🍁🍁🍁
Sore itu, Clara masak makanan kesukaan David dalam jumlah banyak. Dia ingin memanjakan suaminya dimulai dari memasak makanan yang pria itu sukai. Saat David pulang kantor, dia langsung menyambut dan menggiringnya pergi ke ruang makan untuk makan bersama. "Sayang, aku sudah masak makanan kesukaan kamu loh. Ayo kita makan bersama," Clara menyunggingkan senyum manis. "Kamu saja dulu yang makan, aku sudah kenyang. Aku tadi mampir makan di luar bersama dengan teman-temanku," sahut David dengan nada malas dan datar. Matanya menyiratkan pesan kalau dia enggan mengobrol dengan Clara. Clara terdiam, dia duduk di sudut kamarnya dengan hati yang tak karuan. Sudah beberapa minggu terakhir, David berubah. Pria yang dulu penuh perhatian dan selalu membuatnya merasa istimewa kini terasa cuek juga dingin. Pertemuan mereka semakin jarang, dan bahkan ketika bersama, David lebih sering sibuk dengan ponselnya daripada berbincang dengannya. Awalnya, Clara mencoba mengabaikan perubahan itu. Dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa mungkin David sedang banyak pekerjaan atau memiliki masalah yang tak ingin dibicarakan. Namun, semakin lama, alasan itu terasa semakin tidak masuk akal. Terutama ketika suatu hari, dia melihat David tersenyum kecil saat membaca sesuatu di ponselnya—senyum yang sudah lama tidak dia lihat saat mereka bersama. Rasa curiga mulai menggerogoti pikirannya. Apakah David sedang menyembunyikan sesuatu? Atau lebih buruk lagi, apakah ada orang lain dalam hidupnya? Dengan hati berdebar, Clara akhirnya mengambil keputusan yang selama ini dia hindari. Dia akan mencari tahu sendiri. Kesempatan itu datang, malam hari saat David pergi ke kamar mandi. Clara tanpa ragu mengambil ponsel David yang tergeletak di meja. Jemarinya sedikit gemetar saat membuka kunci layar—sesuatu yang dia tahu bisa menjadi bumerang jika David mengetahuinya. Tapi dia tidak peduli. Dia butuh jawaban. Clara membuka aplikasi pesan dan mulai menggulir percakapan. Hatinya semakin berdebar ketika menemukan sebuah nama yang begitu familiar: Zoya. Zoya adalah sahabat baiknya. Wanita yang selama ini dia percaya, yang selalu mendukung hubungannya dengan David. Tapi isi percakapan itu membuat dunia Clara seakan runtuh. “Aku tidak sabar bertemu lagi besok. Aku suka saat kita bisa menghabiskan waktu berdua,” tulis Zoya dalam salah satu pesannya. Clara menahan napas, matanya bergerak cepat membaca balasan dari David. “Aku juga. Rasanya berbeda saat bersamamu. Lebih menyenangkan.” Jantung Clara seperti berhenti berdetak. Dadanya sesak, matanya panas menahan air mata yang hampir jatuh. Ini tidak mungkin. Zoya? David? Bagaimana bisa? Sejak kapan? Clara menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosi. Tangannya saat dia meletakkan kembali ponsel David di tempat semula. Clara memilih untuk kembali duduk di atas ranjangnya, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam empuknya kasur yang kini terasa begitu dingin dan asing. Kepalanya menunduk, matanya menatap kosong ke lantai, sementara pikirannya dipenuhi oleh pesan-pesan yang baru saja ia baca. Chat mesra antara David, suaminya, dengan Zoya, sahabat yang selama ini ia percaya sepenuh hati. Air matanya mengalir deras tanpa bisa ia tahan. Sakit. Sakit yang teramat dalam menusuk relung hatinya. Dari milyaran wanita yang ada di muka bumi ini, mengapa David harus berselingkuh dengan Zoya? Mengapa orang yang selama ini ia anggap sebagai saudara sendiri justru menjadi pengkhianat paling kejam dalam hidupnya? Tak lama, David keluar dari kamar mandi. Dia terkejut melihat Clara menangis sedih. Tatapan mereka bertemu, dan dalam sekejap, Clara melihat sesuatu dalam mata David—rasa bersalah. “Ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanya David. Clara tertawa sinis, air matanya akhirnya jatuh. “David, apa kamu berselingkuh dengan Zoya?” Clara memberanikan diri menyudutkan pria itu. "Apa maksud perkataan itu Clara?" omel David. Dia berpura-pura tidak tahu dengan tuduhan yang dilayangkan istrinya. "Aku baru saja membaca chat mesramu dengan Zoya," jelas Clara. David membeku, dia seolah sedang mencari alasan untuk membela diri. "Aku tidak berselingkuh dengan siapapun Clara, apa lagi dengan temanmu Zoya." David mengelak. Tapi dari sorot matanya Clara bisa tahu kalau suaminya sedang berbohong. "Baik, kalau kamu tidak mau berkata jujur. Aku yang akan mencari kebenarannya sendiri!". *** Clara duduk di dalam mobilnya, menatap ke arah hotel mewah di seberang jalan. Matanya tak lepas dari sosok suaminya, David, yang baru saja turun dari mobil. Jantungnya berdegup kencang, jemarinya mencengkeram kemudi erat-erat. Ia telah mengikuti David sejak sore, mencari kebenaran yang selama ini menghantuinya. Zoya, sahabat yang sudah ia percayai bertahun-tahun, telah menjadi bayang-bayang dalam kecurigaannya. Tak butuh waktu lama, dari lobi hotel, seorang wanita muncul. Clara menahan napas saat melihat sosok itu—Zoya. Hatinya mencelos, berharap bahwa yang dilihatnya hanyalah ilusi. Namun, kenyataan begitu kejam. Zoya berjalan dengan langkah percaya diri ke arah David, dan pria itu menyambutnya dengan senyum yang sudah lama tak ia lihat terukir di wajah suaminya. Tanpa ragu, mereka berpelukan erat di halaman hotel. Seolah dunia hanya milik mereka berdua. Air mata Clara mulai menggenang. Tubuhnya bergetar hebat, tapi matanya tetap tak berkedip, menolak berpaling dari kenyataan menyakitkan yang tersaji di depan matanya. Ia berharap ada penjelasan lain—mungkin mereka hanya bertemu sebagai teman. Namun, semua harapan itu hancur seketika saat David mencium bibir Zoya, menggenggam tangannya dengan mesra dan mereka berjalan bersama memasuki hotel. Clara menutup mulutnya dengan kedua tangan, mencoba menahan isak tangis yang akhirnya pecah. Dunianya runtuh dalam sekejap. Ia merasa bodoh karena sempat membiarkan dirinya percaya pada kebohongan. Bagaimana mungkin dua orang yang paling ia percayai menghancurkan hidupnya seperti ini? Bersambung....🍁🍁🍁Clara kembali ke rumah dengan hati hancur lebur, matanya bengkak karena terlalu lama menangis, tubuhnya lemas seperti tidak ada semangat untuk melanjutkan hidup. Dia baru saja melihat dengan mata kepalanya sendiri suaminya, David, masuk ke dalam sebuah hotel bersama seorang wanita. Wanita itu adalah Zoya, seseorang yang Clara kenal sebagai rekan kerja David. Tangannya gemetar saat menggenggam ponselnya, sementara dadanya terasa sesak. Ia tak ingin percaya, namun kenyataan terpampang jelas di depan matanya.Malam harinya, David pulang ke rumah, Clara langsung menghadangnya di ruang tamu. Matanya menatap penuh dendam dan emosi, suaranya bergetar saat ia berbicara.“David, aku melihatmu masuk ke sebuah hotel bersama Zoya lagi tadi.” suara Clara dipenuhi kemarahan dan kesedihan.David menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke sofa seolah lelah dengan semua ini. “Clara, aku bisa menjelaskan—”“Jelaskan apa? Aku melihatmu dengan Zoya begitu mesra. Kalian berdua berpelukan, ber
🍁🍁🍁Setelah dua malam tidak pulang ke rumah dan menghilang tanpa kabar. Akhirnya malam itu, David pulang ke rumah. Dia langsung masuk kamar, dan bersiap untuk mandi. Clara menyusul suaminya ke kamar, dia melihat pria itu melepas kemeja yang dikenakannya. Clara menatap suaminya dengan dada sesak. Matanya terpaku pada leher David yang penuh dengan bekas merah. Ada beberapa cakaran samar di lengan dan punggungnya. "Apa ini, David?" suara Clara bergetar, amarah bercampur dengan kepedihan. David, yang baru saja pulang, hanya melirik sekilas ke arah istrinya. Ia meletakkan tas kerja di meja dan menyesap air mineral dari botol yang diambil dari kulkas. "Kamu tahu apa ini, Clara. Jangan berpura-pura tidak mengerti." Clara mengepalkan tangannya. Dadanya bergemuruh, seakan jantungnya ingin meledak. "Jadi sekarang Zoya sudah berani meninggalkan tanda-tanda seperti ini di tubuhmu? Tanpa rasa malu? Tanpa rasa takut? Seolah dia yang lebih berhak atas dirimu dibanding aku, istrimu?" David me
🍁🍁🍁Siang itu, Clara berdiri di depan pintu rumah Zoya dengan napas memburu. Tangannya terkepal, dadanya bergejolak. Amarah menguasai dirinya sejak ia tahu bahwa Zoya, sahabatnya sendiri, telah merebut David, suami dari sahabatnya, Rina. Tak ada yang bisa membenarkan pengkhianatan seperti ini. Tanpa basa-basi, Clara mengetuk pintu dengan keras. Tak lama, Zoya muncul dengan senyum tipis di bibirnya. Mata tajamnya menyorot Clara, seolah sudah tahu alasan kedatangannya. "Clara," sapanya dengan suara santai. "Ada apa?" Tanpa menunggu jawaban, Clara mendorong Zoya hingga perempuan itu terhuyung ke belakang. "Kamu benar-benar perempuan tak tahu malu!" bentaknya. "Dari semua pria yang ada di luar sana, kenapa kau harus merayu suamiku? Apa aku pernah berbuat salah padamu sampai kamu tega melakukan ini?" Zoya mengusap lengannya yang terkena dorongan tadi, namun ia tetap tersenyum. "David lebih menarik dibanding pria-pria lajang di luar sana. Dia memesona, dewasa, dan tahu bagaimana memp
🍁🍁🍁 David masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat, matanya langsung mencari sosok Clara. Ia baru saja mendapat pesan dari Zoya bahwa istrinya telah menamparnya dan membuat keributan di rumahnya. Begitu David menemukan Clara di ruang tamu, duduk dengan wajah tanpa penyesalan, amarah David meledak begitu saja. "Apa yang sudah kamu lakukan, Clara?" suaranya meninggi, sorot matanya tajam menuntut penjelasan. Clara menoleh dengan tenang, menyilangkan tangannya di depan dada. "Aku hanya memberikan pelajaran untuk perempuan murahan seperti Zoya. Dia pantas mendapatkannya." David menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Itu bukan alasan untuk menampar dan memakinya secara kasar! Apa kamu tidak berpikir dulu sebelum melakukan sesuatu?" Clara mendengus kesal. "Oh, jadi sekarang kamu membelanya? David, aku ini istrimu! Aku seharusnya menjadi prioritasmu, bukan dia!" Suaranya meninggi, kemarahannya terpancar jelas. "Ini bukan soal berpihak pada siapa. Ini soal bagai
