Home / Pernikahan / Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku / 3. Ibu Sembuh, Bisa Ngasuh Lagi

Share

3. Ibu Sembuh, Bisa Ngasuh Lagi

Author: Emya
last update Last Updated: 2022-06-24 12:02:13

Air mataku terus mengalir dengan derasnya, bayangan Mas Nasrul tengah merangkul Sarah kian menambah sesak di dadaku. Meski Mas Nasrul suka marah-marah, tak bisa dipungkiri kalau aku sangat mencintainya. Mas Nasrul itu cinta pertama dan akan menjadi cinta terakhir bagiku. Bantu doa ya, kawan. 

Aamiin … Nah, gitu!

"Dara, buka pintunya, Sayang. Dengarkan penjelasan Mas dulu," pinta Mas Nasrul sambil terus mengetok pintu kamar kami.

Aku masih bergeming. Sakit hatiku, Mas. Ibu juga, kenapa malah mendiamkan kelakuan mereka. Apa diam-diam Ibu justru menyukai Sarah? Karena kalau kuperhatikan, Ibu cukup dekat dengannya. Apa-apa selalu minta tolong Sarah.

"Dara kenapa, Rul?" Terdengar suara Mbak Nira mendekat.

"Salah paham, Mbak. Pas Dara masuk ke kamar Ibu tadi, dia melihatku sedang merangkul Sarah—" 

"Pantes aja Dara marah, Mbak juga bakal marah kalau gitu kondisinya." Mbak Nira memotong penjelasan adiknya dengan nada gregetan.

"Denger dulu, Mbak. Tadi itu Sarah ingin memberikan minum pada Ibu, karena kakinya kesemutan berdirinya jadi oleng. Dari pada dia jatuh menimpa Ibu, kutahan saja badannya. Lha, dia yang kaget malah berontak dan mau jatuh kearahku. Kalau nggak aku tahan bahunya tadi, bisa-bisa beneran meluk aku dianya." Dengan panjang lebar Mas Nasrul menjelaskan kejadian tadi pada Mbak Nira.

Diam-diam aku menguping dari dalam. Apa benar kejadiannya begitu? Sejauh ini Mas Nasrul orang yang jujur, apalagi kejadian tadi terjadi di depan Ibu. Ah, ya, baiknya kutanya Ibu saja habis ini. Hmm … Lagian, coba si Sarah segera pulang begitu Ibu siuman, pasti kejadiannya tidak begini.

Sebaiknya aku tetap pura-pura masih marah besar, biar Mas Nasrul menuruti semua keinginanku. Termasuk segera mengganti ponsel logo jerukku.

"Sudah. Biarkan Dara tenang dulu, kalau kamu jelasin sekarang bakal percuma. Dia lagi emosi. Yuk, makan bareng Mbak, tadi Dara beliin kita ayam geprek. Katanya kamu belum makan dari pagi." Perlahan suara mereka menghilang, sepertinya sudah beranjak ke ruang makan.

Membayangkan ayam geprek tadi, tiba-tiba laparku kembali melilit. Duh! Mau ke luar sekarang, gengsi. Kubawa tidur sajalah, nanti saja makannya.

Baru saja aku terlelap, Nada merengek bangun. Aarrgghh! Gagal lagi tidurku, hiks ….

***

"Sarapan, Ra," ajak Mbak Nira begitu melihatku ke luar kamar dengan pakaian kantor.

"Iya, Mbak. Hmm … wangi banget, masak cumi kemarin, ya?" Hidungku mengendus aroma masakan dari meja makan, sepertinya sangat nikmat.

"Iya. Makan, ya. Semalam kamu nggak makan, perutmu pasti lapar cuma diisi ayam geprek sore kemarin." Mbak Nira menyendok oseng-oseng cumi ke atas nasi dalam piringku. Dengan lahap kuhabiskan sarapanku segera, sebelum terlambat ngantor.

Sudah kukatakan, Mbak Nira itu baik. Ya, sesekali dia kadang mengomeliku terkait beberapa hal. Tapi, hanya sebatas itu. Aku harus selalu bisa bermain cantik, supaya Mbak Nira selalu menyayangiku. Ibu dan Mas Nasrul tak mungkin mengadu, aku paham betul sifat mereka. Karena kondisi Ibu yang belum terlalu pulih, Mbak Nira memutuskan tinggal sementara di sini. Sedangkan Bang Roy harus pulang karena pekerjaanya sudah menunggu. Ya, artinya yang mengasuh Nada adalah Ibu, pekerjaan rumah diurus Mbak Nira.

Setelah selesai sarapan, aku berpamitan pada Ibu dengan membawa Nada. Nampak Ibu sedang selonjoran sambil mengaji dengan suara lirih. Tuh! Ibu sebenarnya sudah sembuh, Mas Nasrul dan Mbak Nira saja yang lebay.

"Bu, Dara kerja, ya. Nada sama Ibu. Dia baru bangun itu, belum mandi. Sekalian sama Ibu, ya, mandinya." Kuraih tangan Ibu untuk kucium, lalu mengecup pipi gembul Nada. "Dah, Sayang. Sama Uti, ya. Jangan nakal." Batita 1 tahun itu hanya membalas dengan kekehan khas bayi.

"Sayang—"

"Apa?!" jawabku ketus ketika Mas Nasrul memanggilku.

"Nada titip di rumah Mama dulu, ya? Kasihan Ibu, belum terlalu pulih," ucap Mas Nasrul.

"Mama nggak bisa, Mas. Mama dari awal udah wakti-wanti ke anak-anaknya, nggak mau direpotin sama urusan cucu. Lagian Mama itu banyak kegiatan, yang arisan, yang pengajian, yang senam lansia, macem-macem, deh! Nggak paham aku. Rumah Mama juga lumayan jauh dari sini, kalau nganter Nada ke sana, alamat telat aku ngantornya. Gimana, sih!" Kuraih helm dari atas lemari sepatu teras, sebentar lagi jam 8. Jangan sampai telat.

Mas Nasrul menghela napas panjang. "Tapi Ibu butuh istirahat, Ra, kasihan. Atau kita minta Bik Wati jaga Nada, ya? Kan, dia udah nggak kerja di kota lagi." Mas Nasrul mengusulkan ide babysitter padaku.

"Nggak, nggak, nggak! Bik Wati itu orang lain, Mas. Aku nggak percaya Nada diasuh sembarangan orang. Lagian gaji pengasuh itu lebih mahal dari pembantu, Mas, sayang duitnya. Mending ditabung buat beli kebun kelapa sawit. Liat tuh, Kak Deri, kebunnya udah makin luas, cuannya mengalir deras tiap bulan." Sambil memanaskan mesin motor, aku mengomel.

Mas Nasrul ini memang harus diceramahi dulu biar pikirannya terbuka, tiap hari pembahasannya selalu Ibu, Ibu, Ibu terus. Sesekali tirulah kakak-kakakku, mereka semua sukses punya banyak kebun. Kelak yang bangga juga pasti orangtua, kan?

"Tapi, Ra—"

"Udah! Cukup! Ini masih pagi, Mas! Aku males debat. Ibu aja nggak protes kumintai tolong ngasuh Nada, kok Mas yang keberatan. Lagian ada Mbak Nira yang beberes rumah beberapa hari ke depan. Ibu cuma ngasuh Nada, cuma ngasuh." Kupakai jaketku, bersiap berangkat.

Lagi-lagi Mas Nasrul menghela napasnya dengan kasar lalu mengacak-acak rambutnya.

Saat hendak mencium tangan Mas Nasrul untuk berpamitan, mataku tertuju pada paperbag yang ada di tangannya.

"Apa itu, Mas?" tanyaku.

"Hapemu. Nih!" Disodorkannya paperbag itu padaku.

"Serius? Kapan belinya? Kok, nggak ngajak aku, sih!" Senyumku mengambang bak adonan roti yang diendap semalaman. Kubuka paperbag dengan tak sabar. Sehari semalam tanpa ponsel itu tidak enak, kawan. Membosankan.

"Semalam. Gimana mau ngajak kamu, kamunya aja masih ngambek gitu. Cemburu buta, kok, dipelihara," cibir Mas Narul sambil mencebikkan bibirnya.

"Wah! Ini lebih keren dari hape lamaku, Mas. Makasih, ya," ucapku manja sambil berjinjit mengecup pipinya.

"Iya, sama-sama. Nggak marah lagi, kan?" Dielusnya puncak kepalaku dengan gemas.

"Udah nggak. Aku berangkat duluan ya, Mas," pamitku padanya lagi.

"Iya. Hati-hati. Pulang kantor langsung ke rumah, jangan nongkrong," pesannya.

"Iyaa. Daagh!" Kulambaikan tangan pada Mas Nasrul yang masih menatapku hingga jauh.

Hampir setiap hari pesan Mas Nasrul selalu sama, hati-hati dan langsung pulang ke rumah. Ya … Aku memang sering nongkrong begitu pulang kerja. Buat apa cepat-cepat pulang, rumah dan Nada sudah ada Ibu yang mengurusi. Apa lagi? Nongkrong juga bisa membuat moodku membaik setelah seharian terkurung di kantor.

Aku tahu, di antara kalian pasti berpikir aku ini menantu jahat, durhaka. Teeserah! Karena yang tahu kondisi rumahtanggaku hanya aku. Mas Nasrul memang memiliki gaji tetap sebagai seorang sekdes, tapi itu tidak akan cukup kalau harus membayar pengasuh pun pembantu.

Begitu Mas Nasrul diterima sebagai PNS, aku langsung memintanya membeli mobil. Apa kata dunia jika seorang sekdes muda hanya berkendaraan sebuah motor. No, no, no! Mobil tersebut meski kami beli secara cash, tapi uangnya tetap kami pinjam dari bank dan mencicilnya setiap bulan. Sekarang kalian bisa bayangkan berapa sisa gaji yang kami miliki. 

Untungnya, almarhum Bapak meninggalkan warisan berupa tanah yang lumayan luas. Karena Mas Nasrul anak laki-laki satu-satunya, dia mendapat bagian yang lebih banyak. Bagian Mas Nasrul itu kemudian kami tanami kelapa sawit yang kini sudah mulai berbuah. Nah, uang dari kebun ini selalu aku sisihkan untuk masa depan Nada. Tak boleh diganggu gugat, kecuali sangat kepepet. Lha, perihal pengasuh dan pembantu, kan, bukan hal urgent. Makanya aku tak mau mengeluarkan uang ini. Lagian ada Ibu yang masih bisa melakukan semuanya. Aman.

Aku? Gajiku ya buatku. Masih untung untuk kebutuhanku aku tak merepotkan Mas Nasrul. Tak seperti Ibu yang selalu mengandalkan pemberian anak-anaknya setiap bulan, aku memiliki penghasilan sendiri. Meski begitu, Mas Nasrul tetap memberiku uang sebagai nafkah pribadiku. Uang tersebut aku pakai untuk merawat diri supaya pantas bersanding dengannya. Semua penghasilannya termasuk seseran kantor juga ia berikan padaku. Itulah kenapa aku semakin sayang padanya. Eit! Jangan berpikir aku pelit, ya! Setiap bulan aku selalu memberikan jatah Ibu sesuai titah Mas Nasrul, awas kalau bilang aku pelit!

Kupacu motorku dengan kecepatan cukup tinggi, aku paling tidak suka dengan terlambat, terlebih ini hari senin. Semua ini gara-gara Ibu! Coba kalau Ibu tidak pakai acara sakit, semua pasti berjalan baik seperti biasanya. Aku tidak ribut dengan Mas Nasrul, Nada diasuh Ibu, tidurku cukup, jadi tidak terburu-buru karena harus mengawali hari dengan perdebatan. 

Ibu … Ibu … Padahal aku ini tidak minta banyak hal, cuma ngasuh. Kok, ya bisa sampai sakit. Ckckck ….

Saat ingin berbelok memasuki gerbang kantor, tiba-tiba,

Ciittt! Brak!

Sebuah mobil melaju kencang ke arahku. Lalu, semua gelap.

Related chapters

  • Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku   4. Sarah Ternyata ...

    Aku yang tengah memacu motor dengan kecepatan cukup tinggi, mau tidak mau menarik pedal rem secara penuh ketika sebuah mobil menghantam keras seekor kambing yang tiba-tiba melintas di sampingku. Hal itu tentu membuat motor yang kukendarai berhenti secara tiba-tiba, ban motor bagian belakang bergesekan dengan bebatuan hingga menghasilkan debu dan kerikil yang beterbangan. Karena kaget, keseimbanganku menjadi oleng, akhirnya aku jatuh bersamaan dengan motor. Lalu, semuanya gelap."Dara. Sayang, bangun." Samar kudengar suara Mas Nasrul memanggilku dengan cemas, menepuk-nepuk pelan pipi kananku.Perlahan kubuka kedua mataku, menyipit silau akan sinar yang masuk dari jendela."Mas ….""Alhamdulillah … Kamu udah siuman, Sayang. Ada yang sakit? Pusing?" Mas Nasrul membelai rambutku dengan sayang, lalu mengecup keningku."Nggak ada, Mas. Tadi aku kaget, terus lemes. Ini kita di mana?" Kupandangi sekeliling ruangan tempatku berada, bukan di kantor pun di kamar kami."Di praktik bidan Sarah. Ta

    Last Updated : 2022-06-24
  • Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku   5. Benjolan di Kening Nada

    Tangis Nada melengking kesakitan. Sebuah benjolan sebesar kelereng menghiasi keningnya. Sarah yang sedang menggendongnya terus menimang-nimang agar tenang. Cewek gesrek! Kenapa pula sudah ada di sini, bukannya tadi masih di rumahnya?Kuambil Nada dengan emosi yang kian bercokol di hati. Sudahlah anakku kesakitan, ada Sara pula. Apes!"Nada kenapa?" tanyaku ketus. Kukusuk benjolan Nada dengan rambutku, konon hal itu dapat menenangkan sang anak."Em … Itu, Mbak, tadi Nada mau aku ajak beli jajan di warung seberang. Tiba-tiba ada motor lewat cukup ngebut, lalu Nada menangis. Mungkin ada kerikil yang terpelanting mengenai keningnya ini." Sarah menjelaskan dengan tak enak."Kenapa pula kamu ajak Nada jajan? Apa Ibu nggak pernah kasih tau kamu kalau aku nggak mau anakku jajan sembarangan? Lain kali jangan sotoy sama anak orang." Kutinggalkan dia yang seketika mematung mendengar ocehanku."Ibu, liat! Ini kenapa aku cuma mau Ibu yang ngasuh Nada. Orang lain nggak setelaten Ibu, mereka cuma m

    Last Updated : 2022-06-24
  • Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku   6a. Pertengkaran

    "Kenapa, Mbak?" tanyaku melihat Mbak Nira menangis semakin kencang."Huaaa … hiks hiks …" Semakin deras air yang ke luar dari kedua mata beloknya."Istighfar, Nduk. Kenapa?" Ibu mengelus pundak anak sulungnya."Iya, Mbak, ada apa? Coba yang tenang dulu biar bisa cerita. Ra, ambil minum buat Mbak." Mas Nasrul menitahku sambil menggendong Nada.Aku melirik Ibu. Kenapa tak Ibu saja, sih? Anak wedhoknya, lho, ini yang nangis-nangis. Aku masih kekenyangan, susah bergerak. Huh!Dengan malas aku beranjak ke dapur, menuang air putih ke dalam gelas souvenir pernikahan yang kuperoleh dua minggu lalu."Minum dulu, Mbak." Kusodorkan gelas air pada Mbak Nira.Glek! Glek! Glek! Mbak Nira menenggak minumnya hingga habis.Ini orang nangis karena kehausan atau apa? Segitunya. Aku meraih gelas yang telah kosong dan membawanya kembali ke dapur. Kulirik wastafel, sudah menumpuk piring kotor. Huh!"Sudah tenang? Sekarang cerita, kamu kenapa?" tanya Ibu setelah melihat Mbak Nira tak lagi menangis kejer."

    Last Updated : 2022-06-30
  • Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku   6b. Pertengkaran

    "Tanpa mempertimbangkan perasaanku? Sebenarnya aku dianggap apa di keluarga ini? Mbak pasti sadar, kan, kalau kedekatan Sarah dan Ibu itu melebihi kedekatan denganku? Mbak juga. Menantu di rumah ini, tuh, siapa, sih?""Ra, kamu ngomong apa? Kenapa pembahasannya jadi ngelantur kemana-mana?" Mas Nasrul muncul setelah selesai menunaikan sholat dzuhur."Fakta, Mas. Semakin ke sini aku semakin sadar, Ibu dan Mbak Nira memilih lebih dekat dengan Sarah daripada denganku. Padahal apa kurangnya aku?" Ya, apa kurangnya aku? Aku sudah berusaha untuk menyayangi keluarga ini. Di saat banyak menantu di luar sana menjepit dompetnya dengan erat agar uang suaminya tak mengucur ke keluarga mertua, aku dengan royal mencukupi kebutuhan rumah ini dengan uang dari Mas Nasrul. Belanja bulananku selalu melimpah, mulai dari kebutuhan makan, kesehatan, peralatan cuci dan mandi, keperluan pribadi Ibu, semuanya. Yang jarang kulakukan hanyalah mengurus rumah dan Nada. Tapi alasannya cukup jelas, aku kerja, waktu

    Last Updated : 2022-06-30
  • Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku   6c. Pertengkaran

    Mbak Nira mematung, air matanya mengalir perlahan, lalu terisak. Ibu menatap padaku dengan raut entah, mungkin kecewa atau apa. Dipeluknya sang anak sambil mengelus pundaknya pelan.Brak!Mas Nasrul meninju sisi lemari Tv dengan keras hingga membuat Nada terperanjat dan membenamkan kepalanya di dadaku. Rahangnya mengeras sampai urat besar di pelipisnya terlihat jelas. Dada itu naik turum dengan cepat, pun hidungnya yang kembang-kempis.Mas Nasrul memejamkan mata. Kedua tangannya terkepal kuat hingga urat tangan pun berlomba ke memperlihatkan diri."Dara, selama ini Mas nggak pernah ikut campur bukan karena takut, tapi Mas ingin kamu belajar menyesuaikan diri dengan bertahap. Mas diam juga bukan nggak tahu apa-apa. Belajarlah untuk dewasa, nggak semua yang terjadi harus sesuai dengan keinginanmu." Mas Nasrul mengalihkan tatapan tajamnya padaku. Suara laki-laki yang dulu tak kenal lelah mengejar cintaku itu terdengar menggeram.Dia sedang marah, tapi berusaha untuk tidak lepas kendali.

    Last Updated : 2022-07-02
  • Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku   7a. Hamil

    Suara terakhir yang kudengar adalah teriakan Ibu memanggil Mas Nasrul. Selanjutnya aku tak tahu apa-apa. Aku sadar, tapi mataku terpejam, tidak tahu apa yang terjadi. Fokusku ada pada kepalaku yang terasa berputar dan perutku yang terasa bak diaduk-aduk."Astaghfirullah … astaghfirullah …."Hanya kalimat itu yang ke luar dari bibirku. Terus kupanjatkan doa pada Allah. Aku belum mau mati. Aku tidak mau Sarah bersorak karena akan mendapatkan Mas Nasrul kembali.Pelan-pelan denyutan di kepalaku memudar. Hanya perutku saja yang masih terasa tak nyaman. Kucoba membuka mata, Alhamdulillah penglihatanku sudah kembali normal."Gimana, Ra. Apa yang kamu rasain sekarang?" tanya Mas Nasrul."Perutku nggak nyaman, Mas. Tadi kepalaku sangat pusing, penglihatan berputar, perutku mual rasa diaduk-aduk.""Ini, kamu minum susu sterilnya. Mungkin gara-gara kamu makan bakso kuah cabe dalam kondisi perut kosong."Mas Nasrul mengulurkan sekaleng susu steril padaku, susu sapi bergambar beruang tapi iklanny

    Last Updated : 2022-07-03
  • Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku   7b. Hamil

    "Wa'alaikumsalam, Mas. Ganggu?" Sarah. Itu suara Sarah. Ngapain lagi itu cewek gesrek telepon suamiku."Ada apa, Rah?" tanya Mas Nasrul, melirikku."Gimana Nada? Masih rewel nggak sama benjolnya?" tanyanya sok care."Udah nggak, Alhamdulillah. Mas mau antar Dara ke puskesmas, udah dulu, ya." "Kenapa Dara? Bawa ke sini aja, Mas. Biar aku yang periksa," sahutnya.Idiiih, ogah! Bilang saja mau cari kesempatan dalam kesempitan. Lagian, apa itu tadi? Dia memanggilku dengan Dara saja? Kalau di depan Ibu, manggilnya, Mbak. Sama Mas Nasrul manggil nama saja. Iya, sih, memang lebih tua dia, tapi yang konsisten kalau manggil orang. Kalau gini, kan, kesannya carmuk."Makasih, Rah. Tapi kami mau ke puskesmas, kebetulan juga mau mampir ke rumah mertua. Udah, ya. Assalamu'alaikum …."Tuut! Mas Nasrul memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Sarah.Kapok! Mukanya hilang kali tu orang, carmuk terus!"Emang kita kapan mau ke puskesmas? Trus beneran mau ke rumah Mama?" tanyaku pada Ma

    Last Updated : 2022-07-04
  • Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku   7c. Hamil

    Benda yang ditempelkan ke dadaku terasa dingin. Denga telaten, dokter muda itu memeriksaku."Selesai. Tanggal berapa Ibu terakhir menstruasi?" Dokter Yogi melepas stetoskop dari telinganya dan berjalan lebih dulu menuju meja konsultasi.Masih dibantu Mas Nasrul, aku turun dari ranjang dan merapikan pakaian."Hmm … saya lupa, Dok. Karena semenjak melahirkan, menstruasi saya tidak teratur. Kadang maju, kadang mundur, durasinya juga lebih lama dari biasanya. Bulan ini, sepertinya memang belum menstruasi." Aku menjelaskan riwayat haidku setelah kembali duduk di kursi seberang Dokter Yogi."Pakai kontrasepsi?" tanyanya lagi."Pakai, Dok. IUD," jawabku."Ini ada dua kemungkinan. Pertama Ibu Hamil, kedua efek kontrasepsi yang Ibu pakai. Karena di sini belum ada spesialis kandungan, Ibu bisa pakai tespack untuk memastikan." Dokter Yogi mempersilakan aku untuk mengikuti perawat yang membantunya."Baik, Dok." Aku mengik

    Last Updated : 2022-07-04

Latest chapter

  • Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku   14c. Keputusan Terbaik

    "Nggak, Ra. Mbak jahat. Mbak benci pada diri Mbak yang tak kuat iman ini. Bisa-bisanya ingin menghilangkan nyawa anak dari adik Mbak sendiri, yang notabenenya merupakan anak Mbak juga.""Iya, iya, Mbak. Sudah, ya. Ayo duduk." Kugiring tubuhnya untuk duduk kembali di sampingku. "Aku maafkan Mbak, aku juga nggak akan bilang sama Mas Nasrul dan Ibu. Kuanggap yang kemarin hanyalah kekhilafan semata. Asal Mbak janji, nggak akan ngulangin lagi. Itu perbuatan kriminal, Mbak." Sudahlah. Tak ada gunanya juga aku mengacaukan suasana di keluarga ini. Biarlah ini menjadi rahasiaku dan Mbak Nira. Sebaiknya kuanggap semua ini sudah selesai, meski demikian waspada sudah tentu kulakukan setelah ini. Titik."Aku punya informasi buat Mbak. Aku kirim ke hape Mbak, ya." Kubuka galeri foto di ponselku, memilih foto tangkapan layar tadi siang, lantas mengirimnya pada Mbak Nira.Mbak Nira membuka ponselnya, lalu menutup mulutnya dengan sebelah tangan."Ra … te

  • Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku   14b. Keputusan Terbaik

    "Lho, udah pulang, Rul?" Ibu muncul dari pintu depan yang tralinya lupa dikunci Mas Nasrul. Nada tampak mulai terkantuk-kantuk dalam gendongannya."Iya, Bu. Dara lagi manja," ejek Mas Nasrul padaku.Ibu terkekeh, meneruskan langkahnya menuju kasur santai di depan televisi, lalu menurunkan Nada dengan sangat pelan. Akhirnya Nada benar-benar terpejam tanpa botol susu."Nira, masak sayur apa, Nduk? Ibu lapar," tanya Ibu pada Mbak Nira yang entah kapan datangnya.Sontak aku membalikkan badan, dan seketika mataku bertemu dengan matanya yang tak dapat kumengerti makna apa yang tersirat di dalamnya. Segera kubuang muka dan meminta Mas Nasrul menemaniku ke kamar mandi, kebelet buang air kecil."Nira nggak sempat masak, Bu. Nira beli ayam geprek aja."Kudengar Mbak Nira menyahuti Ibu di belakang punggungku, dengan telaten Mas Nasrul meggiringku melewat meja makan yang sudah bersih dari pecahan gelas.Seharian aku berhasil menghin

  • Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku   14a. Keputusan Terbaik

    Tok! Tok! Tok! "Ra, kamu udah bangun?" Mbak Nira memanggilku, dari suaranya terdengar panik.Aku diam. Tanganku membekap mulut dengan kuat agar nafas tersengalku tak sampai ke telinganya. Entahlah! Saat ini aku merasa hidupku seperti sudah di ujung tanduk. Aku seperti melihat akan banyak bahaya mengintaiku disetiap waktu."Ra! Dara!" Ketukan di pintu semakin kuat, pun dengan suara panggilan Mbak Nira yang nyaris mendekati teriakan.Air mengucur semakin deras dari kedua netraku. Mengalir turun melewati selah-selah jari yang masih membekap rapat bibirku, hingga terasa asin di indra pengecap.Setelah tak lagi mendengar adanya suara sosok Mbak Nira, aku memberanikan diri untuk bergerak. Sedari masuk ke kamar dan duduk bersandar pada daun pintu, aku tak berani banyak mengeluarkan suara, bahkan untuk bergeser sekalipun. Rumah yang sedang lengang membuat suara sekecil apa pun mampu ditangkap oleh telinga. Ketakutanku justru semakin menjadi

  • Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku   13b. Terungkap

    Penasaran mendatangi perasaanku dengan cepat. Keingintahuan yang sangat tinggi mendorong kakiku beranjak dari depan televisi, kusimpan remot di atas lemari dan berjinjit perlahan mencari sumber suara.Belakang. Suaranya berasal dari arah belakang. Kuseret langkahku menuju dapur. Kosong, tak ada siapa pun. Akan tetapi, suara isak tangis yang berubah menjadi segukan terdengar lebih jelas dari tempatku berdiri saat ini. Mbak Nira? Sepertinya itu suara Mbak Nira. Dari celah pintu yang tidak ditutup dengan sempurna, terlihat jelas sosok Mbak Nira yang sedang membelakangi pintu. Pundaknya bergetar, isakannya sesekali berubah menjadi sesegukan, kemudian reda, dan menyisakan isakan-isakan kecil. Punggung tangannya berkali-kali mengusap airmatanya dengan kasar."Bang Roy marah sama aku. Bahkan, sampai sekarang dia belum ada nelepon aku setelah semalam kami bertengkar." "Dia marah karena tau alasan di balik lukaku ini."Mbak Nira mengan

  • Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku   13a. Terungkap

    Kehamilan kedua ini kurasakan sangat berbeda dengan kehamilan saat mengandung Nada. Dulu, aku adalah pribadi yang kuat dan tahan banting. Namun tidak dengan kehamilan kali ini, aku menjadi orang yang baperan, mudah iba, mudah menangis, juga lebih sering sakit.Aku memperhatikan Ibu yang tengah menyuapi Nada makan pagi ini, Nada berjalan kian kemari, tak bisa diam. Sesekali Ibu merenggangkan tubuhnya dengan cara berdiri, perlahan diurutnya dengan pelan pinggung tuanya. Kadang juga terlihat mengalap keringat di dahi menggunakan kain gendongan Nada yang selalu ada di bahunya.Seharusnya aku ada di kamar, berbaring. Namun aku bosan, makanya memilih duduk di kursi goyang yang Mas Nasrul letakkan di teras depan kamar kami."Nada. Sini, Sayang, sama Mama, yuk." Aku mengulurkan kedua tanganku ke arah Nada yang tengah mengejar bola sambil berjalan cepat. Lucu sekali melihatnya seperti itu.Anak usia 1 tahun tersebut menoleh padaku, lalu memamerkan gig

  • Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku   12b. Penyelidikan

    "Nada itu cucu Ibu. Capek pasti, tapi daripada dia diasuh orang lain, yang belum tentu bisa sabar dan sayang, lebih baik Ibu saja. Apalagi kalau sampai Nada ikut kerja seperti anaknya Mira yang di ujung itu, lebih kasihan lagi."Ibu meneguk air minumnya hingga habis, lantas membersihkan sisa pecel di pinggir mulutnya dengan selembar tisu."Soal Nada, oke. Soal pekerjaan rumah?" Mbak Nira kembali mengorek cerita dari Ibu."Gini. Setiap orang itu punya sisi lebih dan kurangnya. Kekurangan Dara hanyalah mengandalkan Ibu soal Nada dan rumah. Itu saja. Selebihnya dia baik, Nira. Kamu tau Bu Eni, tetangga Pak RT? Menantunya terlihat cekatan dalam mengurus rumah dan anak, padahal dia juga kerja. Tetapi Bu Eni pernah bilang, menantunya itu pelitnya luar biasa. Meski tinggal dalam satu rumah, ia selalu menyimpan semua makanan miliknya di bawah kolong tempat tidur. Dia juga tak perduli meski adik-adik iparnya kadang menangis ingin makanan yang sama dengannya. Dari s

  • Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku   12a. Penyelidikan

    "Oh, ini kena seng bekas di dekat tungku besar pas masak-masak kemarin. Ibu nggak tau kalau ujungnya masih tajam." Ibu mengelus pelan punggung tangannya yang berbalut plaster. Tak ada raut mencurigakan.Fix, bukan Ibu. Ibu, kan, sangat menyayangi cucunya, mana mungkin ingin mencelakakanku.Kembali kuputar memoriku atas kejadian kemarin malam. Saat aku berteriak, Ibu adalah orang pertama yang datang. Itu pun berasal dari arah ruang depan, dan jaraknya hanya sekian detik dari aku meminta tolong.Sekarang, kecurigaanku tinggal pada Sarah dan Mbak Nira. Akan tetapi, hatiku berkata ini perbuatan Sarah. Pada siapa aku meminta pertolongan untuk mengungkapkan peristiwa ini? Sarah cukup dihormati di mata masyarakat karena profesinya sebagai bidan desa.Sudahlah. Biar nanti kupikirkan."Ganti aja plasternya, Bu. Udah basah ini," tunjukku pada sisi plaster yang mulai terbuka."Iya, sekalian Ibu mau wudhu dulu. Nanti diganti. Kamu istirahat di kamar aja sana." "Iya, Bu. Nada mana?" tanyaku sebe

  • Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku   11c. Prasangka

    Sesampainya di tempat, kami langsung berkonsultasi. Keberuntungan berpihak karena pasien belum banyak yang datang.Setelah menjelaskan kronologi terpeletnya aku tadi malam, Dokter Rini memerintahkanku berbaring di atas ranjang dan mulai melakukan pemeriksaan.Gel dingin terasa sangat sejuk di perutku, di tambah hembusan dari pendingin ruangan membuatku sedikit kedinginan. Doppler berputar-putar di atas perutku. Pindah dari posisi bawah, ke samping, berpindah ke atas, lalu balik lagi ke bagian bawah perut.Dokter Rini diam dalam melakukan tugasnya. Cemas menyeruak kurasa, ada apa? Biasanya Dokter Rini akan bercerita dengan antusias setiap kali meng-USG-ku.Dokter Rini membuang nafasnya sedikit keras, semakin menambah kecemasanku. Apakah anakku sehat? Atau ….Pandanganku seketika kabur karena air yang mulai mengambang. Kuhalau cairan bening yang siap tumpah dengan tisu yang kupegang."Sepulang dari sini, Bu Dara bedrest,

  • Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku   11b. Prasangka

    Aku tersentak. Ingatanku tertuju pada botol minyak yang terletak di samping pintu belakang. Semalam pintunya sedikit terbuka, dan lampu belakang yang menyala terang memberikanku sebuah bayangan yang kuyakini seorang wanita. Karena apa? Selain bayangan, juga terlihat sebuah tangan dengan luka baret di punggungnya, meski sekilas tapi aku tahu tangan itu milik seorang wanita.Setelah menggosok gigi dan cuci muka, aku menunaikan kewajiban sebagai umat muslim. Kubangunkan Mas Nasrul untuk menjadi imamku."Nggak kerja, Rul?" tanya Ibu begitu Mas Nasrul ke luar kamar hanya dengan jeans dan kaos."Nggak, Bu. Mau periksakan kandungan Dara, pinggang dan perutnya masih sakit."Lamat suara mereka dapat kudengar dari balik dinding kamar. "Periksa sama Sarah aja kenapa, sih, Rul? Ngabisin duit aja, ke Dokter itu lebih mahal. Jauh pula."Kudengar Mbak Nira ikut bersuara.Ada apa, sih, dengan Mbak Nira? Kenapa dari semalam sikapnya ket

DMCA.com Protection Status