Home / Rumah Tangga / BABY BLUES / 3. Jahitan Terlepas

Share

3. Jahitan Terlepas

Author: Widia Dealova
last update Last Updated: 2023-05-12 20:51:12

Tiba-tiba saja perutku mulas kembali saat hendak membuka kemasan bakso. Akhirnya, tamu tak diundang itu datang lagi. Terpaksa, kuseret kakiku ke kamar mandi dengan malas. Kututup kegiatan di kamar mandi, sekalian membersihkan diri. Mumpung dua makhluk kecilku tertidur pulas.

Selesai berganti baju, kulihat tumpukan popok di atas ember. Ya, ampun. Ternyata, pekerjaanku sungguh masih banyak. Sementara, kinerjaku saat ini benar-benar lelet. Kukira, semua ibu duamelahirkan akan merasakan hal sama denganku. Terlebih, hanya baru tiga hari proses lahiran itu.

Nanti, akan kuminta Mas Haidar membelikan mesin cuci agar aku tak kesulitan. Saat ini, biarlah kukerjakan cucian dengan manual. Terpaksa, saat tubuhku audah bersih dan wangi, kucuci popok, bedongan dan baju si kembar, lalu dijemur di halaman belakang.

Tiba saatnya, aku akan menikmati camilanku. Begitu bersemangat saat aku melangkahkan kaki kembali ke dalam rumah. Duduk terlentang di ruang tamu, aku memindahkan seluruh makanan ke dalam mangkuk yang kubawa dari dapur.

Meskipun makanannya sudah tak hangat lagi, tapi gak apa-apa. Aku masih bisa menikmatinya tanpa terganggu. Semua makanan telah kutuangkan. Ku ambil sendok, dan...

"Eeaaa.. Eaaa..."

Baru saja mau bersuap, salah satu bayiku menangis kencang. Saat seperti ini, ingin rasanya aku berlari dan kabur dari hadapan mereka. Aku benar-benar kehilangan waktu untuk diriku sendiri.

Bersamaan dengan itu, ponselku berdering. Aduh, tambah panas saja kupingku. Sempoyongan, bergegas menuju kamar untuk menggendong Haura yang semakin mengencangkan jeritannya. Saat tubuh kecil itu sudah berhasil dipangku, ada yang baru kusadari. Tanganku basah dan lengket.

Semerbak aroma khas kotoran bayi meniup hidungku.

"Ya, ampun. Haura! Kalian ini bener-bener gak bisa lihat Bunda senang dikit, ya!"

Entah kenapa, tiba-tiba emosiku membuncah pada anakku yang tak berdosa. Sembari terus menggendong Haura agar diam, kumasak air untuk mereka mandi. Sekalian saja mereka dibersihkan agar tak bekerja dua kali.

"Udah, dong Haura. Diem, Bunda lagi panasin air buat kamu mandi!"

Aku terus menegur Haura, seolah-olah dia mengerti dengan apa yang kukatakan. Nyatanya, Haura sama sekali tak menghentikan tangis. Saat hendak mengambil baju baru di lemari plastik, Hanum pun ikut terbangun karena bisingnya suara Haura.

Kini, kedua bayiku menangis secara bersamaan. Ini bukan pertama kali. Dan saat seperti ini seringkali kusesali. Andai bisa, aku ingin lenyap saja sekarang juga. Andai boleh, aku ingin waktu bisa diputar kembali. Entah kenapa, ingin sekali berteriak pada Mas Haidar karena ia sama sekali tak pernah membantuku. Menyentuh piring kotor pun, sepertinya haram baginya sehingga kukerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Apalagi ikut mengasuh dan meredakan tangis si kembar.

Mas Haidar hanya mengajak main sesekali atau sekadar mengapa kedua bayiku. Tak lebih dari itu. Sisanya, hampir dua puluh empat jam, kukorbankan seluruh waktuku untuk mereka.

Tiba-tiba, air yang sedari tadi menggenang di kedua pelupuk mataku membuncah jua. Aku tak dapat menahan penderitaan ini. Menderita? Iya, aku merasa sangat menderita.

Wahai semesta, telanlah aku..

Kutimbang dua-duanya secara bersamaan. Karena tanganku ada dua, akhirnya aku tak bisa melakukan aktivitas lain selain menggendong mereka.

Bagaikan pinang dibelah dua. Saudara kembar itu kalau yang satu sakit, satunya ikut sakit. Satu pup, satunya ikut pup. Aku mulai pusing dengan kondisi seperti ini. Terus kugoyang mereka ke kanan dan ke kiri sampai lelah sendiri.

Tangisan mereka bergantian dengan isakan yang keluar dari mulutku. Menggema di rumah yang belum lunas cicilannya.

Saat tangisan mereka mulai mereda, kuhempaskan badan di atas kursi empuk depan lemari. Walau bekas jahitan di bagian tubuh sensitifku masih sangat perih, kupaksakan untuk duduk normal seperti tiada luka. Tubuhku seperti baru tertindih ribuan besi. Mataku mulai menggelayutkan kantung mata. Aku kehabisan tenaga. Napasku terengah-engah, seperti sudah lomba lari dan jadi pemenangnya.

Kutempelkan punggung menuju sandaran kursi. Bernapas sejenak dari keruwetan meredakan dua makhluk mungil yang masih berada dalam pangkuanku. Aroma khas dari bokong mereka menusuk ke lubang hidung. Namun, kelelahan dan rasa kantukku tak bisa dihindari. Tanpa terasa, mataku mulai terlipat. Kehilangan sadar, lalu tertidur. Lupa bahwa api di atas kompor terus berkobar memanasi panci yang kini terisi air.

*****

Hidungku mengendus bau asap dari benda yang terbakar. Perlahan, mataku terbuka. Lama-lama, kepulan asap membumbung di area dapur. Menembus tirai kerang yang menjadi sekat antara dapur dan ruang tengah.

Spontan, tubuhku bangkit. Lupa bahwa aku masih sangat lemah, kuayunkan kaki dengan cepat menuju kamar. Meletakan Haura dan Hanum yang masih tertidur ke atas kasur. Dengan panik, kuseret kakiku menuju dapur yang mengabu. Tampak di sana, api berkobar di atas lap yang tersimpan di pinggir kompor.

Aku menepuk jidat. Salahku juga! Tadi, menyimpan lap itu sangat dekat dengan sumber api. Kepulan asap mulai menyusup ke paru-paru. Terbatuk-batuk, aku berusaha mengambil satu ember air penuh dari dalam kamar mandi yang berdampingan dengan dapur. Kupadamkan api yang masih menyala di atas kompor. Air dalam panci tersebut telah menyusut setengahnya.

Beberapa ember berhasil kuangkat guna menyiram benda yang terbungkus api itu. Untung saja belum merambat ke tempat lain. Beberapa menit kusiram, akhirnya api itu berhasil padam. Embusan asap masih tersisa di udara dan aku menghela napas lega.

Tubuhku semakin sakit. Terlebih, jahitan di bagian sensitifku terasa sangat perih. Seperti luka yang tengah disirami air garam, sepertinya jahitannya sobek. Saat kupandangi tubuh ke bawah, kuangkat rok daster setinggi lutut. Ada yang merayap di betisku. Cairan berwarna merah segar itu mengalir pelan ke bawah.

Tubuh ini rubuh seketika. Dengan posisi duduk terlentang dan pundak bersandar di tembok dapur, aku mengaduh kesakitan. Air mata mewujudkan sakit yang saat ini menyergap tubuhku. Bersamaan dengan semburan air dari mataku, jeritan dari bibirku tak bisa ditahan.

Kuremas daster yang kini dipakai. Aku harus bagaimana? Sementara, rasa sakit di bagian sensitifku tak mereda juga. Semakin lama, semakin perih rasanya. Seperti ada belati yang mengiris luka yang masih basah. Aku menangis sekencang-kencangnya.

Aku memukul dinding tembok berulang. Kali saja, dengan sakitnya jemariku yang beradu dengan tembok, sakit di tubuhku berkurang. Namun, tetap saja. Perihnya tak berubah.

Sekuat tenaga, kuangkat kembali tubuh ini untuk menghubungi Mas Haidar. Diiringi kepedihan, aku merayap gontai menuju kamar. Mengambil gawai yang tergeletak di sebelah Hanum yang tertidur. Isak tangisku masih menggema. Aku tak bisa berhenti.

Kucari kontak Mas Haidar, segera menghubunginya. Tak berselang lama, telepon langsung tersambung. Tanpa menyapa dan berucap salam, aku langsung melapor apa yang terjadi.

"Mas, sakit, Mas. Tolong ak-ak-aku," lirih, aku berbicara pada seseorang di seberang sana.

"Kenapa, Zara?" Suara Mas Haidar terdengar panik. Dapat kutangkap suara beberapa orang yang sedang berbicara di sisinya.

"Mas, sakit. Tolong aku, pulang sekarang!" Aku masih terisak, sembari memaksa Mas Haidar untuk pulang sekarang juga.

"Zara? Kamu kenapa?" Berulang kali pertanyaan itu terlontar, aku tak bisa menjawabnya.

Detik berikutnya, gawaiku terjatuh bersamaan dengan tulang yang kehilangan kekuatan untuk menopang tubuh. Tiba-tiba saja, semuanya gelap seketika.

Bersambung...

Related chapters

  • BABY BLUES   4. Menyesal Jadi Ibu

    Samar terdengar suara langkah kaki bersahutan dengan langkah tergesa. Entah ini mimpi atau bukan, untuk membuka mata rasanya berat sekali. Saat sebuah jarum menusuk lenganku, akhirnya aku tersadar. Kuedarkan pandang menuju sekeliling.Dimana aku? Perlahan, kuingat kembali apa yang terjadi beberapa saat lalu. Kompor yang menyala. Api yang membara. Menciptakan kepulan asap mengudara di dapur. Lalu, Haura dan Hanum yang kuletakkan di atas kasur. Dimana mereka? Seorang bidan dan dua asistennya tengah sibuk menempelkan alat-alat ke tubuhku. Saat ingatanku telah pulih, refleks tubuhku berusaha untuk terangkat. Namun, sayangnya, rasa sakit di bekas jahitan itu merambat. Kepalaku seperti ditimpa batu besar dan dijatuhkan berkali-kali."Mbak Zara, tenang, ya. Kami akan obati luka jahitan bekas lahiran kemarin dengan mengulang proses menjahitnya. Sobeknya lumayan besar." Bu bidan mencoba menahanku yabg terus memaksa bangkit dari ranjang periksa.Setelah kurasakan sa

    Last Updated : 2023-05-12
  • BABY BLUES   5. Katanya, Aku Kurang Iman

    "Aku menyesal menjadi ibu, Mas."Pernyataanku membuat kepala Mas Haidar bertanduk. Raut tak suka ia tunjukkan saat aku mengeluh."Istighfar, Zara. Kalimat yang baru saja kamu ucapkan adalah kalimat yang banyak orang lain sesalkan. Ada banyak perempuan yang tak bisa melahirkan bayi dari rahimnya sendiri. Banyak sekali yang menginginkan sepertimu. Seharusnya, kamu lebih bersabar dan mempertebal iman. Bukan bicara ngawur seperti ini."Kupandangi langit lewat kaca jendela mobil. Begitulah. Kalau ada sesuatu yang kukeluhkan, Mas Haidar selalu cepat menyalahkanku. Tak pernah sekalipun ia menghibur hati. Di matanya, aku adalah perempuan berhati sempit dan tidak pandai bersyukur.Sementara, ia ingin aku menjadi wanita sempurna. Perempuan yang ikhlas menerima apapun, perempuan tanpa amarah layaknya peran protagonis di sinetron layar kaca. Tak melawan, tak bertindak. Hanya menangis dalam doa.Bukan, aku bukan wanita seperti itu. Layaknya manusia ya

    Last Updated : 2023-05-12
  • BABY BLUES   6. Kembalikan Anakku

    Kedua bayi kecilku tengah bermain saat azan maghrib berkumandang. Aku sengaja memanfaatkan waktu senggang untuk menghabiskan makanan tadi pagi yang kupesan. Siomay tahu ikan tenggiri yang sudah dingin dan sepotong bakso sisa pagi masih tersisa.Awet sekali bila menghabiskan makanan akhir-akhir ini. Lumayan juga, mengirit uang jajanku. Tak lupa, sayur bening daun katuk buatan ibu mertua kuhabiskan sampai tak bersisa. Sepiring nasi yang kupesan dari warteg tersaji bercampur sayur. Syukurku terpanjat kala bisa makan enak tanpa tergesa. Hal ini menjadi momen yang sangat sulit kucari setelah melahirkan. Setelah seluruh piring, mangkuk dan gelas kosong, aku menepikan semuanya ke sudut kamar. Biar saja kubersihkan besok.Dering gawaiku berbunyi, aku segera mengangkatnya. Salam terucap dari lisan Mas Haidar yang berbicara lewat sambungan telepon. Lekas, kujawab salam dengan berbisik agar tak menganggu tidur Haura dan Hanum."Zara, malam ini temen-temen k

    Last Updated : 2023-05-12
  • BABY BLUES   7. Nobar Bola Ganggu Bayi I

    "Maafkan Bunda, ya, Sayang. Bunda harusnya ikut temani kalian ke sana," lirih ucapanku berbisik di kedua telinga Haura dan Hanum yang berada dalam dekapan.Kedua bayiku masih tampak anteng dan bermain. Sesekali mereka memberikan upah pada kelelahanku. Segaris senyum di bibir mereka yang menenangkan. Segera kuganti pakaian bawah Haura saat menyadari lenganku basah. Hanum diletakkan di sebelahnya.Saat mereka asyik bermain seperti ini, aku merasa menjadi manusia normal. Layaknya seorang ibu yang melimpahkan cinta untuk anaknya. Kuasuh dan belai penuh cinta. Teringat kejadian tadi pagi, saat kumarahi mereka karena terus menangis tanpa henti. Menambah lelah dan pikiran sehingga penuh beban.Sesal di hati terbit. Harusnya, aku lebih sabar. Tak murka hilang kendali. Terlebih, sempat enggan me nyu sui dan mencubit makhluk tak berdosa itu."Maafkan, Bunda, ya, Haura dan Hanum. Bunda tahu, Bunda bukan orang tua yang baik. Tapi, Bunda akan berusaha lebih ba

    Last Updated : 2023-05-30
  • BABY BLUES   8. Nobar Bola Mengganggu Bayi II

    Lebih dari setengah jam mereka menempel di tubuhku, rasanya kelopak mataku mulai berat. Dapat kurasakan mereka masih menyedot ASI yang keluar begitu deras. Berbeda dengan kemarin, seret dan sulit sekali keluar. Malam ini, bagai hujan yang menghujam tanah hingga banjir, kedua anakku akan tidur kekenyangan.Membayangkan mereka akan tidur lelap setelah ini dan aku akan melakukan hal sama. Aku menguap lebar, tanpa bisa kututup dengan telapak tangan. Kulirik jam yang menggantung di dinding.Pukul sebelas.Akhirnya, sesuai harapan, kedua anakku tidur lelap dan melepaskan lekatan bibir mereka dari tubuhku. Kuletakkan satu-persatu perlahan. Menahan luka jahitan yang akan terasa perih jika bergerak agak jongkok, saat meletakkan bayi.Kurentangkan kaki sembari meregangkan seluruh otot yang mengeras. Pegal sekali! Andai saja punya robot pemijit tubuh, aku akan menjadi orang pertama yang membeli.Saat kelopak mata mulai menutup dan kesadaran hendak b

    Last Updated : 2023-05-31
  • BABY BLUES   9. Semakin Luka

    Penawaran Mas Haidar seperti basa-basi saja. Saat ia bertanya butuh bantuan atau tidak, tubuhnya mematung di ambang pintu. Sedikitpun tak mendekat.Menahan sesuatu yang tercekat di tenggorokan, sekuat mungkin aku berusaha menjawab. "Gak perlu. Bola lebih penting daripada Haura dan Hanum," sahutku ketus.Mas Haidar mengangkat sebelah alisnya. Memandangku bingung."Kenapa jawabnya gitu, Zara? Apa aku gak boleh menghibur diri dari jenuhnya pekerjaan?"Kali ini, Mas Haidar malah berbalik menyerang. Andai dia tahu, setelah Hanum dan Haura lahir, tak ada waktu untukku mengusir jenuh. Berbeda dengan Mas Haidar yang masih bebas dengan aktivitas menyenangkan diri sendiri. Bergaul dengan kawan-kawan tanpa peduli bagaimana keadaan rumah, istri dan anaknya.Mas Haidar tak pernah kehilangan dunianya. Berbeda jauh dengan kehidupanku yang berubah seratus delapan puluh derajat."Silakan aja kalau mau pergi. Aku sudah biasa ditinggal." Berpura-pu

    Last Updated : 2023-06-01
  • BABY BLUES   10. Semakin Luka II

    Perih di bekas luka jahit tiba-tiba menggerogoti kulit. Semakin pecah tangisanku, luka itu semakin menggigit. "Aaarrrghhhh!"Badanku luruh di lantai saat itu juga. Punggungku yang lemas bersandar pada pintu. Berkali, kuketuk keras pintu oleh kepala bagian belakang. Biar saja mati saat ini juga, ketimbang harus mereguk sendiri derita.Semakin kencang gamparan kepalaku di pintu. Tiba-tiba kepalaku mulai berputar. Ya Allah.. apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus membunuh kedua bayiku untuk mengakhiri derita ini?Ayah, Ibu. Cepatlah datang ke sini. Aku butuh kalian. Aku membatin dalam isakan yang terus berkumandang. Haura dan Hanum tak jua berhenti menangis.Habis tenaga, rasanya aku pasrah. Kuletakkan Haura dan Hanum di lantai. Tak peduli dingin dan angin yang menyelinap dari celah pintu. Mereka terus meraung entah mau apa.Kupejamkan mata. Merenungi kehidupan yang terasa menyiksa. Salah apa aku, Tuhan? Sehingga Engkau menghuku

    Last Updated : 2023-06-02
  • BABY BLUES   11. Bimbang I

    Setelah begadang semalaman, kelopak mataku sudah tak bisa ditahan lagi. Fajar mulai terbit dari ufuk timur. Jam-jam dimana kedua bayiku tidur nyenyak setelah terjaga hingga dinihari.Mengurus dua bayi sendirian seringkali membuatku lupa melakukan hal-hal penting lain di rumah. Seperti yang terjadi kemarin, saat Ibu menyuruhku untuk makan. Tak sempat menanak nasi ataupun mengolah makanan. Kalaupun ingat, rasanya tubuhku tak akan kuat.Empat hari terakhir, kuisi perut dengan memesan makanan online. Walaupun tak masalah bagi Mas Haidar, tetap saja mulut Ibu tak diam. Beberapa kali dia menasihatiku, jangan jadi perempuan malas dan manja. Menjadikan alasan melahirkan sebagai senjata agar semuanya serba instan. Padahal, kondisi Ibu dulu saat melahirkan, tentu berbeda dengan apa yang kualami sekarang.Saat kubaringkan tubuh di atas kasur, layar gawaiku bergetar. Sebuah pesan masuk, dari Ibu.[Zara, hari ini Ibu gak bisa main sama cucu-cucu Ibu. Ada bupat

    Last Updated : 2023-06-03

Latest chapter

  • BABY BLUES   44. Enggan Disalahkan II

    "Jadi, bagaimana solusinya, Hanin?""Ya, solusinya kamu sendiri. Jadilah orang paling siaga buat istri kamu. Yang dia butuhkan saat ini adalah dukungan dan bantuan. Tolonglah mengerti dengan kehidupannya yang berubah seratus delapan puluh derajat itu. Sudah kukatakan, dokter Zara yang sesungguhnya adalah kamu, suaminya sendiri.""Apa menurut kamu aku kurang mengerti padanya? Uangku selalu kuberikan,"Tut. Tut. Tut.Panggilan tiba-tiba terputus dan layar gawaiku tak lagi menyala. Sial! Baterainya habis.Setelahnya, aku tak bertanya lagi pada Hanin, dia pun sepertinya enggan lagi menghubungi. Namun, kali ini aku mulai berpikir kembali, kapankah bisa kulihat Zara yang penyayang? Yang menimbang anak-anaknya dengan ikhlas tanpa berang. Sebuah perasaan menggangguku kembali. Aku harus berbicara empat mata dengan Hanin, sebagai psikolog ia pasti tahu solusinya bagaimana. Aku tak mau hubunganku dengan Zara akan terus seperti ini.

  • BABY BLUES   43. Enggan Disalahkan I

    PoV HaidarKepulangan Zara ke rumah Ibu membuatku lebih tenang. Aku bisa lebih leluasa mengatur waktu istirahat tanpa ada yang memanggil, lalu menyuruh banyak hal. Hanya satu saja yang kurang, hati betapa rindu wajah lucu kedua bayiku. Sayangnya, aku tak bisa melihat mereka setiap hari karena mereka harus tinggal sementara di rumah Ibu.Teman-teman juga tak canggung untuk nonton bareng acara bola saat di rumah tak ada Zara. Mau tidur jam berapapun, tak ada yang protes.Seringkali, kuajak mereka menghabiskan malam untuk taruhan nonton klub bola kesukaan atau main Play Station di ruang tamu.Jangan menduga, jika aku tak cinta dan peduli pada istriku! Dengan keputusanku seperti ini, adalah bukti cinta padanya. Lebih baik kubiarkan ia bersama Ibu, belajar bagaimana baiknya menjadi orang tua, daripada terus bersamaku dengan segunung amarah yang terus dilampiaskan padaku, sebagai imam di hidupnya. Sebab, saat bersamaku, rasanya apapun yang kulakukan sel

  • BABY BLUES   42. Banyak Larangan II

    "Lha, Mbak Zara gak pakai kemben, ya?" Bu Sarinah memandangku dengan dengan lekat.Aku menghela napas. Dari pertama kedatanganku ke sini, beliau memang sering mengomentari apa yang kulakukan. Dari mulai makanan yang disantap, kebiasaan tidur pagi dan siang, masih di luar rumah saat waktu ashar tiba dan larangan-larangan lain yang selalu dihubungkan dengan hal mistis. "Enggak, Bu. Pengap," jawabku santai."Nanti buncit lho perutnya," seru Bu Sarinah heboh sendiri."Mbak Zara, Ibu punya anak tujuh, tapi perut Ibu enggak tuh bergelambir kayak ibu-ibu zaman sekarang. Karena Ibu selalu pakai kemben abis lahiran." Bu Sarinah malah curhat tentang dirinya, aku serasa dipojokkan karena punya pilihan sendiri."Aku biasa olahraga, kok Bu. Nanti, kalau udah bener-bener pulih, aku pasti olahraga. Bukan hanya perut yang harus dijaga, Bu, tapi seluruh badan. Kalau olahraga rutin, bukan hanya perut yang bakal langsing, tapi seluruh badan.""Mba

  • BABY BLUES   41. Banyak Larangan

    PoV Zara"Ya ampun, Zara. Jangan tidur siang, gak baik buat ibu menyusui!"Aku tersentak saat hampir saja benar-benar terlelap. Rasa pusing mendera seluruh bagian kepala. Seperti biasa, semalaman Haura dan Hanum terus menangis, entah karena apa. Sempat berkonsultasi dengan bidan, dia berkata kemungkinan kedua bayiku kena kolik. Mereka mau tidur dan terlelap setelah adzan subuh. Setelahnya pun harus tetap dibangunkan untuk diberi ASI selama dua jam sekali."Ibu, aku semalam cuma tidur sebentar. Sejam aja gak nyampe. Aku butuh istirahat," protesku lemas karena kedua mataku juga sudah sangat berat."Lha, emang semua ibu melahirkan itu biasanya kurang tidur, Zara. Nanti, anak udah gede bisa puas-puasin lagi tidur seharian. Jangan kebluk, kamu!""Aku kan harus sehat juga, Bu. Kalau kurang istirahat nanti sakit, pengaruh juga sama Haura dan Hanum." Aku mencoba mengeluarkan pendapat sendiri. Faktanya, jika tidur kurang, badan akan terasa lemas d

  • BABY BLUES   40. Katanya, Aku Ketempelan Jin II

    Mereka ini ada-ada saja. Kenapa kelakuanku dikait-kaitkan dengan hal mistis?Seandainya dibandingkan, aku lebih memilih mendatangi psikolog tadi ketimbang Ustadz Samsul. Hanin, sesama perempuan enak untuk diajak bicara. Setidaknya, ada telinga yang bersedia mendengar keluh kesahku. Tidak seperti Mas Haidar, telinga saja ia tutup kala aku berkeluh. Selalu ada senjata untuk menghentikan kesahku, yaitu kalimat 'aku kurang iman dan kurang sabar.'Akhirnya, kami pulang kembali ke rumah tepat setelah adzan zuhur masjid terdekat usai dikumandangkan. "Tadinya Ibu mau nginap di sini, tapi Ibu gak bisa ninggalin kegiatan desa, Haidar. Sebagai ketua ibu-ibu PKK, Ibulah yang bertanggungjawab."Terdengar perbincangan Mas Haidar dan Ibu di ruang tamu saat aku berbaring di atas kasur tengah menyusui Haura dan Hanum secara bersamaan."Bagaimana kalau Zara tinggal di rumah Ibu dulu, Haidar? Selain Zara akan terbantu, Ibu bisa memantau kedua cucu Ibu. Set

  • BABY BLUES   39. Katanya, Aku Ketempelan Jin

    PoV Zara"Ngapain Mas bawa aku ke sini?" Aku protes saat memasuki pekarangan rumah Ustad Samsul, ustadz yang terkenal dengan berbagai macam pengobatan, terlebih orang yang sakit karena bersangkut-paut dengan ilmu gaib."Ketemu teman lagi? Sejak kapan Mas berteman dengan Ustadz Samsul?" "Zara, kamu itu harus diobati. Ibu jelaskan, ya. Kamu itu ketempelan makhluk gaib. Makanya, kemarin sampai tega membuang cucu Ibu, Haura dan Hanum, anak kandung kamu sendiri," sahut Ibu, menyambar pertanyaan yang semula kutujukan untuk Mas Haidar.Aku tahu, perempuan yang bernama Hanin tadi bukanlah istri dari teman Mas Haidar. Dia seorang psikolog. Aku hanya diam saja tatkala Mas Haidar dan Ibu meninggalkan kami untuk mengobrol empat mata. Lagipula, aku memang butuh teman bercerita. Jadi, tak ada salahnya jika aku mengungkapkan pada psikolog itu, bukan? Kurasa, dia tak akan menghakimiku seperti ibu atau para tetangga. Sayangnya, Mas Haidar dan Ibu mengir

  • BABY BLUES   38. Tidak Bahagia II

    "Kata orang lain menjadi ibu itu bahagia. Itu kata orang lain," ungkap Zara kemudian. Sesungguhnya, ia sangat ingin meluapkan apa yang kini dirasakan hatinya. Namun, Zara menahan diri untuk tak terlalu terbuka pada perempuan yang baru saja ditemuinya. Barangkali, di luar ia adalah bagian dari ibu-ibu gosip. "Apa Mbak Zara gak termasuk bagian orang lain itu?" Hanin mulai masuk ke dalam topik utama. Tentu, harus sangat berhati-hati."Bisa ya, bisa tidak." Jawaban yang ambigu.Namun, dengan status dan gelarnya sebagai psikolog, tentu Hanin sudah tahu jawaban yang disembunyikan Zara. Ia hanya ingin Zara bercerita seluruh hal padanya agar ibu baru itu merasa lega karena menumpahkan kesahnya. Menurut Hanin, sekuat apapun seorang wanita akan selalu ada masa dimana ia membutuhkan sandaran dan tempat bercerita. Sebab, manusia tetaplah manusia yang saling membutuhkan telinga orang lain untuk didengarkan.Sebenarnya, kasus Zara bukanlah kasus langka baginya

  • BABY BLUES   37. Tidak Bahagia

    PoV PembacaSejenak, dua orang yang saling berhadapan di ambang pintu itu bergeming. Haidar sempat tak berkedip melihat perempuan yang bernama Hanin itu adalah teman dekatnya semasa SMA dulu. Sempat dekat dan saling suka, tetapi pada saat itu mereka tak mampu saling mengungkap rasa. Namanya anak muda yang belum pernah pacaran, tentu mereka canggung dan fokus belajar saja.Beberapa detik berikutnya, Hanin mempersilakan mereka masuk dengan ramah. Memanggil seorang pelayannya ke belakang, lalu sang pelayan membawakan tiga gelas teh hangat dan camilan ringan."Kukira, yang di pesan itu bukan kamu, Haidar," celetuk Hanin membuat Zara menengadah.Haidar tampak salah tingkah. Tentu, ia tak mau membuat Zara salah paham."Hanin, suami kamu mana?""Suami?" Hanin berkerut kening. Beberapa kali Haidar mengedipkan matanya pada Hanin, memberi kode untuk dia mengerti.Tentu saja perempuan itu paham dan enggan untuk berbohong. Ia mengal

  • BABY BLUES   36. Aku Membuangnya II

    "Mas.."Aku tersenyum, meski dalam hati prihatin melihat ia begitu tak terurus."Haura dan Hanum. Aku telah membuangnya." Belum apa-apa, ia sudah menangis lagi."Hari ini kita jemput mereka, ya. Pasti mereka kangen sama bundanya," hiburku, berharap Zara bisa menjalani peran sebagai seorang ibu seperti yang lainnya.Tiba-tiba, kepalanya tertunduk. Seperti tengah memikirkan banyak hal yang berat. Detik berikutnya, ia berbicara sembari terus melirik selimutnya yang telah basah disiram embun yang mengalir dari matanya."Aku takut dan aku gak akan sanggup."Entah harus bagaimana aku menanggapi perkataan Zara. Semua ibu pasti akan merasakan kerepotan merawat bayi. Kenapa aku tak melihat ketulusan seorang ibu terpancar darinya?Aku menghela napas. Di tengah kebuntuan seperti ini untungnya Ibu datang. Suara salam terdengar membuat Zara mengubah posisi duduknya. Ada kekhawatiran tergambar pada raut wajah yang kusut itu.

DMCA.com Protection Status