Dara adalah seorang istri dan ibu yang juga berkarier. Bekerja menjadi alasan Dara dalam meminta ibu mertuanya mengasuh sang anak yang usianya belum genap 2 tahun. Tidak hanya itu, pekerjaan rumah juga dibebankan pada ibu suaminya tersebut.
View More"Dara! Kamu apa-apaan, sih?! Ibu itu lagi sakit, kenapa kamu suruh Ibu ngasuh Nada? Ini hari libur Dara, harusnya Nada sama kamu." Mas Nasrul yang baru pulang dari gotong-royong masuk ke kamar sambil bersungut-sungut.
"Biasa aja kali, Mas. Aku udah capek kerja seminggu full, mumpung libur gini, ya wajarlah kalau aku me time." Dengan santai kujawab perkataan Mas Nasrul sambil memainkan benda pipih di tanganku.
"Wajar itu kalau kita belum punya anak, Ra. Ibu itu udah tua, beliau selama seminggu ini udah capek ngasuh Nada yang semakin aktif. Ibu ju-""Aduh! Udah deh, Mas. Nggak usah lebay gitu kenapa? Ibu yang mau, kok Mas yang sewot." Kupotong langsung ocehan Mas Nasrul sebelum melebar kemana-mana. Lebih baik aku siap-siap pergi ke arisan daripada mendengar ceramah basi Mas Nasrul.Mas Nasrul menghela napas kasar, lalu meraih handuk yang bergantung di belakang pintu. "Ya udah, siapin Mas sarapan, tadi di balai desa cuma ngemil ubi goreng," titah Mas Nasrul."Mas liat aja di dapur, Ibu udah masak apa belum. Aku belum ada ke dapur, Mas." Sambil cekikikan berbalas pesan dengan teman arisan, kujawab titah Mas Nasrul.Terdengar dengusan tak suka sebelum Mas Nasrul meninggalkan kamar. Masa bodoh! Gitu aja manja. Mas Nasrul merupakan bungsu dari tiga bersaudara, kedua kakaknya perempuan, biasa aku pangil Mbak Nira dan Mbak Nana. Anak pertama Mbak Nira, sudah menikah selama tiga tahun tapi belum dikaruniai anak. Itulah sebabnya kenapa Ibu sangat sayang pada Nada, anakku. Mbak Nira dan suami tinggal di kecamatan sebelah, tetapi setiap bulan pasti berkunjung dengan membawa banyak oleh-oleh kesukaanku. Sedangkan Mbak Nana anak nomor dua, belum menikah meski usianya sudah mendekati kepala tiga, saat ini dia sedang berkarir di kota. Setiap tahun dia pasti pulang, biasanya saat lebaran tiba. Mas Nasrul selaku anak bungsu tidak diperbolehkan kemana-mana, harus menjaga Ibu di rumah. Dulu kami bertemu diperantauan, setelah menikah ia iseng ikut tes CPNS di desa kelahirannya. Nasib baik berpihak, Mas Nasrul lulus dan menjadi sekretaris desa. Aku? Aku tidak mau gelarku terbuang sia-sia dengan menjadi ibu rumah tangga, maka berkat relasi keluarga Ibu mertua aku berhasil menjadi salah satu tenaga honorer di kantor camat setempat.Selang beberapa saat setelah Mas Nasrul meninggalkan kamar, terdengar kegaduhan di dapur.Prang!!! Suara benda yang dihempaskan ke lantai."Dara! Sini, kamu!" Suara Mas Nasrul menggelegar memenuhi gendang telingaku, disusul tangisan keras Nada dari arah kamar Ibu.Dengan malas aku beranjak memenuhi panggilan Mas Nasrul. Belumlah sampai di muka pintu, ponselku berdering. Setelah kulihat, ternyata Mama yang menelepon. Sebagai satu-satunya anak perempuan di keluargaku, hingga usia 23 tahun ini aku masih diperlakukan dengan manja oleh Mama."Halo, Ma," sapaku pada Mama di ujung telepon."Halo, Sayang. Lagi apa? Nada mana?" jawab Mama dengan ceria."Nada lagi sama Ibu, Ma. Ini Dara ma-""Dara!!" Mas Nasrul masuk dengan mata nyalang. Melihatku yang sedang memegang ponsel, dia merangsek maju dan merampas ponselku, lalu melemparnya ke udara dengan bebas. Setelahnya, meraih batu pengganjal pintu kamar dan memukulkannya. Ponselku ... hancur tak berbentuk.Aku menatapnya nanar."Mas! Kamu …" Tanganku mengepal menyaksikan ponsel baruku sudah hancur tak berbentuk, retak beribu-ribu seperti perasaanku saat ini."Semakin Mas diamkan, kamu semakin menjadi! Ngapain aja sepagian ini, hah? Dapur masih berantakan, rumah berpasir dan lengket. Jangankan makanan, bahkan air di termos pun nggak ada! Cucian juga masih numpuk di mesin cuci!" Napas Mas Nasrul memburu berpacu dengan napasku yang ikut memburu."Kenapa Mas tanya aku? Mas tanya Ibu, lah! Aku manusia, Mas, bukan robot. Aku juga butuh me time, butuh istirahat. Masa iya urusan rumah juga masih harus aku? Ibu, kan, di rumah aja, ya wajar kalau semua perkerjaan rumah ini menjadi tugas Ibu. Nggak usah lebay, lah!" Dengan sewot kutumpahkan uneg-unegku pada anak laki-laki satu-satunya mertuaku ini."Astaghfirullah, Dara!" Mas Nasrul meremas kasar rambut tebalnya, lalu mencekal tanganku dengan kuat. "Ikut Mas! Mas nggak mau tau, hari ini kamu yang masak dan beres-beres. Ibu lagi sakit, beliau butuh istirahat. Nada biar sama Mas." Diseretnya aku dengan paksa.Aku yang sudah terlanjur emosi karena ponselku yang dihancurkannya, menyentak tangannya dengan kasar. "Nggak! Aku nggak mau sebelum hapeku Mas ganti. Itu hape mahal, Mas! Hadiah dari Mama. Ganti atau aku nggak akan masak sama sekali sampai kapanpun, titik!" Kuberikan tekanan pada setiap kata-kataku, agar ia tahu bahwa aku juga sedang dalam kondisi marah besar."Dara! Kamu ini ..." Tangan Mas Nasrul melayang di udara, siap memberi cap merah di pipiku."Nasrul! Astaghfirullah … Istighfar, Nak!" Ibu datang dengan tergopoh-gopoh. Menurunkan tangan Mas Nasrul yang seketika tertahan kala mendengar teriakan Ibu. Di elus-elusnya punggung Mas Nasrul, memberikan ketenangan pada anaknya yang tengah kesetanan itu. "Sabar, Rul. Jangan pakai emosi, semua bisa diselesaikan baik-baik. Istighfar, Nak, istighfar …" Ibu kembali menyabarkan Mas Nasrul."Dara sudah keterlaluan, Bu. Nasrul bukan tidak tahu kalau selama ini Ibu kelelahan berjibaku dengan pekerjaan rumah dan mengasuh Nada. Tapi, kali ini Dara sudah kelewatan." Intonasi suara Mas Nasrul melembut saat berbicara dengan Ibunya, seperti putus asa. Mungkin.Aku memainkan bibirku dengan kesal mendengar aduan Mas Nasrul. Dikira aku juga tidak capek apa? Aku kerja dari senin sampai sabtu. Hari minggu begini waktunya aku rebahan. Sedangkan Ibu? Cukup santai, tidak perlu ikut capek cari duit, taunya semua ada. Hanya mengurus rumah dan momong cucu semata wayang, apa susahnya? Kalau sakit, ya berobat. Simple, kan? Mas Nasrul saja yang suka membesar-besarkan masalah, apalagi kalau sudah menyangkut soal pengasuhan Nada pada Ibu."Sudah! Sudah! Biar Ibu yang masak. Dara, kamu pegang Nada. Dia lagi rewel, minta digendong terus." Ibu mengalah dan memberikan Nada padaku.Aku yang sudah bersiap pergi arisan, memberikan Nada pada Mas Nasrul. Dengan muka ditekuk, digendongnya Nada menuju dapur. Menyusul Ibu.Saat aku hendak melangkahkan kaki ke luar rumah, terdengar teriakan Mas Nasrul,"Ibu!" Pekik Mas Nasrul. "Dara!" Pekik Mas Nasrul kembali, memanggilku, disusul lagi tangisan Nada yang meraung-raung memekakkan telinga.Ada apa lagi, sih? Dengan kesal kuhentakkan kaki menuju dapur. Akhir-akhir ini sepertinya orang di rumah ini sangat tak ingin melihatku bahagia, meski sebentar saja.Sesampainya di dapur mataku terbelalak. Astaga!"Nggak, Ra. Mbak jahat. Mbak benci pada diri Mbak yang tak kuat iman ini. Bisa-bisanya ingin menghilangkan nyawa anak dari adik Mbak sendiri, yang notabenenya merupakan anak Mbak juga.""Iya, iya, Mbak. Sudah, ya. Ayo duduk." Kugiring tubuhnya untuk duduk kembali di sampingku. "Aku maafkan Mbak, aku juga nggak akan bilang sama Mas Nasrul dan Ibu. Kuanggap yang kemarin hanyalah kekhilafan semata. Asal Mbak janji, nggak akan ngulangin lagi. Itu perbuatan kriminal, Mbak." Sudahlah. Tak ada gunanya juga aku mengacaukan suasana di keluarga ini. Biarlah ini menjadi rahasiaku dan Mbak Nira. Sebaiknya kuanggap semua ini sudah selesai, meski demikian waspada sudah tentu kulakukan setelah ini. Titik."Aku punya informasi buat Mbak. Aku kirim ke hape Mbak, ya." Kubuka galeri foto di ponselku, memilih foto tangkapan layar tadi siang, lantas mengirimnya pada Mbak Nira.Mbak Nira membuka ponselnya, lalu menutup mulutnya dengan sebelah tangan."Ra … te
"Lho, udah pulang, Rul?" Ibu muncul dari pintu depan yang tralinya lupa dikunci Mas Nasrul. Nada tampak mulai terkantuk-kantuk dalam gendongannya."Iya, Bu. Dara lagi manja," ejek Mas Nasrul padaku.Ibu terkekeh, meneruskan langkahnya menuju kasur santai di depan televisi, lalu menurunkan Nada dengan sangat pelan. Akhirnya Nada benar-benar terpejam tanpa botol susu."Nira, masak sayur apa, Nduk? Ibu lapar," tanya Ibu pada Mbak Nira yang entah kapan datangnya.Sontak aku membalikkan badan, dan seketika mataku bertemu dengan matanya yang tak dapat kumengerti makna apa yang tersirat di dalamnya. Segera kubuang muka dan meminta Mas Nasrul menemaniku ke kamar mandi, kebelet buang air kecil."Nira nggak sempat masak, Bu. Nira beli ayam geprek aja."Kudengar Mbak Nira menyahuti Ibu di belakang punggungku, dengan telaten Mas Nasrul meggiringku melewat meja makan yang sudah bersih dari pecahan gelas.Seharian aku berhasil menghin
Tok! Tok! Tok! "Ra, kamu udah bangun?" Mbak Nira memanggilku, dari suaranya terdengar panik.Aku diam. Tanganku membekap mulut dengan kuat agar nafas tersengalku tak sampai ke telinganya. Entahlah! Saat ini aku merasa hidupku seperti sudah di ujung tanduk. Aku seperti melihat akan banyak bahaya mengintaiku disetiap waktu."Ra! Dara!" Ketukan di pintu semakin kuat, pun dengan suara panggilan Mbak Nira yang nyaris mendekati teriakan.Air mengucur semakin deras dari kedua netraku. Mengalir turun melewati selah-selah jari yang masih membekap rapat bibirku, hingga terasa asin di indra pengecap.Setelah tak lagi mendengar adanya suara sosok Mbak Nira, aku memberanikan diri untuk bergerak. Sedari masuk ke kamar dan duduk bersandar pada daun pintu, aku tak berani banyak mengeluarkan suara, bahkan untuk bergeser sekalipun. Rumah yang sedang lengang membuat suara sekecil apa pun mampu ditangkap oleh telinga. Ketakutanku justru semakin menjadi
Penasaran mendatangi perasaanku dengan cepat. Keingintahuan yang sangat tinggi mendorong kakiku beranjak dari depan televisi, kusimpan remot di atas lemari dan berjinjit perlahan mencari sumber suara.Belakang. Suaranya berasal dari arah belakang. Kuseret langkahku menuju dapur. Kosong, tak ada siapa pun. Akan tetapi, suara isak tangis yang berubah menjadi segukan terdengar lebih jelas dari tempatku berdiri saat ini. Mbak Nira? Sepertinya itu suara Mbak Nira. Dari celah pintu yang tidak ditutup dengan sempurna, terlihat jelas sosok Mbak Nira yang sedang membelakangi pintu. Pundaknya bergetar, isakannya sesekali berubah menjadi sesegukan, kemudian reda, dan menyisakan isakan-isakan kecil. Punggung tangannya berkali-kali mengusap airmatanya dengan kasar."Bang Roy marah sama aku. Bahkan, sampai sekarang dia belum ada nelepon aku setelah semalam kami bertengkar." "Dia marah karena tau alasan di balik lukaku ini."Mbak Nira mengan
Kehamilan kedua ini kurasakan sangat berbeda dengan kehamilan saat mengandung Nada. Dulu, aku adalah pribadi yang kuat dan tahan banting. Namun tidak dengan kehamilan kali ini, aku menjadi orang yang baperan, mudah iba, mudah menangis, juga lebih sering sakit.Aku memperhatikan Ibu yang tengah menyuapi Nada makan pagi ini, Nada berjalan kian kemari, tak bisa diam. Sesekali Ibu merenggangkan tubuhnya dengan cara berdiri, perlahan diurutnya dengan pelan pinggung tuanya. Kadang juga terlihat mengalap keringat di dahi menggunakan kain gendongan Nada yang selalu ada di bahunya.Seharusnya aku ada di kamar, berbaring. Namun aku bosan, makanya memilih duduk di kursi goyang yang Mas Nasrul letakkan di teras depan kamar kami."Nada. Sini, Sayang, sama Mama, yuk." Aku mengulurkan kedua tanganku ke arah Nada yang tengah mengejar bola sambil berjalan cepat. Lucu sekali melihatnya seperti itu.Anak usia 1 tahun tersebut menoleh padaku, lalu memamerkan gig
"Nada itu cucu Ibu. Capek pasti, tapi daripada dia diasuh orang lain, yang belum tentu bisa sabar dan sayang, lebih baik Ibu saja. Apalagi kalau sampai Nada ikut kerja seperti anaknya Mira yang di ujung itu, lebih kasihan lagi."Ibu meneguk air minumnya hingga habis, lantas membersihkan sisa pecel di pinggir mulutnya dengan selembar tisu."Soal Nada, oke. Soal pekerjaan rumah?" Mbak Nira kembali mengorek cerita dari Ibu."Gini. Setiap orang itu punya sisi lebih dan kurangnya. Kekurangan Dara hanyalah mengandalkan Ibu soal Nada dan rumah. Itu saja. Selebihnya dia baik, Nira. Kamu tau Bu Eni, tetangga Pak RT? Menantunya terlihat cekatan dalam mengurus rumah dan anak, padahal dia juga kerja. Tetapi Bu Eni pernah bilang, menantunya itu pelitnya luar biasa. Meski tinggal dalam satu rumah, ia selalu menyimpan semua makanan miliknya di bawah kolong tempat tidur. Dia juga tak perduli meski adik-adik iparnya kadang menangis ingin makanan yang sama dengannya. Dari s
"Oh, ini kena seng bekas di dekat tungku besar pas masak-masak kemarin. Ibu nggak tau kalau ujungnya masih tajam." Ibu mengelus pelan punggung tangannya yang berbalut plaster. Tak ada raut mencurigakan.Fix, bukan Ibu. Ibu, kan, sangat menyayangi cucunya, mana mungkin ingin mencelakakanku.Kembali kuputar memoriku atas kejadian kemarin malam. Saat aku berteriak, Ibu adalah orang pertama yang datang. Itu pun berasal dari arah ruang depan, dan jaraknya hanya sekian detik dari aku meminta tolong.Sekarang, kecurigaanku tinggal pada Sarah dan Mbak Nira. Akan tetapi, hatiku berkata ini perbuatan Sarah. Pada siapa aku meminta pertolongan untuk mengungkapkan peristiwa ini? Sarah cukup dihormati di mata masyarakat karena profesinya sebagai bidan desa.Sudahlah. Biar nanti kupikirkan."Ganti aja plasternya, Bu. Udah basah ini," tunjukku pada sisi plaster yang mulai terbuka."Iya, sekalian Ibu mau wudhu dulu. Nanti diganti. Kamu istirahat di kamar aja sana." "Iya, Bu. Nada mana?" tanyaku sebe
Sesampainya di tempat, kami langsung berkonsultasi. Keberuntungan berpihak karena pasien belum banyak yang datang.Setelah menjelaskan kronologi terpeletnya aku tadi malam, Dokter Rini memerintahkanku berbaring di atas ranjang dan mulai melakukan pemeriksaan.Gel dingin terasa sangat sejuk di perutku, di tambah hembusan dari pendingin ruangan membuatku sedikit kedinginan. Doppler berputar-putar di atas perutku. Pindah dari posisi bawah, ke samping, berpindah ke atas, lalu balik lagi ke bagian bawah perut.Dokter Rini diam dalam melakukan tugasnya. Cemas menyeruak kurasa, ada apa? Biasanya Dokter Rini akan bercerita dengan antusias setiap kali meng-USG-ku.Dokter Rini membuang nafasnya sedikit keras, semakin menambah kecemasanku. Apakah anakku sehat? Atau ….Pandanganku seketika kabur karena air yang mulai mengambang. Kuhalau cairan bening yang siap tumpah dengan tisu yang kupegang."Sepulang dari sini, Bu Dara bedrest,
Aku tersentak. Ingatanku tertuju pada botol minyak yang terletak di samping pintu belakang. Semalam pintunya sedikit terbuka, dan lampu belakang yang menyala terang memberikanku sebuah bayangan yang kuyakini seorang wanita. Karena apa? Selain bayangan, juga terlihat sebuah tangan dengan luka baret di punggungnya, meski sekilas tapi aku tahu tangan itu milik seorang wanita.Setelah menggosok gigi dan cuci muka, aku menunaikan kewajiban sebagai umat muslim. Kubangunkan Mas Nasrul untuk menjadi imamku."Nggak kerja, Rul?" tanya Ibu begitu Mas Nasrul ke luar kamar hanya dengan jeans dan kaos."Nggak, Bu. Mau periksakan kandungan Dara, pinggang dan perutnya masih sakit."Lamat suara mereka dapat kudengar dari balik dinding kamar. "Periksa sama Sarah aja kenapa, sih, Rul? Ngabisin duit aja, ke Dokter itu lebih mahal. Jauh pula."Kudengar Mbak Nira ikut bersuara.Ada apa, sih, dengan Mbak Nira? Kenapa dari semalam sikapnya ket
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments