Mereka bilang aku belum pantas menjadi seorang ibu. Bahkan, ada yang berkesimpulan aku tak menyayangi sepasang anak kembarku. Sungguh, saat seperti ini aku tak butuh sedikitpun cacian dari mereka. Bukannya mendukung, malah menambah beban pikiran. Tubuhku yang kumal, tak terurus dan mental yang terganggu. Apa itu tak cukup sebagai bukti bahwa aku sedang tidak baik-baik saja? Sungguh, aku butuh dukungan, bukan cacian. Bahkan Mas Haidar-suamiku yang gila kerja-ia sudah mulai cuek dan enggan peduli. Menganggap bahwa..aku tak sabaran dan kurang iman.
View More"Jadi, bagaimana solusinya, Hanin?""Ya, solusinya kamu sendiri. Jadilah orang paling siaga buat istri kamu. Yang dia butuhkan saat ini adalah dukungan dan bantuan. Tolonglah mengerti dengan kehidupannya yang berubah seratus delapan puluh derajat itu. Sudah kukatakan, dokter Zara yang sesungguhnya adalah kamu, suaminya sendiri.""Apa menurut kamu aku kurang mengerti padanya? Uangku selalu kuberikan,"Tut. Tut. Tut.Panggilan tiba-tiba terputus dan layar gawaiku tak lagi menyala. Sial! Baterainya habis.Setelahnya, aku tak bertanya lagi pada Hanin, dia pun sepertinya enggan lagi menghubungi. Namun, kali ini aku mulai berpikir kembali, kapankah bisa kulihat Zara yang penyayang? Yang menimbang anak-anaknya dengan ikhlas tanpa berang. Sebuah perasaan menggangguku kembali. Aku harus berbicara empat mata dengan Hanin, sebagai psikolog ia pasti tahu solusinya bagaimana. Aku tak mau hubunganku dengan Zara akan terus seperti ini.
PoV HaidarKepulangan Zara ke rumah Ibu membuatku lebih tenang. Aku bisa lebih leluasa mengatur waktu istirahat tanpa ada yang memanggil, lalu menyuruh banyak hal. Hanya satu saja yang kurang, hati betapa rindu wajah lucu kedua bayiku. Sayangnya, aku tak bisa melihat mereka setiap hari karena mereka harus tinggal sementara di rumah Ibu.Teman-teman juga tak canggung untuk nonton bareng acara bola saat di rumah tak ada Zara. Mau tidur jam berapapun, tak ada yang protes.Seringkali, kuajak mereka menghabiskan malam untuk taruhan nonton klub bola kesukaan atau main Play Station di ruang tamu.Jangan menduga, jika aku tak cinta dan peduli pada istriku! Dengan keputusanku seperti ini, adalah bukti cinta padanya. Lebih baik kubiarkan ia bersama Ibu, belajar bagaimana baiknya menjadi orang tua, daripada terus bersamaku dengan segunung amarah yang terus dilampiaskan padaku, sebagai imam di hidupnya. Sebab, saat bersamaku, rasanya apapun yang kulakukan sel
"Lha, Mbak Zara gak pakai kemben, ya?" Bu Sarinah memandangku dengan dengan lekat.Aku menghela napas. Dari pertama kedatanganku ke sini, beliau memang sering mengomentari apa yang kulakukan. Dari mulai makanan yang disantap, kebiasaan tidur pagi dan siang, masih di luar rumah saat waktu ashar tiba dan larangan-larangan lain yang selalu dihubungkan dengan hal mistis. "Enggak, Bu. Pengap," jawabku santai."Nanti buncit lho perutnya," seru Bu Sarinah heboh sendiri."Mbak Zara, Ibu punya anak tujuh, tapi perut Ibu enggak tuh bergelambir kayak ibu-ibu zaman sekarang. Karena Ibu selalu pakai kemben abis lahiran." Bu Sarinah malah curhat tentang dirinya, aku serasa dipojokkan karena punya pilihan sendiri."Aku biasa olahraga, kok Bu. Nanti, kalau udah bener-bener pulih, aku pasti olahraga. Bukan hanya perut yang harus dijaga, Bu, tapi seluruh badan. Kalau olahraga rutin, bukan hanya perut yang bakal langsing, tapi seluruh badan.""Mba
