🍁🍁🍁
David masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat, matanya langsung mencari sosok Clara. Ia baru saja mendapat pesan dari Zoya bahwa istrinya telah menamparnya dan membuat keributan di rumahnya. Begitu David menemukan Clara di ruang tamu, duduk dengan wajah tanpa penyesalan, amarah David meledak begitu saja. "Apa yang sudah kamu lakukan, Clara?" suaranya meninggi, sorot matanya tajam menuntut penjelasan. Clara menoleh dengan tenang, menyilangkan tangannya di depan dada. "Aku hanya memberikan pelajaran untuk perempuan murahan seperti Zoya. Dia pantas mendapatkannya." David menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Itu bukan alasan untuk menampar dan memakinya secara kasar! Apa kamu tidak berpikir dulu sebelum melakukan sesuatu?" Clara mendengus kesal. "Oh, jadi sekarang kamu membelanya? David, aku ini istrimu! Aku seharusnya menjadi prioritasmu, bukan dia!" Suaranya meninggi, kemarahannya terpancar jelas. "Ini bukan soal berpihak pada siapa. Ini soal bagaimana kita bersikap sebagai orang dewasa!" David membalas dengan nada penuh frustrasi. "Kamu tidak bisa seenaknya mempermalukan orang lain di depan umum!" "Aku tidak peduli! Perempuan seperti dia pantas diperlakukan seperti itu!" Clara bangkit dari duduknya, mendekati suaminya dengan mata penuh emosi. "Aku ini istrimu, David. Aku yang berhak atas kesetiaanmu, bukan perempuan itu!" David menatapnya dengan ekspresi lelah. Dia tahu bahwa sejak awal Clara tidak pernah menyukai Zoya, sampai kapanpun dia tidak akan pernah mau menerima kehadiran orang ketiga didalam rumah tangganya. Tapi, David sudah terlanjur nyaman menjalin hubungan dengan Zoya. "Dengarkan ini baik-baik Clara. Jangan pernah ulangi lagi perbuatan buruk mu seperti tadi pada Zoya. Atau aku akan...." David menahan ucapannya. "Akan apa? Kamu akan menamparku juga huh? Ayo, tampar aku, tampar!" tantang Clara. Clara terdiam sejenak, tetapi wajahnya tetap keras. "Jadi kamu lebih peduli pada wanita murahan itu daripada perasaan istrimu?" David mengusap wajahnya dengan kesal. Ia lelah berdebat. "Aku tidak ingin bertengkar lebih jauh. Ini sudah cukup melelahkan." Clara menghela napas dalam, lalu tiba-tiba berkata, "Besok ulang tahun pernikahan kita yang ke lima. Aku ingin kita makan malam bersama." lirih Clara. Meski sedang marah pada suaminya, Clara masih mengharapkan sedikit perhatian dan kepedulian pria itu padanya. David menatap Clara, masih dengan ekspresi serius. "Aku tidak bisa berjanji. Pekerjaan di kantor sedang banyak." Clara mendengus kecil, lalu menatapnya penuh harap. "Tapi kamu akan berusaha meluangkan waktu untukku, kan?" David diam sejenak, lalu mengangguk. "Aku akan berusaha." Meskipun jawaban itu tidak sepenuhnya meyakinkan, Clara memilih untuk percaya. Mereka mungkin sering bertengkar, tapi ia masih berharap David akan tetap mengingat apa yang penting dalam hubungan mereka. Setidaknya, untuk satu malam saja. Namun, dalam hati kecilnya, Clara tahu bahwa bayang-bayang Zoya masih akan terus mengganggu ketenangan pernikahan mereka. *** Clara berdiri di depan cermin, memastikan setiap detail penampilannya sempurna. Gaun berwarna biru lembut yang membalut tubuhnya tampak anggun, riasan wajahnya tidak berlebihan tetapi cukup untuk menonjolkan kecantikannya. Rambut panjangnya yang bergelombang dibiarkan tergerai, menambah kesan elegan. Hari ini istimewa. David, suaminya, berjanji akan menjemputnya untuk makan malam romantis. Mereka sudah lama tidak memiliki waktu berkualitas bersama, dan Clara ingin segalanya berjalan dengan sempurna. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tetapi tidak ada tanda-tanda kehadiran David. Clara duduk di sofa ruang tamu, memainkan ponselnya sambil sesekali melirik ke arah pintu. Lima belas menit berlalu. Tiga puluh menit. Satu jam. Pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan. Mungkin David terjebak macet? Atau masih sibuk dengan pekerjaannya? Namun, rasa gelisah mulai menggerogoti hatinya. David seharusnya sudah memberitahunya jika ada keterlambatan. Dia mencoba menelepon, tetapi panggilannya langsung dialihkan ke pesan suara. Ketika hampir dua jam berlalu, ponselnya bergetar. Dengan cepat, Clara meraihnya, mengira itu pesan dari David. Namun, alisnya berkerut ketika melihat nama pengirimnya: Zoya. Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan itu. Sebuah foto terpampang di layar. Zoya, seorang wanita dengan senyum penuh kemenangan, tengah bersandar di dada David. Di belakang mereka, sebuah mobil mewah terparkir. Hati Clara terbakar api cemburu. Ia mengenali mobil itu—mobil baru. Dia mengingat sesuatu. Hari ini adalah ulang tahun Zoya. Jadi, David membelikan kekasih gelapnya sebuah mobil? Sementara dirinya, istrinya yang sah, dibiarkan menunggu di rumah tanpa kabar? Genggaman Clara pada ponselnya menguat. Napasnya memburu. Pengkhianatan ini bukan pertama kali ia curigai, tetapi melihat bukti nyata di depan mata tetap saja menghancurkan hatinya. Tangannya gemetar, dadanya terasa sesak. Air mata mulai mengalir di pipinya. Kemarahannya meledak. Clara bangkit dengan gemetar, lalu meraih vas bunga di meja dan melemparkannya ke lantai. Kaca berhamburan, tetapi itu tidak cukup untuk meredakan amarahnya. Dia mengangkat bingkai foto pernikahan mereka dan membantingnya ke dinding. Suara pecahan kaca memenuhi ruangan. Tanpa pikir panjang, ia menendang meja, menjatuhkan lilin aroma terapi yang sebelumnya menyala di atasnya. Sofa yang sebelumnya rapi kini berantakan akibat pukulan tangannya yang penuh emosi. Dia tak peduli. Hatinya sudah terlalu sakit untuk memikirkan hal lain selain rasa kecewa yang begitu mendalam. Clara jatuh terduduk di lantai, menangis tanpa suara. Selama ini ia bertahan dengan harapan bahwa David masih mencintainya. Namun, malam ini ia sadar—ia hanya menunggu sesuatu yang tidak akan pernah kembali. Cintanya telah diinjak-injak, dan ia tidak bisa lagi membohongi dirinya sendiri. Sementara itu, ponselnya kembali bergetar di atas meja. Kali ini, nama yang muncul di layar adalah David. Namun, Clara tidak lagi peduli. Dia meraih ponsel itu, menatapnya sesaat, lalu dengan satu gerakan cepat, ia melemparkannya ke dinding. Malam yang seharusnya indah berubah menjadi kehancuran. Kini, yang tersisa hanyalah rasa sakit dan keputusan yang harus diambil. Clara tahu, ini adalah titik di mana ia harus memilih—bertahan dalam pengkhianatan atau pergi demi menyelamatkan harga dirinya sendiri. *** Maria turun dari taksi dengan langkah mantap. Tangannya membawa sekantong buah sebagai buah tangan untuk Clara, menantunya. Namun, senyumnya memudar begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah Clara. Mata tuanya langsung menangkap pemandangan yang tidak biasa: ruang tamu berantakan, bantal sofa berserakan di lantai, dan meja yang biasanya rapi kini dipenuhi tumpukan tisu bekas. Di tengah kekacauan itu, Clara terduduk di lantai. Bahunya terguncang karena tangis yang tak tertahan. Maria mengerutkan kening, rasa khawatir langsung menyergap hatinya. Ia bergegas mendekat dan berjongkok di depan Clara, tangannya yang penuh keriput meraih bahu menantunya dengan lembut. "Clara, apa yang terjadi? Ada masalah?" Suaranya penuh kepedulian, namun juga mengandung nada cemas. Clara mendongak perlahan, matanya sembab dan hidungnya memerah. Dengan suara parau, ia berusaha menjawab. "Ibu... David... dia selingkuh. Dengan