Setelah begadang semalaman, kelopak mataku sudah tak bisa ditahan lagi. Fajar mulai terbit dari ufuk timur. Jam-jam dimana kedua bayiku tidur nyenyak setelah terjaga hingga dinihari.
Mengurus dua bayi sendirian seringkali membuatku lupa melakukan hal-hal penting lain di rumah. Seperti yang terjadi kemarin, saat Ibu menyuruhku untuk makan. Tak sempat menanak nasi ataupun mengolah makanan. Kalaupun ingat, rasanya tubuhku tak akan kuat.Empat hari terakhir, kuisi perut dengan memesan makanan online. Walaupun tak masalah bagi Mas Haidar, tetap saja mulut Ibu tak diam. Beberapa kali dia menasihatiku, jangan jadi perempuan malas dan manja. Menjadikan alasan melahirkan sebagai senjata agar semuanya serba instan. Padahal, kondisi Ibu dulu saat melahirkan, tentu berbeda dengan apa yang kualami sekarang.Saat kubaringkan tubuh di atas kasur, layar gawaiku bergetar. Sebuah pesan masuk, dari Ibu.[Zara, hari ini Ibu gak bisa main sama cucu-cucu Ibu. Ada bupat"Maaf, Zara. Aku ketiduran di rumah Tio."Sudah kuduga. Kebiasaan dari bujangannya tak pernah hilang. Waktu hamil pun, bukan sekali dua kali Mas Haidar tertidur di rumah temannya karena keasyikan ngobrol dengan mereka. Kadang tertidur, pulang pagi. Dulu, selalu kumaklumi. Namun, saat ini dia telah mempunyai seorang anak yang masih bayi. Apa masih pantas bersikap layaknya bujang?Tubuhku luruh di atas kursi. Kepalaku terasa berdenyut sekali karena tidur terganggu. Mas Haidar masuk ke dapur, lalu membuka tudung saji. Dirinya garuk-garuk kepala sambil celingukan ke lemari."Gak ada nasi, Za?" Teriaknya dari arah dapur.Mungkin, pertanyaan Mas Haidar adalah wajar. Entah mengapa, jiwaku begitu bergejolak saat ia pulang menginap dari rumah Tio, lalu menanyakan nasi padaku. Jelas-jelas, aku kesulitan untuk memasak."Minta aja sama Tio, aku gak masak," jawabku ketus.Mas Haidar berbalik ke ruang tamu. Dia duduk di kursi lain di sampingku
Kuputuskan untuk mengistirahatkan tubuh. Menjauhi perdebatan yang Mas Haidar pun enggan melanjutkan.Kuedarkan mata ke sekeliling rumah. Piring dan mangkuk berserakan. Debu di lantai menebal. Cucian menumpuk di keranjang yang tersimpan di sudut dapur. Mumpung bayiku tengah tertidur, lebih baik aku kerjakan semuanya.Namun, saat langkahku terasa menyiksa karena letihnya tubuh, aku urung bergerak. Bagaimana pun, aku harus menunaikan hak mata untuk terlelap. Kupandangi wajahku di cermin kecil yang tersimpan di atas kepala Haura. Kantung mataku menebal. Kulitku juga tampak tak segar. Sebelum memejamkan mata, aku mengirimkan pesan pada Mas Haidar yang berada di teras. Untuk mengampirinya akan sangat merepotkan. [Makanan sudah kupesan. Kamu makan duluan aja. Punyaku, simpan di atas meja.]Pesan langsung terbaca. Tak ada balasan dari Mas Haidar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk. Aku segera membukanya.[Hai, Zara. Ini aku Jeni
Nampaknya Mas Haidar sempat menimbang waktu. Ia melirik arloji di pergelangan tangannya."Aku gak lama kok, Zara.""Emangnya bantu gendong Haura atau Hanum menghabiskan waktu berapa jam, Mas?" Tembakku, bertambah sebal padanya."Dalam dua puluh empat jam, apa kamu sempat menyisihkan waktu untuk mereka?""Jangan sampai Haura dan Hanum kehilangan sosok ayah dalam hidupnya!"Aku melayangkan teguran bertubi-tubi. Tak peduli dosa yang akan kudapatkan karena membentak suami, batin ini terlanjur gondok."Kalau begini jadinya, buat apa kamu jadi ayah, Mas? Gendong mereka aja, anti sekali!"Mas Haidar masih saja bergeming di tempat. Beberapa detik kemudian, akhirnya dia maju beberapa langkah. Mengambil Hanum yang semula berada dalam gendonganku sebelah kiri.Gerakannya mengikutiku. Saat kuayunkan Haura ke kanan dan kiri, Mas Haidar melakukan hal yang sama. Nampak sekali saat ia menggendong masih kaku. Bisa terhitung jari
"Zara, kamu sedang apa? Masih lama? Aku mau berangkat, lho." Terdengar suara Mas Haidar di balik pintu kamar mandi yang tertutup rapat.Di dalam ruangan kecil luas satu meter ini, aku tengah duduk di atas kloset sembari memainkan gawai. Sekadar melihat postingan orang yang berlomba memamerkan kepunyaannya."Aku mulas, Mas. Sebentar lagi. Sakit ini juga," sahutku dari dalam, pura-pura mengaduh sekaligus menahan tawa.Kubiarkan ayah dari anak-anakku itu mengasuh Hanum dan Haura di kamar sendirian. Kalau menangis, itu urusannya. Aku cuma mau memberikan dia pelajaran.Saat tangis salah satu dari mereka terdengar, aku merasa menjadi ibu yang keterlaluan. Membiarkan mereka bersama seorang lelaki yang tak paham bagaimana caranya mengurus bayi. Namun, bukankah awalnya aku juga begitu? Karena sudah terbiasa dan memberanikan diri, akhirnya bisa."Zara, Haura pup," lapor Mas Haidar sedikit berteriak.Ya ampun! Aku kira menangis karena apa.
Belum selesai pekerjaan yang baru saja kusentuh beberapa menit lalu, kedua anakku menangis secara bersamaan. Tiba-tiba, aku merasa dongkol. Kenapa mereka selalu kompak dalam hal menangis? Tanganku cuma ada dua. Kalau bisa menawar, janganlah bersamaan terus seperti itu.Tergesa mencuci beras, kumasukkan beberapa sendok ke dalam dua botol susu berbeda. Mematikan air yang telah mendidih, dan menuangkannya ke dalam botol bercampur air dingin. Setelahnya, kunanak nasi ke dalam magic com.Kembali ke kamar dengan perasaan getir karena membiarkan Haura dan Hanum menangis terlalu lama. Saat kugendong Haura, tersadar bahwa celananya lengket dan basah. Aku menghela napas kasar. Baru saja dimandikan, dua bocah ini sudah mengotori diri mereka lagi. Ya, keduanya pup secara bersamaan. Kompak banget, kan?Kepalaku mulai pening mendengar tangis yang melengking. Terlebih, saat melihat tekstur kotoran kedua bayiku yang agak keras dan hanya keluar sedikit. Mereka mengejan dan
Setelah melakukan semua saran Mama, aku kembali memeluk kedua bayiku. Namun, tak ada perubahan pada keduanya. Seakan lupa bahwa akupun masih belum pulih, terus kutimbang sembari melantunkan lagu Nina Bobo seperti yang sering Mama lakukan dulu padaku.Sempat kuhubungi nomor Mas Haidar, tetapi malah tidak aktif. Mencoba menelepon Tio, lajang itu tak mengangkat telepon dariku. Kuurai keperihan lewat tangis tak berkesudahan. Bingung. Aku harus bagaimana? Bukan aku saja yang menderita, tetapi Haura dan Hanum merasakan hal sama.Pikiranku mulai melayang kembali. Sepertinya, aku memang benar-benar harus memberikan kedua bayiku ke panti asuhan atau kepada orang yang sudah siap menjadi calon ibu. Aku memang ibu yang tak berguna.Rasanya ingin menyerah saja. Haura dan Hanum seperti sedang berlomba untuk merusak gendang telingaku. Ingin sekali membawanya ke bidan, tapi apakah harus sendirian? Jalanku masih gontai, merayap seperti kura-kura. Perih sekali di kulitku, m
Diam. Aku hanya melamun memandangi jendela yang gordennya tersisih. Sepertinya, tubuhku sudah tak bertenaga untuk menggendong mereka."Zara! Kamu dengar Ibu gak, sih? Lihat, dong, anak kamu menjerit kayak gini kenapa cuek gitu?" Kali ini, nada bicara Ibu meninggi.Susah payah, kuangkat tubuh beranjak menuju kamar. Menuruti perintah Ibu untuk menggendong Hanum yang masih terbaring di atas kasur. Tangisnya menusuk telingaku. Pada saat itu juga, kesabaranku rasanya mau habis. Pada bayi kecil yang kini ada dalam gendonganku, ingin sekali kucubit pipi gempal itu agar diam. Tak bisakah ia berhenti?Gejolak emosi terus berperang dengan kasih yang tersemat dalam jiwa. Masa muda yang indah berseliweran dalam ingatan. Harusnya aku tak menikah dulu. Kalaupun menikah, harusnya aku menunda memiliki anak sampai aku dan Mas Haidar siap menjadi orang tua.Kutahan genangan yang entah keberapa kali menumpuk di pelupuk mata. Ingat, Zara. Ada Ibu di sini. J
Terpaksa, kuikuti keinginan Ibu yang tetap pada pendiriannya. Haura dan Hanum kami bawa ke rumah Mak Iroh menaiki taksi online yang sudah kupesan sebelumnya.Nenek dari bayiku itu bercerita betapa hebatnya dukun beranak dalam mengatasi masalah penyakit pada bayi. Entah untuk merayuku atau perkataannya memang benar."Kalau ada apa-apa, Ibu dulu selalu ke Mak Iroh. Waktu Haidar pernah jatuh dari kasur, Ibu langsung bawa ke Mak Iroh untuk dipijit. Untung saja langsung ditangani. Kalau gak, bisa saja Haidar ada kelainan di tulang bahunya."Tak kurespons penjabaran Ibu tentang keahlian dukun beranak lainnya. Aku hanya merasa zaman dulu dan sekarang sangat berbeda. Jika pilihan Ibu dan aku tak sama, harusnya ia terima. Bukan malah memaksa kehendaknya sendiri.Lima belas menit kami sampai di sebuah rumah tipe duduk jendela. Sebagian dindingnya tembok, sebelah lain triplek dan bilik berukir. Rumah yang bagus pada zamannya.Tak perlu menunggu lama
"Jadi, bagaimana solusinya, Hanin?""Ya, solusinya kamu sendiri. Jadilah orang paling siaga buat istri kamu. Yang dia butuhkan saat ini adalah dukungan dan bantuan. Tolonglah mengerti dengan kehidupannya yang berubah seratus delapan puluh derajat itu. Sudah kukatakan, dokter Zara yang sesungguhnya adalah kamu, suaminya sendiri.""Apa menurut kamu aku kurang mengerti padanya? Uangku selalu kuberikan,"Tut. Tut. Tut.Panggilan tiba-tiba terputus dan layar gawaiku tak lagi menyala. Sial! Baterainya habis.Setelahnya, aku tak bertanya lagi pada Hanin, dia pun sepertinya enggan lagi menghubungi. Namun, kali ini aku mulai berpikir kembali, kapankah bisa kulihat Zara yang penyayang? Yang menimbang anak-anaknya dengan ikhlas tanpa berang. Sebuah perasaan menggangguku kembali. Aku harus berbicara empat mata dengan Hanin, sebagai psikolog ia pasti tahu solusinya bagaimana. Aku tak mau hubunganku dengan Zara akan terus seperti ini.
PoV HaidarKepulangan Zara ke rumah Ibu membuatku lebih tenang. Aku bisa lebih leluasa mengatur waktu istirahat tanpa ada yang memanggil, lalu menyuruh banyak hal. Hanya satu saja yang kurang, hati betapa rindu wajah lucu kedua bayiku. Sayangnya, aku tak bisa melihat mereka setiap hari karena mereka harus tinggal sementara di rumah Ibu.Teman-teman juga tak canggung untuk nonton bareng acara bola saat di rumah tak ada Zara. Mau tidur jam berapapun, tak ada yang protes.Seringkali, kuajak mereka menghabiskan malam untuk taruhan nonton klub bola kesukaan atau main Play Station di ruang tamu.Jangan menduga, jika aku tak cinta dan peduli pada istriku! Dengan keputusanku seperti ini, adalah bukti cinta padanya. Lebih baik kubiarkan ia bersama Ibu, belajar bagaimana baiknya menjadi orang tua, daripada terus bersamaku dengan segunung amarah yang terus dilampiaskan padaku, sebagai imam di hidupnya. Sebab, saat bersamaku, rasanya apapun yang kulakukan sel
"Lha, Mbak Zara gak pakai kemben, ya?" Bu Sarinah memandangku dengan dengan lekat.Aku menghela napas. Dari pertama kedatanganku ke sini, beliau memang sering mengomentari apa yang kulakukan. Dari mulai makanan yang disantap, kebiasaan tidur pagi dan siang, masih di luar rumah saat waktu ashar tiba dan larangan-larangan lain yang selalu dihubungkan dengan hal mistis. "Enggak, Bu. Pengap," jawabku santai."Nanti buncit lho perutnya," seru Bu Sarinah heboh sendiri."Mbak Zara, Ibu punya anak tujuh, tapi perut Ibu enggak tuh bergelambir kayak ibu-ibu zaman sekarang. Karena Ibu selalu pakai kemben abis lahiran." Bu Sarinah malah curhat tentang dirinya, aku serasa dipojokkan karena punya pilihan sendiri."Aku biasa olahraga, kok Bu. Nanti, kalau udah bener-bener pulih, aku pasti olahraga. Bukan hanya perut yang harus dijaga, Bu, tapi seluruh badan. Kalau olahraga rutin, bukan hanya perut yang bakal langsing, tapi seluruh badan.""Mba
PoV Zara"Ya ampun, Zara. Jangan tidur siang, gak baik buat ibu menyusui!"Aku tersentak saat hampir saja benar-benar terlelap. Rasa pusing mendera seluruh bagian kepala. Seperti biasa, semalaman Haura dan Hanum terus menangis, entah karena apa. Sempat berkonsultasi dengan bidan, dia berkata kemungkinan kedua bayiku kena kolik. Mereka mau tidur dan terlelap setelah adzan subuh. Setelahnya pun harus tetap dibangunkan untuk diberi ASI selama dua jam sekali."Ibu, aku semalam cuma tidur sebentar. Sejam aja gak nyampe. Aku butuh istirahat," protesku lemas karena kedua mataku juga sudah sangat berat."Lha, emang semua ibu melahirkan itu biasanya kurang tidur, Zara. Nanti, anak udah gede bisa puas-puasin lagi tidur seharian. Jangan kebluk, kamu!""Aku kan harus sehat juga, Bu. Kalau kurang istirahat nanti sakit, pengaruh juga sama Haura dan Hanum." Aku mencoba mengeluarkan pendapat sendiri. Faktanya, jika tidur kurang, badan akan terasa lemas d
Mereka ini ada-ada saja. Kenapa kelakuanku dikait-kaitkan dengan hal mistis?Seandainya dibandingkan, aku lebih memilih mendatangi psikolog tadi ketimbang Ustadz Samsul. Hanin, sesama perempuan enak untuk diajak bicara. Setidaknya, ada telinga yang bersedia mendengar keluh kesahku. Tidak seperti Mas Haidar, telinga saja ia tutup kala aku berkeluh. Selalu ada senjata untuk menghentikan kesahku, yaitu kalimat 'aku kurang iman dan kurang sabar.'Akhirnya, kami pulang kembali ke rumah tepat setelah adzan zuhur masjid terdekat usai dikumandangkan. "Tadinya Ibu mau nginap di sini, tapi Ibu gak bisa ninggalin kegiatan desa, Haidar. Sebagai ketua ibu-ibu PKK, Ibulah yang bertanggungjawab."Terdengar perbincangan Mas Haidar dan Ibu di ruang tamu saat aku berbaring di atas kasur tengah menyusui Haura dan Hanum secara bersamaan."Bagaimana kalau Zara tinggal di rumah Ibu dulu, Haidar? Selain Zara akan terbantu, Ibu bisa memantau kedua cucu Ibu. Set
PoV Zara"Ngapain Mas bawa aku ke sini?" Aku protes saat memasuki pekarangan rumah Ustad Samsul, ustadz yang terkenal dengan berbagai macam pengobatan, terlebih orang yang sakit karena bersangkut-paut dengan ilmu gaib."Ketemu teman lagi? Sejak kapan Mas berteman dengan Ustadz Samsul?" "Zara, kamu itu harus diobati. Ibu jelaskan, ya. Kamu itu ketempelan makhluk gaib. Makanya, kemarin sampai tega membuang cucu Ibu, Haura dan Hanum, anak kandung kamu sendiri," sahut Ibu, menyambar pertanyaan yang semula kutujukan untuk Mas Haidar.Aku tahu, perempuan yang bernama Hanin tadi bukanlah istri dari teman Mas Haidar. Dia seorang psikolog. Aku hanya diam saja tatkala Mas Haidar dan Ibu meninggalkan kami untuk mengobrol empat mata. Lagipula, aku memang butuh teman bercerita. Jadi, tak ada salahnya jika aku mengungkapkan pada psikolog itu, bukan? Kurasa, dia tak akan menghakimiku seperti ibu atau para tetangga. Sayangnya, Mas Haidar dan Ibu mengir
"Kata orang lain menjadi ibu itu bahagia. Itu kata orang lain," ungkap Zara kemudian. Sesungguhnya, ia sangat ingin meluapkan apa yang kini dirasakan hatinya. Namun, Zara menahan diri untuk tak terlalu terbuka pada perempuan yang baru saja ditemuinya. Barangkali, di luar ia adalah bagian dari ibu-ibu gosip. "Apa Mbak Zara gak termasuk bagian orang lain itu?" Hanin mulai masuk ke dalam topik utama. Tentu, harus sangat berhati-hati."Bisa ya, bisa tidak." Jawaban yang ambigu.Namun, dengan status dan gelarnya sebagai psikolog, tentu Hanin sudah tahu jawaban yang disembunyikan Zara. Ia hanya ingin Zara bercerita seluruh hal padanya agar ibu baru itu merasa lega karena menumpahkan kesahnya. Menurut Hanin, sekuat apapun seorang wanita akan selalu ada masa dimana ia membutuhkan sandaran dan tempat bercerita. Sebab, manusia tetaplah manusia yang saling membutuhkan telinga orang lain untuk didengarkan.Sebenarnya, kasus Zara bukanlah kasus langka baginya
PoV PembacaSejenak, dua orang yang saling berhadapan di ambang pintu itu bergeming. Haidar sempat tak berkedip melihat perempuan yang bernama Hanin itu adalah teman dekatnya semasa SMA dulu. Sempat dekat dan saling suka, tetapi pada saat itu mereka tak mampu saling mengungkap rasa. Namanya anak muda yang belum pernah pacaran, tentu mereka canggung dan fokus belajar saja.Beberapa detik berikutnya, Hanin mempersilakan mereka masuk dengan ramah. Memanggil seorang pelayannya ke belakang, lalu sang pelayan membawakan tiga gelas teh hangat dan camilan ringan."Kukira, yang di pesan itu bukan kamu, Haidar," celetuk Hanin membuat Zara menengadah.Haidar tampak salah tingkah. Tentu, ia tak mau membuat Zara salah paham."Hanin, suami kamu mana?""Suami?" Hanin berkerut kening. Beberapa kali Haidar mengedipkan matanya pada Hanin, memberi kode untuk dia mengerti.Tentu saja perempuan itu paham dan enggan untuk berbohong. Ia mengal
"Mas.."Aku tersenyum, meski dalam hati prihatin melihat ia begitu tak terurus."Haura dan Hanum. Aku telah membuangnya." Belum apa-apa, ia sudah menangis lagi."Hari ini kita jemput mereka, ya. Pasti mereka kangen sama bundanya," hiburku, berharap Zara bisa menjalani peran sebagai seorang ibu seperti yang lainnya.Tiba-tiba, kepalanya tertunduk. Seperti tengah memikirkan banyak hal yang berat. Detik berikutnya, ia berbicara sembari terus melirik selimutnya yang telah basah disiram embun yang mengalir dari matanya."Aku takut dan aku gak akan sanggup."Entah harus bagaimana aku menanggapi perkataan Zara. Semua ibu pasti akan merasakan kerepotan merawat bayi. Kenapa aku tak melihat ketulusan seorang ibu terpancar darinya?Aku menghela napas. Di tengah kebuntuan seperti ini untungnya Ibu datang. Suara salam terdengar membuat Zara mengubah posisi duduknya. Ada kekhawatiran tergambar pada raut wajah yang kusut itu.