PoV Zara"Ya ampun, Zara. Jangan tidur siang, gak baik buat ibu menyusui!"Aku tersentak saat hampir saja benar-benar terlelap. Rasa pusing mendera seluruh bagian kepala. Seperti biasa, semalaman Haura dan Hanum terus menangis, entah karena apa. Sempat berkonsultasi dengan bidan, dia berkata kemungkinan kedua bayiku kena kolik. Mereka mau tidur dan terlelap setelah adzan subuh. Setelahnya pun harus tetap dibangunkan untuk diberi ASI selama dua jam sekali."Ibu, aku semalam cuma tidur sebentar. Sejam aja gak nyampe. Aku butuh istirahat," protesku lemas karena kedua mataku juga sudah sangat berat."Lha, emang semua ibu melahirkan itu biasanya kurang tidur, Zara. Nanti, anak udah gede bisa puas-puasin lagi tidur seharian. Jangan kebluk, kamu!""Aku kan harus sehat juga, Bu. Kalau kurang istirahat nanti sakit, pengaruh juga sama Haura dan Hanum." Aku mencoba mengeluarkan pendapat sendiri. Faktanya, jika tidur kurang, badan akan terasa lemas d
Mereka ini ada-ada saja. Kenapa kelakuanku dikait-kaitkan dengan hal mistis?Seandainya dibandingkan, aku lebih memilih mendatangi psikolog tadi ketimbang Ustadz Samsul. Hanin, sesama perempuan enak untuk diajak bicara. Setidaknya, ada telinga yang bersedia mendengar keluh kesahku. Tidak seperti Mas Haidar, telinga saja ia tutup kala aku berkeluh. Selalu ada senjata untuk menghentikan kesahku, yaitu kalimat 'aku kurang iman dan kurang sabar.'Akhirnya, kami pulang kembali ke rumah tepat setelah adzan zuhur masjid terdekat usai dikumandangkan. "Tadinya Ibu mau nginap di sini, tapi Ibu gak bisa ninggalin kegiatan desa, Haidar. Sebagai ketua ibu-ibu PKK, Ibulah yang bertanggungjawab."Terdengar perbincangan Mas Haidar dan Ibu di ruang tamu saat aku berbaring di atas kasur tengah menyusui Haura dan Hanum secara bersamaan."Bagaimana kalau Zara tinggal di rumah Ibu dulu, Haidar? Selain Zara akan terbantu, Ibu bisa memantau kedua cucu Ibu. Set
PoV Zara"Ngapain Mas bawa aku ke sini?" Aku protes saat memasuki pekarangan rumah Ustad Samsul, ustadz yang terkenal dengan berbagai macam pengobatan, terlebih orang yang sakit karena bersangkut-paut dengan ilmu gaib."Ketemu teman lagi? Sejak kapan Mas berteman dengan Ustadz Samsul?" "Zara, kamu itu harus diobati. Ibu jelaskan, ya. Kamu itu ketempelan makhluk gaib. Makanya, kemarin sampai tega membuang cucu Ibu, Haura dan Hanum, anak kandung kamu sendiri," sahut Ibu, menyambar pertanyaan yang semula kutujukan untuk Mas Haidar.Aku tahu, perempuan yang bernama Hanin tadi bukanlah istri dari teman Mas Haidar. Dia seorang psikolog. Aku hanya diam saja tatkala Mas Haidar dan Ibu meninggalkan kami untuk mengobrol empat mata. Lagipula, aku memang butuh teman bercerita. Jadi, tak ada salahnya jika aku mengungkapkan pada psikolog itu, bukan? Kurasa, dia tak akan menghakimiku seperti ibu atau para tetangga. Sayangnya, Mas Haidar dan Ibu mengir
"Kata orang lain menjadi ibu itu bahagia. Itu kata orang lain," ungkap Zara kemudian. Sesungguhnya, ia sangat ingin meluapkan apa yang kini dirasakan hatinya. Namun, Zara menahan diri untuk tak terlalu terbuka pada perempuan yang baru saja ditemuinya. Barangkali, di luar ia adalah bagian dari ibu-ibu gosip. "Apa Mbak Zara gak termasuk bagian orang lain itu?" Hanin mulai masuk ke dalam topik utama. Tentu, harus sangat berhati-hati."Bisa ya, bisa tidak." Jawaban yang ambigu.Namun, dengan status dan gelarnya sebagai psikolog, tentu Hanin sudah tahu jawaban yang disembunyikan Zara. Ia hanya ingin Zara bercerita seluruh hal padanya agar ibu baru itu merasa lega karena menumpahkan kesahnya. Menurut Hanin, sekuat apapun seorang wanita akan selalu ada masa dimana ia membutuhkan sandaran dan tempat bercerita. Sebab, manusia tetaplah manusia yang saling membutuhkan telinga orang lain untuk didengarkan.Sebenarnya, kasus Zara bukanlah kasus langka baginya
PoV PembacaSejenak, dua orang yang saling berhadapan di ambang pintu itu bergeming. Haidar sempat tak berkedip melihat perempuan yang bernama Hanin itu adalah teman dekatnya semasa SMA dulu. Sempat dekat dan saling suka, tetapi pada saat itu mereka tak mampu saling mengungkap rasa. Namanya anak muda yang belum pernah pacaran, tentu mereka canggung dan fokus belajar saja.Beberapa detik berikutnya, Hanin mempersilakan mereka masuk dengan ramah. Memanggil seorang pelayannya ke belakang, lalu sang pelayan membawakan tiga gelas teh hangat dan camilan ringan."Kukira, yang di pesan itu bukan kamu, Haidar," celetuk Hanin membuat Zara menengadah.Haidar tampak salah tingkah. Tentu, ia tak mau membuat Zara salah paham."Hanin, suami kamu mana?""Suami?" Hanin berkerut kening. Beberapa kali Haidar mengedipkan matanya pada Hanin, memberi kode untuk dia mengerti.Tentu saja perempuan itu paham dan enggan untuk berbohong. Ia mengal
"Mas.."Aku tersenyum, meski dalam hati prihatin melihat ia begitu tak terurus."Haura dan Hanum. Aku telah membuangnya." Belum apa-apa, ia sudah menangis lagi."Hari ini kita jemput mereka, ya. Pasti mereka kangen sama bundanya," hiburku, berharap Zara bisa menjalani peran sebagai seorang ibu seperti yang lainnya.Tiba-tiba, kepalanya tertunduk. Seperti tengah memikirkan banyak hal yang berat. Detik berikutnya, ia berbicara sembari terus melirik selimutnya yang telah basah disiram embun yang mengalir dari matanya."Aku takut dan aku gak akan sanggup."Entah harus bagaimana aku menanggapi perkataan Zara. Semua ibu pasti akan merasakan kerepotan merawat bayi. Kenapa aku tak melihat ketulusan seorang ibu terpancar darinya?Aku menghela napas. Di tengah kebuntuan seperti ini untungnya Ibu datang. Suara salam terdengar membuat Zara mengubah posisi duduknya. Ada kekhawatiran tergambar pada raut wajah yang kusut itu.
"Zara, ini Haura nangis. Kayaknya haus. Agak cepat di kamar mandinya, ya," teriak Ibu dari arah dapur.Aku yang tengah menunaikan hajat mendengkus kesal. Bagaimana tidak? Baru saja kususui Hanum, kini Haura sudah meraung-raung lagi. Tak bisakah aku sedikit mengistirahatkan tubuh? Satu atau dua jam saja. Bagaimana pun aku butuh waktu istirahat. Terlebih, puting sebelah kananku lecet karena belum keluar ASI sedikit pun."Zara, cepat, dong!" Sekali lagi, suara Ibu melengking mengetuk gendang telinga. Ingin rasanya kusumpal kedua telingaku agar tangisan kedua bayi itu tak terus menerorku.Haura dan Hanum, anak kembar yang baru saja kulahirkan tiga hari yang lalu. Tangisan mereka silih berganti memenuhi pendengaran. Mengganggu waktu tidurku di malam hari dan mengusik ketenanganku ketika siang. Bahkan saat aku di kamar mandi seperti ini, mereka masih saja mengganggu. Tapi, aku tak bisa kabur dari tanggung jawab ini. Menyadari, statusku saat ini sudah berubah menjadi seorang ibu."Zara! Nga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments