Aku yang tengah memacu motor dengan kecepatan cukup tinggi, mau tidak mau menarik pedal rem secara penuh ketika sebuah mobil menghantam keras seekor kambing yang tiba-tiba melintas di sampingku. Hal itu tentu membuat motor yang kukendarai berhenti secara tiba-tiba, ban motor bagian belakang bergesekan dengan bebatuan hingga menghasilkan debu dan kerikil yang beterbangan. Karena kaget, keseimbanganku menjadi oleng, akhirnya aku jatuh bersamaan dengan motor. Lalu, semuanya gelap.
"Dara. Sayang, bangun." Samar kudengar suara Mas Nasrul memanggilku dengan cemas, menepuk-nepuk pelan pipi kananku.
Perlahan kubuka kedua mataku, menyipit silau akan sinar yang masuk dari jendela.
"Mas …."
"Alhamdulillah … Kamu udah siuman, Sayang. Ada yang sakit? Pusing?" Mas Nasrul membelai rambutku dengan sayang, lalu mengecup keningku.
"Nggak ada, Mas. Tadi aku kaget, terus lemes. Ini kita di mana?" Kupandangi sekeliling ruangan tempatku berada, bukan di kantor pun di kamar kami.
"Di praktik bidan Sarah. Tadi kami semua panik, jadi mencari tempat terdekat dari kantor," jawab Mas Nasrul pelan.
"Ooh. Ya udah, kita pulang, yuk. Males aku lama-lama di sini, ntar dia cari-cari kesempatan godain Mas." Aku segera duduk dan bersiap menuruni ranjang untuk pulang.
"Sabar, Ra. Kamu baru siuman, belum stabil," ujar Mas Nasrul menahan bahuku.
"Nggak, ah! Kelamaan di sini emosiku yang nggak stabil, Mas. Lho, sepatuku mana, Mas?" Kuedar pandanganku ke penjuru ruangan, tak juga kutemukan.
"Nggak tau. Mas nggak merhatiin, begitu sampai tadi kamu sudah dibawa ke ruangan kantor. Jadi, Mas nggak ngurusin sepatu kamu."
"Aduh, Mas, itu sepatu baru aku. Aku belinya di officialshop langsung, original itu, Mas." Aku nelangsa membayangkan sepatuku yang hilang.
"Udah, udah … Nanti kamu tanya temen-temen kantormu, ya. Barangkali disimpan sama mereka." Mas Nasrul memelukku.
"Kalau hape jerukku, Mas? Tadi aku masukkan ke dalam jok motor," tanyaku mendongakkan kepala menatap Mas Nasrul.
"Aman. Motormu aman, artinya hapemu juga aman. Kan, masih dalam kotaknya."
"Syukurlah …."
Tak ingin berlama-lama, kami segera pulang. Sengaja aku bersikap manja di hadapan Sarah, biar dia tahu bahwa dirinya tak punya kesempatan sedikitpun. Huh!
Sesampainya di rumah, Ibu tergopoh-gopoh menyambutku, disusul Mbak Nira yang tengah menggendong Nada. Ibu ini, sudahlah pekerjaan rumah diurus Mbak Nira, Nada juga diasuh sama Mbak Nira. Nggak becus banget jadi Uti.
"Nduk ... Ya Allah, kamu nggak apa-apa? Ayo masuk. Rul, ayok tuntun Dara ke kamar. Ganti bajunya dengan baju longgar biar nggak gerah." Ibu menggeser tubuhnya dari depan pintu, mengiringi kami memasuki rumah.
Rupanya Mas Nasrul sudah mengabari Ibu perihal kecelakaan yang menimpaku. Baguslah, dengan begitu Ibu tak punya alasan untuk tidak mengasuh Nada jika aku di rumah seperti ini. Untuk beberapa hari ke depan, pastilah aku disuruh istirahat kerja dulu.
Mas Nasrul membantuku mengganti baju dinas dengan daster, lalu menyiapkan tempat peraduan. Setelah memastikan aku berbaring dengan nyaman, ia ke luar kamar dan tak lama kemudian kembali dengan secangkir teh melati kesukaanku.
Romantis, ya, suamiku? Iyalah, siapa dulu istrinya. Dara Tunggadewi.
"Mas tinggal ke kantor dulu, ya? Ada rapat desa seperempat jam lagi. Nggak apa-apa, kan?" Mas Nasrul mengelus-ngelus punggung tanganku.
"Iya nggak apa-apa, Mas. Kan, ada Ibu sama Mbak Nira, kalau ada apa-apa aku minta tolong mereka aja." Kulepas dengan ikhlas kepergian Mas Nasrul untuk bekerja, demi reputasi dan cuan yang akan mengalir jika ia loyal dalam tugasnya.
"Oke. Nanti motor dan barang-barangmu biar dianter Doni. Kebetulan nanti dia bakal ada urusan ke kantor camat." Doni adalah sepupunya yang merupakan seorang ketua RT.
"Iya, Mas. Tapi, jangan terlalu siang, ya. Aku mau setting hapenya," ujarku.
"Iya …."
Setelah Mas Nasrul pergi, Ibu datang ke kamar, tanpa Nada.
"Nduk-"
"Nada mana, Bu? Kok, nggak sama Ibu?"
"Dibawa Mbakmu main ke tetangga, biar nggak bosen katanya," jawab Ibu sambil menata buah di atas meja rias. "Mau buah, Nduk?" tawar Ibu.
"Mau mangga, Bu," tunjukku pada buah mangga hijau montok dan wangi.
"Lain kali hati-hati ya, Nduk. Di sini memang masih banyak kambing yang dibiarkan bebas mencari makan oleh pemiliknya." Sambil mengupas mangga, Ibu menasihatiku.
"Iya, tadi itu Dara cepet-cepet karena takut kesiangan. Hmm … Bu, Sarah itu … keliatannya deket banget sama Ibu. Dia siapanya kita, Bu?" Kutatap wajah Ibu yang tiba-tiba berubah tak nyaman.
"Bu?" Kusentuh tangan Ibu. Orang nanya, kok, dicuekin, sih. Sebel.
"Hah? Sarah, ya? Dia itu … Temen anak-anak Ibu, jadi dari dulu sudah biasa main ke sini," jelasnya dengan sedikit gugup.
"Termasuk teman Mas Nasrul?" tanyaku memastikan.
"Ini, makan mangganya biar seger. Ibu mau liat Nada dulu, takutnya dia nangis." Ibu mengalihkan pembicaraan dan hendak pergi.
"Ibu!" Panggilanku menghentikan langkah kakinya. "Aku merasa Ibu menyembunyikan sesuatu tentang Sarah. Apa kejadian di kamar Ibu kemarin benar-benar suatu kebetulan? Kenapa Ibu mendiamkan kejadian itu? Kenapa Ibu tidak berusaha menjelaskan ke Dara soal kesalahpahaman itu?" Aku mencecar Ibu dengan pertanyaan yang dari kemarin menggangu pikiranku.
Ibu menghela napas, lalu kembali duduk di sisi ranjangku.
"Itu salah paham. Ibu tidak perlu menjelaskan karena Nasrul pasti bisa mengatasinya. Kamu jangan berpikir macam-macam." Ibu menepuk-nepuk lututku.
"Lalu Sarah? Siapa dia, Bu? Aku bisa merasakan kalau Ibu menyayanginya lebih dari aku. Hanya sekedar masuk angin saja Ibu memanggil Sarah, padahal ada aku di rumah ini." Kutatap tajam mata Ibu, dia mengalihkannya dengan membenahi letak pisau di atas piring buah.
"Sarah sudah seperti anak bagi Ibu, itulah kenapa Ibu tak pernah singkul meminta bantuannya. Kamu lelah bekerja setiap hari, Ibu tidak mau merepotkanmu." Pandangan Ibu menerawang jauh, melewati jendela kamar yang terbuka.
"Kalau Ibu bilang, Dara bisa bantu," jawabku cepat.
"Bahkan mengurusi Nada saja kamu tidak sempat, Nduk. Bagaimana tega Ibu merepotkanmu." Ibu beralih menatapku.
"Ibu keberatan dimintai mengasuh Nada? Cucu semata wayang Ibu," sengitku tak suka disinggung.
"Bukan begitu maksud Ibu, Nduk-"
"Sudah lah, Bu. Semakin ke sini, Dara perhatikan Ibu semakin tidak ikhlas mengasuh Nada. Begitu Dara mulai kerja, Nada biar Dara bawa saja. Daripada diam-diam Ibu minta tolong Sarah menjaga Nada di sini. Dara tahu semuanya, Ibu berusaha mendekatkan Nada dengan Sarah, ya?" Aku menggertak Ibu. Aku tahu Ibu tidak akan mengizinkannya.
"Jangan, Nduk. Ibu hanya sesekali meminta bantuan Sarah, itu pun kalau Ibu lagi tidak enak badan. Jangan bawa Nada kerja, ya. Kasihan." Tuh, kan! Benar dugaanku.
"Oke. Tapi Ibu jujur sama Dara. Kenapa Ibu bisa sangat dekat dengan Sarah. Dara nggak suka, Bu."
"Sarah itu … Sarah itu dulu pacar Nasrul. Mereka pacaran cukup lama, dulu Ibu sempat meminta Nasrul melamarnya. Karena Nasrul belum punya pekerjaan yang layak, Nasrul merantau. Tak ada yang menduga kalau diperantauan Nasrul justru bertemu kamu, Nduk. Sarah yang sudah terlanjur dekat dengan Ibu tak pernah mempermasalahkan itu, ia tetap baik dan perhatian pada Ibu. Baginya jodoh itu mutlak urusan Allah. Kamu jangan salah paham ya, Nduk, Sarah begitu karena sudah menganggap Ibu layaknya orangtua. Terlebih dia sudah tak memiliki Ibu sejak lama." Ibu menggenggam tanganku erat saat bercerita, matanya basah. Menyesalkan ia tak jadi memiliki Sarah sebagai menantu?
Kubuang mukaku dari pandangan Ibu, genggamannya semakin erat terasa di tanganku.
"Itu juga salah satu alasan kenapa Ibu sempat tak merestui kami kan, Bu?" tanyaku tanpa menoleh.
"Nduk, sudah, ya. Semua sudah berlalu. Nyatanya menantu Ibu itu kamu, bukan Sarah. Yang dicintai Nasrul itu kamu, bukan lagi Sarah. Sudah, Ibu mau ke kamar mandi dulu. Mangganya dihabiskan." Tanpa menunggu jawabanku, Ibu berlalu.
Bu, aku tahu Ibu masih belum move on dari Sarah. Aku bisa merasakan itu, Bu. Hatiku sakit. Dari awal pernikahan aku selalu berusaha mengambil hati Ibu, tetapi semakin aku berusaha, Ibu terasa semakin jauh. Ibu tidak jahat, tapi juga tak begitu menampakkan sayang. Ibu memperlakukan aku dengan baik karena aku istri anaknya, bukan karena menyayangiku layaknya dengan anak. Kedekatan Ibu dan Sarah pelan tapi pasti memupuk rasa tak sukaku pada Ibu. Jangan salahkan aku, Bu.
Masih kuingat dengan jelas kejadian sebulan yang lalu. Saat itu hari minggu, Ibu sedang tak enak badan. Ibu meminta Mas Nasrul menelepon Sarah agar datang ke rumah, kupikir Ibu minta disuntik atau diresepkan obat. Ternyata kedatangan Sarah hanya untuk mengerok Ibu, padahal ada aku di rumah, menantunya. Kenapa Ibu tidak meminta bantuanku? Dari sana aku semakin menyadari, Ibu telah menbangun dinding di antara kami, dinding yang sulit untuk aku robohkan karena adanya Sarah yang ikut menahannya.
Kukunyah mangga madu kupasan Ibu, tak kusadari cairan bening turut mengalir hingga terasa asin di lidahku. Belumlah sampai pada potongan kedua, terdengar tangisan kencang Nada dari arah luar. Gegas aku berlari, dari tangisannya sepertinya Nada tengah kesakitan.
Sesampainya di luar, aku berlari ke arah sumber suara di samping rumah. Lariku terhenti demi melihat siapa yang ada bersama Nada.
"Ibu!" Teriakku memanggil Ibu yang masih berada di dalam rumah.
Ini semua gara-gara Ibu, kenapa pula mempercayakan Nada pada orang selain dirinya.
Dengan berlari pelan Ibu datang,
"Ya Allah …"
Hanya kalimat itu yang mampu aku dengar. Selanjutnya aku tak tahu, karena fokusku ada pada Nada yang semakin meraung kala melihatku dan Utinya datang.
Tangis Nada melengking kesakitan. Sebuah benjolan sebesar kelereng menghiasi keningnya. Sarah yang sedang menggendongnya terus menimang-nimang agar tenang. Cewek gesrek! Kenapa pula sudah ada di sini, bukannya tadi masih di rumahnya?Kuambil Nada dengan emosi yang kian bercokol di hati. Sudahlah anakku kesakitan, ada Sara pula. Apes!"Nada kenapa?" tanyaku ketus. Kukusuk benjolan Nada dengan rambutku, konon hal itu dapat menenangkan sang anak."Em … Itu, Mbak, tadi Nada mau aku ajak beli jajan di warung seberang. Tiba-tiba ada motor lewat cukup ngebut, lalu Nada menangis. Mungkin ada kerikil yang terpelanting mengenai keningnya ini." Sarah menjelaskan dengan tak enak."Kenapa pula kamu ajak Nada jajan? Apa Ibu nggak pernah kasih tau kamu kalau aku nggak mau anakku jajan sembarangan? Lain kali jangan sotoy sama anak orang." Kutinggalkan dia yang seketika mematung mendengar ocehanku."Ibu, liat! Ini kenapa aku cuma mau Ibu yang ngasuh Nada. Orang lain nggak setelaten Ibu, mereka cuma m
"Kenapa, Mbak?" tanyaku melihat Mbak Nira menangis semakin kencang."Huaaa … hiks hiks …" Semakin deras air yang ke luar dari kedua mata beloknya."Istighfar, Nduk. Kenapa?" Ibu mengelus pundak anak sulungnya."Iya, Mbak, ada apa? Coba yang tenang dulu biar bisa cerita. Ra, ambil minum buat Mbak." Mas Nasrul menitahku sambil menggendong Nada.Aku melirik Ibu. Kenapa tak Ibu saja, sih? Anak wedhoknya, lho, ini yang nangis-nangis. Aku masih kekenyangan, susah bergerak. Huh!Dengan malas aku beranjak ke dapur, menuang air putih ke dalam gelas souvenir pernikahan yang kuperoleh dua minggu lalu."Minum dulu, Mbak." Kusodorkan gelas air pada Mbak Nira.Glek! Glek! Glek! Mbak Nira menenggak minumnya hingga habis.Ini orang nangis karena kehausan atau apa? Segitunya. Aku meraih gelas yang telah kosong dan membawanya kembali ke dapur. Kulirik wastafel, sudah menumpuk piring kotor. Huh!"Sudah tenang? Sekarang cerita, kamu kenapa?" tanya Ibu setelah melihat Mbak Nira tak lagi menangis kejer."
"Tanpa mempertimbangkan perasaanku? Sebenarnya aku dianggap apa di keluarga ini? Mbak pasti sadar, kan, kalau kedekatan Sarah dan Ibu itu melebihi kedekatan denganku? Mbak juga. Menantu di rumah ini, tuh, siapa, sih?""Ra, kamu ngomong apa? Kenapa pembahasannya jadi ngelantur kemana-mana?" Mas Nasrul muncul setelah selesai menunaikan sholat dzuhur."Fakta, Mas. Semakin ke sini aku semakin sadar, Ibu dan Mbak Nira memilih lebih dekat dengan Sarah daripada denganku. Padahal apa kurangnya aku?" Ya, apa kurangnya aku? Aku sudah berusaha untuk menyayangi keluarga ini. Di saat banyak menantu di luar sana menjepit dompetnya dengan erat agar uang suaminya tak mengucur ke keluarga mertua, aku dengan royal mencukupi kebutuhan rumah ini dengan uang dari Mas Nasrul. Belanja bulananku selalu melimpah, mulai dari kebutuhan makan, kesehatan, peralatan cuci dan mandi, keperluan pribadi Ibu, semuanya. Yang jarang kulakukan hanyalah mengurus rumah dan Nada. Tapi alasannya cukup jelas, aku kerja, waktu
Mbak Nira mematung, air matanya mengalir perlahan, lalu terisak. Ibu menatap padaku dengan raut entah, mungkin kecewa atau apa. Dipeluknya sang anak sambil mengelus pundaknya pelan.Brak!Mas Nasrul meninju sisi lemari Tv dengan keras hingga membuat Nada terperanjat dan membenamkan kepalanya di dadaku. Rahangnya mengeras sampai urat besar di pelipisnya terlihat jelas. Dada itu naik turum dengan cepat, pun hidungnya yang kembang-kempis.Mas Nasrul memejamkan mata. Kedua tangannya terkepal kuat hingga urat tangan pun berlomba ke memperlihatkan diri."Dara, selama ini Mas nggak pernah ikut campur bukan karena takut, tapi Mas ingin kamu belajar menyesuaikan diri dengan bertahap. Mas diam juga bukan nggak tahu apa-apa. Belajarlah untuk dewasa, nggak semua yang terjadi harus sesuai dengan keinginanmu." Mas Nasrul mengalihkan tatapan tajamnya padaku. Suara laki-laki yang dulu tak kenal lelah mengejar cintaku itu terdengar menggeram.Dia sedang marah, tapi berusaha untuk tidak lepas kendali.
Suara terakhir yang kudengar adalah teriakan Ibu memanggil Mas Nasrul. Selanjutnya aku tak tahu apa-apa. Aku sadar, tapi mataku terpejam, tidak tahu apa yang terjadi. Fokusku ada pada kepalaku yang terasa berputar dan perutku yang terasa bak diaduk-aduk."Astaghfirullah … astaghfirullah …."Hanya kalimat itu yang ke luar dari bibirku. Terus kupanjatkan doa pada Allah. Aku belum mau mati. Aku tidak mau Sarah bersorak karena akan mendapatkan Mas Nasrul kembali.Pelan-pelan denyutan di kepalaku memudar. Hanya perutku saja yang masih terasa tak nyaman. Kucoba membuka mata, Alhamdulillah penglihatanku sudah kembali normal."Gimana, Ra. Apa yang kamu rasain sekarang?" tanya Mas Nasrul."Perutku nggak nyaman, Mas. Tadi kepalaku sangat pusing, penglihatan berputar, perutku mual rasa diaduk-aduk.""Ini, kamu minum susu sterilnya. Mungkin gara-gara kamu makan bakso kuah cabe dalam kondisi perut kosong."Mas Nasrul mengulurkan sekaleng susu steril padaku, susu sapi bergambar beruang tapi iklanny
"Wa'alaikumsalam, Mas. Ganggu?" Sarah. Itu suara Sarah. Ngapain lagi itu cewek gesrek telepon suamiku."Ada apa, Rah?" tanya Mas Nasrul, melirikku."Gimana Nada? Masih rewel nggak sama benjolnya?" tanyanya sok care."Udah nggak, Alhamdulillah. Mas mau antar Dara ke puskesmas, udah dulu, ya." "Kenapa Dara? Bawa ke sini aja, Mas. Biar aku yang periksa," sahutnya.Idiiih, ogah! Bilang saja mau cari kesempatan dalam kesempitan. Lagian, apa itu tadi? Dia memanggilku dengan Dara saja? Kalau di depan Ibu, manggilnya, Mbak. Sama Mas Nasrul manggil nama saja. Iya, sih, memang lebih tua dia, tapi yang konsisten kalau manggil orang. Kalau gini, kan, kesannya carmuk."Makasih, Rah. Tapi kami mau ke puskesmas, kebetulan juga mau mampir ke rumah mertua. Udah, ya. Assalamu'alaikum …."Tuut! Mas Nasrul memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Sarah.Kapok! Mukanya hilang kali tu orang, carmuk terus!"Emang kita kapan mau ke puskesmas? Trus beneran mau ke rumah Mama?" tanyaku pada Ma
Benda yang ditempelkan ke dadaku terasa dingin. Denga telaten, dokter muda itu memeriksaku."Selesai. Tanggal berapa Ibu terakhir menstruasi?" Dokter Yogi melepas stetoskop dari telinganya dan berjalan lebih dulu menuju meja konsultasi.Masih dibantu Mas Nasrul, aku turun dari ranjang dan merapikan pakaian."Hmm … saya lupa, Dok. Karena semenjak melahirkan, menstruasi saya tidak teratur. Kadang maju, kadang mundur, durasinya juga lebih lama dari biasanya. Bulan ini, sepertinya memang belum menstruasi." Aku menjelaskan riwayat haidku setelah kembali duduk di kursi seberang Dokter Yogi."Pakai kontrasepsi?" tanyanya lagi."Pakai, Dok. IUD," jawabku."Ini ada dua kemungkinan. Pertama Ibu Hamil, kedua efek kontrasepsi yang Ibu pakai. Karena di sini belum ada spesialis kandungan, Ibu bisa pakai tespack untuk memastikan." Dokter Yogi mempersilakan aku untuk mengikuti perawat yang membantunya."Baik, Dok." Aku mengik
"Kapan kamu melamar Sarah, Rul? Dia sudah sering main ke rumah, ndak elok dilihat tetangga." Sore itu Ibu sedang memarut kelapa guna membuat gulai nangka muda, untuk pertama kalinya Ibu menanyakan tentang kelanjutan hubunganku dengan Sarah.Sarah. Gadis berprofesi sebagai bidan dan berkulit coklat yang menjadi menantu idaman Ibu. Menurut beliau tidak ada yang yang perlu diragukan dari Sarah. Dia gadis santun, ramah, juga memiliki masa depan yang cerah. Bukan aku tidak mencintainya, aku cinta. Akan tetapi ada hal yang membuat aku kurang suka darinya, dia mempunyai sifat suka mengatur. Lima tahun berpacaran dengannya, masih belum berubah. Sering hubungan kami dilanda putus nyambung karena sifatnya itu. Dan Ibu tidak pernah mengetahuinya.Bersamanya aku tidak bisa menjadi diri sendiri. Aku tidak boleh nongkrong bersama pemuda desa lain dengan alasan tidak pantas, tidak boleh beramah tamah dengan teman wanita. Saat jalan dengannya harus selalu ikuti semua keinginannya, mulai dari pakaia
"Nggak, Ra. Mbak jahat. Mbak benci pada diri Mbak yang tak kuat iman ini. Bisa-bisanya ingin menghilangkan nyawa anak dari adik Mbak sendiri, yang notabenenya merupakan anak Mbak juga.""Iya, iya, Mbak. Sudah, ya. Ayo duduk." Kugiring tubuhnya untuk duduk kembali di sampingku. "Aku maafkan Mbak, aku juga nggak akan bilang sama Mas Nasrul dan Ibu. Kuanggap yang kemarin hanyalah kekhilafan semata. Asal Mbak janji, nggak akan ngulangin lagi. Itu perbuatan kriminal, Mbak." Sudahlah. Tak ada gunanya juga aku mengacaukan suasana di keluarga ini. Biarlah ini menjadi rahasiaku dan Mbak Nira. Sebaiknya kuanggap semua ini sudah selesai, meski demikian waspada sudah tentu kulakukan setelah ini. Titik."Aku punya informasi buat Mbak. Aku kirim ke hape Mbak, ya." Kubuka galeri foto di ponselku, memilih foto tangkapan layar tadi siang, lantas mengirimnya pada Mbak Nira.Mbak Nira membuka ponselnya, lalu menutup mulutnya dengan sebelah tangan."Ra … te
"Lho, udah pulang, Rul?" Ibu muncul dari pintu depan yang tralinya lupa dikunci Mas Nasrul. Nada tampak mulai terkantuk-kantuk dalam gendongannya."Iya, Bu. Dara lagi manja," ejek Mas Nasrul padaku.Ibu terkekeh, meneruskan langkahnya menuju kasur santai di depan televisi, lalu menurunkan Nada dengan sangat pelan. Akhirnya Nada benar-benar terpejam tanpa botol susu."Nira, masak sayur apa, Nduk? Ibu lapar," tanya Ibu pada Mbak Nira yang entah kapan datangnya.Sontak aku membalikkan badan, dan seketika mataku bertemu dengan matanya yang tak dapat kumengerti makna apa yang tersirat di dalamnya. Segera kubuang muka dan meminta Mas Nasrul menemaniku ke kamar mandi, kebelet buang air kecil."Nira nggak sempat masak, Bu. Nira beli ayam geprek aja."Kudengar Mbak Nira menyahuti Ibu di belakang punggungku, dengan telaten Mas Nasrul meggiringku melewat meja makan yang sudah bersih dari pecahan gelas.Seharian aku berhasil menghin
Tok! Tok! Tok! "Ra, kamu udah bangun?" Mbak Nira memanggilku, dari suaranya terdengar panik.Aku diam. Tanganku membekap mulut dengan kuat agar nafas tersengalku tak sampai ke telinganya. Entahlah! Saat ini aku merasa hidupku seperti sudah di ujung tanduk. Aku seperti melihat akan banyak bahaya mengintaiku disetiap waktu."Ra! Dara!" Ketukan di pintu semakin kuat, pun dengan suara panggilan Mbak Nira yang nyaris mendekati teriakan.Air mengucur semakin deras dari kedua netraku. Mengalir turun melewati selah-selah jari yang masih membekap rapat bibirku, hingga terasa asin di indra pengecap.Setelah tak lagi mendengar adanya suara sosok Mbak Nira, aku memberanikan diri untuk bergerak. Sedari masuk ke kamar dan duduk bersandar pada daun pintu, aku tak berani banyak mengeluarkan suara, bahkan untuk bergeser sekalipun. Rumah yang sedang lengang membuat suara sekecil apa pun mampu ditangkap oleh telinga. Ketakutanku justru semakin menjadi
Penasaran mendatangi perasaanku dengan cepat. Keingintahuan yang sangat tinggi mendorong kakiku beranjak dari depan televisi, kusimpan remot di atas lemari dan berjinjit perlahan mencari sumber suara.Belakang. Suaranya berasal dari arah belakang. Kuseret langkahku menuju dapur. Kosong, tak ada siapa pun. Akan tetapi, suara isak tangis yang berubah menjadi segukan terdengar lebih jelas dari tempatku berdiri saat ini. Mbak Nira? Sepertinya itu suara Mbak Nira. Dari celah pintu yang tidak ditutup dengan sempurna, terlihat jelas sosok Mbak Nira yang sedang membelakangi pintu. Pundaknya bergetar, isakannya sesekali berubah menjadi sesegukan, kemudian reda, dan menyisakan isakan-isakan kecil. Punggung tangannya berkali-kali mengusap airmatanya dengan kasar."Bang Roy marah sama aku. Bahkan, sampai sekarang dia belum ada nelepon aku setelah semalam kami bertengkar." "Dia marah karena tau alasan di balik lukaku ini."Mbak Nira mengan
Kehamilan kedua ini kurasakan sangat berbeda dengan kehamilan saat mengandung Nada. Dulu, aku adalah pribadi yang kuat dan tahan banting. Namun tidak dengan kehamilan kali ini, aku menjadi orang yang baperan, mudah iba, mudah menangis, juga lebih sering sakit.Aku memperhatikan Ibu yang tengah menyuapi Nada makan pagi ini, Nada berjalan kian kemari, tak bisa diam. Sesekali Ibu merenggangkan tubuhnya dengan cara berdiri, perlahan diurutnya dengan pelan pinggung tuanya. Kadang juga terlihat mengalap keringat di dahi menggunakan kain gendongan Nada yang selalu ada di bahunya.Seharusnya aku ada di kamar, berbaring. Namun aku bosan, makanya memilih duduk di kursi goyang yang Mas Nasrul letakkan di teras depan kamar kami."Nada. Sini, Sayang, sama Mama, yuk." Aku mengulurkan kedua tanganku ke arah Nada yang tengah mengejar bola sambil berjalan cepat. Lucu sekali melihatnya seperti itu.Anak usia 1 tahun tersebut menoleh padaku, lalu memamerkan gig
"Nada itu cucu Ibu. Capek pasti, tapi daripada dia diasuh orang lain, yang belum tentu bisa sabar dan sayang, lebih baik Ibu saja. Apalagi kalau sampai Nada ikut kerja seperti anaknya Mira yang di ujung itu, lebih kasihan lagi."Ibu meneguk air minumnya hingga habis, lantas membersihkan sisa pecel di pinggir mulutnya dengan selembar tisu."Soal Nada, oke. Soal pekerjaan rumah?" Mbak Nira kembali mengorek cerita dari Ibu."Gini. Setiap orang itu punya sisi lebih dan kurangnya. Kekurangan Dara hanyalah mengandalkan Ibu soal Nada dan rumah. Itu saja. Selebihnya dia baik, Nira. Kamu tau Bu Eni, tetangga Pak RT? Menantunya terlihat cekatan dalam mengurus rumah dan anak, padahal dia juga kerja. Tetapi Bu Eni pernah bilang, menantunya itu pelitnya luar biasa. Meski tinggal dalam satu rumah, ia selalu menyimpan semua makanan miliknya di bawah kolong tempat tidur. Dia juga tak perduli meski adik-adik iparnya kadang menangis ingin makanan yang sama dengannya. Dari s
"Oh, ini kena seng bekas di dekat tungku besar pas masak-masak kemarin. Ibu nggak tau kalau ujungnya masih tajam." Ibu mengelus pelan punggung tangannya yang berbalut plaster. Tak ada raut mencurigakan.Fix, bukan Ibu. Ibu, kan, sangat menyayangi cucunya, mana mungkin ingin mencelakakanku.Kembali kuputar memoriku atas kejadian kemarin malam. Saat aku berteriak, Ibu adalah orang pertama yang datang. Itu pun berasal dari arah ruang depan, dan jaraknya hanya sekian detik dari aku meminta tolong.Sekarang, kecurigaanku tinggal pada Sarah dan Mbak Nira. Akan tetapi, hatiku berkata ini perbuatan Sarah. Pada siapa aku meminta pertolongan untuk mengungkapkan peristiwa ini? Sarah cukup dihormati di mata masyarakat karena profesinya sebagai bidan desa.Sudahlah. Biar nanti kupikirkan."Ganti aja plasternya, Bu. Udah basah ini," tunjukku pada sisi plaster yang mulai terbuka."Iya, sekalian Ibu mau wudhu dulu. Nanti diganti. Kamu istirahat di kamar aja sana." "Iya, Bu. Nada mana?" tanyaku sebe
Sesampainya di tempat, kami langsung berkonsultasi. Keberuntungan berpihak karena pasien belum banyak yang datang.Setelah menjelaskan kronologi terpeletnya aku tadi malam, Dokter Rini memerintahkanku berbaring di atas ranjang dan mulai melakukan pemeriksaan.Gel dingin terasa sangat sejuk di perutku, di tambah hembusan dari pendingin ruangan membuatku sedikit kedinginan. Doppler berputar-putar di atas perutku. Pindah dari posisi bawah, ke samping, berpindah ke atas, lalu balik lagi ke bagian bawah perut.Dokter Rini diam dalam melakukan tugasnya. Cemas menyeruak kurasa, ada apa? Biasanya Dokter Rini akan bercerita dengan antusias setiap kali meng-USG-ku.Dokter Rini membuang nafasnya sedikit keras, semakin menambah kecemasanku. Apakah anakku sehat? Atau ….Pandanganku seketika kabur karena air yang mulai mengambang. Kuhalau cairan bening yang siap tumpah dengan tisu yang kupegang."Sepulang dari sini, Bu Dara bedrest,
Aku tersentak. Ingatanku tertuju pada botol minyak yang terletak di samping pintu belakang. Semalam pintunya sedikit terbuka, dan lampu belakang yang menyala terang memberikanku sebuah bayangan yang kuyakini seorang wanita. Karena apa? Selain bayangan, juga terlihat sebuah tangan dengan luka baret di punggungnya, meski sekilas tapi aku tahu tangan itu milik seorang wanita.Setelah menggosok gigi dan cuci muka, aku menunaikan kewajiban sebagai umat muslim. Kubangunkan Mas Nasrul untuk menjadi imamku."Nggak kerja, Rul?" tanya Ibu begitu Mas Nasrul ke luar kamar hanya dengan jeans dan kaos."Nggak, Bu. Mau periksakan kandungan Dara, pinggang dan perutnya masih sakit."Lamat suara mereka dapat kudengar dari balik dinding kamar. "Periksa sama Sarah aja kenapa, sih, Rul? Ngabisin duit aja, ke Dokter itu lebih mahal. Jauh pula."Kudengar Mbak Nira ikut bersuara.Ada apa, sih, dengan Mbak Nira? Kenapa dari semalam sikapnya ket