sediakan timun yang banyak yah ..... masih berlanjut sampai besok lagi, lagi lagi wkwkw, terima kasih sudah membaca ya akak semua 🦩🌸 follow 1nst4gram othor @almiftiafay untuk spoiler ☺️
Lilia merasa dadanya berat, ia menunduk menahan air mata saat tak hanya Nyonya Donna saja yang mengatakan bahwa perempuan bergaun cantik yang membungkukkan badan seperti pelayan itu bukanlah bagian dari keluarga mereka, melainkan juga Nyonya Bertha dan disahuti oleh tamu-tamu yang lainnya.Lilia terkejut saat tiba-tiba datang seorang pria yang berlutut di hadapannya.Pria dengan setelan jas itu turut memungut pecahan gelas yang berserakan di lantai dengan tanpa beban. Di kedua sudut bibirnya, senyum malah terlihat manis.“T-Tuan Nicholas?” sebut Lilia tak percaya. Kedatanngan Nicholas seolah menyelamatkan Lilia. Gunjingan yang semula ramai bersahut-sahutan untuk Lilia seketika redam.“Tolong pergilah,” pinta Lilia memohon. “Tuan Nicholas sebaiknya tidak melakukan ini, Anda tidak pantas bersikap seperti ini karena—”“Semua manusia sama, Lilia,” sela Nicholas, beberapa detik iris cokelat gelapnya menerpa Lilia sebelum jemari besarnya meraih kaki gelas yang ada di dekat sepatunya. “Tida
Lilia meremas gaun biru safir yang dikenakannya, jemarinya yang perih itu seakan tak lagi terasa. Rasa nyerinya berpindah ke dalam hati Lilia. Sebuah perasaan aneh yang ia benci saat melihat pemandangan di seberang sana sehingga ia dengan cepat memalingkan wajahnya. ‘Apa aku cemburu?’ batin Lilia mencoba menelaah isi hatinya ini. ‘Tidak!’ tolaknya. Lilia harus sadar dirinya tidak boleh jatuh cinta atau memiliki rasa tidak suka pada segala hal yang dilakukan oleh William. Dirinya dan pria itu tidak setara. Sekalipun status Lilia adalah istrinya William, tapi itu hanyalah istri kedua. Kematian Ivana tidak bisa membuat Lilia menjadi seorang istri sah—dan ia pun juga tak mengharapkan itu. Lilia bangun dari berlututnya di hadapan Keano, ia menarik tangannya untuk beranjak pergi meninggalkan teras. “Mau berkeliling sebentar?” ajak Lilia yang disambut antusias oleh bocah kecil itu. Di sisi sebelah barat gedung, Lilia membiarkan Keano berlari-lari kecil mengitari air mancur, terli
Lilia menahan air mata saat menunduk memandang Keano yang seolah tengah memasang badan untuknya.Sementara di hadapan mereka, William tengah naik turun napasnya setelah didorong pergi oleh anak lelakinya.Bisu membelenggu mereka selama beberapa detik berlalu. Yang terdengar hanya suara napas dan isak tangis Keano.“Keano,” sebut William lirih. “Sayang—”“Papa jahat!” potongnya tanpa peduli dengan apa yang akan ia katakan. “Kenapa Papa selalu berteriak?”“Sayang—”“Keano benci Papa!”Setelah mengatakan itu Keano menarik tangan Lilia dengan sedikit kuat untuk masuk ke dalam kamar. Ia meminta Lilia dengan cepat menutup dan mengunci pintunya.“Kunci, Mama!” pintanya. “Keano tidak mau Papa masuk ke sini!”Tangisnya masih terisak-isak, napasnya tersengal dan Lilia berlutut untuk memeluknya.Ia membalas pelukan Lilia, menjatuhkan dagu kecil itu di bahunya untuk beberapa lama. Saat menit bergulir, dan keadaan sedikit lebih tenang, barulah Lilia menghapus air mata Keano.“Sudah ….” ucapnya lir
