"Zara, ini Haura nangis. Kayaknya haus. Agak cepat di kamar mandinya, ya," teriak Ibu dari arah dapur.
Aku yang tengah menunaikan hajat mendengkus kesal. Bagaimana tidak? Baru saja kususui Hanum, kini Haura sudah meraung-raung lagi. Tak bisakah aku sedikit mengistirahatkan tubuh? Satu atau dua jam saja. Bagaimana pun aku butuh waktu istirahat. Terlebih, puting sebelah kananku lecet karena belum keluar ASI sedikit pun.
"Zara, cepat, dong!"
Sekali lagi, suara Ibu melengking mengetuk gendang telinga. Ingin rasanya kusumpal kedua telingaku agar tangisan kedua bayi itu tak terus menerorku.
Haura dan Hanum, anak kembar yang baru saja kulahirkan tiga hari yang lalu. Tangisan mereka silih berganti memenuhi pendengaran. Mengganggu waktu tidurku di malam hari dan mengusik ketenanganku ketika siang. Bahkan saat aku di kamar mandi seperti ini, mereka masih saja mengganggu. Tapi, aku tak bisa kabur dari tanggung jawab ini. Menyadari, statusku saat ini sudah berubah menjadi seorang ibu.
"Zara! Ngapain, sih? Lama banget," protes Ibu, suaranya kini terdengar sangat dekat.
Ibu mematung depan pintu kamar mandi. Suara Ibu memanggil-manggil namaku, bersahutan dengan tangis si kecil Haura.
Segera kunyalakan keran air, membasuh kedua tangan dan kaki yang belum sempat terkena kotoran apapun. Baju kurapikan. Kubuka pintu kamar mandi.
Belum sempat berkata-kata, Ibu sudah mendahului lagi.
"Ini dulu, kasihan Hanum. Susuin dulu biar tidur," suruhnya sembari menyodorkan tubuh mungil yang wajahnya menunjukkan ekspresi sedih.
Aku menghela napas kasar. Mulas di perutku tiba-tiba hilang begitu saja saat mendengar tangisan Haura. Kutatap wajah tak berdosa itu. Lucu dan lugu sekali. Kalau bukan karena rasa sayang yang teramat besar, tak mungkin kuacuhkan rasa sakit di beberapa bagian tubuhku.
Sembari berjalan limbung, tiba-tiba saja wajahku merengut. Merasakan perih lagi di luka bekas jahitan kemarin. Suara mengaduh keluar dari bibirku. Entah berapa kali aku menangis dalam sehari. Sudah tak terhitung mengaduh dan sempat enggan menyusui bayi kembarku. Melihatku belum jua memberikan ASI pada Haura, Ibu gusar kembali.
"Zara! Gimana sih jadi ibu. Kamu tuh, ya, gak sayang sama anak-anak kamu? Kalau gak mau punya anak, jangan hamil. Atau kalau gak sayang mereka, biarkan Haura dan Hanum, Ibu bawa aja," celoteh ibu dari suamiku itu.
Mendengar ocehannya, aku jadi tersinggung. Dia pikir, aku tak sayang dengan kedua anakku? Lalu, ngapain aku periksa tiap bulan saat hamil? Bertaruh nyawa saat mereka lahir dan membelikan mereka baju-baju bagus untuk dipakai. Bahkan, kukorbankan tubuhku menjadi tak terurus. Banyak stretch mark yang terukir di perut serta puting payudaraku yang berdarah sejak kemarin.
Aku hanya kelelahan. Kesal sekali dengan tingkah Haura dan Hanum yang seolah-olah tak memberikan jeda waktu istirahat untuk ibunya. Tak ada satu orang pun yang bisa diminta bantuan. Semuanya kukerjakan sendiri.
Ibu hanya menjenguk cucunya pagi buta seperti ini. Zuhur ia sudah kembali lagi ke rumah dengan alasan takut hujan. Kalaupun menjenguk cucu, ia tak membantu sama sekali pekerjaan rumah. Ya, lagipun aku tak berharap ingin dibantu ibu mertua. Minimal saja, jangan menambah beban di pikiranku dengan ocehan-ocehan saat ia datang ke sini.
"Bu, aku tuh semalam begadang. Jadi, aku sama sekali belum tidur. Ke kamar mandi aja ditahan, lho, Bu. Ini baru bisa karena ada Ibu ke sini."
Ya, kuakui nemang kehadiran Ibu sedikit mempermudah aktivitasku dalam hal membersihkan diri dan mencuci popok si kembar. Selebihnya, Ibu hanya menjaga Haura dan Hanum sepanjang pagi. Begitupun, aku sangat bersyukur.
"Lha, emang gitu jadi ibu, Zara. Kok kayak keberatan gitu ngurus Haura dan Hanum?" Ibu menajamkan kedua matanya ke arahku. "Kamu itu belum siap jadi ibu!"
Aku tak menggubris perkataannya. Kini, Haura sudah berada di pangkuan. Aku melangkah sangat pelan menuju kamar tidur. Bekas jahitan saat melahirkan masih sangat terasa nyeri. Jalan pun, harusnya dipapah. Bukan dibiarkan seperti ini.
Si kecil Hanum terlihat pulas dalam tidurnya. Di sampingnya, ayah dari anak-anakku juga lelap sekali memejamkan mata. Hhhhh. Aku menghela napas kesal.
Mas Haidar bisa dengan enaknya beristirahat semalaman tanpa terganggu. Bahkan, lengkingan suara tangis dari anak-anaknya semalam, tak sedikit pun mengganggu waktu tidurnya.
Aku segera memberi hak perut Haura. Menyambung hidup bayi kecilku lewat tetesan ASI yang keluar, meski masih terasa perih saat dihisap.
"Zara, kamu belum bangunkan Haidar? Ini sudah jam enam, lho. Bisa-bisa dia telat. Ibu bangunkan aja, ya." Ibu masuk ke kamar yang pintunya tak kututup.
Ia menghampiri anaknya untuk membangunkan. Tak lama kemudian, kedua mata Haidar terbuka. Mengerjap-ngerjap sebentar, lalu pandangannya melayang menuju jam yang tergantung di dinding.
"Ya ampun, aku belum salat subuh!" Mas Haidar menoleh ke arahku. "Zara, kenapa gak bangunkan aku salat, sih?"
Kesal di hatiku belum sirna karena ucapan ibu. Kini, Mas Haidar malah menambah kekesalan lain dengan menyalahkanku karena kehilangan waktu subuhnya. Entah kenapa, setelah melahirkan aku jadi sensitif sekali. Disenggol dikit, bisa langsung bertanduk kepalaku. Namun, aku selalu menahan amarah itu. Jangan sampai api dalam jiwaku meledak.
"Maaf, Mas. Aku semalam begadang. Jadi tadi waktu adzan subuh ketiduran. Eh bangun lagi karena ada suara Ibu mengetuk pintu," sahutku lemah, sedikit berbisik agar Hanum yang terlelap tak bangun.
Lelaki itu segera bangkit, menyambar handuk yang tergantung di paku dan melesat ke kamar mandi.
"Haura, sakit! Pelan-pelan, dong," omelku pada Haura, yang tiba-tiba menangis saat lekatan bibirnya kulepas.
Ibu menggeleng-geleng kepala melihat tingkahku. Ia kemudian duduk di samping Hanum.
"Kamu makannya apa, Zara? Kenapa ASI-nya seret banget?" Ibu mulai mengajakku berbicara. Melupakan perdebatan kami tadi. Nada bicaranya pun kembali lembut.
"Ya, sama kayak Ibu. Nasi."
"Daun katuk dari Ibu sudah diolah dan dimakan?"
Sesaat aku terdiam. Teringat tempo hari Ibu membawakan sekantung kresek daun hijau itu. Katanya, daun katuk bagus untuk meningkatkan produksi ASI. Bodohnya, aku lupa untuk mengolahnya. Kulihat kantung kresek itu masih tergeletak di atas nakas.
Ibu mengikuti arah bola mataku bergerak. Ia segera meraih sebuah benda yang sedari tadi kulihat.
"Tuh, kan. Kamu, mah, kebiasaan. Mau ASI banyak gimana? Dikasih saran gak dilakuin," omelnya, membuka ikatan kresek yang di dalamnya penuh daun katuk.
"Aku lupa, Bu. Maaf, ya. Nanti siang aku olah." Merasa bersalah menimpa perasaanku. Takut jika Ibu tak merasa dihargai oleh menantu satu-satunya ini.
"Zara, jadi ibu itu harus cekatan. Gak boleh banyak ngeluh. Ibu juga pernah melahirkan. Ibu tahu, kok , rasanya gimana. Tapi, Ibu gak terlalu ngenges kayak kamu, lho. Apa-apa, ngeluh. Dikit-dikit, mengaduh."
Terkadang, ibu membandingkan kehidupan rumah tangganya dulu dengan rumah tangga anaknya sekarang. Jelas sangat berbeda. Ibu dari suamiku itu, saat lahiran banyak tangan membantu. Sementara aku? Dibiarkan begitu saja oleh mereka yang katanya keluarga.
Nasib.. nasib.
Kalau saja rumah orangtuaku dekat, mereka pasti sudah membantu di sini. Sayangnya, karena terhalang jarak dan kebetulan papa sedang demam parah, mereka belum juga menengok ke sini dari awal lahiran.
Tinggal di kampung suami, meskipun ada beberapa keluarga yang rumahnya tak terlalu jauh. Mereka sibuk dengan kehidupan masing-masing. Hanya sekali saja mereka menengok, saat aku kembali ke rumah pulang dari bidan.
Perempuan itu beranjak dari duduknya. Menjinjing sekresek daun katuk ke arah dapur. Mungkin, ia mau membuatkan sayur untukku. Syukurlah. Meskipun malu, tapi mau gimana lagi? Aku sangat butuh bantuan.
Mas Haidar kembali ke kamar untuk berganti baju. Aku masih duduk terlentang sembari mengais Haura.
"Mas, aku belum sarapan," laporku, memelas pada Mas Haidar.
"Mas, aku lapar. Apa boleh minta bantuan?" Kuulangi pertanyaanku pada Mas Haidar yang sedang mengenakan kemeja.
"Apa, Zara?"
Sedikit kecewa, karena raut wajah Mas Haidar menunjukkan rasa tak suka. Apalagi, saat dia langsung menyebutku dengan panggilan nama. Biasanya, ia memanggilku dengan sebutan "Cinta".
"Bisa tolong belikan aku bubur? Aku lapar banget. Semalaman ASI-ku disedot. Aku begadang dan gak sempat bikin sarapan. Sekalian sama kamu dan ibu juga belikan sarapan, ya?"
Tak menjawab, Mas Haidar menuntaskan ganti bajunya. Ia lalu menyambar tas selempang dan mengambil dompet di dalamnya.
"Maaf, ya, Zara. Bukan Mas gak mau belikan. Tapi, lihatlah jam. Sudah hampir pukul tujuh. Nanti Mas kesiangan kalau beli sarapan dulu. Ini uang untuk beli sarapan, pesan online saja," ucapnya seraya menyodorkan selembar uang warna merah muda.
Meski sempat terdiam, akhirnya kuterima juga selembar uang itu.
"Nanti saja pulangnya kubelikan sesuatu. Kamu mau apa?" Kali ini, ia tampak melempar senyum tipisnya.
"Bakso aja, Mas. Kalau gak, mie ayam," sahutku bersemangat.
Belum sempat Mas Haidar mengiyakan, suara bantahan dari arah pintu terdengar cemas.
"Aduh, Zara. Kamu ini ibu menyusui dan ibu nifas. Pantas aja ASI-nya gak keluar, wong makanannya kayak gitu," protes Ibu dengan logat Jawanya yang kental.
Kalau sudah berhadapan dengan Ibu, bakalan rumit ceritanya. Pendapatnya tak bisa disangkal oleh siapapun.
"Zara, Ibu ini sayang sama kamu, sama cucu-cucu Ibu. Jadi, nurutlah kalau ibu ngasih tahu. Dulu, waktu ibu lahiran, tiap hari makannya nasi, tempe sama sayur bening aja. Gak berani makan makanan kayak gitu." Ia beralih pada Mas Haidar. "Jangan belikan, Haidar. Kamu mau anak-anak kamu nantinya sakit perut?"
Lelaki itu mengangguk sebagai jawaban. Lagi, aku mengalah. Biar nanti kupesan online lagi saja. Kata bidan yang menanganiku, ibu baru melahirkan itu bukan orang sakit. Jadi, selagi makanan yang diinginkan tak berbahaya, makan saja. Apalagi, ibu menyusui itu harus tenang pikiran dan tidak boleh stress. Jika segala makanan dilarang, bisa-bisa suasana hatiku tambah buruk.
Meski begitu, di depan Ibu aku pura-pura menurut. Malas berdebat dengan wanita beda generasi itu. Tambah lagi, Ibu adalah mertuaku. Bagaimana pun, aku harus tetap menghormatinya.
Usai merapikan penampilan, Mas Haidar akhirnya berpamitan untuk berangkat kerja. Tentunya, setelah sebelumnya menyapa Hanum yang sedang pulas dan Haura yang masih menempel menyedot ASI.
"Ini sayur daun katuknya, makan dulu! Ibu ambilkan nasinya, ya?"
Ibu memang baik, hanya saja seluruh keinginannya harus dituruti. Kalau gak sesuai, siap-siap saja perang dialog dengannya. Dan sepertinya sebentar lagi memang akan terjadi. Aku harus bersiap menutup telinga.
"Bu.."
Ibu berhenti saat kupanggil lirih.
"Aku belum masak nasi."
Benar saja, gelagatnya sudah siap menyerangku dengan seribu argumennya sendiri.
Aku mengambil earphone yang masih tersambung ke gawaiku. Menyelipkan kedua benda itu di telingaku yang tertutup jilbab. Segera kuputar musik pada volume yang paling tinggi.
Terlihat ibu mertuaku itu tengah mangap-mangap, entah sedang bicara apa.
Bersambung...
Maafkan aku, Bu. Bukan maksud hati ini tidak menghargai nasihat Ibu. Tapi aku tak mau pikiranku tambah berat. Maka, kupilih saja menutup telinga untuk menghempaskan semua ocehanmu.Aku membatin sendiri. Terlihat Ibu bolak-balik ke dapur dan kamar mandi untuk menanak nasi. Ini pertama kalinya beliau mengerjakan hal itu di rumahku. Aku paham, yang dia khawatirkan bukanlah aku, tetapi kedua cucunya. Ibu kembali ke kamar setelah selesai menyambung colokan penanak nasi ke stopkontak. Ia duduk terlentang di atas kasur lantai, di samping si kecil Hanum. Meluruskan kakinya, yang mungkin mulai terasa pegal karena rematiknya kambuh. "Maaf, ya, Bu. Aku jadi merepotkan. Ibu kalau pegel, biar aku panggil tukang pijit aja." Aku mulai melepas earphone yang sedari tadi bertaut di kedua telingaku.Musik kumatikan. Bersamaan dengan itu, akhirnya Haura melepas rekatan bibirnya. Segera kuletakan tubuh mungil Haura berdampingan dengan saudara kembarnya. Bersyukur se
Tiba-tiba saja perutku mulas kembali saat hendak membuka kemasan bakso. Akhirnya, tamu tak diundang itu datang lagi. Terpaksa, kuseret kakiku ke kamar mandi dengan malas. Kututup kegiatan di kamar mandi, sekalian membersihkan diri. Mumpung dua makhluk kecilku tertidur pulas.Selesai berganti baju, kulihat tumpukan popok di atas ember. Ya, ampun. Ternyata, pekerjaanku sungguh masih banyak. Sementara, kinerjaku saat ini benar-benar lelet. Kukira, semua ibu duamelahirkan akan merasakan hal sama denganku. Terlebih, hanya baru tiga hari proses lahiran itu.Nanti, akan kuminta Mas Haidar membelikan mesin cuci agar aku tak kesulitan. Saat ini, biarlah kukerjakan cucian dengan manual. Terpaksa, saat tubuhku audah bersih dan wangi, kucuci popok, bedongan dan baju si kembar, lalu dijemur di halaman belakang.Tiba saatnya, aku akan menikmati camilanku. Begitu bersemangat saat aku melangkahkan kaki kembali ke dalam rumah. Duduk terlentang di ruang tamu, aku memindahka
Samar terdengar suara langkah kaki bersahutan dengan langkah tergesa. Entah ini mimpi atau bukan, untuk membuka mata rasanya berat sekali. Saat sebuah jarum menusuk lenganku, akhirnya aku tersadar. Kuedarkan pandang menuju sekeliling.Dimana aku? Perlahan, kuingat kembali apa yang terjadi beberapa saat lalu. Kompor yang menyala. Api yang membara. Menciptakan kepulan asap mengudara di dapur. Lalu, Haura dan Hanum yang kuletakkan di atas kasur. Dimana mereka? Seorang bidan dan dua asistennya tengah sibuk menempelkan alat-alat ke tubuhku. Saat ingatanku telah pulih, refleks tubuhku berusaha untuk terangkat. Namun, sayangnya, rasa sakit di bekas jahitan itu merambat. Kepalaku seperti ditimpa batu besar dan dijatuhkan berkali-kali."Mbak Zara, tenang, ya. Kami akan obati luka jahitan bekas lahiran kemarin dengan mengulang proses menjahitnya. Sobeknya lumayan besar." Bu bidan mencoba menahanku yabg terus memaksa bangkit dari ranjang periksa.Setelah kurasakan sa
"Aku menyesal menjadi ibu, Mas."Pernyataanku membuat kepala Mas Haidar bertanduk. Raut tak suka ia tunjukkan saat aku mengeluh."Istighfar, Zara. Kalimat yang baru saja kamu ucapkan adalah kalimat yang banyak orang lain sesalkan. Ada banyak perempuan yang tak bisa melahirkan bayi dari rahimnya sendiri. Banyak sekali yang menginginkan sepertimu. Seharusnya, kamu lebih bersabar dan mempertebal iman. Bukan bicara ngawur seperti ini."Kupandangi langit lewat kaca jendela mobil. Begitulah. Kalau ada sesuatu yang kukeluhkan, Mas Haidar selalu cepat menyalahkanku. Tak pernah sekalipun ia menghibur hati. Di matanya, aku adalah perempuan berhati sempit dan tidak pandai bersyukur.Sementara, ia ingin aku menjadi wanita sempurna. Perempuan yang ikhlas menerima apapun, perempuan tanpa amarah layaknya peran protagonis di sinetron layar kaca. Tak melawan, tak bertindak. Hanya menangis dalam doa.Bukan, aku bukan wanita seperti itu. Layaknya manusia ya
Kedua bayi kecilku tengah bermain saat azan maghrib berkumandang. Aku sengaja memanfaatkan waktu senggang untuk menghabiskan makanan tadi pagi yang kupesan. Siomay tahu ikan tenggiri yang sudah dingin dan sepotong bakso sisa pagi masih tersisa.Awet sekali bila menghabiskan makanan akhir-akhir ini. Lumayan juga, mengirit uang jajanku. Tak lupa, sayur bening daun katuk buatan ibu mertua kuhabiskan sampai tak bersisa. Sepiring nasi yang kupesan dari warteg tersaji bercampur sayur. Syukurku terpanjat kala bisa makan enak tanpa tergesa. Hal ini menjadi momen yang sangat sulit kucari setelah melahirkan. Setelah seluruh piring, mangkuk dan gelas kosong, aku menepikan semuanya ke sudut kamar. Biar saja kubersihkan besok.Dering gawaiku berbunyi, aku segera mengangkatnya. Salam terucap dari lisan Mas Haidar yang berbicara lewat sambungan telepon. Lekas, kujawab salam dengan berbisik agar tak menganggu tidur Haura dan Hanum."Zara, malam ini temen-temen k
"Maafkan Bunda, ya, Sayang. Bunda harusnya ikut temani kalian ke sana," lirih ucapanku berbisik di kedua telinga Haura dan Hanum yang berada dalam dekapan.Kedua bayiku masih tampak anteng dan bermain. Sesekali mereka memberikan upah pada kelelahanku. Segaris senyum di bibir mereka yang menenangkan. Segera kuganti pakaian bawah Haura saat menyadari lenganku basah. Hanum diletakkan di sebelahnya.Saat mereka asyik bermain seperti ini, aku merasa menjadi manusia normal. Layaknya seorang ibu yang melimpahkan cinta untuk anaknya. Kuasuh dan belai penuh cinta. Teringat kejadian tadi pagi, saat kumarahi mereka karena terus menangis tanpa henti. Menambah lelah dan pikiran sehingga penuh beban.Sesal di hati terbit. Harusnya, aku lebih sabar. Tak murka hilang kendali. Terlebih, sempat enggan me nyu sui dan mencubit makhluk tak berdosa itu."Maafkan, Bunda, ya, Haura dan Hanum. Bunda tahu, Bunda bukan orang tua yang baik. Tapi, Bunda akan berusaha lebih ba
Lebih dari setengah jam mereka menempel di tubuhku, rasanya kelopak mataku mulai berat. Dapat kurasakan mereka masih menyedot ASI yang keluar begitu deras. Berbeda dengan kemarin, seret dan sulit sekali keluar. Malam ini, bagai hujan yang menghujam tanah hingga banjir, kedua anakku akan tidur kekenyangan.Membayangkan mereka akan tidur lelap setelah ini dan aku akan melakukan hal sama. Aku menguap lebar, tanpa bisa kututup dengan telapak tangan. Kulirik jam yang menggantung di dinding.Pukul sebelas.Akhirnya, sesuai harapan, kedua anakku tidur lelap dan melepaskan lekatan bibir mereka dari tubuhku. Kuletakkan satu-persatu perlahan. Menahan luka jahitan yang akan terasa perih jika bergerak agak jongkok, saat meletakkan bayi.Kurentangkan kaki sembari meregangkan seluruh otot yang mengeras. Pegal sekali! Andai saja punya robot pemijit tubuh, aku akan menjadi orang pertama yang membeli.Saat kelopak mata mulai menutup dan kesadaran hendak b
Penawaran Mas Haidar seperti basa-basi saja. Saat ia bertanya butuh bantuan atau tidak, tubuhnya mematung di ambang pintu. Sedikitpun tak mendekat.Menahan sesuatu yang tercekat di tenggorokan, sekuat mungkin aku berusaha menjawab. "Gak perlu. Bola lebih penting daripada Haura dan Hanum," sahutku ketus.Mas Haidar mengangkat sebelah alisnya. Memandangku bingung."Kenapa jawabnya gitu, Zara? Apa aku gak boleh menghibur diri dari jenuhnya pekerjaan?"Kali ini, Mas Haidar malah berbalik menyerang. Andai dia tahu, setelah Hanum dan Haura lahir, tak ada waktu untukku mengusir jenuh. Berbeda dengan Mas Haidar yang masih bebas dengan aktivitas menyenangkan diri sendiri. Bergaul dengan kawan-kawan tanpa peduli bagaimana keadaan rumah, istri dan anaknya.Mas Haidar tak pernah kehilangan dunianya. Berbeda jauh dengan kehidupanku yang berubah seratus delapan puluh derajat."Silakan aja kalau mau pergi. Aku sudah biasa ditinggal." Berpura-pu
"Jadi, bagaimana solusinya, Hanin?""Ya, solusinya kamu sendiri. Jadilah orang paling siaga buat istri kamu. Yang dia butuhkan saat ini adalah dukungan dan bantuan. Tolonglah mengerti dengan kehidupannya yang berubah seratus delapan puluh derajat itu. Sudah kukatakan, dokter Zara yang sesungguhnya adalah kamu, suaminya sendiri.""Apa menurut kamu aku kurang mengerti padanya? Uangku selalu kuberikan,"Tut. Tut. Tut.Panggilan tiba-tiba terputus dan layar gawaiku tak lagi menyala. Sial! Baterainya habis.Setelahnya, aku tak bertanya lagi pada Hanin, dia pun sepertinya enggan lagi menghubungi. Namun, kali ini aku mulai berpikir kembali, kapankah bisa kulihat Zara yang penyayang? Yang menimbang anak-anaknya dengan ikhlas tanpa berang. Sebuah perasaan menggangguku kembali. Aku harus berbicara empat mata dengan Hanin, sebagai psikolog ia pasti tahu solusinya bagaimana. Aku tak mau hubunganku dengan Zara akan terus seperti ini.
PoV HaidarKepulangan Zara ke rumah Ibu membuatku lebih tenang. Aku bisa lebih leluasa mengatur waktu istirahat tanpa ada yang memanggil, lalu menyuruh banyak hal. Hanya satu saja yang kurang, hati betapa rindu wajah lucu kedua bayiku. Sayangnya, aku tak bisa melihat mereka setiap hari karena mereka harus tinggal sementara di rumah Ibu.Teman-teman juga tak canggung untuk nonton bareng acara bola saat di rumah tak ada Zara. Mau tidur jam berapapun, tak ada yang protes.Seringkali, kuajak mereka menghabiskan malam untuk taruhan nonton klub bola kesukaan atau main Play Station di ruang tamu.Jangan menduga, jika aku tak cinta dan peduli pada istriku! Dengan keputusanku seperti ini, adalah bukti cinta padanya. Lebih baik kubiarkan ia bersama Ibu, belajar bagaimana baiknya menjadi orang tua, daripada terus bersamaku dengan segunung amarah yang terus dilampiaskan padaku, sebagai imam di hidupnya. Sebab, saat bersamaku, rasanya apapun yang kulakukan sel
"Lha, Mbak Zara gak pakai kemben, ya?" Bu Sarinah memandangku dengan dengan lekat.Aku menghela napas. Dari pertama kedatanganku ke sini, beliau memang sering mengomentari apa yang kulakukan. Dari mulai makanan yang disantap, kebiasaan tidur pagi dan siang, masih di luar rumah saat waktu ashar tiba dan larangan-larangan lain yang selalu dihubungkan dengan hal mistis. "Enggak, Bu. Pengap," jawabku santai."Nanti buncit lho perutnya," seru Bu Sarinah heboh sendiri."Mbak Zara, Ibu punya anak tujuh, tapi perut Ibu enggak tuh bergelambir kayak ibu-ibu zaman sekarang. Karena Ibu selalu pakai kemben abis lahiran." Bu Sarinah malah curhat tentang dirinya, aku serasa dipojokkan karena punya pilihan sendiri."Aku biasa olahraga, kok Bu. Nanti, kalau udah bener-bener pulih, aku pasti olahraga. Bukan hanya perut yang harus dijaga, Bu, tapi seluruh badan. Kalau olahraga rutin, bukan hanya perut yang bakal langsing, tapi seluruh badan.""Mba
PoV Zara"Ya ampun, Zara. Jangan tidur siang, gak baik buat ibu menyusui!"Aku tersentak saat hampir saja benar-benar terlelap. Rasa pusing mendera seluruh bagian kepala. Seperti biasa, semalaman Haura dan Hanum terus menangis, entah karena apa. Sempat berkonsultasi dengan bidan, dia berkata kemungkinan kedua bayiku kena kolik. Mereka mau tidur dan terlelap setelah adzan subuh. Setelahnya pun harus tetap dibangunkan untuk diberi ASI selama dua jam sekali."Ibu, aku semalam cuma tidur sebentar. Sejam aja gak nyampe. Aku butuh istirahat," protesku lemas karena kedua mataku juga sudah sangat berat."Lha, emang semua ibu melahirkan itu biasanya kurang tidur, Zara. Nanti, anak udah gede bisa puas-puasin lagi tidur seharian. Jangan kebluk, kamu!""Aku kan harus sehat juga, Bu. Kalau kurang istirahat nanti sakit, pengaruh juga sama Haura dan Hanum." Aku mencoba mengeluarkan pendapat sendiri. Faktanya, jika tidur kurang, badan akan terasa lemas d
Mereka ini ada-ada saja. Kenapa kelakuanku dikait-kaitkan dengan hal mistis?Seandainya dibandingkan, aku lebih memilih mendatangi psikolog tadi ketimbang Ustadz Samsul. Hanin, sesama perempuan enak untuk diajak bicara. Setidaknya, ada telinga yang bersedia mendengar keluh kesahku. Tidak seperti Mas Haidar, telinga saja ia tutup kala aku berkeluh. Selalu ada senjata untuk menghentikan kesahku, yaitu kalimat 'aku kurang iman dan kurang sabar.'Akhirnya, kami pulang kembali ke rumah tepat setelah adzan zuhur masjid terdekat usai dikumandangkan. "Tadinya Ibu mau nginap di sini, tapi Ibu gak bisa ninggalin kegiatan desa, Haidar. Sebagai ketua ibu-ibu PKK, Ibulah yang bertanggungjawab."Terdengar perbincangan Mas Haidar dan Ibu di ruang tamu saat aku berbaring di atas kasur tengah menyusui Haura dan Hanum secara bersamaan."Bagaimana kalau Zara tinggal di rumah Ibu dulu, Haidar? Selain Zara akan terbantu, Ibu bisa memantau kedua cucu Ibu. Set
PoV Zara"Ngapain Mas bawa aku ke sini?" Aku protes saat memasuki pekarangan rumah Ustad Samsul, ustadz yang terkenal dengan berbagai macam pengobatan, terlebih orang yang sakit karena bersangkut-paut dengan ilmu gaib."Ketemu teman lagi? Sejak kapan Mas berteman dengan Ustadz Samsul?" "Zara, kamu itu harus diobati. Ibu jelaskan, ya. Kamu itu ketempelan makhluk gaib. Makanya, kemarin sampai tega membuang cucu Ibu, Haura dan Hanum, anak kandung kamu sendiri," sahut Ibu, menyambar pertanyaan yang semula kutujukan untuk Mas Haidar.Aku tahu, perempuan yang bernama Hanin tadi bukanlah istri dari teman Mas Haidar. Dia seorang psikolog. Aku hanya diam saja tatkala Mas Haidar dan Ibu meninggalkan kami untuk mengobrol empat mata. Lagipula, aku memang butuh teman bercerita. Jadi, tak ada salahnya jika aku mengungkapkan pada psikolog itu, bukan? Kurasa, dia tak akan menghakimiku seperti ibu atau para tetangga. Sayangnya, Mas Haidar dan Ibu mengir
"Kata orang lain menjadi ibu itu bahagia. Itu kata orang lain," ungkap Zara kemudian. Sesungguhnya, ia sangat ingin meluapkan apa yang kini dirasakan hatinya. Namun, Zara menahan diri untuk tak terlalu terbuka pada perempuan yang baru saja ditemuinya. Barangkali, di luar ia adalah bagian dari ibu-ibu gosip. "Apa Mbak Zara gak termasuk bagian orang lain itu?" Hanin mulai masuk ke dalam topik utama. Tentu, harus sangat berhati-hati."Bisa ya, bisa tidak." Jawaban yang ambigu.Namun, dengan status dan gelarnya sebagai psikolog, tentu Hanin sudah tahu jawaban yang disembunyikan Zara. Ia hanya ingin Zara bercerita seluruh hal padanya agar ibu baru itu merasa lega karena menumpahkan kesahnya. Menurut Hanin, sekuat apapun seorang wanita akan selalu ada masa dimana ia membutuhkan sandaran dan tempat bercerita. Sebab, manusia tetaplah manusia yang saling membutuhkan telinga orang lain untuk didengarkan.Sebenarnya, kasus Zara bukanlah kasus langka baginya
PoV PembacaSejenak, dua orang yang saling berhadapan di ambang pintu itu bergeming. Haidar sempat tak berkedip melihat perempuan yang bernama Hanin itu adalah teman dekatnya semasa SMA dulu. Sempat dekat dan saling suka, tetapi pada saat itu mereka tak mampu saling mengungkap rasa. Namanya anak muda yang belum pernah pacaran, tentu mereka canggung dan fokus belajar saja.Beberapa detik berikutnya, Hanin mempersilakan mereka masuk dengan ramah. Memanggil seorang pelayannya ke belakang, lalu sang pelayan membawakan tiga gelas teh hangat dan camilan ringan."Kukira, yang di pesan itu bukan kamu, Haidar," celetuk Hanin membuat Zara menengadah.Haidar tampak salah tingkah. Tentu, ia tak mau membuat Zara salah paham."Hanin, suami kamu mana?""Suami?" Hanin berkerut kening. Beberapa kali Haidar mengedipkan matanya pada Hanin, memberi kode untuk dia mengerti.Tentu saja perempuan itu paham dan enggan untuk berbohong. Ia mengal
"Mas.."Aku tersenyum, meski dalam hati prihatin melihat ia begitu tak terurus."Haura dan Hanum. Aku telah membuangnya." Belum apa-apa, ia sudah menangis lagi."Hari ini kita jemput mereka, ya. Pasti mereka kangen sama bundanya," hiburku, berharap Zara bisa menjalani peran sebagai seorang ibu seperti yang lainnya.Tiba-tiba, kepalanya tertunduk. Seperti tengah memikirkan banyak hal yang berat. Detik berikutnya, ia berbicara sembari terus melirik selimutnya yang telah basah disiram embun yang mengalir dari matanya."Aku takut dan aku gak akan sanggup."Entah harus bagaimana aku menanggapi perkataan Zara. Semua ibu pasti akan merasakan kerepotan merawat bayi. Kenapa aku tak melihat ketulusan seorang ibu terpancar darinya?Aku menghela napas. Di tengah kebuntuan seperti ini untungnya Ibu datang. Suara salam terdengar membuat Zara mengubah posisi duduknya. Ada kekhawatiran tergambar pada raut wajah yang kusut itu.