Beranda / Rumah Tangga / BABY BLUES / 4. Menyesal Jadi Ibu

Share

4. Menyesal Jadi Ibu

Penulis: Widia Dealova
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-12 20:51:59

Samar terdengar suara langkah kaki bersahutan dengan langkah tergesa. Entah ini mimpi atau bukan, untuk membuka mata rasanya berat sekali. Saat sebuah jarum menusuk lenganku, akhirnya aku tersadar. Kuedarkan pandang menuju sekeliling.

Dimana aku? Perlahan, kuingat kembali apa yang terjadi beberapa saat lalu. Kompor yang menyala. Api yang membara. Menciptakan kepulan asap mengudara di dapur. Lalu, Haura dan Hanum yang kuletakkan di atas kasur. Dimana mereka? Seorang bidan dan dua asistennya tengah sibuk menempelkan alat-alat ke tubuhku. Saat ingatanku telah pulih, refleks tubuhku berusaha untuk terangkat. Namun, sayangnya, rasa sakit di bekas jahitan itu merambat. Kepalaku seperti ditimpa batu besar dan dijatuhkan berkali-kali.

"Mbak Zara, tenang, ya. Kami akan obati luka jahitan bekas lahiran kemarin dengan mengulang proses menjahitnya. Sobeknya lumayan besar." Bu bidan mencoba menahanku yabg terus memaksa bangkit dari ranjang periksa.

Setelah kurasakan sakit itu bertambah parah dan salah satu asisten membawa peralatan jahit, akhirnya aku pasrah. Membiarkan bidan menusuk kembali kulit-kulitku yang masih bengkak. Tempo hari saja, saat jahitan pertama kali, aku menjerit kesakitan di tengah-tengah proses karena obat bius telah habis masanya.

"Suami saya mana, Bu?"

"Pak Haidar ada di luar, sedang menunggu. Nanti, setelah selesai saya panggil ke dalam, ya."

Mataku terpejam. Memilih diam di tengah perih yang kian meluas. Tahu, gimana rasanya jika kulit kalian yang terluka, lalu ditusuk lagi berulang kali? Aku tak bisa berpura-pura kuat dengan tidak menangis. Saat itu juga, kedua air mataku membasahi bantal yang tertindih oleh kepala.

Ternyata, menjadi seorang ibu beranak dua makhluk kecil itu tak seindah yang dulu pernah aku bayangkan dengan Mas Haidar. Bermain bersama di bawah sinar matahari pagi. Melihat mereka tersenyum dan membelai pipi saat menyambung hidup lewat ASI. Itu hanya sebagian kecil.

Sisanya, aku harus membereskan seluruh keperluan dua bayi itu sendiri. Membersihkan kotoran mereka secara bergantian. Menangis dalam waktu bersamaan, atau yang satu diam, satunya mulai bertingkah. Menyusui keduanya secara bersamaan.

Tentangku? Tentu saja aku kehilangan kehidupan sendiri. Jika semula aku bebas tidur delapan jam tanpa gangguan, kini untuk tidur satu sampai dua jam pun banyak sekali iklan. Jika biasanya bebas menyantap makanan apa saja sampai tak bersisa, kini makanan bisa habis dalam waktu lama. Ya, seharian. Pagi beli, siang makan, habisnya malam. Jika sebelumnya aku rajin membalas pesan teman-teman, saat ini jauh berbeda. Ucapan selamat dari mereka-pesan dari teman di sosial media-belum ada waktu kubalas semua.

Aku menangis merenungi nasib saat ini. Aku merasa bukan Zara yang dulu. Mudah marah. Mudah menangis karena hal sepele. Sensitif dan mudah tersinggung. Bahkan, larangan-larangan Ibu Ria-mertuaku-itu, kuanggap sebagai kekangan. Hidup di dalam sangkar dengan dua makhluk kecil yang belum bisa apa-apa. Aku merasa terikat dan tersiksa.

"Mbak, jangan banyak gerak dulu, ya. Kalau pun gerak yang ringan-ringan aja. Lukanya kan masih basah," peringat bidan saat ia selesai mengobati luka.

Sudah tak ada lagi jarum yang menusuk kulitku. Kini, hanya sisa perih yang membekas. Ingin sekali untuk menjerit sekeras-kerasnya.

Aku mengangguk, sembari mengusap pipiku yang telah basah. Tak peduli disebut cengeng atau apapun kata mereka. Andai saja luka ini bisa kubagi, aku akan membaginya pada Mas Haidar, biar dia tahu bagaimana rasanya melahirkan dan jadi ibu baru dengan sepasang anak kembar.

"Memangnya Mbak Zara udah ngapain, sih, tadi?" Bidan pun mulai penasaran.

"Saya ketiduran, Bu. Pas bangun, lupa sedang masak air buat mandi Haura dan Hanum. Airnya hampir habis, dan api di kompor merambat ke lap penuh minyak yang saya simpan tak jauh dari panci. Saya juga, sih, yang teledor," jelasku panjang lebar. "Kemudian, saya berusaha memadamkan api, jinjing air dari ember bolak-balik dari kamar mandi ke dapur."

Tentu saja sang bidan terbelalak. Selesai membereskan alat medis yang baru saja ia pakai, ia kembali ke sisiku.

"Jangan lakukan semuanya sendiri, Mbak. Ibu baru melahirkan itu harus banyak istirahat dulu. Apalagi jahitan Mbak banyak. Minta tolong sama suami atau keluarga. Jangan sungkan! Mbak itu masih dalam tahap pemulihan."

Aku hanya tersenyum. Andai saja ia tahu, bagaimana aku melakukan semua hal sendiri. Kehilangan waktu istirahat. Suami tak peduli dengan alasan lelah saat pulang bekerja. Orangtua sedang tak bisa ke sini. Kuhela napas dalam, lalu kulangitkan seribu sabar.

Bidan membantuku turun dan memapah pelan keluar ruangan. Di kursi tunggu, Mas Haidar tampak sedang berbicara lewat telepon, entah dengan siapa. Ia segera menutup sambungan saat melihatku telah selesai ditangani.

"Kamu gak apa-apa, Zara?" Wajahnya begitu cemas. Namun, aku teramat kecewa karena panggilan kesayangannya terhadapku benar-benar hilang. Ia tak pernah memanggilku dengan sebutan "Cinta" lagi.

"Mbak Zara harus banyak istirahat, ya, Mas. Jangan terlalu aktif dulu, kasihan tubuhnya masih lemah," pesan bidan terjawab anggukan dan ucapan terima kasih dari suamiku.

Setelah membayar administrasi, Mas Haidar memapahku ke tempat parkir. Sebuah mobil pabrik yang ia gunakan terpampang di sana. Jelas aku merasa bersalah karena mengganggu waktu kerjanya. Terlebih, ia memakai fasilitas kerja untuk kepentingan pribadi.

"Maafkan aku merepotkan, ya, Mas," ujarku lirih, meraih lengan Mas Haidar.

"Gak apa-apa, Zara. Kamu hari ini ke pulang ke rumah ibu aja, ya? Haura sama Hanum sudah kuantarkan ke sana," saran Mas Haidar sembari membuka pintu mobil.

Tinggal di rumah ibu mertua? Itu bukan solusi bagus. Banyak larangan yang diterapkan ibu terkait perempuan yang baru melahirkan. Tentu saja, aku akan semakin tertekan dan terbebani. Makan saja harus diatur. Anggapan mereka masih sangat kolot. Bahkan, makan ikan dan perdagingan saja katanya kurang baik.

"Dulu, Ibu waktu lahirin Haidar, makannya cuma sama garam aja tiap hari. Karena nurut sama orang tua, sembuhnya cepet. Seminggu aja udah sehat lagi," sindirnya padaku suatu waktu yang menurutnya tak bisa menjaga pola makan ibu nifas.

Padahal, bidan sudah menjelaskan panjang lebar terkait nutrisi dan gizi ibu baru melahirkan. Namun, ibu benar-benar tak melek pada zaman. Apalagi, waktu itu ibu lahir oleh dukun beranak tanpa ada jahit-menjahit. Sementara, aku melahirkan sepasang anak kembar dengan dua kali mulas dan bonus banyak jahitan. Tentu, itu berbeda dan kondisi setiap orang tak bisa disamaratakan.

Di perjalanan, akhirnya aku menawar pada Mas Haidar untuk pulang ke rumah saja. Biar Hanum dan Haura, Mas Haidar jemput kembali atau kami singgah dulu sekarang untuk menjemput mereka.

"Lain kali hati-hati, ya. Jangan sampai ketiduran lagi. Fatal, kan, akibatnya? Untung saja masih diberi keselamatan."

Entah bagian mana kalimat Mas Haidar yang menyakiti, aku merasa seperti tersudutkan. Bila dihayati secara kepala dingin, tentu itu adalah kalimat perhatian. Namun, sisi lain dalam diriku menganggap bahwa Mas Haidar menimpakan kesalahan itu padaku.

Andai dia tahu, aku bisa tertidur seperti itu karena kelelahan. Jika sedikit saja dia membantu pekerjaan rumah, tentu aku tak akan kewalahan.

"Jadi aku yang salah?" Nada tinggi saat aku berbicara membuat Mas Haidar menoleh, lalu fokus kembali ke jalanan.

"Mas, andai Mas tahu, aku itu capek ngurus semua sendiri! Kalau aja Mas bisa gantian jagain Haura dan Hanum, ini semua gak akan terjadi." Begitu bergejolak rasa di dada, padahal tak ada sepatah katapun yang menyimpulkan bahwa ini mutlak kesalahanku.

Entahlah, aku merasa ada yang aneh dalam diriku. Sedikit saja orang lain salah bicara, langsung tersinggung. Mudah naik pitam dan terkadang tiba-tiba menangis tanpa sebab. Apalagi, kala Hanum dan Haura berlomba menciptakan alunan tangis merdunya di malam hari, sudahlah mau pecah ini kepala!

"Jadi, maksud kamu ini salah Mas?" Lelaki itu bertanya tanpa menoleh.

Tak menjawab, kurapatkan punggung pada sandaran kursi mobil. Kututup kelopak mata, hingga saat terbuka aliran air itu lolos dari pelupuk mata. Kututup rapat seluruh wajah dengan kedua telapak tangan.

Argh! Ingin rasanya aku menabrakkan diri. Atau, mobil ini tertabrak dan aku mati. Kurasa, aku tak akan sanggup melanjutkan hidup ini. Kalau mati, tentu aku akan terbebas dari tanggungjawab yang Mas Haidar tumpahkan seluruhnya padaku. Biar dia tahu, bagaimana rasanya mengurus dua bayi kecil tanpa bantuan siapapun. Sekali saja rasakan, bagaimana menahan lapar dan menahan keinginan buang air besar hingga ususku melejit menahan sakit.

"Sudahlah, Zara. Akhir-akhir ini, kamu selalu mengacaukan kerjaku. Jangan tambah pusing kepalaku, ya. Kamu, fokus saja pada Haura dan Hanum. Udah, gak usah pikirin apa-apa lagi."

Gampang sekali Mas Haidar bicara seperti itu. Andai bisa bertukar posisi, cobalah sehari saja dia menjadi aku.

"Apa yang kamu tangisi sekarang?" Pertanyaan konyol. Lelaki ini benar-benar bikin naik darah karena tak peka sama sekali.

"Aku menyesal menjadi Ibu, Mas."

Bersambung...

Bab terkait

  • BABY BLUES   5. Katanya, Aku Kurang Iman

    "Aku menyesal menjadi ibu, Mas."Pernyataanku membuat kepala Mas Haidar bertanduk. Raut tak suka ia tunjukkan saat aku mengeluh."Istighfar, Zara. Kalimat yang baru saja kamu ucapkan adalah kalimat yang banyak orang lain sesalkan. Ada banyak perempuan yang tak bisa melahirkan bayi dari rahimnya sendiri. Banyak sekali yang menginginkan sepertimu. Seharusnya, kamu lebih bersabar dan mempertebal iman. Bukan bicara ngawur seperti ini."Kupandangi langit lewat kaca jendela mobil. Begitulah. Kalau ada sesuatu yang kukeluhkan, Mas Haidar selalu cepat menyalahkanku. Tak pernah sekalipun ia menghibur hati. Di matanya, aku adalah perempuan berhati sempit dan tidak pandai bersyukur.Sementara, ia ingin aku menjadi wanita sempurna. Perempuan yang ikhlas menerima apapun, perempuan tanpa amarah layaknya peran protagonis di sinetron layar kaca. Tak melawan, tak bertindak. Hanya menangis dalam doa.Bukan, aku bukan wanita seperti itu. Layaknya manusia ya

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-12
  • BABY BLUES   6. Kembalikan Anakku

    Kedua bayi kecilku tengah bermain saat azan maghrib berkumandang. Aku sengaja memanfaatkan waktu senggang untuk menghabiskan makanan tadi pagi yang kupesan. Siomay tahu ikan tenggiri yang sudah dingin dan sepotong bakso sisa pagi masih tersisa.Awet sekali bila menghabiskan makanan akhir-akhir ini. Lumayan juga, mengirit uang jajanku. Tak lupa, sayur bening daun katuk buatan ibu mertua kuhabiskan sampai tak bersisa. Sepiring nasi yang kupesan dari warteg tersaji bercampur sayur. Syukurku terpanjat kala bisa makan enak tanpa tergesa. Hal ini menjadi momen yang sangat sulit kucari setelah melahirkan. Setelah seluruh piring, mangkuk dan gelas kosong, aku menepikan semuanya ke sudut kamar. Biar saja kubersihkan besok.Dering gawaiku berbunyi, aku segera mengangkatnya. Salam terucap dari lisan Mas Haidar yang berbicara lewat sambungan telepon. Lekas, kujawab salam dengan berbisik agar tak menganggu tidur Haura dan Hanum."Zara, malam ini temen-temen k

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-12
  • BABY BLUES   7. Nobar Bola Ganggu Bayi I

    "Maafkan Bunda, ya, Sayang. Bunda harusnya ikut temani kalian ke sana," lirih ucapanku berbisik di kedua telinga Haura dan Hanum yang berada dalam dekapan.Kedua bayiku masih tampak anteng dan bermain. Sesekali mereka memberikan upah pada kelelahanku. Segaris senyum di bibir mereka yang menenangkan. Segera kuganti pakaian bawah Haura saat menyadari lenganku basah. Hanum diletakkan di sebelahnya.Saat mereka asyik bermain seperti ini, aku merasa menjadi manusia normal. Layaknya seorang ibu yang melimpahkan cinta untuk anaknya. Kuasuh dan belai penuh cinta. Teringat kejadian tadi pagi, saat kumarahi mereka karena terus menangis tanpa henti. Menambah lelah dan pikiran sehingga penuh beban.Sesal di hati terbit. Harusnya, aku lebih sabar. Tak murka hilang kendali. Terlebih, sempat enggan me nyu sui dan mencubit makhluk tak berdosa itu."Maafkan, Bunda, ya, Haura dan Hanum. Bunda tahu, Bunda bukan orang tua yang baik. Tapi, Bunda akan berusaha lebih ba

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-30
  • BABY BLUES   8. Nobar Bola Mengganggu Bayi II

    Lebih dari setengah jam mereka menempel di tubuhku, rasanya kelopak mataku mulai berat. Dapat kurasakan mereka masih menyedot ASI yang keluar begitu deras. Berbeda dengan kemarin, seret dan sulit sekali keluar. Malam ini, bagai hujan yang menghujam tanah hingga banjir, kedua anakku akan tidur kekenyangan.Membayangkan mereka akan tidur lelap setelah ini dan aku akan melakukan hal sama. Aku menguap lebar, tanpa bisa kututup dengan telapak tangan. Kulirik jam yang menggantung di dinding.Pukul sebelas.Akhirnya, sesuai harapan, kedua anakku tidur lelap dan melepaskan lekatan bibir mereka dari tubuhku. Kuletakkan satu-persatu perlahan. Menahan luka jahitan yang akan terasa perih jika bergerak agak jongkok, saat meletakkan bayi.Kurentangkan kaki sembari meregangkan seluruh otot yang mengeras. Pegal sekali! Andai saja punya robot pemijit tubuh, aku akan menjadi orang pertama yang membeli.Saat kelopak mata mulai menutup dan kesadaran hendak b

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-31
  • BABY BLUES   9. Semakin Luka

    Penawaran Mas Haidar seperti basa-basi saja. Saat ia bertanya butuh bantuan atau tidak, tubuhnya mematung di ambang pintu. Sedikitpun tak mendekat.Menahan sesuatu yang tercekat di tenggorokan, sekuat mungkin aku berusaha menjawab. "Gak perlu. Bola lebih penting daripada Haura dan Hanum," sahutku ketus.Mas Haidar mengangkat sebelah alisnya. Memandangku bingung."Kenapa jawabnya gitu, Zara? Apa aku gak boleh menghibur diri dari jenuhnya pekerjaan?"Kali ini, Mas Haidar malah berbalik menyerang. Andai dia tahu, setelah Hanum dan Haura lahir, tak ada waktu untukku mengusir jenuh. Berbeda dengan Mas Haidar yang masih bebas dengan aktivitas menyenangkan diri sendiri. Bergaul dengan kawan-kawan tanpa peduli bagaimana keadaan rumah, istri dan anaknya.Mas Haidar tak pernah kehilangan dunianya. Berbeda jauh dengan kehidupanku yang berubah seratus delapan puluh derajat."Silakan aja kalau mau pergi. Aku sudah biasa ditinggal." Berpura-pu

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-01
  • BABY BLUES   10. Semakin Luka II

    Perih di bekas luka jahit tiba-tiba menggerogoti kulit. Semakin pecah tangisanku, luka itu semakin menggigit. "Aaarrrghhhh!"Badanku luruh di lantai saat itu juga. Punggungku yang lemas bersandar pada pintu. Berkali, kuketuk keras pintu oleh kepala bagian belakang. Biar saja mati saat ini juga, ketimbang harus mereguk sendiri derita.Semakin kencang gamparan kepalaku di pintu. Tiba-tiba kepalaku mulai berputar. Ya Allah.. apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus membunuh kedua bayiku untuk mengakhiri derita ini?Ayah, Ibu. Cepatlah datang ke sini. Aku butuh kalian. Aku membatin dalam isakan yang terus berkumandang. Haura dan Hanum tak jua berhenti menangis.Habis tenaga, rasanya aku pasrah. Kuletakkan Haura dan Hanum di lantai. Tak peduli dingin dan angin yang menyelinap dari celah pintu. Mereka terus meraung entah mau apa.Kupejamkan mata. Merenungi kehidupan yang terasa menyiksa. Salah apa aku, Tuhan? Sehingga Engkau menghuku

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-02
  • BABY BLUES   11. Bimbang I

    Setelah begadang semalaman, kelopak mataku sudah tak bisa ditahan lagi. Fajar mulai terbit dari ufuk timur. Jam-jam dimana kedua bayiku tidur nyenyak setelah terjaga hingga dinihari.Mengurus dua bayi sendirian seringkali membuatku lupa melakukan hal-hal penting lain di rumah. Seperti yang terjadi kemarin, saat Ibu menyuruhku untuk makan. Tak sempat menanak nasi ataupun mengolah makanan. Kalaupun ingat, rasanya tubuhku tak akan kuat.Empat hari terakhir, kuisi perut dengan memesan makanan online. Walaupun tak masalah bagi Mas Haidar, tetap saja mulut Ibu tak diam. Beberapa kali dia menasihatiku, jangan jadi perempuan malas dan manja. Menjadikan alasan melahirkan sebagai senjata agar semuanya serba instan. Padahal, kondisi Ibu dulu saat melahirkan, tentu berbeda dengan apa yang kualami sekarang.Saat kubaringkan tubuh di atas kasur, layar gawaiku bergetar. Sebuah pesan masuk, dari Ibu.[Zara, hari ini Ibu gak bisa main sama cucu-cucu Ibu. Ada bupat

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-03
  • BABY BLUES   12. Bimbang II

    "Maaf, Zara. Aku ketiduran di rumah Tio."Sudah kuduga. Kebiasaan dari bujangannya tak pernah hilang. Waktu hamil pun, bukan sekali dua kali Mas Haidar tertidur di rumah temannya karena keasyikan ngobrol dengan mereka. Kadang tertidur, pulang pagi. Dulu, selalu kumaklumi. Namun, saat ini dia telah mempunyai seorang anak yang masih bayi. Apa masih pantas bersikap layaknya bujang?Tubuhku luruh di atas kursi. Kepalaku terasa berdenyut sekali karena tidur terganggu. Mas Haidar masuk ke dapur, lalu membuka tudung saji. Dirinya garuk-garuk kepala sambil celingukan ke lemari."Gak ada nasi, Za?" Teriaknya dari arah dapur.Mungkin, pertanyaan Mas Haidar adalah wajar. Entah mengapa, jiwaku begitu bergejolak saat ia pulang menginap dari rumah Tio, lalu menanyakan nasi padaku. Jelas-jelas, aku kesulitan untuk memasak."Minta aja sama Tio, aku gak masak," jawabku ketus.Mas Haidar berbalik ke ruang tamu. Dia duduk di kursi lain di sampingku

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-04

Bab terbaru

  • BABY BLUES   44. Enggan Disalahkan II

    "Jadi, bagaimana solusinya, Hanin?""Ya, solusinya kamu sendiri. Jadilah orang paling siaga buat istri kamu. Yang dia butuhkan saat ini adalah dukungan dan bantuan. Tolonglah mengerti dengan kehidupannya yang berubah seratus delapan puluh derajat itu. Sudah kukatakan, dokter Zara yang sesungguhnya adalah kamu, suaminya sendiri.""Apa menurut kamu aku kurang mengerti padanya? Uangku selalu kuberikan,"Tut. Tut. Tut.Panggilan tiba-tiba terputus dan layar gawaiku tak lagi menyala. Sial! Baterainya habis.Setelahnya, aku tak bertanya lagi pada Hanin, dia pun sepertinya enggan lagi menghubungi. Namun, kali ini aku mulai berpikir kembali, kapankah bisa kulihat Zara yang penyayang? Yang menimbang anak-anaknya dengan ikhlas tanpa berang. Sebuah perasaan menggangguku kembali. Aku harus berbicara empat mata dengan Hanin, sebagai psikolog ia pasti tahu solusinya bagaimana. Aku tak mau hubunganku dengan Zara akan terus seperti ini.

  • BABY BLUES   43. Enggan Disalahkan I

    PoV HaidarKepulangan Zara ke rumah Ibu membuatku lebih tenang. Aku bisa lebih leluasa mengatur waktu istirahat tanpa ada yang memanggil, lalu menyuruh banyak hal. Hanya satu saja yang kurang, hati betapa rindu wajah lucu kedua bayiku. Sayangnya, aku tak bisa melihat mereka setiap hari karena mereka harus tinggal sementara di rumah Ibu.Teman-teman juga tak canggung untuk nonton bareng acara bola saat di rumah tak ada Zara. Mau tidur jam berapapun, tak ada yang protes.Seringkali, kuajak mereka menghabiskan malam untuk taruhan nonton klub bola kesukaan atau main Play Station di ruang tamu.Jangan menduga, jika aku tak cinta dan peduli pada istriku! Dengan keputusanku seperti ini, adalah bukti cinta padanya. Lebih baik kubiarkan ia bersama Ibu, belajar bagaimana baiknya menjadi orang tua, daripada terus bersamaku dengan segunung amarah yang terus dilampiaskan padaku, sebagai imam di hidupnya. Sebab, saat bersamaku, rasanya apapun yang kulakukan sel

  • BABY BLUES   42. Banyak Larangan II

    "Lha, Mbak Zara gak pakai kemben, ya?" Bu Sarinah memandangku dengan dengan lekat.Aku menghela napas. Dari pertama kedatanganku ke sini, beliau memang sering mengomentari apa yang kulakukan. Dari mulai makanan yang disantap, kebiasaan tidur pagi dan siang, masih di luar rumah saat waktu ashar tiba dan larangan-larangan lain yang selalu dihubungkan dengan hal mistis. "Enggak, Bu. Pengap," jawabku santai."Nanti buncit lho perutnya," seru Bu Sarinah heboh sendiri."Mbak Zara, Ibu punya anak tujuh, tapi perut Ibu enggak tuh bergelambir kayak ibu-ibu zaman sekarang. Karena Ibu selalu pakai kemben abis lahiran." Bu Sarinah malah curhat tentang dirinya, aku serasa dipojokkan karena punya pilihan sendiri."Aku biasa olahraga, kok Bu. Nanti, kalau udah bener-bener pulih, aku pasti olahraga. Bukan hanya perut yang harus dijaga, Bu, tapi seluruh badan. Kalau olahraga rutin, bukan hanya perut yang bakal langsing, tapi seluruh badan.""Mba

  • BABY BLUES   41. Banyak Larangan

    PoV Zara"Ya ampun, Zara. Jangan tidur siang, gak baik buat ibu menyusui!"Aku tersentak saat hampir saja benar-benar terlelap. Rasa pusing mendera seluruh bagian kepala. Seperti biasa, semalaman Haura dan Hanum terus menangis, entah karena apa. Sempat berkonsultasi dengan bidan, dia berkata kemungkinan kedua bayiku kena kolik. Mereka mau tidur dan terlelap setelah adzan subuh. Setelahnya pun harus tetap dibangunkan untuk diberi ASI selama dua jam sekali."Ibu, aku semalam cuma tidur sebentar. Sejam aja gak nyampe. Aku butuh istirahat," protesku lemas karena kedua mataku juga sudah sangat berat."Lha, emang semua ibu melahirkan itu biasanya kurang tidur, Zara. Nanti, anak udah gede bisa puas-puasin lagi tidur seharian. Jangan kebluk, kamu!""Aku kan harus sehat juga, Bu. Kalau kurang istirahat nanti sakit, pengaruh juga sama Haura dan Hanum." Aku mencoba mengeluarkan pendapat sendiri. Faktanya, jika tidur kurang, badan akan terasa lemas d

  • BABY BLUES   40. Katanya, Aku Ketempelan Jin II

    Mereka ini ada-ada saja. Kenapa kelakuanku dikait-kaitkan dengan hal mistis?Seandainya dibandingkan, aku lebih memilih mendatangi psikolog tadi ketimbang Ustadz Samsul. Hanin, sesama perempuan enak untuk diajak bicara. Setidaknya, ada telinga yang bersedia mendengar keluh kesahku. Tidak seperti Mas Haidar, telinga saja ia tutup kala aku berkeluh. Selalu ada senjata untuk menghentikan kesahku, yaitu kalimat 'aku kurang iman dan kurang sabar.'Akhirnya, kami pulang kembali ke rumah tepat setelah adzan zuhur masjid terdekat usai dikumandangkan. "Tadinya Ibu mau nginap di sini, tapi Ibu gak bisa ninggalin kegiatan desa, Haidar. Sebagai ketua ibu-ibu PKK, Ibulah yang bertanggungjawab."Terdengar perbincangan Mas Haidar dan Ibu di ruang tamu saat aku berbaring di atas kasur tengah menyusui Haura dan Hanum secara bersamaan."Bagaimana kalau Zara tinggal di rumah Ibu dulu, Haidar? Selain Zara akan terbantu, Ibu bisa memantau kedua cucu Ibu. Set

  • BABY BLUES   39. Katanya, Aku Ketempelan Jin

    PoV Zara"Ngapain Mas bawa aku ke sini?" Aku protes saat memasuki pekarangan rumah Ustad Samsul, ustadz yang terkenal dengan berbagai macam pengobatan, terlebih orang yang sakit karena bersangkut-paut dengan ilmu gaib."Ketemu teman lagi? Sejak kapan Mas berteman dengan Ustadz Samsul?" "Zara, kamu itu harus diobati. Ibu jelaskan, ya. Kamu itu ketempelan makhluk gaib. Makanya, kemarin sampai tega membuang cucu Ibu, Haura dan Hanum, anak kandung kamu sendiri," sahut Ibu, menyambar pertanyaan yang semula kutujukan untuk Mas Haidar.Aku tahu, perempuan yang bernama Hanin tadi bukanlah istri dari teman Mas Haidar. Dia seorang psikolog. Aku hanya diam saja tatkala Mas Haidar dan Ibu meninggalkan kami untuk mengobrol empat mata. Lagipula, aku memang butuh teman bercerita. Jadi, tak ada salahnya jika aku mengungkapkan pada psikolog itu, bukan? Kurasa, dia tak akan menghakimiku seperti ibu atau para tetangga. Sayangnya, Mas Haidar dan Ibu mengir

  • BABY BLUES   38. Tidak Bahagia II

    "Kata orang lain menjadi ibu itu bahagia. Itu kata orang lain," ungkap Zara kemudian. Sesungguhnya, ia sangat ingin meluapkan apa yang kini dirasakan hatinya. Namun, Zara menahan diri untuk tak terlalu terbuka pada perempuan yang baru saja ditemuinya. Barangkali, di luar ia adalah bagian dari ibu-ibu gosip. "Apa Mbak Zara gak termasuk bagian orang lain itu?" Hanin mulai masuk ke dalam topik utama. Tentu, harus sangat berhati-hati."Bisa ya, bisa tidak." Jawaban yang ambigu.Namun, dengan status dan gelarnya sebagai psikolog, tentu Hanin sudah tahu jawaban yang disembunyikan Zara. Ia hanya ingin Zara bercerita seluruh hal padanya agar ibu baru itu merasa lega karena menumpahkan kesahnya. Menurut Hanin, sekuat apapun seorang wanita akan selalu ada masa dimana ia membutuhkan sandaran dan tempat bercerita. Sebab, manusia tetaplah manusia yang saling membutuhkan telinga orang lain untuk didengarkan.Sebenarnya, kasus Zara bukanlah kasus langka baginya

  • BABY BLUES   37. Tidak Bahagia

    PoV PembacaSejenak, dua orang yang saling berhadapan di ambang pintu itu bergeming. Haidar sempat tak berkedip melihat perempuan yang bernama Hanin itu adalah teman dekatnya semasa SMA dulu. Sempat dekat dan saling suka, tetapi pada saat itu mereka tak mampu saling mengungkap rasa. Namanya anak muda yang belum pernah pacaran, tentu mereka canggung dan fokus belajar saja.Beberapa detik berikutnya, Hanin mempersilakan mereka masuk dengan ramah. Memanggil seorang pelayannya ke belakang, lalu sang pelayan membawakan tiga gelas teh hangat dan camilan ringan."Kukira, yang di pesan itu bukan kamu, Haidar," celetuk Hanin membuat Zara menengadah.Haidar tampak salah tingkah. Tentu, ia tak mau membuat Zara salah paham."Hanin, suami kamu mana?""Suami?" Hanin berkerut kening. Beberapa kali Haidar mengedipkan matanya pada Hanin, memberi kode untuk dia mengerti.Tentu saja perempuan itu paham dan enggan untuk berbohong. Ia mengal

  • BABY BLUES   36. Aku Membuangnya II

    "Mas.."Aku tersenyum, meski dalam hati prihatin melihat ia begitu tak terurus."Haura dan Hanum. Aku telah membuangnya." Belum apa-apa, ia sudah menangis lagi."Hari ini kita jemput mereka, ya. Pasti mereka kangen sama bundanya," hiburku, berharap Zara bisa menjalani peran sebagai seorang ibu seperti yang lainnya.Tiba-tiba, kepalanya tertunduk. Seperti tengah memikirkan banyak hal yang berat. Detik berikutnya, ia berbicara sembari terus melirik selimutnya yang telah basah disiram embun yang mengalir dari matanya."Aku takut dan aku gak akan sanggup."Entah harus bagaimana aku menanggapi perkataan Zara. Semua ibu pasti akan merasakan kerepotan merawat bayi. Kenapa aku tak melihat ketulusan seorang ibu terpancar darinya?Aku menghela napas. Di tengah kebuntuan seperti ini untungnya Ibu datang. Suara salam terdengar membuat Zara mengubah posisi duduknya. Ada kekhawatiran tergambar pada raut wajah yang kusut itu.

DMCA.com Protection Status