‘Maksudnya dia akan menciumku?’ batin Lilia begitu ia mendengar kalimat ‘yang aku dan Gretha lakukan’ yang baru saja dikatakan oleh William. “Tidak,” jawab Lilia dengan cepat. “Saya bahkan sama sekali tidak memikirkan itu.” Lilia berusaha melepaskan diri dari pria itu, tetapi masih tidak bisa. Rahangnya masih dicengkeram dengan kuat, jari-jari besar William itu seolah tak segan untuk menyakitinya. William tertawa lirih, ibu jarinya bergerak mengusap bibir Lilia dengan lembut tetapi tidak dengan tatapan matanya yang nyalang. “Apakah sekarang kamu bisa melihatnya dengan jelas, Lilia?” tanyanya. “Tanpa aku, kamu bukanlah siapa-siapa. Di dalam pesta itu tidak ada yang tahu siapa kamu. Seandainya kamu melakukan yang aku mau, aku pasti akan membuatmu berharga di sisiku, bukan dipermalukan dari tempat satu ke tempat yang lainnya.” “Sejak awal saya tidak ingin ada di pesta itu, tapi Anda yang meminta saya untuk datang, Tuan William,” jawab Lilia. “Jika bisa mengulang kembali waktu, saya b
“Mama tidak sedih,” jawab Lilia. “Hanya … mengantuk saja,” lanjutnya mencari alasan. “Air mata sering tanpa sadar keluar saat mengantuk, Keano.” Alis Keano berkerut mendengar Lilia, ekspresinya menunjukkan bahwa ia tidak percaya dengan apa yang ia katakan. “Apakah Mama membenci Papa?” tanya Keano. “Tidak, Sayang. Kenapa Keano tanya begitu?” “Karena Papa ingkar janji,” jawab Keano. “Padahal ‘kan Papa sudah berjanji untuk tidak membuat Mama menangis lagi.” Lilia tersenyum, ia meraih tangan Keano kemudian memeluknya. “Sudahlah ….” katanya. “Keano jangan memikirkan itu. Ini masih malam, kita sebaiknya tidur lagi,” rayunya. “Boneka yang dicari Keano juga sudah ketemu, jadi kamu bisa tidur dengan nyenyak.” “Iya, Mama.” Keano mengangguk, menuruti Lilia. Dan seolah tak ingin Lilia pergi, Keano menggenggam tangannya kuat-kuat. Saat keheningan menyelimuti mereka, sewaktu Keano sudah kembali terlelap, Lilia masih berkutat dengan pikirannya yang masih belum bisa tenang. Diam-diam … ia j
Lilia bingung, dalam hatinya berulang kali menanyakan, ‘Kenapa aku merusak pesta ulang tahunnya?’ Karena setahu Lilia ... semuanya berlangsung baik-baik saja sejak awal hingga selesai.Sekalipun Keano membuat keributan kecil, setelah itu tak ada halangan sama sekali. Bahkan saat Lilia keluar dari kamar mandi malam itu, lagu ucapan ‘selamat ulang tahun’ dinyanyikan dengan suka cita. Lantas mengapa Lilia dituduh merusak pesta ulang tahun milik Gretha?“Semua orang melihat dua anak lelakiku di taman seolah mereka itu sedang memperebutkanmu, Lilia!” tegur Nyonya Donna, mengakhiri panjangnya tanya yang berkecamuk di dalam benak Lilia.“A-apa maksud Nyonya?” tanya Lilia memberanikan diri.“Jangan sok polos!” jawab wanita itu. “Kamu ada di tempat kejadian saat Nicholas dan William bertengkar, ‘kan? Mereka memperebutkanmu?”“Kejadian yang sebenarnya tidak seperti itu, Nyonya,” terang Lilia. “Saya bisa menjelaskan. Tuan—”“Siapa yang peduli dengan penjelasanmu itu sekarang?” potong Nyonya Do
“Saya mohon, Tuan William,” pinta Lilia sekali lagi. Pria itu menarik punggungnya dari sandaran sofa, tubuhnya condong pada Lilia saat ia menyentuh dagu dan pipinya yang barangkali kini terlihat memerah akibat tamparan Nyonya Donna. William terdiam cukup lama, sepasang matanya yang gelap memindai wajah Lilia dengan alis yang berkerut. Lilia tak bisa menebak isi pikiran pria itu saat tatapannya berpindah ke bawah, pada jemari Lilia yang saling meremas, seolah mengamati dan menilai gerak-geriknya. William tiba-tiba berdiri dengan rahang yang menegang, “Bangun!” Sementara ia berjalan lebih dulu meninggalkan kamar. Ada sedikit kelegaan saat Lilia melihat William sepertinya akan datang pada sang ibu. Lilia pun bangun dari sana, mengikuti ke mana perginya William yang langkah kakinya sangat cepat saat menuruni undakan tangga. Tiba di ruang tamu, yang terjadi masih sama parahnya seperti saat Lilia meninggalkan mereka tadi. Masalahnya masih sama, wanita itu menanyakan mengapa Lilia
Siang hari yang terbilang cukup mendung saat Lilia menjemput Keano di preschool. Dari dalam sedan yang dikemudikan oleh Ron yang tengah mengantarnya, ia melihat beberapa anak yang berlarian di dalam sana.Ia tak bisa membendung senyumnya sewaktu melihat mereka atau mendengar tawa yang tanpa beban. Lilia suka dengan anak-anak, sudah sejak dulu.Mungkin hal itu jugalah yang membuatnya ingin menjadi guru.Dan memang ia pernah menjadi guru, sekalipun itu hanya sebentar. Di taman kanak-kanak dalam usahanya melanjutkan hidup, sebelum bencana itu terjadi. Hari di mana kehidupannya berubah saat ayah angkatnya membuatnya menjadi alat penebus utang sehingga ia kembali terjebak di rumah William.Lilia menggeleng saat sesak membuat dadanya terasa berat.Ia mencoba menghindari datangnya ingatan itu dengan membuka pintu mobil. Ia harus menampakkan diri agar Keano lebih mudah menjumpai keberadaannya.Beberapa langkah menjauh dari sedan mewah milik William untuk mendekat ke arah gerbang, Lilia dikeju
Dari dalam sedan berlambang flying lady di mana Giff sedang berada di dalamnya, sepasang matanya terbuka lebar saat menjumpai bahwa apa yang dikatakan oleh William adalah sebuah kebenaran. Gadis yang berlari dari arah barat dan berhenti di hadapan William kala tuannya itu memandang preschool kecil itu dengan harapan yang pupus benar adalah Lilia—atau setidaknya mereka memiliki wajah yang sama persis. Gadis itu hanya berdiri setinggi dada William, pembawaannya yang anggun dan hangat adalah hal yang senantiasa disaksikan oleh Giff setiap kali Nonanya itu berada di depan William. Ia hidup! Lilia benar-benar hidup. ‘Tapi sepertinya … ada sesuatu yang salah di sini.’ Batin Giff tak tenang saat melihat percakapan di seberang sana yang sepertinya tidak berjalan dengan baik. Sementara itu, di depan gerbang rendah yang basah akibat derasnya hujan, William tengah meraba apa yang direncanakan oleh semesta dengan mempertemukannya dengan Lilia saat ia berusaha melepasnya dengan lapang d
Tanpa sadar, sebulir air matanya jatuh melewati bibir saat William menggumamkan namanya di dalam hati. Ia hampir selangkah maju untuk memastikan bahwa gadis di halaman preschool itu adalah Lilia sebelum Zain menahan lengannya sebab baru saja ada kendaraan yang melintas. “Tuan William?” panggil Zain pada William yang hanya bergeming. Matanya hanya tertuju pada satu titik, tempat di mana Lilia berdiri, satu-satunya dunia yang berwarna sementara di sekitarnya hanya berisikan abu-abu. Lilia terlihat sangat bahagia saat mengajak anak-anak kecil itu bernyanyi, membuat mereka berputar mengelilinginya sehingga senyumnya merekah sehangat matahari pagi ini. “Ada apa, Tuan William?” sebut Zain sekali lagi. William tersadar dan memandang pemuda itu seraya mengembalikan tanya, “Pak Zain tidak melihatnya?” “Apa?” “Lilia,” jawabnya. “Dia berdiri di sana bersama dengan—“ William berhenti bicara saat menunjuk pada halaman preschool itu. Tapi saat hal itu ia lakukan, tak ada yang berdiri di sa
William tahu betul bahwa ‘projek’ yang baru saja disebutkan oleh Giff itu adalah yang dulu pernah ia dan Gretha kerjakan—pembangunan sekolah yang tempatnya cukup jauh dari kota. “Bukankah aku sudah pernah berpesan padamu agar mengatakan pada Papa Alaric untuk tidak mengikutsertakan wanita itu?” William sangat tidak suka jika ia harus menyebutkan namanya sekali lagi. Kedua bahu Giff jatuh mendengar itu. “Coba tenang sebentar,” pintanya. “Memang itu adalah projek yang pernah Anda kerjakan bersamanya, tapi kali ini tidak. Kita saja, tanpa ada ikut campur Gretha.” Mendengar itu membuat William berdeham, merasa bersalah sudah meninggikan suaranya pada Giff. “Ah, benarkah?” tanyanya. “Kalau begitu jangan setengah-setengah saat bicara, katakan dengan jelas, Giff!” “Saya memang belum selesai bicara, Tuan William Quist!” “Lalu Papa bilang apa lagi?” “Tuan Alaric meminta agar pembangunannya dipercepat, jadi kita sesekali harus mengeceknya, itu saja,” jawab pemuda itu seraya sel
Di rumah milik William pagi ini, Giff yang baru saja keluar dari kamar yang ia tinggali selama ‘menumpang hidup’ di rumah William sedikit terkejut saat melihat tuannya yang sudah dalam keadaan rapi. Sudah cukup lama Giff tak melihatnya dalam kemeja lengan panjang dan vest serta dasi yang tersemat di kerahnya seperti itu. “Selamat pagi,” sapa Giff lebih dulu dengan kepala yang tertunduk sopan. “Pagi.” “Apa Anda akan pergi ke suatu tempat?” tanya Giff yang dijawab lebih dulu dengan sebuah anggukan oleh William “Iya, Giff. Ke Velox Corp.” Salah satu alis Giff terangkat mendengarnya, “Sungguh? Jadi Anda akan comeback?” “Ya,” jawabnya. “Melihatmu yang pontang-panting sendirian mengurus banyak hal dan mengambil alih pekerjaan membuatku tidak tega. Kembali bekerja bukan pilihan yang buruk, ‘kan? Aku hanya takut kamu tiba-tiba menguasai Velox Cop.” Giff tertawa mendengar itu, “Tidak,” jawabnya. “Saya masih sayang dengan nyawa saya, Tuan. Tapi terima kasih untuk sudah kembali. Minggu in
“Apa ada yang salah dengan itu?” tanya William balik. “Apa aku tidak boleh memanggilmu seperti itu? Ya sudah kalau tidak boleh, pergi saja sana!” usir William seraya memalingkan wajahnya dan itu membuat Nicholas tertawa. Senyum getir yang tadi senantiasa terukir di kedua sudut bibirnya telah sirna. Tawa itu lepas seakan beban yang mendesak dadanya itu terangkat pelan-pelan. “Boleh,” jawab Nicholas akhirnya. “Panggil saja sesukamu, Willie.” “Akan aku pikirkan kalau begitu.” Nicholas mengangguk, “Pulanglah! Sudah hampir gelap.” Ia mengayunkan kakinya lebih dulu untuk pergi dari sana. Menuruti William yang memintanya agar kembali lagi besok. William melihatnya pergi, memandang punggung bidangnya dan mengingat ucapan Giff beberapa waktu yang lalu. Pada hari di mana Giff menghampirinya yang berhenti di emperan pertokoan. ‘Ada hal yang ingin saya sampaikan pada Anda’ yang hari itu dikatakannya adalah tentang kecelakaan yang melibatkan Nicholas dan juga Madeline. ‘Seorang saksi yang
Giff yang berjalan keluar dari pintu utama panti asuhan menghentikan langkahnya dan urung mengajak William untuk pulang saat ia menjumpai Quist bersaudara itu saling menatap dalam jarak sekian meter yang memisahkan. Ia lebih memilih untuk membiarkan mereka bicara dan tidak mengganggu keduanya. Memang sudah seharusnya mereka berdamai dan meluruskan semua kesalahpahaman yang memeluk mereka itu, bukan? Di seberang sana, Nicholas sepertinya juga tidak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan William di sini. Ia terdiam tanpa melakukan apapun hingga salah satu anak panti asuhan yang ada di sekitarnya berteriak, “Paman, tolong tendang bolanya ke sini!” William yang berdiri di tengah halaman melihat Nicholas yang menendang bola itu, mengembalikannya pada anak-anak yang tengah menunggunya dan mendekat pada William. “Kamu di sini ternyata, Willie?” sapanya lebih dulu. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya William balik. Kakak lelakinya itu sekilas mengangkat kedua bahunya sebelum menjaw
“Tuan William,” panggil Giff yang membuat William menggosok matanya sebelum ia mengangkat wajah. Menjumpai wajah pemuda itu yang berjalan menghampirinya dan berdiri berseberangan meja dengannya. “Ya?” balas William singkat. “Reynold, mantan pacarnya Gretha yang kemarin lusa pernah saya katakan pada Anda kalau kami bertemu di proyek kecil miliknya itu saya hubungi tadi sore.” “Untuk apa kamu menghubunginya?” tanya William hampir enggan. “Untuk membicarakan kemungkinan proyek yang bisa kita kerjakan dengannya,” jawab Giff dengan senyum yang tak bisa diartikan. “Kenapa aku harus bekerja sama dengannya, Giff?” “Kenapa lagi? Tentu karena kita harus menggali lebih jauh soal Henry dan keterlibatannya dengan semua peristiwa di sekitar kita, ‘kan?” tanyanya balik. “Sekalian untuk mencari kejelasan apakah benar Reynold yang menghamili Gretha.” William menggeleng samar. “Atur saja,” ucapnya. “Tapi jangan sampai kamu mempertemukan aku dengannya sekarang ini. Aku tidak ingin melihat wajah s
Reynold dijumpainya berjalan mendekat padanya, sepasang alisnya berkerut tipis saat pandangan mereka bertemu dan pria itu lebih dulu memberanikan diri untuk bertanya. “A-apa yang Anda lakukan di sini?” “Tidak ada,” jawab Giff dengan ringan. “Saya hanya berhenti sebentar untuk melihat siapa kontraktor yang mengerjakan proyek ini karena dari tulisan yang ada di depan itu saya masih belum familiar.” Giff harap Reynold percaya dengan apa yang ia katakan karena itu hanyalah sebatas karangan. Tujuannya ke sini jelas, bukan? Untuk mencari tahu tentang sopir pribadinya itu. “Benar,” jawab Reynold dengan kepala yang mengangguk. “Itu memang nama baru untuk melakukan rebranding karena bisnis saya yang sebelumnya sudah tidak berjalan dengan baik,” tuturnya. “Ini adalah proyek pertama saya setelah namanya diganti.” Giff mengangguk antusias mendengarnya. “Awal yang bagus, ‘kan? Bisnis memang naik turun, tapi melihat Anda yang gigih, saya sepertinya harus mengapresiasinya.” Pria itu tampak sen
William juga membaca bahwa pemeriksaan dalam metode luring itu telah sampai pada tahap ke dua. Di mana disebutkan bahwa Lilia takut kepadanya saat William tidak bersikap baik atau marah terhadap sesuatu yang kadang tak diketahui oleh Lilia apa penyebabnya. Ketakutannya yang paling besar diawali dari saat William nyaris membuat gadis itu kehilangan kesuciannya, beberapa hari setelah kematian Ivana saat Lilia mengatakan ia akan berhenti menjadi babysitter-nya Keano dan pergi dari rumah itu. ‘Kamu tidak memiliki hak untuk memutuskan apakah kamu bisa pergi dari rumah ini atau bertahan, Lilia Zamora.’ William ingat betul ia mengatakan itu setelah ia merenggut dagunya dengan kasar dan menguncinya hingga tersudut di dinding. Sesal William tertumpuk saat itu juga kala ia membaca satu demi satu lembaran yang ia dapatkan dari dalam amplop putih tersebut. Pada akhir pemeriksaan tahap dua, ada sesuatu yang membuat William terenyuh. Lilia menyebut bahwa ia mencintai William, ia tahu William