Tangis Nada melengking kesakitan. Sebuah benjolan sebesar kelereng menghiasi keningnya. Sarah yang sedang menggendongnya terus menimang-nimang agar tenang.
Cewek gesrek! Kenapa pula sudah ada di sini, bukannya tadi masih di rumahnya?
Kuambil Nada dengan emosi yang kian bercokol di hati. Sudahlah anakku kesakitan, ada Sara pula. Apes!
"Nada kenapa?" tanyaku ketus. Kukusuk benjolan Nada dengan rambutku, konon hal itu dapat menenangkan sang anak.
"Em … Itu, Mbak, tadi Nada mau aku ajak beli jajan di warung seberang. Tiba-tiba ada motor lewat cukup ngebut, lalu Nada menangis. Mungkin ada kerikil yang terpelanting mengenai keningnya ini." Sarah menjelaskan dengan tak enak.
"Kenapa pula kamu ajak Nada jajan? Apa Ibu nggak pernah kasih tau kamu kalau aku nggak mau anakku jajan sembarangan? Lain kali jangan sotoy sama anak orang." Kutinggalkan dia yang seketika mematung mendengar ocehanku.
"Ibu, liat! Ini kenapa aku cuma mau Ibu yang ngasuh Nada. Orang lain nggak setelaten Ibu, mereka cuma mau cari muka doang. Nggak tulus!" Aku memperlihatkan benjolan Nada pada Ibu.
"Ya Allah, Nak. Sini sama Uti, Sayang. Sstt … Anteng, ya, ini ada Uti sama Mama." Ibu meraih Nada dari gendonganku, meniup-niup keningnya. "Udah, ya. Ssstt … Tante Sarah nggak sengaja."
Spontan aku memasang muka cemberut mendengar perkataan Ibu. Menyebalkan! Dalam kondisi seperti ini, masih sempat-sempatnya membela Sarah. Lagian kemana perginya Mbak Nira? Bukannya tadi Nada sama dia, kok, ini sudah sama Sarah.
"Masuk yuk, Bu. Kita olesin minyak, pasti sakit banget itu," kugamit lengan Ibu, lalu berjalan lebih dulu.
"Maaf ya, Rah. Dara sedang emosi liat Nada nangis kesakitan tadi. Ibu masuk dulu, kamu mau masuk?" Samar kudengar Ibu masih berbicara dengan Sarah. Duh! Apalah Ibu ini, pakai minta maaf atas namaku segala.
Aku tak tau apa yang Sarah ucapkan, karena suaranya tertelan deru motorku yang dibawa Doni. Segera kuhampiri ia. Syukurlah motorku tak apa, hanya lecet sedikit.
"Terima kasih ya, Don. Ngopi dulu?" tawarku.
"Sama-sama, Mbak. Nggak, deh, tadi di balai desa juga dikasih kopi," tolaknya halus.
"Oh, ya sudah. Pulangnya gimana?" tanyaku melihatnya hanya sendiri.
"Nebeng temen, Mbak. Tuh dia," tunjuknya pada seseorang yang barusan sampai.
"Yowes. Salam sama Nita, ya."
"Iya, Mbak. Nanti aku sampaikan. Eh, itu kening Nada kenapa?" Doni menghampiri Nada yang masih bersama Ibu dan Sarah.
"Biasalah, Don. Ada yang nggak ikhlas ngasuh Nada, gitu hasilnya." Aku bersedekap memandang Sarah tak suka, dia pun menundukkan pandangannya.
"Duh, ponakan Om … Sakit, ya? Pinter, udah nggak nangis." Doni mengelus kepala Nada yang di balas kekeh riangnya.
Nada memang mudah dekat dengan siapapun, baik laki-laki pun perempuan. Itu juga penyebab aku meminta Ibu mengawasi Nada selalu, takut ada yang berniat tidak baik dengan pura-pura ingin mengasuhnya. Ya, macam Sarah itu.
"Pinter, Om. Kayak Mama Papa …" kekehku.
Kutatap tajam Sarah yang mencuri pandang padaku. Biar! Biar dia tahu kalau aku sudah menambuh genderang perang dengannya. Biar dia tahu kalau aku sudah mencium aroma-aroma kelicikannya.
Setelah memberi Nada uang jajan, Doni pulang bersama temannya. Kukira Sarah akan pulang juga, tapi ternyata salah, sepertinya dia mau ikut masuk ke rumah. Terlihat dari gesturnya yang berjalan pelan bersama Ibu menuju pintu rumah.
"Sarah. Kamu nggak pulang? Kan, ada pasien di rumahmu." Sengaja kuhadang langkahnya, sedangkan Ibu sudah masuk lebih dulu.
"Ada asistenku yang urus, Mbak. Aku mau mengobati benjolan di kening Nada," ucapnya enteng.
Benar-benar luar biasa orang satu ini. Tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa aku tak menyukai kehadirannya sekarang-sekarang ini.
"Nggak usah! Ada aku dan Ibu. Sebaiknya kamu pulang, ndak elok anak gadis sering-sering main ke rumah mantan pacar yang sudah menikah." Kuskak dia.
Mata Sarah membulat mendengar ucapanku, berdirinya menjadi gelisah. Wajahnya berubah menjadi gugup.
"Mbak, aku-"
"Udah. Aku udah tau semuanya. Aku tau kamu terlanjur dekat dengan Ibu. Tapi, nggak semua permintaan Ibu harus kamu turuti. Ibu itu mertuaku, tolong jangan jadi dinding pemisah di antara kami. Oh, satu lagi, semakin kamu sering ke sini, semakin sulit kamu move on dari suamiku. Jadi, baiknya kamu jangan sering ke sini kalau kamu nggak mau dibilang penggangu suami orang." Aku berbalik dan meninggalkan Sarah yang termangu di depan pintu.
Brak! Kubanting daun pintu, lalu menghampiri Ibu yang sedang mengolesi benjolan Nada dengan minyak.
"Sarah mana, Nduk?" tanya Ibu sambil terus mengolesi kening Nada. Syukurlah anakku sangat pintar, dia tidak menangis saat benjolannya disentuh.
"Pulang."
"Nduk, kamu jangan terlalu menampakkan ketidaksukaanmu pada Sarah. Ndak elok, bisa jadi ke depan nanti kita butuh bantuannya." Ibu mulai menasihatiku lagi.
"Bu, Nada begini karena Sarah. Coba kalau Sarah nggak ngajak Nada jajan, nggak bakal gini kejadiannya. Ibu kenapa selalu membela Sarah, sih?" Aku mendengus tak suka dengan perkataan Ibu.
"Bukan membela. Sikap kamu yang begitu bisa menjatuhkan harga diri suamimu. Seolah-olah suamimu tidak mendidikmu dalam bersikap ke orang lain. Itu saja."
Alasan! Bilang saja tidak rela Sarah kumarahi.
"Lain kali jangan asal kasih Nada ke orang lain, Bu. Dara nggak suka. Baru sebentar saja sudah begini, kan? Kalau Ibu udah nggak mau ngasuh Nada, bilang aja. Biar Dara bawa ker-"
"Ngomong apa kamu ini, Nduk? Nada ini cucu Ibu, tentu saja Ibu mau ngasuhnya." Ibu memotong ucapanku cepat.
"Ya sudah. Beneran lho, Bu, jangan suka kasih Nada ke orang lain. Dara cuma percaya sama Ibu."
"Iya. Mau makan?" tanya Ibu.
"Belum selera, Bu. Dara ke kamar dulu, pusing." Aku memijit-mijit pelipisku pelan.
"Yowes, tidurlah. Nada biar sama Ibu."
Tanpa menjawab aku berlalu ke kamar. Baru mau terpejam aku teringat ponsel baru di jok motorku. Secepat kilat aku ke luar dan mengambilnya.
Setelah memasang kartu yang aku pilah dari remahan ponsel lamaku pada ponsel baru, kunyalakan dengan hati gembira. Setelah logo jeruk muncul, tak lama kemudian layar menyala penuh dengan masih setelan pabrik. Selesai setting sana dan sini, kukirim pesan pada Mas Nasrul agar membawa bakso samping balai desa ketika pulang nanti. Lalu kutulis status pada storyku.
[Hidup itu memang begini. Ketika kamu belum punya apa-apa orang semacam pasrah untuk dekat, tapi ketika kamu sukses? Pepet trussss 😂]
Send.
Kepalaku semakin berdenyut setelah memandangi layar ponsel cukup lama. Sebaiknya aku tidur dulu, Nada juga sudah tenang bersama Ibu. Awas saja kalau Ibu oper Nada ke orang lain.
Entah berapa lama aku tertidur, yang jelas ketika aku terjaga suara Mas Nasrul terdengar sedang berbincang dengan Ibu seiring denting sendok yang beradu dengan piring. Oh, rupanya Mas Nasrul pulang makan siang. Tumben.
Kreek … Suara pintu kamar yang kubuka perlahan.
"Udah bangun, Ra?" sapa Mas Nasrul sambil memilah cumi dan pete di pinggir piring makan siangnya. Mas Nasrul tak suka makan pete, kalau ada masakan bercampur dengan pete seperti masakan Mbak Nira hari ini, biasanya aku yang memakan petenya nanti.
"Iya, Mas. Tumben pulang siang?" tanyaku.
"Sekalian, Ra. Tadi Sarah telepon, Mas disuruh ambil salep buat Nada. Ya udah, sekalian aja Mas pulang makan siang, biar salepnya bisa dipakein ke Nada swgera. Dia juga minta maaf ke kamu karena udah bikin Nada benjol." Tanpa mengalihkan pandangannya dari piring, Mas Nasrul menjawab tanyaku.
"Caper!" sengitku kesal.
"Hust! Udah, dia udah minta maaf. Namanya juga nggak sengaja." Mas Nasrul menyuap nasi dengan cuminya lahap.
"Maafnya ke Mas, kenapa dia nggak chat aku? Lain kali kalau dia chat Mas, suruh chat aku. Nggak etis tau, chat-chatan sama mantan yang udah jadi suami orang."
"Uhuk!" Mas Nasrul tersedak, cepat kusodorkan air minum yang kemudian diteguknya hingga habis. "Ngomong apa sih, Ra?" Mas Nasrul salah tingkah.
"Aku udah tau, Mas, Sarah mantan Mas, kan? Huuu … Jangan mentang-mentang aku nggak pernah ngulik masa lalu Mas, Mas anggap aku nggak tau apa-apa, ya." Aku mencibir Mas Nasrul yang seketika nyengir, memamerkan gigi rapinya.
"Mantan, Ra. Dia cuma mantan. Istri Mas, kan, kamu. Nggak usah sewot, ah. Cantiknya ilang," goda Mas Nasrul.
"Mas liat, kan, anak kita begini gara-gara dia. Itulah kenapa aku cuma mau Ibu yang ngasuh Nada. Lagian selama ada Mbak Nira, Ibu juga nggak ngurusin rumah dan dapur, Ibu cuma ngurus Nada." Aku memulai ceramah siangku.
"Iya … Iya … Udah, makan itu baksonya. Mas taruh di dalam magicom biar tetap panas, mienya di atas meja." Mas Nasrul menunjuk ke arah dapur dengan dagunya.
"Ibu mau juga?" tawarku pada Ibu yang dari tadi hanya diam.
"Nanti, Nduk. Ibu makan nasi dulu, biar maagnya tidak kambuh." Ibu menolak tawaranku.
"Ya sudah." Kutinggalkan mereka ke dapur.
Liurku hampir menetes menatap bulatan bakso kuah cabe di depanku. Sudah lama aku tak menikmati bakso favoritku ini. 1 2 3 4, ah, lupa sudah berapa hari.
Kuhirup kuah bakso terlaris di desa ini, hmm … Memang ter the best. Begitu baksonya di belah, wuuu … campuran daging cincang sambalnya melambai-lambai minta dikunyah. Pedasnya serasa mau gampar muka Sarah. Eh!
Sedang kepedasan menikmati bakso di mangkukku, Mbak Nira pulang dengan isak tertahan. Ada apa lagi ini?
"Kenapa, Mbak?" Kutinggalkan baksoku, kuhampiri Mbak Nira yang sedang menghembus ingusnya dengan tisu.
"Hiks hiks … Huaaaa …."
Tangis Mbak Nira pecah. Lho, kok?
"Kenapa, Mbak?" tanyaku melihat Mbak Nira menangis semakin kencang."Huaaa … hiks hiks …" Semakin deras air yang ke luar dari kedua mata beloknya."Istighfar, Nduk. Kenapa?" Ibu mengelus pundak anak sulungnya."Iya, Mbak, ada apa? Coba yang tenang dulu biar bisa cerita. Ra, ambil minum buat Mbak." Mas Nasrul menitahku sambil menggendong Nada.Aku melirik Ibu. Kenapa tak Ibu saja, sih? Anak wedhoknya, lho, ini yang nangis-nangis. Aku masih kekenyangan, susah bergerak. Huh!Dengan malas aku beranjak ke dapur, menuang air putih ke dalam gelas souvenir pernikahan yang kuperoleh dua minggu lalu."Minum dulu, Mbak." Kusodorkan gelas air pada Mbak Nira.Glek! Glek! Glek! Mbak Nira menenggak minumnya hingga habis.Ini orang nangis karena kehausan atau apa? Segitunya. Aku meraih gelas yang telah kosong dan membawanya kembali ke dapur. Kulirik wastafel, sudah menumpuk piring kotor. Huh!"Sudah tenang? Sekarang cerita, kamu kenapa?" tanya Ibu setelah melihat Mbak Nira tak lagi menangis kejer."
"Tanpa mempertimbangkan perasaanku? Sebenarnya aku dianggap apa di keluarga ini? Mbak pasti sadar, kan, kalau kedekatan Sarah dan Ibu itu melebihi kedekatan denganku? Mbak juga. Menantu di rumah ini, tuh, siapa, sih?""Ra, kamu ngomong apa? Kenapa pembahasannya jadi ngelantur kemana-mana?" Mas Nasrul muncul setelah selesai menunaikan sholat dzuhur."Fakta, Mas. Semakin ke sini aku semakin sadar, Ibu dan Mbak Nira memilih lebih dekat dengan Sarah daripada denganku. Padahal apa kurangnya aku?" Ya, apa kurangnya aku? Aku sudah berusaha untuk menyayangi keluarga ini. Di saat banyak menantu di luar sana menjepit dompetnya dengan erat agar uang suaminya tak mengucur ke keluarga mertua, aku dengan royal mencukupi kebutuhan rumah ini dengan uang dari Mas Nasrul. Belanja bulananku selalu melimpah, mulai dari kebutuhan makan, kesehatan, peralatan cuci dan mandi, keperluan pribadi Ibu, semuanya. Yang jarang kulakukan hanyalah mengurus rumah dan Nada. Tapi alasannya cukup jelas, aku kerja, waktu
Mbak Nira mematung, air matanya mengalir perlahan, lalu terisak. Ibu menatap padaku dengan raut entah, mungkin kecewa atau apa. Dipeluknya sang anak sambil mengelus pundaknya pelan.Brak!Mas Nasrul meninju sisi lemari Tv dengan keras hingga membuat Nada terperanjat dan membenamkan kepalanya di dadaku. Rahangnya mengeras sampai urat besar di pelipisnya terlihat jelas. Dada itu naik turum dengan cepat, pun hidungnya yang kembang-kempis.Mas Nasrul memejamkan mata. Kedua tangannya terkepal kuat hingga urat tangan pun berlomba ke memperlihatkan diri."Dara, selama ini Mas nggak pernah ikut campur bukan karena takut, tapi Mas ingin kamu belajar menyesuaikan diri dengan bertahap. Mas diam juga bukan nggak tahu apa-apa. Belajarlah untuk dewasa, nggak semua yang terjadi harus sesuai dengan keinginanmu." Mas Nasrul mengalihkan tatapan tajamnya padaku. Suara laki-laki yang dulu tak kenal lelah mengejar cintaku itu terdengar menggeram.Dia sedang marah, tapi berusaha untuk tidak lepas kendali.
Suara terakhir yang kudengar adalah teriakan Ibu memanggil Mas Nasrul. Selanjutnya aku tak tahu apa-apa. Aku sadar, tapi mataku terpejam, tidak tahu apa yang terjadi. Fokusku ada pada kepalaku yang terasa berputar dan perutku yang terasa bak diaduk-aduk."Astaghfirullah … astaghfirullah …."Hanya kalimat itu yang ke luar dari bibirku. Terus kupanjatkan doa pada Allah. Aku belum mau mati. Aku tidak mau Sarah bersorak karena akan mendapatkan Mas Nasrul kembali.Pelan-pelan denyutan di kepalaku memudar. Hanya perutku saja yang masih terasa tak nyaman. Kucoba membuka mata, Alhamdulillah penglihatanku sudah kembali normal."Gimana, Ra. Apa yang kamu rasain sekarang?" tanya Mas Nasrul."Perutku nggak nyaman, Mas. Tadi kepalaku sangat pusing, penglihatan berputar, perutku mual rasa diaduk-aduk.""Ini, kamu minum susu sterilnya. Mungkin gara-gara kamu makan bakso kuah cabe dalam kondisi perut kosong."Mas Nasrul mengulurkan sekaleng susu steril padaku, susu sapi bergambar beruang tapi iklanny
"Wa'alaikumsalam, Mas. Ganggu?" Sarah. Itu suara Sarah. Ngapain lagi itu cewek gesrek telepon suamiku."Ada apa, Rah?" tanya Mas Nasrul, melirikku."Gimana Nada? Masih rewel nggak sama benjolnya?" tanyanya sok care."Udah nggak, Alhamdulillah. Mas mau antar Dara ke puskesmas, udah dulu, ya." "Kenapa Dara? Bawa ke sini aja, Mas. Biar aku yang periksa," sahutnya.Idiiih, ogah! Bilang saja mau cari kesempatan dalam kesempitan. Lagian, apa itu tadi? Dia memanggilku dengan Dara saja? Kalau di depan Ibu, manggilnya, Mbak. Sama Mas Nasrul manggil nama saja. Iya, sih, memang lebih tua dia, tapi yang konsisten kalau manggil orang. Kalau gini, kan, kesannya carmuk."Makasih, Rah. Tapi kami mau ke puskesmas, kebetulan juga mau mampir ke rumah mertua. Udah, ya. Assalamu'alaikum …."Tuut! Mas Nasrul memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Sarah.Kapok! Mukanya hilang kali tu orang, carmuk terus!"Emang kita kapan mau ke puskesmas? Trus beneran mau ke rumah Mama?" tanyaku pada Ma
Benda yang ditempelkan ke dadaku terasa dingin. Denga telaten, dokter muda itu memeriksaku."Selesai. Tanggal berapa Ibu terakhir menstruasi?" Dokter Yogi melepas stetoskop dari telinganya dan berjalan lebih dulu menuju meja konsultasi.Masih dibantu Mas Nasrul, aku turun dari ranjang dan merapikan pakaian."Hmm … saya lupa, Dok. Karena semenjak melahirkan, menstruasi saya tidak teratur. Kadang maju, kadang mundur, durasinya juga lebih lama dari biasanya. Bulan ini, sepertinya memang belum menstruasi." Aku menjelaskan riwayat haidku setelah kembali duduk di kursi seberang Dokter Yogi."Pakai kontrasepsi?" tanyanya lagi."Pakai, Dok. IUD," jawabku."Ini ada dua kemungkinan. Pertama Ibu Hamil, kedua efek kontrasepsi yang Ibu pakai. Karena di sini belum ada spesialis kandungan, Ibu bisa pakai tespack untuk memastikan." Dokter Yogi mempersilakan aku untuk mengikuti perawat yang membantunya."Baik, Dok." Aku mengik
"Kapan kamu melamar Sarah, Rul? Dia sudah sering main ke rumah, ndak elok dilihat tetangga." Sore itu Ibu sedang memarut kelapa guna membuat gulai nangka muda, untuk pertama kalinya Ibu menanyakan tentang kelanjutan hubunganku dengan Sarah.Sarah. Gadis berprofesi sebagai bidan dan berkulit coklat yang menjadi menantu idaman Ibu. Menurut beliau tidak ada yang yang perlu diragukan dari Sarah. Dia gadis santun, ramah, juga memiliki masa depan yang cerah. Bukan aku tidak mencintainya, aku cinta. Akan tetapi ada hal yang membuat aku kurang suka darinya, dia mempunyai sifat suka mengatur. Lima tahun berpacaran dengannya, masih belum berubah. Sering hubungan kami dilanda putus nyambung karena sifatnya itu. Dan Ibu tidak pernah mengetahuinya.Bersamanya aku tidak bisa menjadi diri sendiri. Aku tidak boleh nongkrong bersama pemuda desa lain dengan alasan tidak pantas, tidak boleh beramah tamah dengan teman wanita. Saat jalan dengannya harus selalu ikuti semua keinginannya, mulai dari pakaia
"Bu, jodoh tidak akan ke mana. Sejauh dan selama apa pun aku merantau, kalau Sarah jodohku kami pasti akan menikah." Aku membesarkan hati Ibu yang tengah dilingkupi kecemasan.Ibu terdiam sejenak. Sambil melanjutkan ulekannya Ibu berkata,"Ya sudah. Jika dirasa itu bisa memperbaiki sumber penghasilanmu, berangkatlah. Tapi ingat, besar harapan Ibu kelak kamu tetap menikah dengan Sarah.""InSyaa Allah. Jodoh, maut, rezeki, semua Allah yang mengatur, Bu. Bukan anakmu." Aku mengelus pundak Ibu, lalu meninggalkan dapur.Dua hari setelahnya, aku berangkat ke kota. Nasib baik sedang berpihak padaku, saat menelepon Awan kebetulan kantor tempat ia bekerja sedang membutuhkan seorang akuntan. Lowongan itu sesuai dengan ilmu yang aku peroleh di bangku kuliah. Alhamdulillah … Setelah menyampaikan surat pengunduran diri pada kades, aku menyiapkan segala keperluan di rantau.1,5 tahun di tanah rantau waktuku didedikasikan untuk bekerja. Disela-sela wakt
"Nggak, Ra. Mbak jahat. Mbak benci pada diri Mbak yang tak kuat iman ini. Bisa-bisanya ingin menghilangkan nyawa anak dari adik Mbak sendiri, yang notabenenya merupakan anak Mbak juga.""Iya, iya, Mbak. Sudah, ya. Ayo duduk." Kugiring tubuhnya untuk duduk kembali di sampingku. "Aku maafkan Mbak, aku juga nggak akan bilang sama Mas Nasrul dan Ibu. Kuanggap yang kemarin hanyalah kekhilafan semata. Asal Mbak janji, nggak akan ngulangin lagi. Itu perbuatan kriminal, Mbak." Sudahlah. Tak ada gunanya juga aku mengacaukan suasana di keluarga ini. Biarlah ini menjadi rahasiaku dan Mbak Nira. Sebaiknya kuanggap semua ini sudah selesai, meski demikian waspada sudah tentu kulakukan setelah ini. Titik."Aku punya informasi buat Mbak. Aku kirim ke hape Mbak, ya." Kubuka galeri foto di ponselku, memilih foto tangkapan layar tadi siang, lantas mengirimnya pada Mbak Nira.Mbak Nira membuka ponselnya, lalu menutup mulutnya dengan sebelah tangan."Ra … te
"Lho, udah pulang, Rul?" Ibu muncul dari pintu depan yang tralinya lupa dikunci Mas Nasrul. Nada tampak mulai terkantuk-kantuk dalam gendongannya."Iya, Bu. Dara lagi manja," ejek Mas Nasrul padaku.Ibu terkekeh, meneruskan langkahnya menuju kasur santai di depan televisi, lalu menurunkan Nada dengan sangat pelan. Akhirnya Nada benar-benar terpejam tanpa botol susu."Nira, masak sayur apa, Nduk? Ibu lapar," tanya Ibu pada Mbak Nira yang entah kapan datangnya.Sontak aku membalikkan badan, dan seketika mataku bertemu dengan matanya yang tak dapat kumengerti makna apa yang tersirat di dalamnya. Segera kubuang muka dan meminta Mas Nasrul menemaniku ke kamar mandi, kebelet buang air kecil."Nira nggak sempat masak, Bu. Nira beli ayam geprek aja."Kudengar Mbak Nira menyahuti Ibu di belakang punggungku, dengan telaten Mas Nasrul meggiringku melewat meja makan yang sudah bersih dari pecahan gelas.Seharian aku berhasil menghin
Tok! Tok! Tok! "Ra, kamu udah bangun?" Mbak Nira memanggilku, dari suaranya terdengar panik.Aku diam. Tanganku membekap mulut dengan kuat agar nafas tersengalku tak sampai ke telinganya. Entahlah! Saat ini aku merasa hidupku seperti sudah di ujung tanduk. Aku seperti melihat akan banyak bahaya mengintaiku disetiap waktu."Ra! Dara!" Ketukan di pintu semakin kuat, pun dengan suara panggilan Mbak Nira yang nyaris mendekati teriakan.Air mengucur semakin deras dari kedua netraku. Mengalir turun melewati selah-selah jari yang masih membekap rapat bibirku, hingga terasa asin di indra pengecap.Setelah tak lagi mendengar adanya suara sosok Mbak Nira, aku memberanikan diri untuk bergerak. Sedari masuk ke kamar dan duduk bersandar pada daun pintu, aku tak berani banyak mengeluarkan suara, bahkan untuk bergeser sekalipun. Rumah yang sedang lengang membuat suara sekecil apa pun mampu ditangkap oleh telinga. Ketakutanku justru semakin menjadi
Penasaran mendatangi perasaanku dengan cepat. Keingintahuan yang sangat tinggi mendorong kakiku beranjak dari depan televisi, kusimpan remot di atas lemari dan berjinjit perlahan mencari sumber suara.Belakang. Suaranya berasal dari arah belakang. Kuseret langkahku menuju dapur. Kosong, tak ada siapa pun. Akan tetapi, suara isak tangis yang berubah menjadi segukan terdengar lebih jelas dari tempatku berdiri saat ini. Mbak Nira? Sepertinya itu suara Mbak Nira. Dari celah pintu yang tidak ditutup dengan sempurna, terlihat jelas sosok Mbak Nira yang sedang membelakangi pintu. Pundaknya bergetar, isakannya sesekali berubah menjadi sesegukan, kemudian reda, dan menyisakan isakan-isakan kecil. Punggung tangannya berkali-kali mengusap airmatanya dengan kasar."Bang Roy marah sama aku. Bahkan, sampai sekarang dia belum ada nelepon aku setelah semalam kami bertengkar." "Dia marah karena tau alasan di balik lukaku ini."Mbak Nira mengan
Kehamilan kedua ini kurasakan sangat berbeda dengan kehamilan saat mengandung Nada. Dulu, aku adalah pribadi yang kuat dan tahan banting. Namun tidak dengan kehamilan kali ini, aku menjadi orang yang baperan, mudah iba, mudah menangis, juga lebih sering sakit.Aku memperhatikan Ibu yang tengah menyuapi Nada makan pagi ini, Nada berjalan kian kemari, tak bisa diam. Sesekali Ibu merenggangkan tubuhnya dengan cara berdiri, perlahan diurutnya dengan pelan pinggung tuanya. Kadang juga terlihat mengalap keringat di dahi menggunakan kain gendongan Nada yang selalu ada di bahunya.Seharusnya aku ada di kamar, berbaring. Namun aku bosan, makanya memilih duduk di kursi goyang yang Mas Nasrul letakkan di teras depan kamar kami."Nada. Sini, Sayang, sama Mama, yuk." Aku mengulurkan kedua tanganku ke arah Nada yang tengah mengejar bola sambil berjalan cepat. Lucu sekali melihatnya seperti itu.Anak usia 1 tahun tersebut menoleh padaku, lalu memamerkan gig
"Nada itu cucu Ibu. Capek pasti, tapi daripada dia diasuh orang lain, yang belum tentu bisa sabar dan sayang, lebih baik Ibu saja. Apalagi kalau sampai Nada ikut kerja seperti anaknya Mira yang di ujung itu, lebih kasihan lagi."Ibu meneguk air minumnya hingga habis, lantas membersihkan sisa pecel di pinggir mulutnya dengan selembar tisu."Soal Nada, oke. Soal pekerjaan rumah?" Mbak Nira kembali mengorek cerita dari Ibu."Gini. Setiap orang itu punya sisi lebih dan kurangnya. Kekurangan Dara hanyalah mengandalkan Ibu soal Nada dan rumah. Itu saja. Selebihnya dia baik, Nira. Kamu tau Bu Eni, tetangga Pak RT? Menantunya terlihat cekatan dalam mengurus rumah dan anak, padahal dia juga kerja. Tetapi Bu Eni pernah bilang, menantunya itu pelitnya luar biasa. Meski tinggal dalam satu rumah, ia selalu menyimpan semua makanan miliknya di bawah kolong tempat tidur. Dia juga tak perduli meski adik-adik iparnya kadang menangis ingin makanan yang sama dengannya. Dari s
"Oh, ini kena seng bekas di dekat tungku besar pas masak-masak kemarin. Ibu nggak tau kalau ujungnya masih tajam." Ibu mengelus pelan punggung tangannya yang berbalut plaster. Tak ada raut mencurigakan.Fix, bukan Ibu. Ibu, kan, sangat menyayangi cucunya, mana mungkin ingin mencelakakanku.Kembali kuputar memoriku atas kejadian kemarin malam. Saat aku berteriak, Ibu adalah orang pertama yang datang. Itu pun berasal dari arah ruang depan, dan jaraknya hanya sekian detik dari aku meminta tolong.Sekarang, kecurigaanku tinggal pada Sarah dan Mbak Nira. Akan tetapi, hatiku berkata ini perbuatan Sarah. Pada siapa aku meminta pertolongan untuk mengungkapkan peristiwa ini? Sarah cukup dihormati di mata masyarakat karena profesinya sebagai bidan desa.Sudahlah. Biar nanti kupikirkan."Ganti aja plasternya, Bu. Udah basah ini," tunjukku pada sisi plaster yang mulai terbuka."Iya, sekalian Ibu mau wudhu dulu. Nanti diganti. Kamu istirahat di kamar aja sana." "Iya, Bu. Nada mana?" tanyaku sebe
Sesampainya di tempat, kami langsung berkonsultasi. Keberuntungan berpihak karena pasien belum banyak yang datang.Setelah menjelaskan kronologi terpeletnya aku tadi malam, Dokter Rini memerintahkanku berbaring di atas ranjang dan mulai melakukan pemeriksaan.Gel dingin terasa sangat sejuk di perutku, di tambah hembusan dari pendingin ruangan membuatku sedikit kedinginan. Doppler berputar-putar di atas perutku. Pindah dari posisi bawah, ke samping, berpindah ke atas, lalu balik lagi ke bagian bawah perut.Dokter Rini diam dalam melakukan tugasnya. Cemas menyeruak kurasa, ada apa? Biasanya Dokter Rini akan bercerita dengan antusias setiap kali meng-USG-ku.Dokter Rini membuang nafasnya sedikit keras, semakin menambah kecemasanku. Apakah anakku sehat? Atau ….Pandanganku seketika kabur karena air yang mulai mengambang. Kuhalau cairan bening yang siap tumpah dengan tisu yang kupegang."Sepulang dari sini, Bu Dara bedrest,
Aku tersentak. Ingatanku tertuju pada botol minyak yang terletak di samping pintu belakang. Semalam pintunya sedikit terbuka, dan lampu belakang yang menyala terang memberikanku sebuah bayangan yang kuyakini seorang wanita. Karena apa? Selain bayangan, juga terlihat sebuah tangan dengan luka baret di punggungnya, meski sekilas tapi aku tahu tangan itu milik seorang wanita.Setelah menggosok gigi dan cuci muka, aku menunaikan kewajiban sebagai umat muslim. Kubangunkan Mas Nasrul untuk menjadi imamku."Nggak kerja, Rul?" tanya Ibu begitu Mas Nasrul ke luar kamar hanya dengan jeans dan kaos."Nggak, Bu. Mau periksakan kandungan Dara, pinggang dan perutnya masih sakit."Lamat suara mereka dapat kudengar dari balik dinding kamar. "Periksa sama Sarah aja kenapa, sih, Rul? Ngabisin duit aja, ke Dokter itu lebih mahal. Jauh pula."Kudengar Mbak Nira ikut bersuara.Ada apa, sih, dengan Mbak Nira? Kenapa dari semalam sikapnya ket