Usia pernikahan Safina dan Angga hampir setahun. Safina mendedikasikan hidupnya untuk suami dan keluarganya. Safina yakin mampu menaklukkan hati Angga dengan ketulusan cintanya. Ia ikhlas menerima perlakuan buruk dari mereka sambil menunggu datangnya hari bahagia. Benar saja! Hari yang ditunggu-tunggu Safina datang. Suami tercintanya memberikan kejutan di pesta anniversary pertama pernikahan mereka. Safina menerima kado terindah di pesta itu.
View MoreTeloleeeettt!
Suara klakson dari bus besar berbunyi sangat nyaring sekali. Suaranya dapat membuat siapa saja atau kendaraan apa pun yang sedang menghalangi jalan menyingkir seketika karena kaget. Ini adalah jalan raya menuju kawasan terminal, di mana banyak bus lalu lalang serta menurunkan dan menaikkan penumpang. Wilayah yang ramai penduduk serta dipenuhi perantau yang bolak-balik dari daerah ke Jakarta dan sebaliknya.
"Om! Telolet lagi, Om!" teriak anak-anak kecil yang umurnya sekitar tujuh tahunan mereka meminta bus yang lewat untuk membunyikan klaksonnya, lalu mengabadikan suara serta tampilan bus dalam bentuk video untuk diunggah di aplikasi Tiktok.
Teloleeett … tet!
Suara klakson mobil bus kembali dibunyikan. Saking kencangnya, sampai membuat seorang gadis terbangun dari tidur.
"Om keren!" Anak-anak itu mengacungkan kedua jempol mereka. “Lagi Om! Lagi!” teriak mereka antusias.
"Oiii! Berisiiiikk …!" Seorang gadis berteriak dari sebuah rumah kecil di ujung sebuah muara gang kecil. Jendela kamarnya menghadap langsung ke jalan raya.
"Eh si Burik bangun. Ayok kabur ...!" Anak-anak itu panik dan segera menderap menjauh. Mereka dengan sengaja meneriaki mobil bus di area ini agar mengganggu gadis tomboy yang sedang tidur karena sedang libur sekolah. Bocah-bocah itu tidak pernah bosan menjaili gadis bernama Bella yang mereka ejek burik itu.
"Dasar anak-anak nakal. Ganggu aja." Bella keluar dari rumah, tapi anak-anak yang ingin ia marahi sudah kabur. Gadis itu menggaruk kulit kepalanya yang lumayan gatal karena sudah dua hari tidak keramas.
Kriiuuuukkk … kriuuukkk!
Suara cacing di usus Bella terdengar protes sangat nyaring. Lambungnya sudah minta diisi makanan.
"Aduh, laper banget. Sarapan sama apa, ya? Coba lihat isi dompet dulu, deh." Ia kembali ke dalam rumah yang mungil dan melewati celah yang sempit dan gelap jika malam hari. Ibunya tengah tertidur karena baru pulang saat dini hari.
Bella kemudian melihat isi dompetnya karena di dapur sama sekali tidak ada makanan. "Eh ada uang cuma dua ribu." Ia membolak-balik uang kertas yang bertuliskan angka dua dan nolnya tiga, berwarna hijau, dan sudah lusuh.
"Kerja dulu deh biar dapet uang." Ia meraih topi hitam yang biasa ia pakai, lalu pergi dari rumah tanpa berpamitan. Ia takut mengganggu ibunya yang tengah tertidur pulas.
Kaki mungil itu berjalan menyusuri jalan, menuju arah di mana tubuhnya ingin berhenti untuk mencari pekerjaan.
"Kerja apa ya hari ini? Asal jangan ngemis." Ia suka bekerja keras biarpun hasilnya tidak seberapa. Yang penting hasil keringat sendiri dan bukan dari hasil mengemis.
Netranya yang indah—yang memiliki manik mata berwarna cokelat—melihat sebuah restoran yang halamannya dipenuhi mobil pengunjung. Tidak terlihat tukang parkir yang membantu mobil keluar masuk ke jalan raya dari halaman restoran.
"Aha! Parkiran itu kosong, nggak ada tukang parkirnya," gumam Bella. Terbetik ide untuk menjadi tukang parkir saja. Hanya bermodal lambaian tangan, suara yang nyaring dan bisa bersiul, uang datang.
"Mundur, Pak, mundur!” Bella memberi aba-aba guna membantu mobil yang hendak keluar dari halaman restoran.
"Terima kasih." Supir memberikan selembar uang dua ribu sebagai upah membantu menyeberangkan mobil.
"Hati-hati di jalan, Pak!" Bella tersenyum manis. Cukup lama ia bercokol di depan restoran. Dari yang semula ramai pengunjung hingga sekarang sepi. Seorang ibu, yang adalah pemilik restoran, memperhatikan Bella dari dalam. wanita yang terlihat sudah tidak lagi muda itu tertarik pada aura energik yang menguar dari sosok sang gadis.
"Hei Nak!” teriak si ibu dari dalam. Saat Bella menoleh, ia melambai, menyuruh gadis itu masuk.
Bella berlari kecil, mendekat. “Ya, Bu?”
“Kamu butuh kerjaan?"
Dengan senyuman merekah di wajah, gadis itu tersenyum pada ibu pemilik restoran. "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Ia mengangguk sopan.
“Siapa namamu? Saya Sinta,” ucap si ibu sambil mengulurkan tangan.
Bella membalas jabatan tangan itu. “Bella.”
“Hmm, nama yang cantik.” Sinta mengamati gadis itu dan menduga sang gadis adalah seorang anak putus sekolah. "Kamu sekolah atau tidak?"
"Sekolah, tapi lagi libur, Bu." Bella merapikan poni yang menghalangi bagian mata.
"Bantu saya masak, gimana? Bisa masak, kan?" tanya Sinta. Karena libur tanggal merah, banyak karyawannya izin tidak masuk kerja. Sebentar lagi jam makan siang dan restorannya pasti akan ramai. Sebelum jam makan siang tiba, makanan sudah harus siap dan dijejerkan di etalase.
"Bisa Bu, bisa!" Bella langsung mengangguk sebagai tanda setuju. Padahal ia hanya bisa memasak nasi, air, dan mi saja. Walaupun tidak bisa masak, setidaknya Bella bisa memotong, mencuci bahan, dan mencuci piring. Ibu ini hanya butuh asisten karena ia sendiri yang memasak.
"Ya udah, tiap libur atau senggang bantu masak, ya. Saya gaji harian." Pemilik restoran ingin membuka lapangan pekerjaan untuk gadis ini, daripada ia di luar memarkirkan kendaraan, terpapar panas dan polusi udara.
"Iya, Bu. Terima kasih!"
"Kamu sudah makan, Nak." Ibu pemilik restoran ini terkenal dermawan. Ia mendengar perut sang gadis yang terus bersuara sehingga menyuruhnya untuk makan.
Bella tersipu malu. “Belum, Bu.”
“Kalau gitu, kamu boleh makan dulu sebelum kerja.”
"Baik, Bu. Apa saya boleh makan sekarang?" tanya Bella, ia lapar tapi ragu apakah sudah waktunya untuk makan.
"Boleh. Setelah makan, bantu masak lagi, ya!"
"Makasih, Bu.” Bella senang karena ia bisa makan gratis.
Sesuai perintah dan sesuai janji Bella, ia makan sangat cepat agar bisa membantu pemilik restoran untuk memasak lagi. Tenaga Bella naik dua kali lipat setelah perutnya diisi amunisi perkedel jagung dan goreng ayam.
Hari itu berlalu dengan cepat. Tahu-tahu, saat pulang sudah tiba. Setelah membantu beres-beres perkakas dan membersihkan lantai restoran, Bella bersiap pulang.
"Wah, udah beres semua." Bella meregangkan tangan.
Sinta datang menghampiri dengan sebuah amplop. "Ini gaji kamu."
Bella girang sekali. Namun, ingat ibunya di rumah yang pasti belum makan sama sekali. Ia melihat roti yang tersisa dua di etalase. Mungkin harga roti tersebut hanya dua ribuan saja.
"Saya boleh minta roti itu juga gak, Bu? Buat ibu saya di rumah. Tadi saya tinggal masih tidur. Sekarang kayaknya belum makan." Bella minta izin terlebih dahulu.
"Bawa aja, Nak." Sinta memberikan roti sebagai bonus kerajinan Bella.
"Sekali lagi makasih, Bu!"
Bella dengan semangat berjalan sendirian dan tidak memperhatikan jalan. Dia menabrak seorang nenek yang duduk di trotoar jalan.
Bruk!
Bella terjatuh. Nenek yang ia tabrak juga ikut terkapar di trotoar jalan. Ternyata nenek itu seorang pengemis yang tengah duduk menunggu belas kasihan pengguna jalan. Bella panik dan langsung menolong sang nenek. Dengan rasa bersalah, ia membantu si nenek bangun. "Aduh, Nek. Maaf, saya nggak lihat."
"Tak apa, Nak." Nenek ini kembali duduk di tempatnya kembali untuk mengemis.
"Nenek nggak kenapa-napa? Biar saya periksa, ya." Bella membersihkan baju daster yang dikenakan si nenek, lalu memeriksa anggota tubuhnya, barangkali ada yang terluka. Biar bagaimanapun, ia yang salah karena melangkah tanpa melihat jalan.
"Maaf Nek. Beneran nggak ada yang sakit?" Bella kembali meminta maaf pada sang nenek.
"Tidak ada, Nak. Saya baik-baik saja."
"Nenek disini udah berapa lama? Sudah makan?" Bella merasa iba karena penampilan sang nenek lebih buruk darinya. Ia juga melihat sang nenek terus memegangi perut. Mungkin nenek ini merasa lapar.
"Dari pagi, Nak. Belum, sudah dua hari saya belum makan,” lirihnya.
"Astaga, Nenek. Nanti kalau Nenek sakit gimana?" Bella ingin sekali memberikan makanan untuk sang nenek.
"Habis Nenek nggak punya uang dan makanan, Nak." Wajahnya terlihat murung dan mengerut di usianya yang mungkin sudah sembilan puluhan.
"Ini ada dua roti, satu buat ibuku, satu buat Nenek ya." Bella mengeluarkan roti dari plastik yang ia bawa.
"Dimakan ya, Nek." Bella hanya memberikan satu karena satu lagi untuk ibunya. Uang yang ia dapat juga rencananya untuk di tabung.
"Kasihan ibu kamu tidak kenyang nanti." Nenek ini berusaha menolak, tapi Bella tetap memaksa.
"Nggak pa-pa , Nek. Saya bisa beli makanan yang lain nanti."
"Ya sudah, Nenek terima."
Bella tak hanya memberikan roti, dia menyisihkan uang hasil kerja kerasnya tadi untuk diberikan pada sang nenek. "Ini ada sedikit uang. Barangkali mau Nenek gunakan untuk beli makan lagi."
"Jangan, Nak. Jangan. Nenek tahu kamu juga butuh uang." Nenek ini menolak lagi. Roti saja ia rasa sudah cukup untuk mengisi lambungnya yang kecil.
"Tidak apa, Nek. Saya bisa mencarinya lagi." Bella memaksa memberi dengan memasukkan uang sejumlah lima belas ribu ke kantung sang nenek. Lima belas ribu sisanya akan ia tabung untuk jajan saat sekolah nanti. "Terima ya, Nek!"
"Terima kasih, Nak." Si nenek mengusap tangan Bella yang sama sekali tidak lembut untuk ukuran seorang gadis.
“Saya pulang ya, Nek.” Bella berpamitan karena hari sudah siang. Dia lupa belum mencuci baju-baju dan membersihkan rumah.
“Tunggu!” Si nenek mencegah Bella pergi.
“Ada apa?” tanya Bella yang kembali mendekat.
“Roda hidup kan berputar. Begitu pula dengan hidupmu. Bersiaplah untuk hal itu. Jika hari itu tiba, tetaplah menjadi orang yang baik, dan ajak orang lain juga berubah menjadi baik.” Tangan mereka berdua bergenggaman begitu erat. Sang nenek sangat terharu dengan kebaikan Bella.
“Iya, Nek. Terima kasih sudah mengingatkan aku.”
***
“Mau kalian apa?”Safina ingin marah, tetapi air matanya yang deluan keluar. Nasib Safina hanya sebagai status saja, perlakuan manja dari seorang suami ke istri masih dalam khayalan dan harapannya.“Tuh, kan. Dia drama lagi, sayang!” cela Angga.Angga dan Sandra tidak berhenti menghina Safina, walaupun mereka tahu bahwa air mata yang dikeluarkan Safina akibat ulahnya. Bahkan, mereka tidak memperdulikan perasaannya. Angga memerintahkan Safina merapikan kembali pakaian yang sudah berantakan di lantai.Sedangkan Sandra sengaja merayu Angga di depan Safina.“Mas, aku lapar. Kata Ibu, Safina pintar masak yah?” rayu Sandra.“Gak pintar, tapi emang itulah tugas dia di sini,” tegas Angga sambil membaringkan badannya di tempat tidur.Di balik manisnya pujian Sandra ke Safina, ia tidak segan menyuruh Safina memasak untuknya. Sandra menghampiri dan duduk mendekati Safina.“Mbak. Selesai ini, kamu masakin aku yah! Aku gak boleh telat makan. Mengerti?” bisik Sandra ke telinga Safina.Safina hanya
Apakah kekuatan tubuh Safina mencerminkan kekuatan cintanya kepada Angga?Setiap hari Safina bekerja di rumah mertuanya, tanpa suami. Namun, kehadiran ataupun ketidak hadiran Angga di rumah itu, tidak mengubah kekosongan hati Safina. Ia tetap tidak merasakan adanya cinta di sekitarnya.“Safina, Safina. Kamu pikir tanpa Angga di rumah, kamu bisa bermalas-malasan?” Merliam dengan congkaknya mengagetkan Safina yang sedang istirahat.“Nggak, Bu. Bukan begitu. Baru aja saya selesai nyetrika baju Ibu dan Bapak,” jantung terguncang ketika Safina menyangkal tuduhan Ibu mertuanya.Safina berdiri dengan lemas menghadapi serangan panas dari mertuanya. Badan yang kuat, akhirnya harus tumbang atas beban yang dipikul. Namun, ia menghadapinya dengan sendirian.Merliam meninggalkan Safina yang jatuh tak berdaya di lantai, tanpa sedikit pun menolongnya. Padahal Safina pingsan akibat kaget mendengarkan omelannya.Setelah sejam pingsan, Safina sadarkan diri. Safina mungkin lupa, ada seseorang yang sia