Zoya." Maria terdiam sesaat, otaknya memproses kata-kata Clara yang seperti bom waktu. Ia menatap menantunya, berharap ada kesalahan dalam ucapan itu. Namun, Clara merogoh ponselnya dengan tangan gemetar, lalu menyerahkan kepada Maria. Maria menatap layar, membaca pesan-pesan dari Zoya. Matanya membulat, dada sesak oleh emosi yang bercampur aduk. Pesan-pesan itu terlalu jelas untuk disangkal. Tidak ada keraguan. David, anak laki-lakinya, telah mengkhianati Clara dengan sahabatnya sendiri. Darah Maria mendidih. Ia merasa marah, kecewa, dan terluka sekaligus. Matanya yang biasanya lembut kini penuh kemarahan. Bagaimana bisa David melakukan ini? Bagaimana bisa ia mengkhianati istrinya yang begitu baik, yang selama ini telah berkorban demi rumah tangga mereka? Maria merasa malu. Sebagai seorang ibu, ia merasa telah gagal mendidik putranya menjadi pria yang bertanggung jawab. Maria menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan emosinya. Ia menatap Clara yang masih tersedu. Ia mengulurkan tangan, menyentuh kepala menantunya dengan penuh kasih sayang. "Clara, maafkan aku," ucapnya lirih. "Aku yang membawamu ke dalam keluarga ini. Aku yang memilihmu untuk David, karena aku tahu kau gadis yang baik. Tapi ternyata aku salah menilai putraku sendiri." Clara menggeleng. "Ini bukan salah Ibu. Aku hanya tidak menyangka... Zoya sahabatku sendiri..." Tangisnya pecah kembali. Maria menarik Clara ke dalam pelukannya. "Kamu tidak sendiri, Nak. Aku ada di sini bersamamu. Aku akan bicara dengan David. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja." Dalam hati, Maria bersumpah. Ia tidak akan membiarkan Clara menghadapi ini sendirian. Jika David memilih untuk menghancurkan rumah tangganya, maka ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Sebagai seorang ibu, Maria akan menegakkan keadilan bagi Clara, menantunya yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri. Akankah Maria berhasil membantu menantunya? apakah David akan patuh pada omongan Ibunya? Bersambung....🍁🍁🍁 Maria duduk di sofa ruang tamu dengan wajah penuh kekhawatiran. Matanya menatap tajam ke arah putranya, David, yang duduk di seberangnya dengan ekspresi keras kepala. Pembicaraan ini harus segera dilakukan, sebelum David dan Zoya bertindak terlalu jauh. "David, kasihanilah istrimu, Clara," ujar Maria dengan suara yang bergetar. "Dia sangat menderita melihatmu terus bersama wanita itu. Setiap malam dia menangis, setiap hari dia hidup dalam bayang-bayang pengkhianatanmu. Sudah cukup, Nak. Putuskan hubunganmu dengan Zoya." David menarik napas panjang, lalu menggeleng dengan mantap. "Aku tidak bisa, Bu. Aku mencintai Zoya, dan... dia sedang mengandung anakku." Maria terperanjat. Mata tuanya melebar dalam keterkejutan. "Apa?" suaranya hampir tak keluar. David menunduk, merasa bersalah tetapi tetap teguh pada pendiriannya. "Zoya hamil, Bu. Aku tidak bisa meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Anak itu adalah darah dagingku." Maria merasakan dadanya sesak. Ia tak pernah
🍁🍁🍁 Clara berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun satin merah yang membalut tubuhnya begitu pas, memperlihatkan setiap lekuk yang sempurna. Rambutnya tergerai indah, wangi parfum mahal menyelimuti tubuhnya. Ia tahu dirinya masih menarik. Ia tahu suaminya, David, dulu tak bisa mengalihkan pandangan saat melihatnya berdandan seperti ini. Tapi itu dulu. Dengan langkah perlahan, ia mendekati tempat tidur, tempat David berbaring sambil menatap layar ponselnya. Entah apa yang sedang dilihatnya, tapi sejak beberapa bulan terakhir, kebersamaan mereka terasa begitu hambar. Malam-malam yang dulu penuh gairah kini hanya tersisa sunyi dan jarak yang kian melebar. Clara naik ke ranjang, mendekatkan tubuhnya pada suaminya. Tangannya menyentuh bahu David, kemudian turun perlahan ke dadanya. “Sayang,” bisiknya, suaranya penuh kelembutan, “sudah lama sekali kita tidak bersama. Aku merindukanmu.” David menghela napas dan menurunkan ponselnya. Ia menatap Clara sejenak, lalu mem