🍁🍁🍁 Maria duduk di sofa ruang tamu dengan wajah penuh kekhawatiran. Matanya menatap tajam ke arah putranya, David, yang duduk di seberangnya dengan ekspresi keras kepala. Pembicaraan ini harus segera dilakukan, sebelum David dan Zoya bertindak terlalu jauh. "David, kasihanilah istrimu, Clara," ujar Maria dengan suara yang bergetar. "Dia sangat menderita melihatmu terus bersama wanita itu. Setiap malam dia menangis, setiap hari dia hidup dalam bayang-bayang pengkhianatanmu. Sudah cukup, Nak. Putuskan hubunganmu dengan Zoya." David menarik napas panjang, lalu menggeleng dengan mantap. "Aku tidak bisa, Bu. Aku mencintai Zoya, dan... dia sedang mengandung anakku." Maria terperanjat. Mata tuanya melebar dalam keterkejutan. "Apa?" suaranya hampir tak keluar. David menunduk, merasa bersalah tetapi tetap teguh pada pendiriannya. "Zoya hamil, Bu. Aku tidak bisa meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Anak itu adalah darah dagingku." Maria merasakan dadanya sesak. Ia tak pernah
🍁🍁🍁 Clara berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun satin merah yang membalut tubuhnya begitu pas, memperlihatkan setiap lekuk yang sempurna. Rambutnya tergerai indah, wangi parfum mahal menyelimuti tubuhnya. Ia tahu dirinya masih menarik. Ia tahu suaminya, David, dulu tak bisa mengalihkan pandangan saat melihatnya berdandan seperti ini. Tapi itu dulu. Dengan langkah perlahan, ia mendekati tempat tidur, tempat David berbaring sambil menatap layar ponselnya. Entah apa yang sedang dilihatnya, tapi sejak beberapa bulan terakhir, kebersamaan mereka terasa begitu hambar. Malam-malam yang dulu penuh gairah kini hanya tersisa sunyi dan jarak yang kian melebar. Clara naik ke ranjang, mendekatkan tubuhnya pada suaminya. Tangannya menyentuh bahu David, kemudian turun perlahan ke dadanya. “Sayang,” bisiknya, suaranya penuh kelembutan, “sudah lama sekali kita tidak bersama. Aku merindukanmu.” David menghela napas dan menurunkan ponselnya. Ia menatap Clara sejenak, lalu mema
Pintu rumah terbuka perlahan, Clara melangkah masuk dengan wajah kusut serta raut kelelahan yang sulit disembunyikan. Clara menarik napas panjang sebelum menutup pintu di belakangnya. Langkahnya berat, seolah beban yang dipikulnya terlalu besar untuk ditanggung sendirian.Maria, ibu mertuanya, yang sedang duduk di ruang tamu, langsung menoleh begitu mendengar suara pintu terbuka. Wajahnya penuh kekhawatiran. Semalaman ia dan David, suami Clara, mencarinya ke berbagai tempat, tetapi tak ada jejak yang bisa ditemukan."Dari mana saja kamu, Clara?" tanya Maria dengan nada lembut, namun penuh keprihatinan. Matanya menelusuri wajah menantunya yang tampak begitu letih.Clara menunduk, menghindari tatapan ibu mertuanya. "Aku pergi ke rumah temanku," jawabnya lirih. "Aku sedang butuh ketenangan sebentar."Maria menghela napas. Ia sudah menebak sesuatu pasti terjadi antara Clara dan David. "Kalian bertengkar tadi malam, bukan?" duganya dengan nada penuh pengertian.Clara tak langsung menjawab.
Clara melangkah masuk ke dalam kafe dengan langkah ragu. Aroma kopi yang khas memenuhi ruangan, bercampur dengan suara pelan musik akustik yang mengalun di latar belakang. Ia menoleh ke arah salah satu sudut ruangan, dan di sanalah Erick duduk, menunggunya dengan tatapan tajam yang sulit diartikan.Dengan hati berdebar, Clara menghampiri meja itu dan duduk di hadapannya. Erick tampak tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Clara merasa gelisah."Apa yang mau kamu sampaikan?" tanya Clara, suaranya datar tetapi penuh waspada.Erick menarik napas dalam sebelum menjawab, "Maukah kamu menjadi kekasihku lagi? Aku masih mencintaimu sama seperti dulu."Clara membelalakkan mata. Ia tidak menduga Erick akan langsung mengatakan hal seperti itu tanpa basa-basi. Ia merasa lidahnya kelu, tetapi kemudian ia memaksakan diri untuk berbicara. "Apa kamu gila? Aku sudah bersuami, kamu tahu kan?"Erick mengangguk pelan, tetapi bukannya surut, ia justru menatap Clara lebih dalam. "Aku t
🍁🍁🍁Clara mencoba untuk menata Hidupnya yang semula hancur berkeping-keping akibat pengkhianatan David. Dia tak mau lagi menangisi pria yang telah memilih menikah lagi dengan Zoya. Baginya, semua sudah berlalu, dan tak ada gunanya terus meratapi nasib. Kini saatnya dia fokus pada dirinya sendiri, membahagiakan dirinya tanpa perlu mengandalkan siapa pun.Dengan uang yang selama ini ia simpan untuk masa depan bersama David, Clara memutuskan untuk menggunakannya. Apa gunanya menimbun uang untuk seseorang yang telah mengkhianatinya? Apalagi, dia tahu bahwa Zoya juga menghabiskan uang David dengan seenaknya. Maka, Clara pun memutuskan untuk memanjakan dirinya, mengubah penampilan agar terlihat lebih fresh, muda, dan cantik.Langkah pertamanya adalah pergi ke salon rambut. Ia memilih potongan rambut baru yang lebih modern, mencerminkan kepribadiannya yang kini lebih percaya diri dan mandiri. Tak hanya itu, ia juga memilih warna rambut yang berbeda dari sebelumnya, sesuatu yang lebih bera
🍁🍁🍁Malam itu, angin berhembus kencang di atas jembatan tua yang sepi. Bulan samar-samar tertutup awan, seakan enggan menyaksikan penderitaan seorang wanita yang berdiri di tepi pagar jembatan, menatap ke dalam kegelapan di bawahnya. Clara menggenggam pagar besi dengan erat, hatinya bergejolak dalam keputusasaan. Air matanya sudah kering, namun luka di hatinya semakin menganga.Pernikahannya dengan David yang dulu penuh cinta kini hancur berkeping-keping. Perselingkuhan yang dilakukan suaminya telah mencabik-cabik hatinya hingga ia merasa tak lagi punya tempat di dunia ini. Tak ada gunanya bertahan. Tak ada lagi alasan untuk hidup.Saat ia hendak melangkah ke jurang kegelapan, tiba-tiba sebuah tangan kuat menariknya ke belakang. Tubuhnya terhuyung, dan dalam sekejap ia terjatuh ke dalam dekapan seseorang. Clara mendongak, dan matanya bertemu dengan sepasang mata penuh kepedulian. Itu Erick."Clara, apa yang sedang kamu lakukan?" suara Erick bergetar, mencerminkan keterkejutan dan k
Clara melangkah masuk ke dalam kantor suaminya, David. Tumit sepatunya berdetak di lantai marmer yang mengkilap, menggema di antara keheningan yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Para pegawai yang sedang bekerja menghentikan aktivitas mereka, menoleh ke arahnya dengan tatapan pilu. Ia bisa merasakan bisik-bisik di antara mereka, sorot mata mereka yang mencerminkan iba.Mungkin mereka semua sudah tahu. Mungkin mereka telah melihat sendiri bagaimana suaminya, pria yang telah bersamanya bertahun-tahun, kini beralih pada wanita lain. Wanita secantik dan sebaik Clara, diselingkuhi oleh pria yang pernah ia percaya sepenuh hati.Matanya langsung tertuju pada seorang wanita yang berdiri di tengah ruangan dengan sikap angkuh, seolah dia adalah ratu di tempat ini. Zoya. Wanita itu tampak begitu nyaman, bahkan lebih dari pemilik kantor yang sebenarnya. Dengan gaun elegan yang membalut tubuhnya, dengan raut wajah penuh kemenangan, seakan menegaskan bahwa tempat ini, juga suaminya, kini adalah mil
Clara melangkah masuk ke dalam kafe dengan langkah ragu. Aroma kopi yang khas memenuhi ruangan, bercampur dengan suara pelan musik akustik yang mengalun di latar belakang. Ia menoleh ke arah salah satu sudut ruangan, dan di sanalah Erick duduk, menunggunya dengan tatapan tajam yang sulit diartikan.Dengan hati berdebar, Clara menghampiri meja itu dan duduk di hadapannya. Erick tampak tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Clara merasa gelisah."Apa yang mau kamu sampaikan?" tanya Clara, suaranya datar tetapi penuh waspada.Erick menarik napas dalam sebelum menjawab, "Maukah kamu menjadi kekasihku lagi? Aku masih mencintaimu sama seperti dulu."Clara membelalakkan mata. Ia tidak menduga Erick akan langsung mengatakan hal seperti itu tanpa basa-basi. Ia merasa lidahnya kelu, tetapi kemudian ia memaksakan diri untuk berbicara. "Apa kamu gila? Aku sudah bersuami, kamu tahu kan?"Erick mengangguk pelan, tetapi bukannya surut, ia justru menatap Clara lebih dalam. "Aku t
Pintu rumah terbuka perlahan, Clara melangkah masuk dengan wajah kusut serta raut kelelahan yang sulit disembunyikan. Clara menarik napas panjang sebelum menutup pintu di belakangnya. Langkahnya berat, seolah beban yang dipikulnya terlalu besar untuk ditanggung sendirian.Maria, ibu mertuanya, yang sedang duduk di ruang tamu, langsung menoleh begitu mendengar suara pintu terbuka. Wajahnya penuh kekhawatiran. Semalaman ia dan David, suami Clara, mencarinya ke berbagai tempat, tetapi tak ada jejak yang bisa ditemukan."Dari mana saja kamu, Clara?" tanya Maria dengan nada lembut, namun penuh keprihatinan. Matanya menelusuri wajah menantunya yang tampak begitu letih.Clara menunduk, menghindari tatapan ibu mertuanya. "Aku pergi ke rumah temanku," jawabnya lirih. "Aku sedang butuh ketenangan sebentar."Maria menghela napas. Ia sudah menebak sesuatu pasti terjadi antara Clara dan David. "Kalian bertengkar tadi malam, bukan?" duganya dengan nada penuh pengertian.Clara tak langsung menjawab.
🍁🍁🍁 Clara berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun satin merah yang membalut tubuhnya begitu pas, memperlihatkan setiap lekuk yang sempurna. Rambutnya tergerai indah, wangi parfum mahal menyelimuti tubuhnya. Ia tahu dirinya masih menarik. Ia tahu suaminya, David, dulu tak bisa mengalihkan pandangan saat melihatnya berdandan seperti ini. Tapi itu dulu. Dengan langkah perlahan, ia mendekati tempat tidur, tempat David berbaring sambil menatap layar ponselnya. Entah apa yang sedang dilihatnya, tapi sejak beberapa bulan terakhir, kebersamaan mereka terasa begitu hambar. Malam-malam yang dulu penuh gairah kini hanya tersisa sunyi dan jarak yang kian melebar. Clara naik ke ranjang, mendekatkan tubuhnya pada suaminya. Tangannya menyentuh bahu David, kemudian turun perlahan ke dadanya. “Sayang,” bisiknya, suaranya penuh kelembutan, “sudah lama sekali kita tidak bersama. Aku merindukanmu.” David menghela napas dan menurunkan ponselnya. Ia menatap Clara sejenak, lalu mema
🍁🍁🍁 Maria duduk di sofa ruang tamu dengan wajah penuh kekhawatiran. Matanya menatap tajam ke arah putranya, David, yang duduk di seberangnya dengan ekspresi keras kepala. Pembicaraan ini harus segera dilakukan, sebelum David dan Zoya bertindak terlalu jauh. "David, kasihanilah istrimu, Clara," ujar Maria dengan suara yang bergetar. "Dia sangat menderita melihatmu terus bersama wanita itu. Setiap malam dia menangis, setiap hari dia hidup dalam bayang-bayang pengkhianatanmu. Sudah cukup, Nak. Putuskan hubunganmu dengan Zoya." David menarik napas panjang, lalu menggeleng dengan mantap. "Aku tidak bisa, Bu. Aku mencintai Zoya, dan... dia sedang mengandung anakku." Maria terperanjat. Mata tuanya melebar dalam keterkejutan. "Apa?" suaranya hampir tak keluar. David menunduk, merasa bersalah tetapi tetap teguh pada pendiriannya. "Zoya hamil, Bu. Aku tidak bisa meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Anak itu adalah darah dagingku." Maria merasakan dadanya sesak. Ia tak pernah
🍁🍁🍁 David masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat, matanya langsung mencari sosok Clara. Ia baru saja mendapat pesan dari Zoya bahwa istrinya telah menamparnya dan membuat keributan di rumahnya. Begitu David menemukan Clara di ruang tamu, duduk dengan wajah tanpa penyesalan, amarah David meledak begitu saja. "Apa yang sudah kamu lakukan, Clara?" suaranya meninggi, sorot matanya tajam menuntut penjelasan. Clara menoleh dengan tenang, menyilangkan tangannya di depan dada. "Aku hanya memberikan pelajaran untuk perempuan murahan seperti Zoya. Dia pantas mendapatkannya." David menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Itu bukan alasan untuk menampar dan memakinya secara kasar! Apa kamu tidak berpikir dulu sebelum melakukan sesuatu?" Clara mendengus kesal. "Oh, jadi sekarang kamu membelanya? David, aku ini istrimu! Aku seharusnya menjadi prioritasmu, bukan dia!" Suaranya meninggi, kemarahannya terpancar jelas. "Ini bukan soal berpihak pada siapa. Ini soal bagai
🍁🍁🍁Siang itu, Clara berdiri di depan pintu rumah Zoya dengan napas memburu. Tangannya terkepal, dadanya bergejolak. Amarah menguasai dirinya sejak ia tahu bahwa Zoya, sahabatnya sendiri, telah merebut David, suami dari sahabatnya, Rina. Tak ada yang bisa membenarkan pengkhianatan seperti ini. Tanpa basa-basi, Clara mengetuk pintu dengan keras. Tak lama, Zoya muncul dengan senyum tipis di bibirnya. Mata tajamnya menyorot Clara, seolah sudah tahu alasan kedatangannya. "Clara," sapanya dengan suara santai. "Ada apa?" Tanpa menunggu jawaban, Clara mendorong Zoya hingga perempuan itu terhuyung ke belakang. "Kamu benar-benar perempuan tak tahu malu!" bentaknya. "Dari semua pria yang ada di luar sana, kenapa kau harus merayu suamiku? Apa aku pernah berbuat salah padamu sampai kamu tega melakukan ini?" Zoya mengusap lengannya yang terkena dorongan tadi, namun ia tetap tersenyum. "David lebih menarik dibanding pria-pria lajang di luar sana. Dia memesona, dewasa, dan tahu bagaimana memp