Berjalan sendirian tanpa kekasih, kuatkan diri dari semangat orang tua agar bisa bertahan hidup.“Aku aja yang buka pintunya, sudah terbiasa tanganku bergerak tanpa bantuan siapa pun,” Safina menghentikan pengawal yang ingin bukakan pintu mobil.Safina kembali ke rumah Dwicahyo dengan kehampaan. Perasaannya sangat teriris akibat kekejaman Angga dan istri barunya. Tapi apakah Safina bertahan sendirian menghadapi problematika hidulnya?Ia sebenarnya mempunyai kekuatan dari seseorang yang mencintainya dari dulu, tetapi Safina belum peka dengan perasaan cinta. Yah, orang itu adalah Randy. Ponsel Safina berdering, tiba-tiba Randy menghubunginya, tapi ia tidak berani menjawab panggilan Randy, sebab masih dalam pengawasan.Randy: Kamu baik-baik saja, kan?Randy mengirimkan pesan kepada Safina, sebab panggilannya sudah tiga kali tidak dijawab oleh Safina.Safina: Iya, Ran. Makasih, yah!Safina pun sigap menjawab pesan Randy, walaupun rasa takut menghampirinya.‘Randy, andai dulunya kamu….’ ai
“Bu. Tolong, kali ini aja aku ikut denganmu!”Safina meraih tangan Merliam yang hendak mengambil kaca mata di atas kepalanya. Tapi, ia gagal menarik simpatik Ibu mertuanya yang sangat kejam dengannya.“Kamu ingin barang mahalku rusak lagi ?” Merliam menepis tangan Safina.Di saat para tammu sibuk berlenggak lenggok menghampiri kendaraannya masing-masing. Suara Merliam terdengar di telinga tamu dan mengundang tanya di benaknya. Tentu saja tamu tersebut beranggapan adanya perselisihan antara mertua dan menantu, sebab Merliam sangat keras membentak Safina.“Emangnya ada apa sih sebenarnya? Bukankah Merliam bahagia dengan momen terindah kedua anaknya?”“Kasihan banget yah Safina parasnya seperti banyak menanggung tekanan batin.”Beberapa tamu berdiri di balik pohon, mengomentari kejanggalan sikap mertua dan menantu tersebut. “Eh, Bu. Ayo, cepat kita naik ke mobil!” Merliam menyapa tamu tersebut dengan suara lembut dan sopan.Angga, Merliam, dan para tamu menaiki mobil dan siap berdatang
‘Mas, sabar apa lagi aku? Kali ini calon istri keduamu mengujiku,’ Safina turun dengan melewati anak tangga satu per satu. Ia ke dapur mengambil sisa makanan untuk disantapnya. Istri Angga tersebut mengisi tenaganya dulu sebelum menghadapi problematika rumah tangganya yang akan datang. “Oh, kamu baru mengisi perutmu dengan makanan enak, yah?” Angga tidak pernah berhenti mengusiknya. “Aku sudah selesai makan, tuan! Apa yang bisa saya bantu?” Safina bertanya dengan tidak seperti biasanya ia memanggil sapaan tersebut. “Buatkan minuman dingin buat Sandra!” Angga sangat memanjakan calon istri keduanya. Bahkan, dia tidak segan menyuruh Safina membuatkan minuman dingin untuk kekasihnya itu. Angga sungguh keterlaluan tidak memperhatikan perasaan Safina. Namun, kenapa ia perlu marah ketika pria lain menghubungi Safina? “Mas, aku lagi ribet memasak. Mestinya ia harus menunjukkan keuletannya di dapur juga, bukan menunjukkan kecantikan saja” Safina menolaknya dengan wajah yang judes.
Badan gemetaran, pucat, dan lusuh. “Mas, semoga kamu tidak salah memilih pasangan. Aku mencoba ikhlas melepaskanmu untuk wanita itu,” kata Safina dengan memandang foto pernikahan mereka saat melangsungkan proses ijab kabul. Sehari setelah acara Anniversary Safina dan Angga sekaligus lamaran ke calon istri keduanya. Badan Safina memberikan sinyal untuk beristirahat. Ketika ingin memejamkan mata, ia tiba-tiba kepikiran tentang Randy. Safina: Randy, aku mohon sama kamu, tolong kamu jangan menampakkan dirimu ke aku! Aku takut Angga lihat dan berprasangka buruk denganmu. Safina segera mengirimkan pesan singkat kepada Randy. Tidak lama, muncul pesan balasan dari Randy. Randy: Baiklah kalo itu maumu. Aku akan selalu menunggumu, Safina. Safina sering mencurahkan isi hatinya kepada Randy. Randy pun sering memberikan nasehat kepada Safina. Ayahnya Safina pada waktu bekerja di toko tersebut mengetahui persahabatan mereka. Beliau memberikan pesan kepada Randy untuk menjaga putri kesayangan
“Randy?” Safina kaget dan tidak menyangka Randy nekat menemuinya. “Apa yang terjadi sama kamu?” Randy menghentikan langkah Safina dan berharap bisa bertatap muka dengannya. Safina takut Angga melihat dirinya bersama pria lain. Safina gugup hingga tanpa sadar mengelus telapak tangannya yang dingin. Sebenarnya, Safina ingin mengatakan semua hal buruk yang terjadi padanya. Namun sekarang, bukanlah waktu yang tepat. “Maafin, aku Randy! Tolong pergi dari sini! Aku ingin sendiri!” gumam Safina dengan suara tangis yang menguasai pikirannya. “Baiklah, aku pasti akan kembali buat kamu, Safina. Kamu tidak sendirian di dunia ini,” teriak Randy. Safina meninggalkan Randy dan pergi ke kamarnya. Safina menangisi takdirnya di kamar. Seharusnya, Safina bisa merasakan kebahagiaan dan mendapatkan perlakuan manja dari suaminya. Namun, ia justru melihat Angga bersikap manis pada calon madunya. Safina membuka gaunnya, lalu melempar dan menginjaknya. Ia meluapkan perasaan perasaan kecewanya. Te
Safina tidak memiliki alasan untuk menolak permintaan Angga. Sebab, ia tidak ingin kehilangan suaminya. Ia juga tidak memiliki banyak uang untuk pengobatan Ibunya. Tapi, tidak ada salahnya mencoba satu kali lagi, kan? Safina menggenggam kedua tangan Angga. Ia memohon , “Mas, tolong bahagiakan aku kali ini! Hari ini ulang tahun pertama pernikahan kita,” Angga buru-buru menepis tangan Safina. "Jangan sentuh aku!" pekik Angga. Angga berteriak, “kamu kan sudah nenyadari, bahwa dirimu nggak pantas mendampingiku. Sekarang, saatnya kamu tunjukkin sikap kamu ke semua orang! Aku tunggu kamu di bawah!" Angga membalikkan badan. Lalu, pergi meninggalkan Safina disusul oleh Merliam. Safina pasrah. Ia mengikuti langkah Suami dan Ibu mertuanya. Acara ulang tahun pernikahan Safina dan Angga diadakan di pinggir kolam renang. Dekorasinya sangat meriah. Bahkan, Safina sempat-sempatnya merasa tersanjung atas kemewahan acara ini. Safina berdiri di bawah pepohonan rindang. Ia tampak ti
“Suasana rumah kenapa jadi sepi? Aku tidak mendengar suara Mas Angga. Apa dia sedang berduaan dengan Sandra? Sandra adalah anak dari salah satu teman sosialita Merliam. Parasnya cantik, dan ia adalah lulusan terbaik di Universitas ternama di luar negeri. Tentunya, Safina kalah dari segala sisi jika dibanding dengan Sandra. Safina memang kalah dari segi kecantikan dan pendidikan, tetapi ia unggul dalam ketulusan dan kesabaran. “Sayang sekali kamu, Sandra. Kamu cantik dan pintar, tapi kenapa mau jadi perebut suami orang?” Malam yang dingin, di balik jendela terdengar suara rintik hujan. Ketika Angga tidak di kamar, Safina memanfaatkan kesempatan itu untuk menulis. Menulis adalah hobi Safina dan ia tidak ingin Angga mengetahui hobinya tersebut. Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu kamar. Safina membukanya. Ia melihat Angga dan Merliam berdiri. Di tangan Angga, terdapat kotak hadiah berwarna merah marun berukuran sedang. Safina kaget melihatnya. Ia curiga dengan sikap m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments