tak berhenti, tetapi nada bicaranya penuh dengan rasa senang. Seolah ia juga sama menanggung rindunya seperti yang dirasakan oleh Lilia. “Apa yang keano lakukan di sini, Sayang?” tanya Lilia dengan suara yang masih sama gemetar. “Menjemput Mama,” jawab bocah kecil itu dengan ceria
Mendengar Lilia mengulangi apa yang ia katakan membuat William berdeham. Pria itu memalingkan wajahnya sebelum membawa kakinya pergi lebih dulu. “Cepatlah!” katanya saat Lilia masih tertegun sehingga mereka dipisahkan sekian meter jarak. “Aku akan meninggalkanmu kalau lama.” “Papa,” rengek Keano saat melihat Lilia masih ada di belakang. “Tidak boleh meninggalkan Mama!” Menuai protes dari anak lelakinya, Lilia melihat William memelankan langkahnya. Lilia lalu menyusul mereka, berjalan di samping William. Ia hendak merapikan kerah baju Keano tetapi yang terjadi justru tangannya tanpa sengaja bersentuhan dengan Willia sehingga Lilia urung melakukan itu dan lebih memilih untuk selangkah menjauh, memberi jarak yang lebih lebar. Di parkiran, Lilia melihat Giff yang tampak terhubung dengan panggilan telepon dengan seseorang. Pemuda itu berdiri tak jauh dari sedan mewah milik William sebelum mengetahui kedatangan mereka sehingga ia harus menyelesaikan panggilan itu. “Selamat d
William cukup lama memandangnya, sepasang matanya yang gelap itu memindai Lilia, seolah membaca gerak tubuhnya, seperti sedang memastikan sesuatu.Lilia meremas jari-jarinya, napas tertahan selama beberapa detik saat jaraknya dan William begitu dekat.Pria itu kemudian menunduk di sampingnya.Tangannya menggapai sesuatu dari atas meja, yang saat Lilia melihatnya itu adalah ponsel miliknya yang pasti ia tinggalkan di sana sebelum mengajak Keano mandi."Temui aku nanti kalau kamu sudah selesai dengan Keano," kata William, sekilas memandang Lilia sebelum ia membawa kakinya untuk pergi dari sana."Papa keluar dulu, Sayang," katanya pada Keano yang membalas lambaian tangannya hingga ia menghilang di balik pintu.Kedua bahu Lilia jatuh penuh kelegaan saat langkah kaki William tak lagi terdengar.Setiap kali dekat dengannya, atau menjumpai tatapan William yang gelap, rasanya ia mendapat ketakutan yang besar.Pria itu seakan-akan bersiap merenggut hidupnya. Menimbulkan ingatan tentang ayah an
‘Mencium?’ ulang Lilia dalam hati. Ia terkejut dengan permintaan Keano, dan sebelum itu terjadi, ia lebih dulu mengidekan hal lainnya. “Keano dan Papa saja yang berfoto,” katanya memberi saran. “Nanti biar fotonya Keano dan Papa yang Mama pasang di ponsel barunya Mama, bagaimana?” Lilia harap ia setuju. Tapi, Keano tak serta-merta menjawabnya. Ia menatap Lilia dengan alis yang sedikit berkerut dan bibirnya yang kecil itu bergerak, pasti akan melayangkan protes, Lilia tahu itu. Namun, sebelum suara manisnya terdengar, bariton William lebih dulu singgah di indera pendengar Lilia saat pria itu mengatakan, “Sure,” dengan tanpa bebannya. “Ayo kita berfoto.” Lilia menoleh ke belakang dan melihat William yang bangun dari balik mejanya. Langkah kakinya yang panjang itu dalam sekejap menghabisi jarak sehingga ia tiba di dekat Keano. “Apa yang kamu lakukan?” tanya William seraya memandang Lilia yang masih duduk di tempatnya. “Kamu tidak ingin berfoto denganku dan Keano?” Itu bukan sebat
Daripada berubah panjang, dan mempertimbangkan seandainya Keano bangun karena ‘perdebatan’ mereka, Lilia akhirnya menghadapkan tubuhnya pada William. Mata mereka bertemu di bawah minimnya pencahayaan di dalam ruangan itu. Untuk beberapa saat keheningan menghampiri hingga William kembali membuka suaranya. “Apakah kamu masih takut saat kita sudah berada sedekat ini?” tanyanya. “Yang saya takuti itu lebih pada saat Anda marah pada saya,” jawab Lilia apa adanya. Karena memang seperti itulah yang ia rasakan. “Apalagi sebagian besar dari marah itu saya tidak tahu apa penyebab jelasnya. Saya takut melihat mata Tuan William yang gelap. Itu mengingatkan saya pada ayah saya yang—” Lilia berhenti bicara, pupil hitamnya bergoyang gugup mendapati William yang masih tak berpaling. “Maaf,” kata Lilia. “Saya tidak bermaksud menjual cerita sedih.” “Apa hidupmu memang semenyedihkan itu?” “Menurut Anda?” tanya Lilia balik. “Aneh.” William menatapnya kian lekat, seolah berusaha menyelami isi piki
Lilia yang berada dalam lelapnya merasakan seseorang menyentuh tangannya, tubuhnya pun tertarik ke depan.Saat ia membuka matanya dan perlahan mendapatkan kembali kesadarannya, ia menjumpai senyum manis William yang menyeruak di hadapannya.“Kamu sudah pulang?” tanyanya dengan suara yang sedikit serak, namun sangat seksi di telinga William.“Iya, baru saja,” jawab prianya itu. “Kamu marah padaku, hm?”“Tidak. Kenapa aku harus marah padamu?” tanyanya balik.“Karena aku pulang sedikit terlambat. Maaf ya?”Lilia menggeleng, “Aku tidak marah. Sepertinya karena terlalu senang menonton drama jadi aku mengantuk dan tertidur. Maaf tidak menunggumu pulang dan malah tidur duluan.”Lilia menyentuh garis dagu William yang masih menyunggingkan senyumnya. Sebuah hal yang membuat Lilia diliputi oleh tanya.“Kenapa kamu tersenyum seperti itu, Tuan William?”“Aku hanya berpikir sepertinya yang kita lakukan itu sangat manis,” jawabnya. “Kamu merasa bersalah karena tidak menungguku pulang, dan aku tidak
Petugas polisi yang datang mengepung tempat itu membuat Alaric mundur semakin jauh, menarik lengan William yang memang berdiri di sampingnya. Mengantisipasi agar Ganata yang sedang ada di posisi tersudut ini tidak melakukan sesuatu yang buruk semisal menyerang mereka berdua.Maka mereka segera melangkah untuk mundur.Giff, Jovan dan Niel—yang sudah keluar dari truk—berdiri seraya mengangkat tangan mereka. Begitu juga Zain yang berdiri di samping Nicholas.Saat Alaric mendorong napasnya penuh kebencian, William adalah orang yang tidak peduli dengan peringatan itu. Ia tak mengangkat tangannya. Matanya yang kelam menerpa Ganata, dagunya terangkat menantang. Seandainya sekarang tidak ada polisi, pasti ia pasti akan menendang pria itu sekali lagi.“Jangan bergerak!” peringat petugas polisi yang mendekat pada Ganata yang tengah berlutut dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi.Tangan itu lalu diraih. Ia ditempatkan membelakangi petugas dan kedua tangannya diborgol.Ia diseret pergi dari had
Ganata tertatih bangkit, tapi sebelum ia sempat benar-benar menegakkan tubuhnya, ia kembali terpelanting sebab William telah lebih dulu menggunakan kakinya untuk membuat pria itu sekali lagi merasakan kesakitan di perutnya."AAKKH!" Ia merintih seraya menekuk tubuhnya, memegangi perutnya dan meringis menahan sakit."Bicara lagi!" tantang William masih belum puas. "Coba bicara kalau kamu menyesal hari itu tidak sekalian membunuh Leonora! Akan aku buat mulutmu itu tidak bisa bicara lagi, Ganata!"BUGH!Kepalan tangan William menghantam rahang sebelah kanannya dengan ringan, tapi bagi pria itu sangat mematikan.Seolah lidahnya hampir bergeser kala rahang dan giginya bertabrakan sehingga darah tersembur saat ia jatuh ke jalan."Yang kamu lakukan pada Nyonya Agatha hari itu telah membuat keluarga Roseanne memelihara pengkhianat lebih dari dua puluh empat tahun," ucap William seraya melangkah pada Ganata yang ada di jalan dan menyeret tubuhnya ke belakang."Dengan apa yang telah dijanjikan
Ganata ketakutan, ia mencoba membuka pintu berulang kali tetapi hasilnya tetap sama. Ia tak bisa ke mana-mana. Bagaimanapun ia berusaha, hasilnya ia hanya tetap terjebak di dalam mobil tersebut. Situasi genting ini memerangkapnya. Bagaimana bisa ia melarikan diri sebab truk besar yang berhadapan dengannya itu melaju ke arahnya. BRAKK! Bagian samping mobilnya diterjang hingga berbalik arah. Entah ini memang meleset atau si pengemudinya memang sengaja membuat dirinya ketakutan. Jika memang demikian, maka itu berhasil! Ganata melihat beberapa orang yang berada di tepi jalan sunyi itu sedang berdiri dan salah satunya tertawa penuh kepuasan. 'Itu William,' batin Ganata. 'Dia yang pasti sudah merencanakan semua ini.' Tapi ia tak sempat memperpanjang pikiran soal William, atau pria lain yang ia ketahui sebagai kakak lelakinya itu. Sebab saat ia menoleh ke belakang, truk yang tadi menerjang sisi samping mobilnya kembali. Kali ini dengan kencang melaju ke arahnya dan menerjang bagian
*** Beberapa saat sebelum Ganata datang ke rumah terbengkalai malam itu. *** William telah merencanakannya bersama dengan Nicholas. Mereka akan mencari Ganata, di mana pria itu bersembunyi dan apa yang sekiranya bisa mereka lakukan untuk membuat pria itu terjebak. Akal William dan Nicholas bermain dengan sangat baik. Pertama-tama setelah ajakan Nicholas di dalam ruang CEO hari itu, William menanyakan pada Zain di mana si Ganata itu tinggal. Zain yang memang sudah mengetahui di mana rumah pria itu pun memberikan alamatnya. Nantinya ... William tidak meminta Giff untuk turun ke lapangan. Ia sendirilah yang pergi bersama dengan Nicholas. “Dia tidak mungkin kembali ke rumah setelah Gretha dan Bertha tertangkap, Willie,” ucap Nicholas saat mereka telah mendapatkan alamat dari Zain. “Benar.” William pun menyetujuinya. “Dia pasti sudah mengungsi ke suatu tempat. Karena dia itu residivis, dia pasti sudah hafal cara mainnya. Pergi ke tempat lain dan mengasingkan diri agar tidak seorang pu
Seusainya makan malam, saat Lilia duduk di dalam kamar bersama dengan Keano yang sibuk dengan pensil dan mewarnai gambar-gambar hewan laut, ia melihat kedatangan William yang masuk ke dalam kamar dengan tampilan yang sedikit ... tidak biasa. Prianya itu mengenakan jaket hitam, jaket kulit yang melihatnya sekilas saja Lilia tahu itu harganya mahal. Pertanyaannya, ‘Untuk apa dia memakai jaket kulit malam-malam begini?’ “Sedang apa?” tanya William lebih dulu sebab sedari tadi Lilia hanya diam saja. “Hanya membaca buku,” jawab Lilia. William mendekat dan berdiri di samping Lilia yang duduk di sofa. Sedang Keano mengangkat wajahnya dan alisnya seketika berkerut melihat William. Kepalanya tertarik ke belakang dengan imbuhan ekstra kejut yang membuat William bertanya, “Kenapa, Keano?” “Papa tumben memakai baju seperti itu di dalam rumah?” tanya anak lelakinya balik. “Papa mau pergi, Sayang. Sebentar nanti Papa akan kembali. Mau Papa bawakan sesuatu?” “Roti bakar,” jawab Keano. “Okay
“Wah ... keponakannya Uncle Nic ini memang sangat pintar,” ucap seseorang yang datang dari belakang Giff, yang namanya baru saja disebutkan oleh Keano, Nicholas. Ia melangkah mendekat ke arah meja William bersama dengan Jovan—sekretarisnya—yang menyerahkan beberapa map pada Giff. “Uncle Nic!” sapa Keano seraya melambaikan tangannya. “Halo! Uncle baru tahu kamu di sini. Papa tidak memberi tahu tadi. Di mana Mama, Keano?” “Apa itu?” sahut William seraya bersedekap di kursinya setelah ia menurunkan Keano dan membiarkan anak lelakinya itu berlari menghampiri Nicholas. “Kenapa kamu menanyakan di mana istriku?” “Apa ada yang salah dengan itu?” tanya Nicholas balik, nada bicaranya memang ia sengaja untuk menggoda William. “Aku menanyakan Lilia Zamora adikku, Mamanya Keano. Sepertinya kamu yang berpikiran terlalu jauh, William.” Nicholas membungkukkan badannya saat Keano tiba di dekatnya. Kedua tangannya mengarah ke depan sehingga ia bisa menggendong bocah kecil itu. “Aku tidak akan ber
Tidak lagi! Lilia tidak akan mengenakan gaun tidur seperti semalam karena pada pagi harinya saat terbangun rasanya tubuhnya ini remuk! Ia sudah bangun dari tadi, tetapi masih belum ingin turun dari ranjang lagi dan berbaring di sana, membungkus dirinya degan selimut hangat. Matanya memandang langit-langit kamar yang juga masih gelap, sebelas-dua belas dengan keadaan di luar yang belum menunjukkan semburat fajar. Bisa dibilang, ini masih terlalu pagi. Lilia memang terbangun karena ia kedinginan sehingga ia berjalan menuju ke ruang ganti, memutuskan untuk mandi dengan air hangat dan mengenakan piyama lengan panjang kemudian kembali merebahkan dirinya ke atas ranjang. William? Jangan ditanya sedang ke mana sebab prianya itu sudah pasti menjalani hidup sehatnya dengan berada di dalam ruang gym. Lilia pernah melihatnya tinju atau sekadar berlari di ats treadmill. “Tubuhku rasanya sakit semua,” ucap Lilia seraya mengalihkan dirinya menjadi miring ke kiri. Yang semalam kembali menye
Gretha memukuli Nyonya Bertha yang hanya bergeming di tempat ia duduk. Tangisan Gretha terdengar nyaring, dirundung oleh keputusasaan hingga kerapuhan yang besar kala ia memahami sepenuhnya bahwa ini adalah akhir dari segalanya. “Tolong tenang!” pinta seorang petugas polisi yang duduk di depan. Pria berseragam itu menoleh ke belakang dan memandang Gretha dengan raut wajah yang mengeras seolah itu adalah peringatan pertama dan terakhirnya. Tidak membutuhkan waktu lama bagi mereka untuk tiba di halaman kantor kepolisian. Gretha dan ibunya dibawa keluar dengan pengawalan yang ketat. Mereka dibawa masuk segera ke ruang pemeriksaan. Langkah kakinya berubah gamang kala ia dipisahkan oleh sang Ibu dan ditempatkan di ruangan yang berbeda. Dan mungkin ke depannya mereka tak akan bisa bertemu satu sama lain. Hingga waktu yang tak bisa ditentukan. Ini akan menjadi waktu yang panjang, dan dingin .... Ada banyak orang yang menyebutkan bahwa lantai tahanan itu jauh lebih dingin ketimbang b