Kedua bayi kecilku tengah bermain saat azan maghrib berkumandang. Aku sengaja memanfaatkan waktu senggang untuk menghabiskan makanan tadi pagi yang kupesan. Siomay tahu ikan tenggiri yang sudah dingin dan sepotong bakso sisa pagi masih tersisa.
Awet sekali bila menghabiskan makanan akhir-akhir ini. Lumayan juga, mengirit uang jajanku. Tak lupa, sayur bening daun katuk buatan ibu mertua kuhabiskan sampai tak bersisa. Sepiring nasi yang kupesan dari warteg tersaji bercampur sayur.Syukurku terpanjat kala bisa makan enak tanpa tergesa. Hal ini menjadi momen yang sangat sulit kucari setelah melahirkan. Setelah seluruh piring, mangkuk dan gelas kosong, aku menepikan semuanya ke sudut kamar. Biar saja kubersihkan besok.Dering gawaiku berbunyi, aku segera mengangkatnya. Salam terucap dari lisan Mas Haidar yang berbicara lewat sambungan telepon. Lekas, kujawab salam dengan berbisik agar tak menganggu tidur Haura dan Hanum."Zara, malam ini temen-temen kerjaku mau nengok anak kita. Tolong pesankan makanan di online, ya," titah Mas Haidar, langsung disambut pertanyaan olehku."Uangnya gimana, Mas?""Kamu pakai aja dulu yang ada. Nanti juga terganti."Berpikir sejenak, kuingat uang simpanan bekas lahiran kemarin masih ada. Uang risiko pun masih aman. Tak apalah, jika dibelikan makanan untuk sajian tamu. Toh, niat mereka juga baik, ingin melihat kedua anakku yang baru lahir."Beli apa, Mas?" Tanyaku kedua kali."Terserah, atur saja," jawabnya lembut."Berapa orang yang mau ke sini?""Sekitar sepuluh orang, Zara."Setelah percakapan berakhir segera kusentuh ikon bergambar telepon warna merah. Beralih pada aplikasi pesan makan online, dan memilih beberapa menu makanan dan camilan untuk sajian nanti.Telepon berdering kembali. Kali ini dari Jeni, temanku semasa kerja di restoran ramen dulu. Setelah menanyakan kabar dan berbasa-basi sebentar, akhirnya Jeni mengabarkan bahwa besok, teman-teman dari Ramen Oishi Grup akan datang juga menengok kedatangan dua bayi kecilku."Restoran kan tutupnya malam, Jen. Kalian mau ke sini jam berapa?" Tanyaku pada Jeni.Teringat bahwa restoran bekas kerjaku dulu itu, tutup malam sekitar jam sepuluh."Si bos mengizinkan kami buat tutup lebih awal, Za. Katanya, kalau ada waktu, dia juga mau ikut," jawab Jeni bersemangat.Mendengar berita itu, tentu saja aku bahagia karena akan dipertemukan dengan teman-teman seperjuangan dulu."Kutunggu, ya, Jen," tutupku mengakhiri telepon.Saat yang bersamaan, dua bayi mungilku bangun. Mereka seperti janjian untuk membuka mata di waktu yang sama. Waktu yang kurencakan untuk dipakai tidur. Gagal lagi, kan, rencana tidurku.Dua pasang mata mereka yang belum jelas melihat dunia, terarah menuju wajahku. Andai sudah bisa bicara, kira-kira mereka sedang bicara apa, ya?Spontan, bibirku terangkat ke atas. Melihat Haura dan Hanum anteng begini, tak menangis ataupun rewel. Seolah mengerti bahwa ibunya tengah menahan sakit."Tadi, Haura dan Hanum main ke rumah Nenek, ya?" Aku mulai mengajak mereka bercengkerama. Sesekali, punggung telunjukku menyentuh pipi mereka yang gempal.Ada senyum yang terlihat dari bibir mungil Haura. Disusul Hanum, saat telunjukku mengusap mereka secara bergantian."Doakan Bunda agar cepat sehat, ya, Sayang. Bunda udah gak sabar mau ajak Haura dan Hanum jalan-jalan. Kalian juga cepat besar, ya. Biar nanti, tak perlu Bunda gendong. Kalian jalan sambil menggandeng tangan Bunda nanti."Kata bidan, seorang ibu harus sering mengajak bicara bayinya agar bayi tersebut terstimulasi. Bahkan, sedari hamil, aku sering mengajak mereka berbicara. Walau jawabannya belum kuketahui, tapi mereka mendengar dan meresapinya.Azan isya menggema. Terdengar pula suara beberapa kendaraan yang mendekati halaman rumah. Dugaanku benar, itu adalah Mas Haidar dan kawan-kawannya.Kuraih jilbab instan yang tergeletak di atas bantal. Segera memakai dan merapikan daster yang telah kusut. Mas Haidar membuka pintu rumah yang sengaja tak kukunci. Hirap langkah kaki berjalan dari teras menuju ruang tamu. Pintu kamar terbuka. Muncul Mas Haidar dengan setengah badan dimasukkan ke dalam kamar.Ia menghampiriku, lantas aku menyambar tangan dan mencium punggung tangannya."Wah, kebetulan Haura dan Hanum bangun. Tau mau ada yang nengok, ya," ujar Mas Haidar, mendekat menuju dua bayi kecilku yang tengah membuka mata mereka. Tatapannya lurus menuju pria yang semringah malam ini."Mas, makanannya masih dalam perjalanan. Tungguin, ya." Aku mengingatkan jamuan yang dipesan online.Mas Haidar hanya mengangguk. Matanya tak lepas dari tubuh mungil di hadapan."Aku bawa mereka ke depan, gak apa-apa, ya?" Begitu bersemangatnya Mas Haidar memamerkan anak kembar kami pada teman-temannya.Aku mengangguk. Sebelumnya, kuraih matras berukuran besar sebagai alas Haura dan Hanum nanti berbaring di sana. Mas Haidar terlihat ceria saat Haura dan Hanum digendong secara bergantian ke ruang tamu yang dijejali rekan-rekan kerjanya."Aku di sini aja, ya, Mas. Malas jalan, masih sakit," ungkapku. Lagi, hanya dibalas anggukan olehnya."Jangan ada yang sembarangan cium, ya, Mas. Kalau mau gendong juga hati-hati. Kasihan nanti badan Haura dan Hanum sakit kalau salah gendong," pesan panjangku hanya berbalas sebuah kata."Iya," jawabnya, lalu menutup pintu kamar.Beberapa menit berlalu, akhirnya ada waktu untukku rebahan sejenak. Namun, kenapa hati ini tak tenang menitipkan si kembar pada ayahnya?Hendak menutup kedua mata, suara Hanum dan Haura secara bersamaan membuat mataku urung untuk terpejam. Keduanya menangis entah karena apa. Terpaksa, walaupun sakit aku bangkit dari posisi nyaman, merayap menuju ruang tamu.Betapa kagetnya aku, saat seorang wanita paruh baya tengah menyuapi pisang muli pada kedua anakku yang digendong dua wanita di sebelahnya."Berhenti! Apa ini maksudnya?"Semua pasang mata menoleh pada sumber suara. Seorang wanita muda yang mengais Hanum menatap penampilanku dari atas sampai bawah.Perempuan yang memegang pisang muli itu berhenti. Ia menurunkan pisang yang baru saja dikerok sendok untuk diberikan pada Hanum dan Haura."Ibu memberikan anak saya pisang?" Entah siapa dia, yang jelas dari seragamnya tampak berwibawa.Perempuan berkacamata tebal itu mengangguk seraya menjawab, "Iya. Biar sehat, Nduk. Dulu, anak-anak Ibu juga dikasih pisang waktu usia mereka dua bulan." Tanpa merasa bersalah sedikitpun, ia menjawab dengan senyum lebar."Kok Ibu kasih anak saya pisang gak izin dulu sama mamanya?" Tentu saja aku protes. Bagaimana bisa bayi belum genap satu minggu sudah diberi pisang. Harusnya, pisang itu diberikan saat bayi sudah memulai MP-ASI.Melihatku berkata dengan nada tak enak, Mas Haidar menghampiri dan menyentuh bahuku. Pertanda, ia ingin aku menyudahi sikap yang terkesan tak sopan pada tamu."Pisang itu bahaya buat bayi usia di bawah enam bulan, Bu. Apalagi anak saya baru tiga hari di dunia. Ibu mau anak saya kenapa-kenapa?" Bukannya berhenti, aku malah menjadi.Sebelumnya, aku paling anti berdebat dengan orang. Namun, saat berhubungan dengan kedua anakku, aku tak akan tinggal diam. Bagaimana jika terjadi apa-apa pada bayiku?Ibu itu masih saja bergeming. Memandang pisang di tangannya, lalu menunduk tak menjawab. Hanya ada tiga perempuan di sana. Ibu paruh baya dan kedua wanita muda yang menggendong Hanum dan Haura.Melihat reaksiku yang jauh dari dugaan, Mas Haidar menarik lenganku untuk masuk ke dalam kamar. Dengan langkah tertatih, terpaksa aku mengikutinya."Zara, sudahlah. Lagian, Bu Sri itu berpengalaman kok. Anaknya enam, sudah besar semua dan sehat-sehat saja. Malah dia sudah punya cucu," protes Mas Haidar menasihati.Mungkin ia malu karena aku bertindak tak sopan dan gegabah di depan para tamunya. Namun, tak berpikirkah ia tentang kesehatan Haura dan Hanum?"Kalau mau bertindak kayak gitu, ke cucunya aja, Mas. Jangan ke anak kita. Itu lebih gak sopan namanya. Kalau berpengalaman, gak akan sembarangan kasih makan bayi orang.""Ya udah. Tenang, ya. Jangan emosi gitu, dong. Niat Bu Sri, kan, baik. Aku yakin Haura dan Hanum akan baik-baik aja. Cuma baru beberapa suap, kok, makan pisangnya.""Memangnya dia siapa, sih?""Dia atasan aku, Zara. Jadi, jangan berulah. Nanti aku dipecat. Aku akan sampaikan permintaan maafmu untuknya."Pasrah, kuhela napas panjang. Segunung kecemasan melanda relung hati."Cepat bawa Haura dan Hanum kembali ke sini, Mas," suruhku pada Mas Haidar, agar kedua anakku dikembalikan. Aku tak mau mereka melakukan hal lain yang lebih ekstrim dengan dalih 'dulu juga seperti ini.'Mas Haidar mengangguk dan segera kembali pada tamu-tamunya.Bersambung..."Maafkan Bunda, ya, Sayang. Bunda harusnya ikut temani kalian ke sana," lirih ucapanku berbisik di kedua telinga Haura dan Hanum yang berada dalam dekapan.Kedua bayiku masih tampak anteng dan bermain. Sesekali mereka memberikan upah pada kelelahanku. Segaris senyum di bibir mereka yang menenangkan. Segera kuganti pakaian bawah Haura saat menyadari lenganku basah. Hanum diletakkan di sebelahnya.Saat mereka asyik bermain seperti ini, aku merasa menjadi manusia normal. Layaknya seorang ibu yang melimpahkan cinta untuk anaknya. Kuasuh dan belai penuh cinta. Teringat kejadian tadi pagi, saat kumarahi mereka karena terus menangis tanpa henti. Menambah lelah dan pikiran sehingga penuh beban.Sesal di hati terbit. Harusnya, aku lebih sabar. Tak murka hilang kendali. Terlebih, sempat enggan me nyu sui dan mencubit makhluk tak berdosa itu."Maafkan, Bunda, ya, Haura dan Hanum. Bunda tahu, Bunda bukan orang tua yang baik. Tapi, Bunda akan berusaha lebih ba
