Clara selalu percaya bahwa pernikahannya dengan David adalah segalanya—sampai ia menemukan kenyataan pahit bahwa suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Dikhianati oleh dua orang terdekat, Clara merasakan amarah dan sakit hati yang begitu dalam. Dalam kebingungan dan keputusasaan, ia bertemu kembali dengan Erick, mantan kekasihnya yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Didorong oleh rasa sakit dan keinginan untuk membalas dendam, Clara pun membiarkan dirinya larut dalam hubungan terlarang bersama Erick. Namun, yang awalnya hanya pelarian berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Clara menyadari bahwa cintanya pada Erick tidak pernah benar-benar padam. Ketika David akhirnya menyesali kesalahannya dan memohon kesempatan kedua, Clara dihadapkan pada pilihan sulit: kembali ke suaminya yang menyesal atau mengikuti kata hatinya yang telah jatuh cinta lagi pada Erick. Dalam pergulatan antara cinta, pengkhianatan, dan penebusan, Clara harus menemukan jawaban atas pertanyaan terbesar dalam hidupnya—siapa yang sebenarnya memiliki hatinya? Sebuah kisah penuh emosi tentang kehilangan, penyesalan, dan cinta yang lahir dari luka terdalam. follow akun gn : BalqizAzzahra follow IG author : Fatmawati1472 follow FB author : I'ts cover by : Maya lephtyatie Maysaroh ( FB )
Lihat lebih banyakAgnes melangkah masuk ke dalam ruangan dengan wajah lesu. Thomas, yang sedang duduk santai di sofa dengan segelas wine di tangannya, menatapnya sekilas sebelum kembali menyesap minumannya. “Kamu terlihat seperti orang yang kalah,” sindir Thomas tanpa basa-basi. Agnes mendesah panjang, lalu menjatuhkan diri ke sofa di seberangnya. “Aku memang kalah, Tom. Aku menyerah.” Thomas menaikkan satu alisnya. “Menyerah? Sejak kapan Agnes yang kukenal tahu artinya menyerah?” Agnes menyandarkan kepalanya ke belakang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. “Sejak aku sadar bahwa aku tidak akan pernah bisa menyentuh perempuan itu.” Thomas mulai tertarik. Dia meletakkan gelasnya dan bersandar, menunggu penjelasan lebih lanjut. “Clara benar-benar beruntung,” lanjut Agnes dengan suara getir. “Ada dua pria yang menjaganya dengan nyawa mereka. Erick, suaminya sekarang. Dan David… mantan suaminya yang jelas-jelas masih punya rasa.” Mata Thomas melebar. “Clara? Tunggu… Clara yang kau ma
"Hatchii!" Zoya buru-buru menutup mulutnya dengan tisu. Ia mengerutkan kening. Katanya kalau bersin tiba-tiba, itu tandanya ada seseorang yang sedang membicarakannya. Entah siapa, tapi dia malas memikirkannya lebih jauh. Yang jelas, hari ini dia hanya ingin menikmati waktunya tanpa gangguan. Duduk di sofa ruang tamunya yang luas, Zoya melirik ke arah putranya yang tengah bermain dengan Sus Juni. Bocah kecil itu tertawa riang, membuat hati Zoya sedikit tenang meski tubuhnya masih terasa lelah. Lelah bukan hanya karena kurang tidur, tetapi juga karena pekerjaannya yang menuntutnya untuk selalu tampak menggoda dan siap memanjakan para pria hidung belang. Hari ini, dia memutuskan untuk mengambil libur beberapa hari. Dia butuh istirahat, butuh waktu hanya untuk dirinya sendiri dan anaknya. Tidak ada pria yang menjamahnya, tidak ada tuntutan untuk bersikap manis atau mengobral senyum palsu. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat. Tok! Tok! Tok!Zoya mengernyit. Siapa yang dat
Clara duduk di salah satu sudut ruang tamu, memperhatikan dengan sedikit canggung interaksi antara dua pria yang pernah dan masih mengisi hidupnya—David, mantan suaminya, dan Erick, suami keduanya. Tidak ada ketegangan di antara mereka, justru sebaliknya. Mereka terlihat terlalu akrab untuk ukuran dua pria yang pernah berada dalam hidup wanita yang sama. Dan semua ini gara-gara Agnes. Wanita itu telah membuat hidup Clara seperti roller coaster dalam beberapa minggu terakhir. Dari percobaan mencelakainya hingga berbagai intrik yang membuatnya hampir kehilangan kewarasannya. Namun yang membuatnya lebih bingung adalah kenyataan bahwa kini David dan Erick justru mendiskusikan Agnes dengan nada yang begitu santai, seakan mereka sedang membicarakan cuaca. Samar-samar, Clara menangkap percakapan mereka. "Agnes itu cantik, kaya... Kenapa dia tidak mencari pria single saja untuk diganggu?" ucap David dengan nada heran. Clara menajamkan pendengarannya. Agnes memang punya segalanya—kec
Agnes duduk di depan cermin riasnya, menatap bayangan dirinya yang sempurna. Wajahnya tanpa cela, dengan hidung mancung, bibir penuh, dan mata tajam yang selalu berhasil menundukkan pria mana pun. Tubuhnya langsing dengan lekukan yang didambakan banyak wanita. Ia adalah model papan atas, seorang pengusaha sukses di industri kecantikan, wanita yang memiliki segalanya—harta, kecantikan, dan status sosial. Tapi kenapa… kenapa seorang Clara, wanita biasa yang hanya seorang ibu rumah tangga, bisa mendapatkan sesuatu yang tidak bisa Agnes miliki? Cinta. Bukan sekadar cinta biasa, tetapi cinta yang ugal-ugalan, menggebu-gebu, liar. Dua pria sekaligus menggilai Clara seperti hidup mereka bergantung padanya. Erick, pria berkarisma dengan latar belakang bisnis kuat, dan David, lelaki dengan aura bad boy yang liar namun memikat. Mereka berdua rela berseteru demi seorang Clara. Clara yang bukan siapa-siapa. Agnes mengepalkan jemarinya. Ia mengenal Dion, bahkan pernah mendekatinya. Namun
Agnes melangkah masuk ke dalam apartemen Vano dengan emosi yang meluap-luap. Langkahnya berat, penuh kemarahan yang siap meledak kapan saja. Begitu pintu tertutup di belakangnya, tatapannya langsung menembak Vano yang tengah duduk santai di sofa. "Dasar pria bodoh!" bentaknya, membuat Vano nyaris tersedak minuman yang baru saja diteguknya. "A-Agnes?" Vano tergagap, buru-buru meletakkan gelasnya di atas meja. "Ada apa?" Agnes melangkah cepat ke arahnya, wajahnya merah padam menahan amarah. "Aku mempercayakan tugas ini padamu, Vano! Tapi apa yang kau lakukan? Dua kali kesempatan emas dan kau menyia-nyiakannya!" Vano menghela napas, mencoba meredakan ketegangan. "Dengar, Agnes, aku sudah berusaha. Tapi Clara selalu lolos! Dia beruntung!" "Beruntung?" Agnes tertawa sinis. "Kamu pikir ini soal keberuntungan? Ini soal ketidakbecusanmu, Vano!" Wanita itu menjatuhkan tasnya ke sofa, lalu menatapnya dengan mata menyala.Vano menundukkan kepala, merasa terpojok. Dia tahu Agnes tidak a
David turun dari mobil lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk ibunya, Maria. Wanita itu tampak sedikit gugup, mungkin karena ini pertama kalinya ia datang ke rumah mantan menantunya setelah pernikahan Clara dengan Erick. "Apa kamu yakin tidak merepotkan?" tanya Maria pelan, matanya menatap David dengan ragu. "Clara adalah mantan istriku, dan aku peduli padanya," jawab David tegas. "Lagipula, aku ingin Erick sadar kalau ada ancaman nyata di sekitar istrinya." Maria mengangguk, lalu mengikuti langkah putranya menuju pintu utama. Mereka disambut oleh seorang pelayan yang segera mempersilakan mereka masuk. Tak lama, Erick muncul dari ruang tamu dengan ekspresi waspada. "David," sapanya singkat, lalu menoleh ke Maria. "Bu Maria." Maria tersenyum tipis, sedikit canggung. "Kami datang untuk menjenguk Clara. Bagaimana keadaannya?" "Dia baik-baik saja," Erick menjawab, melirik sekilas ke arah David seakan mengawasi gerak-geriknya. Baru saja mereka hendak melangkah menuju kamar C
Erick menatap David dengan tatapan penuh selidik. Di depannya, pria itu tampak serius, seolah apa yang baru saja diucapkannya bukanlah lelucon.Tempo hari, David memberi laporan kalau Agnes berencana melakukan hal jahat pada Clara. Tapi hingga saat ini Erick tidak memberikan perlindungan ketat pada Clara. Wanita itu bahkan diperbolehkan keluar rumah tanpa pengawalan.“Aku masih ragu Agnes berani mencelakai clara,” Erick mengulang ucapan David dengan nada skeptis. “Aku rasa dia tidak sejahat itu.” David menghela napas panjang, tampak frustrasi dengan reaksi Erick. “Aku tidak bercanda, Erick. Aku mendengarnya sendiri. Agnes tidak terima kau memilih Clara, dan dia berniat melakukan sesuatu untuk menyingkirkannya.” Erick mengusap wajahnya, mencoba meredam gejolak pikirannya. Dia mengenal Agnes cukup lama. Wanita itu memang keras kepala, emosional, bahkan terkadang sulit dikendalikan. Tapi mencelakai seseorang? Itu terdengar terlalu berlebihan. “Kamu tahu sendiri Agnes bukan tipe ora
Agnes menggenggam erat cup kopi di tangannya, merasakan amarah yang membakar dadanya. Dari kejauhan, ia baru saja menyaksikan pemandangan yang membuatnya muak—Erick dan Clara berjalan berdampingan, tertawa bersama sambil memilih perlengkapan bayi di sebuah toko mewah. Clara terlihat cantik dalam balutan dress longgar yang menutupi perutnya yang mulai membesar. Erick, seperti seorang suami yang sempurna, menggandeng tangan istrinya dengan lembut, sesekali membantu Clara memilihkan barang-barang. Mereka tampak begitu mesra, begitu harmonis—sesuatu yang Agnes harap sudah hancur sejak lama. Namun nyatanya, semua rencana yang ia susun untuk memisahkan mereka tidak membuahkan hasil. Pesan-pesan misterius yang dikirimkan pada Clara, fitnah yang ia sebarkan, bahkan jebakan-jebakan kecil yang ia buat agar mereka saling curiga, semuanya gagal total. Rumah tangga mereka masih berdiri kokoh, seakan tak tergoyahkan. Agnes merasakan pahitnya kegagalan. Ia menggigit bibirnya, menahan kekesalan
Clara terbaring lemah di atas ranjang, tubuhnya terasa lemas karena kehamilan mudanya yang disertai mual dan pusing berkepanjangan. Matanya yang biasanya berbinar kini tampak sayu, tetapi ada kehangatan di dalamnya saat menatap suaminya, Erick, yang dengan sabar merawatnya sejak pagi. "Sayang, makan dulu ya," ucap Erick lembut, menyuapkan sesendok bubur hangat ke mulut Clara. Clara tersenyum tipis sebelum membuka mulutnya. "Aku bisa makan sendiri, kok." "Tidak perlu. Aku senang merawatmu," jawab Erick sambil menyuapkan lagi dengan penuh perhatian. Setelah menghabiskan makanannya, Erick segera mengambil segelas air dan sebuah pil vitamin kehamilan. "Ini, minum dulu biar tubuhmu tetap kuat." Clara meneguk air itu perlahan, menikmati setiap perhatian yang diberikan suaminya. Sejak mereka tahu bahwa dirinya hamil, Erick berubah menjadi sosok yang semakin lembut dan protektif. Bahkan untuk hal sekecil apa pun, pria itu tidak mau membiarkannya melakukan sendiri. Tak lama kemudia
🍁🍁🍁 Hujan turun deras di luar, menampar kaca jendela dengan irama yang kacau. Langit malam menghitam pekat, seakan turut menggambarkan suasana hati Clara yang diliputi kekecewaan. Dia berdiri di depan meja makan, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya, menahan gemetar yang perlahan merayap ke sekujur tubuhnya. Di hadapannya, David duduk dengan ekspresi kosong, matanya merah, bukan karena tangis, tetapi karena amarah yang dipendam terlalu lama. “David, aku sudah bilang padamu. Aku sudah periksa ke dokter spesialis. Tidak ada yang salah denganku, aku subur. Kita hanya perlu bersabar dan berusaha lebih keras lagi agar bisa punya anak,” suara Clara bergetar, mencoba menjelaskan untuk kesekian kalinya. David menegakkan tubuhnya, menatap istrinya dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Lima tahun, Clara. Lima tahun kita menikah, dan masih belum ada tanda-tanda. Kamu pikir aku bisa terus bersabar?” Clara menggigit bibirnya, menahan air mata yang mengancam jatuh. “Bersabarlah, D...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen