Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku.
Bab 2
"Astaga! Mas, kenapa Nada kamu taruh di lantai kayak gitu? Itu kotor, jorok tau!" Kuraih tubuh Nada yang masih meraung-raung. Duh! Ingusnya kena bajuku, alamat bau semua ini. Ck!
"Matamu picek, hah! Nggak liat? Ibu pingsan. Buruan telepon Sarah! Suruh ke sini." Mas Nasrul membopong tubuh Ibu memasuki kamar setelah sebelumnya menyuruhku menelepon bidan desa, Sarah.
"Gimana mau telepon, kan, hapeku udah jadi sampah!" Sungutku jengkel, kalau ingat benda pipihku itu sudah hancur ingin rasanya kucekik laki-laki yang dua tahun ini menjadi suamiku.
Terdengar decak dari mulut Mas Nasrul. "Pakai hape Mas." Dilemparnya ponsel dengan tiba-tiba, untung tanganku lihai menangkapnya.
Kuutak-atik ponsel ketinggalan zaman milik Mas Nasrul, setelah selesai kukembalikan padanya yang sedang memijit tubuh Ibu. Duh! Pakai pingsan segala lagi, aku bisa telat ke arisan kalau begini. Kulirik jam tangan pink di pergelanganku. Tuh, kan! Udah telat 10 menit. Ck!
"Telepon Mbak Nira juga. Bilang aja Ibu nggak enak badan, jangan bilang kalau pingsan, nanti dia panik." Titah Mas Nasrul begitu aku ingin memberikan ponsel padanya.
"Iya," jawabku sebel. Tinggal telepon apa susahnya, sih? Masa itu saja harus aku. "Udah. Sebentar lagi Mbak Nira berangkat, tunggu suaminya pulang dari pasar katanya." Kusodorkan ponselnya segera, jangan sampai disuruh-suruh lagi.
"Ya udah, siniin Nada. Kamu beres-beres rumah dulu, ya. Nggak enak kalau diliat Mbak Nira. Kamu juga nanti yang diomelin, apalagi kalau dia ngadu ke Mbak Nana." Mas Nasrul ingin meraih Nada, tapi kutepis.
"Nggak. Mas aja yang beres-beres, aku udah rapi, Mas. Nanti keringat semua," elakku cepat. Enak aja, orang udah ganti baju bagus gini disuruh beres-beres.
"Allahuakbar ... Ya udah, kamu pijitin Ibu, kasih minyak di depan hidungnya biar cepet siuman." Mas Nasrul beranjak, dan mendudukkanku di kursi samping ranjang, lalu meninggalkanku bersama Nada yang mulai diam dan Ibu yang masih pingsan.
Kutatap wajah Ibu mertuaku ini, sesekali dahinya mengernyit lalu tenang kembali. Sebenarnya Ibu ini baik, tidak banyak protes kalau kuminta ini dan itu. Hanya saja rasa tak suka mulai datang kala mengetahui dulu Ibu sempat tidak merestui Mas Nasrul menikah denganku. Alasannya karena aku anak perempuan satu-satunya, takut nanti jadi istri manja, melawan suami, egois, pemalas, dan sebagainya. Nyatanya kalau tanpa sebab aku tidaklah begitu, kalau ada yang tak sesuai dengan hati, kita wajib melawan, kan. Iya, dong?
"Assalamu'alaikum …." Terdengar salam dari luar
"W*'alaikumsalam, masuk, Rah, Ibu di kamar." Mas Nasrul mempersilahkan tamu yang ternyata Sarah untuk masuk.
"Gimana ceritanya Ibu bisa pingsan, Mas?" tanya Sarah pada Mas Nasrul.
"Nggak tau, Rah. Tadi itu Ibu pamit ke dapur, lalu Mas menyusul Ibu. Pas sampai di dapur, Ibu udah pingsan." Mas Nasrul menceritakan kronologi pingsannya Ibu pagi ini.
"Sebentar, ya, Sarah periksa dulu," ucap Sarah mulai memeriksa Ibu. Setelah mengukur tensi dan segala macam serta mengetuk-ngetuk perut Ibu, Sarah berucap, "Sepertinya maag Ibu kambuh, Mas. Ibu makannya telat, jadi pusing dan lemas."
"Ya Allah … Ini Ibu belum siuman dari tadi, gimana? Apa kita bawa ke puskesmas?" tanya Mas Nasrul panik, aku hanya memperhatikan diskusi keduanya dan malas terlibat.
"Nggak perlu, Mas. InSyaa Allah sebentar lagi Ibu siuman. Mbak, bisa minta tolong buatkan bubur? Supaya nanti bisa langsung Ibu makan begitu beliau siuman." Sarah menatapku tersenyum, sambil memainkan tangan Nada.
"Hmm? O-oke. Mas!" Kuberi kode pada Mas Nasrul supaya mengikutiku ke luar kamar.
"Kenapa?" tanya Mas Nasrul polos.
"Kok, kenapa? Mas yang bikin buburnya, biar lebih afdol dibuatin anak laki kesayangan," jawabku berlalu masuk kamar.
"Dara! Kamu ini kenapa jadi keterlaluan banget, sih? Cuma masak bubur buat Ibu apa susahnya?" Rahang Mas Nasrul mengeras, sebisa mungkin menahan intonasi suaranya agar tak terdengar Sarah.
Kuangkat sebelah alisku, "Nggak susah! Tapi apa Mas lupa tadi aku bilang apa? Aku nggak akan pernah masak sebelum Mas ganti hapeku, titik!" Kubaringkan Nada yang ternyata telah tertidur. Tuh, gampang, kan, ngasuh Nada? Mas Nasrul aja yang suka lebay kalau Ibu ngasuh Nada.
"Ya Allah … Astaghfirullah … Ampuni hamba ya Allah. Astaghfirullah, astaghfirullah ..." Sambil berjalan ke luar kamar Mas Nasrul terus beristighfar. Nah, mending begitu, biar setan-setan pada kabur, tidak marah-marah terus.
Kurebahkan tubuhku di samping anakku, Nada. Mau pergi arisan pun percuma, sudah telat. Kalau ponselku ada, pasti mereka sudah sibuk menanyaiku. Lamat kudengar suara Sarah berbicara dengan Ibu di kamar seberang, syukurlah kalau Ibu sudah siuman. Artinya besok aku bisa bekerja dengan tenang, karena Ibu sudah bisa mengasuh Nada lagi.
Krucuutt! Perutku berbunyi. Duh, aku lupa kalau dari pagi belum sarapan. Pelan aku bangkit dari rebahan agar Nada tak bangun. Kulangkahkan kaki menuju dapur, nampak Mas Nasrul sedang menabur bawang goreng di atas piring bubur Ibu. Wangi sekali ….
"Mas," sapaku padanya yang masih menekuk muka.
"Hmm …" jawabnya dengan deheman.
"Buburnya masih?" tanyaku pelan, takut dia tiba-tiba beristighfar layaknya melihat hantu.
"Habis. Mas cuma masak buat Ibu." Mas Masrul berlalu.
Aarrghh!! Suami tak punya akhlak. Apa susahnya masak sekalian banyak, apa dia tak lapar?
Kubuka lemari penyimpanan, tidak ada apapun selain tepung serbaguna dan agar-agar bubuk. Aku lupa, kemarin belum sempat belanja bulanan. Kubuang napas dengan kesal.
"Mas, hape Mas mana? Pinjem." Aku menadahkan tangan padanya yang sedang menyuapi Ibu sambil ngobrol ringan dengan Sarah.
Ngapain Sarah masih di sini? Betah bener.
Tanpa bersuara, Mas Nasrul menyerahkan ponselnya padaku. Huh! Aku benci melihatnya cuek begini. Sambil cemberut kuambil ponselnya, lalu kutinggalkan mereka bertiga.
"Halo, Tia. Ayam gepreknya masih?" Kutelepon Tia, penjual ayam geprek dekat pos ronda.
"Masih, Mbak. Mau berapa?" tanyanya antusias.
"Satu aja. Hmm … empat, deh," jawabku.
Aku teringat Mas Nasrul yang belum makan, kasihan juga dia. Dua lagi untuk Mbak Niar dan suaminya, Mbak Niar pernah bilang bahwa sangat suka dengan ayam geprek buatan Tia. Itung-itung ambil hati ipar, biar aku dan anakku makin disayang, he he he ….
"Ashiap! Ditunggu ya, Mbak Dara."
"Oke." Klik!
Di antara kedua iparku, aku paling segan dengan Mbak Nana. Mulutnya pedas kalau berucap, aku tak suka. Sedangkan Mbak Niar orangnya lemah lembut, penyayang juga. Kalau pulang tak lupa membawa aneka oleh-oleh, terutama untuk Nada. Kalau ada Mbak Niar, Ibu juga jadi seperti ratu, semua dikerjakan Mbak Niar. Nada juga diasuh oleh suaminya. Harusnya Ibu bersyukur memiliki waktu empat hari full dalam sebulan untuk beristirahat total. Lha, aku? Cuma sekali seminggu saja harus berperang selalu. Huh! Tak adil.
Sambil menunggu Tia mengantar ayam geprek, kuganti bajuku dengan daster rumahan. Daster baru yang aku beli dari Riani, menantu Hj. Jum, teman Ibu.
"Assalamu'alaikum, Mbak Dara!" Terdengar suara Tia memanggilku.
"W*'alaikumsalam, masuk Tia." Kuhampiri Tia yang menenteng empat ayam geprek. "Berapa semuanya?" tanyaku sambil membuka dompet.
"Empat puluh delapan ribu, Mbak. Free es teh empat cup," jelas Tia sumringah.
"Wiihh, keren! Nih, dua ribunya buat tambahan bensin." Kuberikan lembaran biru pada Tia, yang disambutnya dengan mata berbinar.
"Makasih, Mbak Dara. Udah cantik, pinter cari duit, baik pula," kelakar Tia.
"Bisa aja kamu, dah, balik sana. Mbak mau makan, lapeerr," ucapku dengan wajah meringis lapar.
"He he …. Selamat menikmati ya, Mbak." Tia pulang mengendarai motor dengan suara komprang.
Belum sampai aku ke dapur, terdengar deru mesin mobil berhenti tepat di depan rumah. Siapa, ya? Mbak Niar, kah?
Segera kulihat siapa gerangan yang datang.
"Mbak!" Aku melonjak senang melihat Mbak Niar turun dari mobil.
"Hay, Ra. Ibu mana?" Sambil berjalan cepat, ia menerobos masuk begitu saja. Heh?
"Di kamar, Mbak. Masuk aja." Telat. Mbak Niar sudah menghilang di balik pintu kamar.
"Dara. Nih, buat lauk malam ini. Maaf, ya, nggak sempet beli oleh-oleh, tadi buru-buru begitu tau Ibu sakit." Bang Roy menyerahkan kantong kresek hitam padaku, lalu menyusul istrinya ke dalam kamar Ibu.
Tak ada oleh-oleh? Huh! Padahal aku sudah siapkan ayam geprek, tapi aku tidak dibawakan apapun. Apa isi plastik ini? Kuintip perlahan. Cumi? Alamat bakalan disuruh masak, nih. Duh! Gimana, ya? Aku lagi malas masak, kecuali Mas Nasrul mengganti ponselku dengan yang baru.
Kusimpan cumi segar ke dalam freezer. Begitu hendak melangkah ke ruang tengah, Mbak Niar dan Bang Roy ke luar dari kamar Ibu.
"Masak apa, Ra? Mbak belum sempat makan, nih. Sekarang baru terasa lapar," tanya Mbak Niar sambil mengusap-ngusap perutnya.
"Nggak sempet masak, Mbak. Tapi, aku ada beli ayam geprek kesukaan Mbak, tuh!" Tunjukku pada kotak di atas meja.
"MaaSyaa Allah … Kamu tuh emang ipar idaman banget, Dara. Tau aja kesukaan Mbak. Makan bareng, yuk!" ajak Mbak Niar dengan mata berninar.
"Dara panggil Mas Nasrul dulu ya, Mbak. Kasihan, dia juga belum makan," pamitku pada suami istr iyang mulai membuka kotak ayam geprek.
"Cieee … so sweet banget, sih. Ngiri, deh," goda Mbak Niar membuatku tersipu.
Tanpa memanggil, aku menerobos masuk ke dalam kamar Ibu.
"Mas Nasrul ..." lirihku, air mata tanpa dikomando berlomba menuruni pipi mulus terawatku.
"Ra–" belum selesai Mas Nasrul berkata, langsung kuputar balik langkahku menuju kamar. Hilang sudah rasa laparku.
Brak!! Kubanting pintu kamar dengan kasar.
Tok! Tok! Tok!
"Ra, Dara!" Panggil Mas Nasrul panik.
Aku? Bungkam.
Air mataku terus mengalir dengan derasnya, bayangan Mas Nasrul tengah merangkul Sarah kian menambah sesak di dadaku. Meski Mas Nasrul suka marah-marah, tak bisa dipungkiri kalau aku sangat mencintainya. Mas Nasrul itu cinta pertama dan akan menjadi cinta terakhir bagiku. Bantu doa ya, kawan. Aamiin … Nah, gitu!"Dara, buka pintunya, Sayang. Dengarkan penjelasan Mas dulu," pinta Mas Nasrul sambil terus mengetok pintu kamar kami.Aku masih bergeming. Sakit hatiku, Mas. Ibu juga, kenapa malah mendiamkan kelakuan mereka. Apa diam-diam Ibu justru menyukai Sarah? Karena kalau kuperhatikan, Ibu cukup dekat dengannya. Apa-apa selalu minta tolong Sarah."Dara kenapa, Rul?" Terdengar suara Mbak Nira mendekat."Salah paham, Mbak. Pas Dara masuk ke kamar Ibu tadi, dia melihatku sedang merangkul Sarah—" "Pantes aja Dara marah, Mbak juga bakal marah kalau gitu kondisinya." Mbak Nira memotong penjelasan adiknya dengan nada gregetan."Denger dulu, Mbak. Tadi itu Sarah ingin memberikan minum pada Ib
Aku yang tengah memacu motor dengan kecepatan cukup tinggi, mau tidak mau menarik pedal rem secara penuh ketika sebuah mobil menghantam keras seekor kambing yang tiba-tiba melintas di sampingku. Hal itu tentu membuat motor yang kukendarai berhenti secara tiba-tiba, ban motor bagian belakang bergesekan dengan bebatuan hingga menghasilkan debu dan kerikil yang beterbangan. Karena kaget, keseimbanganku menjadi oleng, akhirnya aku jatuh bersamaan dengan motor. Lalu, semuanya gelap."Dara. Sayang, bangun." Samar kudengar suara Mas Nasrul memanggilku dengan cemas, menepuk-nepuk pelan pipi kananku.Perlahan kubuka kedua mataku, menyipit silau akan sinar yang masuk dari jendela."Mas ….""Alhamdulillah … Kamu udah siuman, Sayang. Ada yang sakit? Pusing?" Mas Nasrul membelai rambutku dengan sayang, lalu mengecup keningku."Nggak ada, Mas. Tadi aku kaget, terus lemes. Ini kita di mana?" Kupandangi sekeliling ruangan tempatku berada, bukan di kantor pun di kamar kami."Di praktik bidan Sarah. Ta
Tangis Nada melengking kesakitan. Sebuah benjolan sebesar kelereng menghiasi keningnya. Sarah yang sedang menggendongnya terus menimang-nimang agar tenang. Cewek gesrek! Kenapa pula sudah ada di sini, bukannya tadi masih di rumahnya?Kuambil Nada dengan emosi yang kian bercokol di hati. Sudahlah anakku kesakitan, ada Sara pula. Apes!"Nada kenapa?" tanyaku ketus. Kukusuk benjolan Nada dengan rambutku, konon hal itu dapat menenangkan sang anak."Em … Itu, Mbak, tadi Nada mau aku ajak beli jajan di warung seberang. Tiba-tiba ada motor lewat cukup ngebut, lalu Nada menangis. Mungkin ada kerikil yang terpelanting mengenai keningnya ini." Sarah menjelaskan dengan tak enak."Kenapa pula kamu ajak Nada jajan? Apa Ibu nggak pernah kasih tau kamu kalau aku nggak mau anakku jajan sembarangan? Lain kali jangan sotoy sama anak orang." Kutinggalkan dia yang seketika mematung mendengar ocehanku."Ibu, liat! Ini kenapa aku cuma mau Ibu yang ngasuh Nada. Orang lain nggak setelaten Ibu, mereka cuma m
"Kenapa, Mbak?" tanyaku melihat Mbak Nira menangis semakin kencang."Huaaa … hiks hiks …" Semakin deras air yang ke luar dari kedua mata beloknya."Istighfar, Nduk. Kenapa?" Ibu mengelus pundak anak sulungnya."Iya, Mbak, ada apa? Coba yang tenang dulu biar bisa cerita. Ra, ambil minum buat Mbak." Mas Nasrul menitahku sambil menggendong Nada.Aku melirik Ibu. Kenapa tak Ibu saja, sih? Anak wedhoknya, lho, ini yang nangis-nangis. Aku masih kekenyangan, susah bergerak. Huh!Dengan malas aku beranjak ke dapur, menuang air putih ke dalam gelas souvenir pernikahan yang kuperoleh dua minggu lalu."Minum dulu, Mbak." Kusodorkan gelas air pada Mbak Nira.Glek! Glek! Glek! Mbak Nira menenggak minumnya hingga habis.Ini orang nangis karena kehausan atau apa? Segitunya. Aku meraih gelas yang telah kosong dan membawanya kembali ke dapur. Kulirik wastafel, sudah menumpuk piring kotor. Huh!"Sudah tenang? Sekarang cerita, kamu kenapa?" tanya Ibu setelah melihat Mbak Nira tak lagi menangis kejer."
"Tanpa mempertimbangkan perasaanku? Sebenarnya aku dianggap apa di keluarga ini? Mbak pasti sadar, kan, kalau kedekatan Sarah dan Ibu itu melebihi kedekatan denganku? Mbak juga. Menantu di rumah ini, tuh, siapa, sih?""Ra, kamu ngomong apa? Kenapa pembahasannya jadi ngelantur kemana-mana?" Mas Nasrul muncul setelah selesai menunaikan sholat dzuhur."Fakta, Mas. Semakin ke sini aku semakin sadar, Ibu dan Mbak Nira memilih lebih dekat dengan Sarah daripada denganku. Padahal apa kurangnya aku?" Ya, apa kurangnya aku? Aku sudah berusaha untuk menyayangi keluarga ini. Di saat banyak menantu di luar sana menjepit dompetnya dengan erat agar uang suaminya tak mengucur ke keluarga mertua, aku dengan royal mencukupi kebutuhan rumah ini dengan uang dari Mas Nasrul. Belanja bulananku selalu melimpah, mulai dari kebutuhan makan, kesehatan, peralatan cuci dan mandi, keperluan pribadi Ibu, semuanya. Yang jarang kulakukan hanyalah mengurus rumah dan Nada. Tapi alasannya cukup jelas, aku kerja, waktu
Mbak Nira mematung, air matanya mengalir perlahan, lalu terisak. Ibu menatap padaku dengan raut entah, mungkin kecewa atau apa. Dipeluknya sang anak sambil mengelus pundaknya pelan.Brak!Mas Nasrul meninju sisi lemari Tv dengan keras hingga membuat Nada terperanjat dan membenamkan kepalanya di dadaku. Rahangnya mengeras sampai urat besar di pelipisnya terlihat jelas. Dada itu naik turum dengan cepat, pun hidungnya yang kembang-kempis.Mas Nasrul memejamkan mata. Kedua tangannya terkepal kuat hingga urat tangan pun berlomba ke memperlihatkan diri."Dara, selama ini Mas nggak pernah ikut campur bukan karena takut, tapi Mas ingin kamu belajar menyesuaikan diri dengan bertahap. Mas diam juga bukan nggak tahu apa-apa. Belajarlah untuk dewasa, nggak semua yang terjadi harus sesuai dengan keinginanmu." Mas Nasrul mengalihkan tatapan tajamnya padaku. Suara laki-laki yang dulu tak kenal lelah mengejar cintaku itu terdengar menggeram.Dia sedang marah, tapi berusaha untuk tidak lepas kendali.
Suara terakhir yang kudengar adalah teriakan Ibu memanggil Mas Nasrul. Selanjutnya aku tak tahu apa-apa. Aku sadar, tapi mataku terpejam, tidak tahu apa yang terjadi. Fokusku ada pada kepalaku yang terasa berputar dan perutku yang terasa bak diaduk-aduk."Astaghfirullah … astaghfirullah …."Hanya kalimat itu yang ke luar dari bibirku. Terus kupanjatkan doa pada Allah. Aku belum mau mati. Aku tidak mau Sarah bersorak karena akan mendapatkan Mas Nasrul kembali.Pelan-pelan denyutan di kepalaku memudar. Hanya perutku saja yang masih terasa tak nyaman. Kucoba membuka mata, Alhamdulillah penglihatanku sudah kembali normal."Gimana, Ra. Apa yang kamu rasain sekarang?" tanya Mas Nasrul."Perutku nggak nyaman, Mas. Tadi kepalaku sangat pusing, penglihatan berputar, perutku mual rasa diaduk-aduk.""Ini, kamu minum susu sterilnya. Mungkin gara-gara kamu makan bakso kuah cabe dalam kondisi perut kosong."Mas Nasrul mengulurkan sekaleng susu steril padaku, susu sapi bergambar beruang tapi iklanny
"Wa'alaikumsalam, Mas. Ganggu?" Sarah. Itu suara Sarah. Ngapain lagi itu cewek gesrek telepon suamiku."Ada apa, Rah?" tanya Mas Nasrul, melirikku."Gimana Nada? Masih rewel nggak sama benjolnya?" tanyanya sok care."Udah nggak, Alhamdulillah. Mas mau antar Dara ke puskesmas, udah dulu, ya." "Kenapa Dara? Bawa ke sini aja, Mas. Biar aku yang periksa," sahutnya.Idiiih, ogah! Bilang saja mau cari kesempatan dalam kesempitan. Lagian, apa itu tadi? Dia memanggilku dengan Dara saja? Kalau di depan Ibu, manggilnya, Mbak. Sama Mas Nasrul manggil nama saja. Iya, sih, memang lebih tua dia, tapi yang konsisten kalau manggil orang. Kalau gini, kan, kesannya carmuk."Makasih, Rah. Tapi kami mau ke puskesmas, kebetulan juga mau mampir ke rumah mertua. Udah, ya. Assalamu'alaikum …."Tuut! Mas Nasrul memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Sarah.Kapok! Mukanya hilang kali tu orang, carmuk terus!"Emang kita kapan mau ke puskesmas? Trus beneran mau ke rumah Mama?" tanyaku pada Ma
"Nggak, Ra. Mbak jahat. Mbak benci pada diri Mbak yang tak kuat iman ini. Bisa-bisanya ingin menghilangkan nyawa anak dari adik Mbak sendiri, yang notabenenya merupakan anak Mbak juga.""Iya, iya, Mbak. Sudah, ya. Ayo duduk." Kugiring tubuhnya untuk duduk kembali di sampingku. "Aku maafkan Mbak, aku juga nggak akan bilang sama Mas Nasrul dan Ibu. Kuanggap yang kemarin hanyalah kekhilafan semata. Asal Mbak janji, nggak akan ngulangin lagi. Itu perbuatan kriminal, Mbak." Sudahlah. Tak ada gunanya juga aku mengacaukan suasana di keluarga ini. Biarlah ini menjadi rahasiaku dan Mbak Nira. Sebaiknya kuanggap semua ini sudah selesai, meski demikian waspada sudah tentu kulakukan setelah ini. Titik."Aku punya informasi buat Mbak. Aku kirim ke hape Mbak, ya." Kubuka galeri foto di ponselku, memilih foto tangkapan layar tadi siang, lantas mengirimnya pada Mbak Nira.Mbak Nira membuka ponselnya, lalu menutup mulutnya dengan sebelah tangan."Ra … te
"Lho, udah pulang, Rul?" Ibu muncul dari pintu depan yang tralinya lupa dikunci Mas Nasrul. Nada tampak mulai terkantuk-kantuk dalam gendongannya."Iya, Bu. Dara lagi manja," ejek Mas Nasrul padaku.Ibu terkekeh, meneruskan langkahnya menuju kasur santai di depan televisi, lalu menurunkan Nada dengan sangat pelan. Akhirnya Nada benar-benar terpejam tanpa botol susu."Nira, masak sayur apa, Nduk? Ibu lapar," tanya Ibu pada Mbak Nira yang entah kapan datangnya.Sontak aku membalikkan badan, dan seketika mataku bertemu dengan matanya yang tak dapat kumengerti makna apa yang tersirat di dalamnya. Segera kubuang muka dan meminta Mas Nasrul menemaniku ke kamar mandi, kebelet buang air kecil."Nira nggak sempat masak, Bu. Nira beli ayam geprek aja."Kudengar Mbak Nira menyahuti Ibu di belakang punggungku, dengan telaten Mas Nasrul meggiringku melewat meja makan yang sudah bersih dari pecahan gelas.Seharian aku berhasil menghin
Tok! Tok! Tok! "Ra, kamu udah bangun?" Mbak Nira memanggilku, dari suaranya terdengar panik.Aku diam. Tanganku membekap mulut dengan kuat agar nafas tersengalku tak sampai ke telinganya. Entahlah! Saat ini aku merasa hidupku seperti sudah di ujung tanduk. Aku seperti melihat akan banyak bahaya mengintaiku disetiap waktu."Ra! Dara!" Ketukan di pintu semakin kuat, pun dengan suara panggilan Mbak Nira yang nyaris mendekati teriakan.Air mengucur semakin deras dari kedua netraku. Mengalir turun melewati selah-selah jari yang masih membekap rapat bibirku, hingga terasa asin di indra pengecap.Setelah tak lagi mendengar adanya suara sosok Mbak Nira, aku memberanikan diri untuk bergerak. Sedari masuk ke kamar dan duduk bersandar pada daun pintu, aku tak berani banyak mengeluarkan suara, bahkan untuk bergeser sekalipun. Rumah yang sedang lengang membuat suara sekecil apa pun mampu ditangkap oleh telinga. Ketakutanku justru semakin menjadi
Penasaran mendatangi perasaanku dengan cepat. Keingintahuan yang sangat tinggi mendorong kakiku beranjak dari depan televisi, kusimpan remot di atas lemari dan berjinjit perlahan mencari sumber suara.Belakang. Suaranya berasal dari arah belakang. Kuseret langkahku menuju dapur. Kosong, tak ada siapa pun. Akan tetapi, suara isak tangis yang berubah menjadi segukan terdengar lebih jelas dari tempatku berdiri saat ini. Mbak Nira? Sepertinya itu suara Mbak Nira. Dari celah pintu yang tidak ditutup dengan sempurna, terlihat jelas sosok Mbak Nira yang sedang membelakangi pintu. Pundaknya bergetar, isakannya sesekali berubah menjadi sesegukan, kemudian reda, dan menyisakan isakan-isakan kecil. Punggung tangannya berkali-kali mengusap airmatanya dengan kasar."Bang Roy marah sama aku. Bahkan, sampai sekarang dia belum ada nelepon aku setelah semalam kami bertengkar." "Dia marah karena tau alasan di balik lukaku ini."Mbak Nira mengan
Kehamilan kedua ini kurasakan sangat berbeda dengan kehamilan saat mengandung Nada. Dulu, aku adalah pribadi yang kuat dan tahan banting. Namun tidak dengan kehamilan kali ini, aku menjadi orang yang baperan, mudah iba, mudah menangis, juga lebih sering sakit.Aku memperhatikan Ibu yang tengah menyuapi Nada makan pagi ini, Nada berjalan kian kemari, tak bisa diam. Sesekali Ibu merenggangkan tubuhnya dengan cara berdiri, perlahan diurutnya dengan pelan pinggung tuanya. Kadang juga terlihat mengalap keringat di dahi menggunakan kain gendongan Nada yang selalu ada di bahunya.Seharusnya aku ada di kamar, berbaring. Namun aku bosan, makanya memilih duduk di kursi goyang yang Mas Nasrul letakkan di teras depan kamar kami."Nada. Sini, Sayang, sama Mama, yuk." Aku mengulurkan kedua tanganku ke arah Nada yang tengah mengejar bola sambil berjalan cepat. Lucu sekali melihatnya seperti itu.Anak usia 1 tahun tersebut menoleh padaku, lalu memamerkan gig
"Nada itu cucu Ibu. Capek pasti, tapi daripada dia diasuh orang lain, yang belum tentu bisa sabar dan sayang, lebih baik Ibu saja. Apalagi kalau sampai Nada ikut kerja seperti anaknya Mira yang di ujung itu, lebih kasihan lagi."Ibu meneguk air minumnya hingga habis, lantas membersihkan sisa pecel di pinggir mulutnya dengan selembar tisu."Soal Nada, oke. Soal pekerjaan rumah?" Mbak Nira kembali mengorek cerita dari Ibu."Gini. Setiap orang itu punya sisi lebih dan kurangnya. Kekurangan Dara hanyalah mengandalkan Ibu soal Nada dan rumah. Itu saja. Selebihnya dia baik, Nira. Kamu tau Bu Eni, tetangga Pak RT? Menantunya terlihat cekatan dalam mengurus rumah dan anak, padahal dia juga kerja. Tetapi Bu Eni pernah bilang, menantunya itu pelitnya luar biasa. Meski tinggal dalam satu rumah, ia selalu menyimpan semua makanan miliknya di bawah kolong tempat tidur. Dia juga tak perduli meski adik-adik iparnya kadang menangis ingin makanan yang sama dengannya. Dari s
"Oh, ini kena seng bekas di dekat tungku besar pas masak-masak kemarin. Ibu nggak tau kalau ujungnya masih tajam." Ibu mengelus pelan punggung tangannya yang berbalut plaster. Tak ada raut mencurigakan.Fix, bukan Ibu. Ibu, kan, sangat menyayangi cucunya, mana mungkin ingin mencelakakanku.Kembali kuputar memoriku atas kejadian kemarin malam. Saat aku berteriak, Ibu adalah orang pertama yang datang. Itu pun berasal dari arah ruang depan, dan jaraknya hanya sekian detik dari aku meminta tolong.Sekarang, kecurigaanku tinggal pada Sarah dan Mbak Nira. Akan tetapi, hatiku berkata ini perbuatan Sarah. Pada siapa aku meminta pertolongan untuk mengungkapkan peristiwa ini? Sarah cukup dihormati di mata masyarakat karena profesinya sebagai bidan desa.Sudahlah. Biar nanti kupikirkan."Ganti aja plasternya, Bu. Udah basah ini," tunjukku pada sisi plaster yang mulai terbuka."Iya, sekalian Ibu mau wudhu dulu. Nanti diganti. Kamu istirahat di kamar aja sana." "Iya, Bu. Nada mana?" tanyaku sebe
Sesampainya di tempat, kami langsung berkonsultasi. Keberuntungan berpihak karena pasien belum banyak yang datang.Setelah menjelaskan kronologi terpeletnya aku tadi malam, Dokter Rini memerintahkanku berbaring di atas ranjang dan mulai melakukan pemeriksaan.Gel dingin terasa sangat sejuk di perutku, di tambah hembusan dari pendingin ruangan membuatku sedikit kedinginan. Doppler berputar-putar di atas perutku. Pindah dari posisi bawah, ke samping, berpindah ke atas, lalu balik lagi ke bagian bawah perut.Dokter Rini diam dalam melakukan tugasnya. Cemas menyeruak kurasa, ada apa? Biasanya Dokter Rini akan bercerita dengan antusias setiap kali meng-USG-ku.Dokter Rini membuang nafasnya sedikit keras, semakin menambah kecemasanku. Apakah anakku sehat? Atau ….Pandanganku seketika kabur karena air yang mulai mengambang. Kuhalau cairan bening yang siap tumpah dengan tisu yang kupegang."Sepulang dari sini, Bu Dara bedrest,
Aku tersentak. Ingatanku tertuju pada botol minyak yang terletak di samping pintu belakang. Semalam pintunya sedikit terbuka, dan lampu belakang yang menyala terang memberikanku sebuah bayangan yang kuyakini seorang wanita. Karena apa? Selain bayangan, juga terlihat sebuah tangan dengan luka baret di punggungnya, meski sekilas tapi aku tahu tangan itu milik seorang wanita.Setelah menggosok gigi dan cuci muka, aku menunaikan kewajiban sebagai umat muslim. Kubangunkan Mas Nasrul untuk menjadi imamku."Nggak kerja, Rul?" tanya Ibu begitu Mas Nasrul ke luar kamar hanya dengan jeans dan kaos."Nggak, Bu. Mau periksakan kandungan Dara, pinggang dan perutnya masih sakit."Lamat suara mereka dapat kudengar dari balik dinding kamar. "Periksa sama Sarah aja kenapa, sih, Rul? Ngabisin duit aja, ke Dokter itu lebih mahal. Jauh pula."Kudengar Mbak Nira ikut bersuara.Ada apa, sih, dengan Mbak Nira? Kenapa dari semalam sikapnya ket