Lebih dari setengah jam mereka menempel di tubuhku, rasanya kelopak mataku mulai berat. Dapat kurasakan mereka masih menyedot ASI yang keluar begitu deras. Berbeda dengan kemarin, seret dan sulit sekali keluar. Malam ini, bagai hujan yang menghujam tanah hingga banjir, kedua anakku akan tidur kekenyangan.Membayangkan mereka akan tidur lelap setelah ini dan aku akan melakukan hal sama. Aku menguap lebar, tanpa bisa kututup dengan telapak tangan. Kulirik jam yang menggantung di dinding.Pukul sebelas.Akhirnya, sesuai harapan, kedua anakku tidur lelap dan melepaskan lekatan bibir mereka dari tubuhku. Kuletakkan satu-persatu perlahan. Menahan luka jahitan yang akan terasa perih jika bergerak agak jongkok, saat meletakkan bayi.Kurentangkan kaki sembari meregangkan seluruh otot yang mengeras. Pegal sekali! Andai saja punya robot pemijit tubuh, aku akan menjadi orang pertama yang membeli.Saat kelopak mata mulai menutup dan kesadaran hendak b
Penawaran Mas Haidar seperti basa-basi saja. Saat ia bertanya butuh bantuan atau tidak, tubuhnya mematung di ambang pintu. Sedikitpun tak mendekat.Menahan sesuatu yang tercekat di tenggorokan, sekuat mungkin aku berusaha menjawab. "Gak perlu. Bola lebih penting daripada Haura dan Hanum," sahutku ketus.Mas Haidar mengangkat sebelah alisnya. Memandangku bingung."Kenapa jawabnya gitu, Zara? Apa aku gak boleh menghibur diri dari jenuhnya pekerjaan?"Kali ini, Mas Haidar malah berbalik menyerang. Andai dia tahu, setelah Hanum dan Haura lahir, tak ada waktu untukku mengusir jenuh. Berbeda dengan Mas Haidar yang masih bebas dengan aktivitas menyenangkan diri sendiri. Bergaul dengan kawan-kawan tanpa peduli bagaimana keadaan rumah, istri dan anaknya.Mas Haidar tak pernah kehilangan dunianya. Berbeda jauh dengan kehidupanku yang berubah seratus delapan puluh derajat."Silakan aja kalau mau pergi. Aku sudah biasa ditinggal." Berpura-pu
Perih di bekas luka jahit tiba-tiba menggerogoti kulit. Semakin pecah tangisanku, luka itu semakin menggigit. "Aaarrrghhhh!"Badanku luruh di lantai saat itu juga. Punggungku yang lemas bersandar pada pintu. Berkali, kuketuk keras pintu oleh kepala bagian belakang. Biar saja mati saat ini juga, ketimbang harus mereguk sendiri derita.Semakin kencang gamparan kepalaku di pintu. Tiba-tiba kepalaku mulai berputar. Ya Allah.. apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus membunuh kedua bayiku untuk mengakhiri derita ini?Ayah, Ibu. Cepatlah datang ke sini. Aku butuh kalian. Aku membatin dalam isakan yang terus berkumandang. Haura dan Hanum tak jua berhenti menangis.Habis tenaga, rasanya aku pasrah. Kuletakkan Haura dan Hanum di lantai. Tak peduli dingin dan angin yang menyelinap dari celah pintu. Mereka terus meraung entah mau apa.Kupejamkan mata. Merenungi kehidupan yang terasa menyiksa. Salah apa aku, Tuhan? Sehingga Engkau menghuku
Setelah begadang semalaman, kelopak mataku sudah tak bisa ditahan lagi. Fajar mulai terbit dari ufuk timur. Jam-jam dimana kedua bayiku tidur nyenyak setelah terjaga hingga dinihari.Mengurus dua bayi sendirian seringkali membuatku lupa melakukan hal-hal penting lain di rumah. Seperti yang terjadi kemarin, saat Ibu menyuruhku untuk makan. Tak sempat menanak nasi ataupun mengolah makanan. Kalaupun ingat, rasanya tubuhku tak akan kuat.Empat hari terakhir, kuisi perut dengan memesan makanan online. Walaupun tak masalah bagi Mas Haidar, tetap saja mulut Ibu tak diam. Beberapa kali dia menasihatiku, jangan jadi perempuan malas dan manja. Menjadikan alasan melahirkan sebagai senjata agar semuanya serba instan. Padahal, kondisi Ibu dulu saat melahirkan, tentu berbeda dengan apa yang kualami sekarang.Saat kubaringkan tubuh di atas kasur, layar gawaiku bergetar. Sebuah pesan masuk, dari Ibu.[Zara, hari ini Ibu gak bisa main sama cucu-cucu Ibu. Ada bupat
"Maaf, Zara. Aku ketiduran di rumah Tio."Sudah kuduga. Kebiasaan dari bujangannya tak pernah hilang. Waktu hamil pun, bukan sekali dua kali Mas Haidar tertidur di rumah temannya karena keasyikan ngobrol dengan mereka. Kadang tertidur, pulang pagi. Dulu, selalu kumaklumi. Namun, saat ini dia telah mempunyai seorang anak yang masih bayi. Apa masih pantas bersikap layaknya bujang?Tubuhku luruh di atas kursi. Kepalaku terasa berdenyut sekali karena tidur terganggu. Mas Haidar masuk ke dapur, lalu membuka tudung saji. Dirinya garuk-garuk kepala sambil celingukan ke lemari."Gak ada nasi, Za?" Teriaknya dari arah dapur.Mungkin, pertanyaan Mas Haidar adalah wajar. Entah mengapa, jiwaku begitu bergejolak saat ia pulang menginap dari rumah Tio, lalu menanyakan nasi padaku. Jelas-jelas, aku kesulitan untuk memasak."Minta aja sama Tio, aku gak masak," jawabku ketus.Mas Haidar berbalik ke ruang tamu. Dia duduk di kursi lain di sampingku
Kuputuskan untuk mengistirahatkan tubuh. Menjauhi perdebatan yang Mas Haidar pun enggan melanjutkan.Kuedarkan mata ke sekeliling rumah. Piring dan mangkuk berserakan. Debu di lantai menebal. Cucian menumpuk di keranjang yang tersimpan di sudut dapur. Mumpung bayiku tengah tertidur, lebih baik aku kerjakan semuanya.Namun, saat langkahku terasa menyiksa karena letihnya tubuh, aku urung bergerak. Bagaimana pun, aku harus menunaikan hak mata untuk terlelap. Kupandangi wajahku di cermin kecil yang tersimpan di atas kepala Haura. Kantung mataku menebal. Kulitku juga tampak tak segar. Sebelum memejamkan mata, aku mengirimkan pesan pada Mas Haidar yang berada di teras. Untuk mengampirinya akan sangat merepotkan. [Makanan sudah kupesan. Kamu makan duluan aja. Punyaku, simpan di atas meja.]Pesan langsung terbaca. Tak ada balasan dari Mas Haidar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk. Aku segera membukanya.[Hai, Zara. Ini aku Jeni
Nampaknya Mas Haidar sempat menimbang waktu. Ia melirik arloji di pergelangan tangannya."Aku gak lama kok, Zara.""Emangnya bantu gendong Haura atau Hanum menghabiskan waktu berapa jam, Mas?" Tembakku, bertambah sebal padanya."Dalam dua puluh empat jam, apa kamu sempat menyisihkan waktu untuk mereka?""Jangan sampai Haura dan Hanum kehilangan sosok ayah dalam hidupnya!"Aku melayangkan teguran bertubi-tubi. Tak peduli dosa yang akan kudapatkan karena membentak suami, batin ini terlanjur gondok."Kalau begini jadinya, buat apa kamu jadi ayah, Mas? Gendong mereka aja, anti sekali!"Mas Haidar masih saja bergeming di tempat. Beberapa detik kemudian, akhirnya dia maju beberapa langkah. Mengambil Hanum yang semula berada dalam gendonganku sebelah kiri.Gerakannya mengikutiku. Saat kuayunkan Haura ke kanan dan kiri, Mas Haidar melakukan hal yang sama. Nampak sekali saat ia menggendong masih kaku. Bisa terhitung jari
"Jadi, bagaimana solusinya, Hanin?""Ya, solusinya kamu sendiri. Jadilah orang paling siaga buat istri kamu. Yang dia butuhkan saat ini adalah dukungan dan bantuan. Tolonglah mengerti dengan kehidupannya yang berubah seratus delapan puluh derajat itu. Sudah kukatakan, dokter Zara yang sesungguhnya adalah kamu, suaminya sendiri.""Apa menurut kamu aku kurang mengerti padanya? Uangku selalu kuberikan,"Tut. Tut. Tut.Panggilan tiba-tiba terputus dan layar gawaiku tak lagi menyala. Sial! Baterainya habis.Setelahnya, aku tak bertanya lagi pada Hanin, dia pun sepertinya enggan lagi menghubungi. Namun, kali ini aku mulai berpikir kembali, kapankah bisa kulihat Zara yang penyayang? Yang menimbang anak-anaknya dengan ikhlas tanpa berang. Sebuah perasaan menggangguku kembali. Aku harus berbicara empat mata dengan Hanin, sebagai psikolog ia pasti tahu solusinya bagaimana. Aku tak mau hubunganku dengan Zara akan terus seperti ini.
PoV HaidarKepulangan Zara ke rumah Ibu membuatku lebih tenang. Aku bisa lebih leluasa mengatur waktu istirahat tanpa ada yang memanggil, lalu menyuruh banyak hal. Hanya satu saja yang kurang, hati betapa rindu wajah lucu kedua bayiku. Sayangnya, aku tak bisa melihat mereka setiap hari karena mereka harus tinggal sementara di rumah Ibu.Teman-teman juga tak canggung untuk nonton bareng acara bola saat di rumah tak ada Zara. Mau tidur jam berapapun, tak ada yang protes.Seringkali, kuajak mereka menghabiskan malam untuk taruhan nonton klub bola kesukaan atau main Play Station di ruang tamu.Jangan menduga, jika aku tak cinta dan peduli pada istriku! Dengan keputusanku seperti ini, adalah bukti cinta padanya. Lebih baik kubiarkan ia bersama Ibu, belajar bagaimana baiknya menjadi orang tua, daripada terus bersamaku dengan segunung amarah yang terus dilampiaskan padaku, sebagai imam di hidupnya. Sebab, saat bersamaku, rasanya apapun yang kulakukan sel
"Lha, Mbak Zara gak pakai kemben, ya?" Bu Sarinah memandangku dengan dengan lekat.Aku menghela napas. Dari pertama kedatanganku ke sini, beliau memang sering mengomentari apa yang kulakukan. Dari mulai makanan yang disantap, kebiasaan tidur pagi dan siang, masih di luar rumah saat waktu ashar tiba dan larangan-larangan lain yang selalu dihubungkan dengan hal mistis. "Enggak, Bu. Pengap," jawabku santai."Nanti buncit lho perutnya," seru Bu Sarinah heboh sendiri."Mbak Zara, Ibu punya anak tujuh, tapi perut Ibu enggak tuh bergelambir kayak ibu-ibu zaman sekarang. Karena Ibu selalu pakai kemben abis lahiran." Bu Sarinah malah curhat tentang dirinya, aku serasa dipojokkan karena punya pilihan sendiri."Aku biasa olahraga, kok Bu. Nanti, kalau udah bener-bener pulih, aku pasti olahraga. Bukan hanya perut yang harus dijaga, Bu, tapi seluruh badan. Kalau olahraga rutin, bukan hanya perut yang bakal langsing, tapi seluruh badan.""Mba
PoV Zara"Ya ampun, Zara. Jangan tidur siang, gak baik buat ibu menyusui!"Aku tersentak saat hampir saja benar-benar terlelap. Rasa pusing mendera seluruh bagian kepala. Seperti biasa, semalaman Haura dan Hanum terus menangis, entah karena apa. Sempat berkonsultasi dengan bidan, dia berkata kemungkinan kedua bayiku kena kolik. Mereka mau tidur dan terlelap setelah adzan subuh. Setelahnya pun harus tetap dibangunkan untuk diberi ASI selama dua jam sekali."Ibu, aku semalam cuma tidur sebentar. Sejam aja gak nyampe. Aku butuh istirahat," protesku lemas karena kedua mataku juga sudah sangat berat."Lha, emang semua ibu melahirkan itu biasanya kurang tidur, Zara. Nanti, anak udah gede bisa puas-puasin lagi tidur seharian. Jangan kebluk, kamu!""Aku kan harus sehat juga, Bu. Kalau kurang istirahat nanti sakit, pengaruh juga sama Haura dan Hanum." Aku mencoba mengeluarkan pendapat sendiri. Faktanya, jika tidur kurang, badan akan terasa lemas d
Mereka ini ada-ada saja. Kenapa kelakuanku dikait-kaitkan dengan hal mistis?Seandainya dibandingkan, aku lebih memilih mendatangi psikolog tadi ketimbang Ustadz Samsul. Hanin, sesama perempuan enak untuk diajak bicara. Setidaknya, ada telinga yang bersedia mendengar keluh kesahku. Tidak seperti Mas Haidar, telinga saja ia tutup kala aku berkeluh. Selalu ada senjata untuk menghentikan kesahku, yaitu kalimat 'aku kurang iman dan kurang sabar.'Akhirnya, kami pulang kembali ke rumah tepat setelah adzan zuhur masjid terdekat usai dikumandangkan. "Tadinya Ibu mau nginap di sini, tapi Ibu gak bisa ninggalin kegiatan desa, Haidar. Sebagai ketua ibu-ibu PKK, Ibulah yang bertanggungjawab."Terdengar perbincangan Mas Haidar dan Ibu di ruang tamu saat aku berbaring di atas kasur tengah menyusui Haura dan Hanum secara bersamaan."Bagaimana kalau Zara tinggal di rumah Ibu dulu, Haidar? Selain Zara akan terbantu, Ibu bisa memantau kedua cucu Ibu. Set
PoV Zara"Ngapain Mas bawa aku ke sini?" Aku protes saat memasuki pekarangan rumah Ustad Samsul, ustadz yang terkenal dengan berbagai macam pengobatan, terlebih orang yang sakit karena bersangkut-paut dengan ilmu gaib."Ketemu teman lagi? Sejak kapan Mas berteman dengan Ustadz Samsul?" "Zara, kamu itu harus diobati. Ibu jelaskan, ya. Kamu itu ketempelan makhluk gaib. Makanya, kemarin sampai tega membuang cucu Ibu, Haura dan Hanum, anak kandung kamu sendiri," sahut Ibu, menyambar pertanyaan yang semula kutujukan untuk Mas Haidar.Aku tahu, perempuan yang bernama Hanin tadi bukanlah istri dari teman Mas Haidar. Dia seorang psikolog. Aku hanya diam saja tatkala Mas Haidar dan Ibu meninggalkan kami untuk mengobrol empat mata. Lagipula, aku memang butuh teman bercerita. Jadi, tak ada salahnya jika aku mengungkapkan pada psikolog itu, bukan? Kurasa, dia tak akan menghakimiku seperti ibu atau para tetangga. Sayangnya, Mas Haidar dan Ibu mengir
"Kata orang lain menjadi ibu itu bahagia. Itu kata orang lain," ungkap Zara kemudian. Sesungguhnya, ia sangat ingin meluapkan apa yang kini dirasakan hatinya. Namun, Zara menahan diri untuk tak terlalu terbuka pada perempuan yang baru saja ditemuinya. Barangkali, di luar ia adalah bagian dari ibu-ibu gosip. "Apa Mbak Zara gak termasuk bagian orang lain itu?" Hanin mulai masuk ke dalam topik utama. Tentu, harus sangat berhati-hati."Bisa ya, bisa tidak." Jawaban yang ambigu.Namun, dengan status dan gelarnya sebagai psikolog, tentu Hanin sudah tahu jawaban yang disembunyikan Zara. Ia hanya ingin Zara bercerita seluruh hal padanya agar ibu baru itu merasa lega karena menumpahkan kesahnya. Menurut Hanin, sekuat apapun seorang wanita akan selalu ada masa dimana ia membutuhkan sandaran dan tempat bercerita. Sebab, manusia tetaplah manusia yang saling membutuhkan telinga orang lain untuk didengarkan.Sebenarnya, kasus Zara bukanlah kasus langka baginya
PoV PembacaSejenak, dua orang yang saling berhadapan di ambang pintu itu bergeming. Haidar sempat tak berkedip melihat perempuan yang bernama Hanin itu adalah teman dekatnya semasa SMA dulu. Sempat dekat dan saling suka, tetapi pada saat itu mereka tak mampu saling mengungkap rasa. Namanya anak muda yang belum pernah pacaran, tentu mereka canggung dan fokus belajar saja.Beberapa detik berikutnya, Hanin mempersilakan mereka masuk dengan ramah. Memanggil seorang pelayannya ke belakang, lalu sang pelayan membawakan tiga gelas teh hangat dan camilan ringan."Kukira, yang di pesan itu bukan kamu, Haidar," celetuk Hanin membuat Zara menengadah.Haidar tampak salah tingkah. Tentu, ia tak mau membuat Zara salah paham."Hanin, suami kamu mana?""Suami?" Hanin berkerut kening. Beberapa kali Haidar mengedipkan matanya pada Hanin, memberi kode untuk dia mengerti.Tentu saja perempuan itu paham dan enggan untuk berbohong. Ia mengal
"Mas.."Aku tersenyum, meski dalam hati prihatin melihat ia begitu tak terurus."Haura dan Hanum. Aku telah membuangnya." Belum apa-apa, ia sudah menangis lagi."Hari ini kita jemput mereka, ya. Pasti mereka kangen sama bundanya," hiburku, berharap Zara bisa menjalani peran sebagai seorang ibu seperti yang lainnya.Tiba-tiba, kepalanya tertunduk. Seperti tengah memikirkan banyak hal yang berat. Detik berikutnya, ia berbicara sembari terus melirik selimutnya yang telah basah disiram embun yang mengalir dari matanya."Aku takut dan aku gak akan sanggup."Entah harus bagaimana aku menanggapi perkataan Zara. Semua ibu pasti akan merasakan kerepotan merawat bayi. Kenapa aku tak melihat ketulusan seorang ibu terpancar darinya?Aku menghela napas. Di tengah kebuntuan seperti ini untungnya Ibu datang. Suara salam terdengar membuat Zara mengubah posisi duduknya. Ada kekhawatiran tergambar pada raut wajah yang kusut itu.