🍁🍁🍁 Pintu rumah terbuka perlahan, Clara melangkah masuk dengan wajah kusut serta raut kelelahan yang sulit disembunyikan. Clara menarik napas panjang sebelum menutup pintu di belakangnya. Langkahnya berat, seolah beban yang dipikulnya terlalu besar untuk ditanggung sendirian. Maria, ibu mertuanya, yang sedang duduk di ruang tamu, langsung menoleh begitu mendengar suara pintu terbuka. Wajahnya penuh kekhawatiran. Semalaman ia dan David, suami Clara, mencarinya ke berbagai tempat, tetapi tak ada jejak yang bisa ditemukan. "Dari mana saja kamu, Clara?" tanya Maria dengan nada lembut, namun penuh keprihatinan. Matanya menelusuri wajah menantunya yang tampak begitu letih. Clara menunduk, menghindari tatapan ibu mertuanya. "Aku pergi ke rumah temanku," jawabnya lirih. "Aku sedang butuh ketenangan sebentar." Maria menghela napas. Ia sudah menebak sesuatu pasti terjadi antara Clara dan David. "Kalian bertengkar tadi malam, bukan?" duganya dengan nada penuh pengertian. Clara tak l
🍁🍁🍁 Clara melangkah masuk ke dalam kafe dengan langkah ragu. Aroma kopi yang khas memenuhi ruangan, bercampur dengan suara pelan musik akustik yang mengalun di latar belakang. Ia menoleh ke arah salah satu sudut ruangan, dan di sanalah Erick duduk, menunggunya dengan tatapan tajam yang sulit diartikan. Dengan hati berdebar, Clara menghampiri meja itu dan duduk di hadapannya. Erick tampak tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Clara merasa gelisah. "Apa yang mau kamu sampaikan?" tanya Clara, suaranya datar tetapi penuh waspada. Erick menarik napas dalam sebelum menjawab, "Maukah kamu menjadi kekasihku lagi? Aku masih mencintaimu sama seperti dulu." Clara membelalakkan mata. Ia tidak menduga Erick akan langsung mengatakan hal seperti itu tanpa basa-basi. Ia merasa lidahnya kelu, tetapi kemudian ia memaksakan diri untuk berbicara. "Apa kamu gila? Aku sudah bersuami, kamu tahu kan?" Erick mengangguk pelan, tetapi bukannya surut, ia justru menatap Clara le
🍁🍁🍁 Clara melangkah masuk ke dalam kantor suaminya, David. Tumit sepatunya berdetak di lantai marmer yang mengkilap, menggema di antara keheningan yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Para pegawai yang sedang bekerja menghentikan aktivitas mereka, menoleh ke arahnya dengan tatapan pilu. Ia bisa merasakan bisik-bisik di antara mereka, sorot mata mereka yang mencerminkan iba. Mungkin mereka semua sudah tahu. Mungkin mereka telah melihat sendiri bagaimana suaminya, pria yang telah bersamanya bertahun-tahun, kini beralih pada wanita lain. Wanita secantik dan sebaik Clara, diselingkuhi oleh pria yang pernah ia percaya sepenuh hati. Matanya langsung tertuju pada seorang wanita yang berdiri di tengah ruangan dengan sikap angkuh, seolah dia adalah ratu di tempat ini. Zoya. Wanita itu tampak begitu nyaman, bahkan lebih dari pemilik kantor yang sebenarnya. Dengan gaun elegan yang membalut tubuhnya, dengan raut wajah penuh kemenangan, seakan menegaskan bahwa tempat ini, juga suaminya, kini
🍁🍁🍁Malam itu, angin berhembus kencang di atas jembatan tua yang sepi. Bulan samar-samar tertutup awan, seakan enggan menyaksikan penderitaan seorang wanita yang berdiri di tepi pagar jembatan, menatap ke dalam kegelapan di bawahnya. Clara menggenggam pagar besi dengan erat, hatinya bergejolak dalam keputusasaan. Air matanya sudah kering, namun luka di hatinya semakin menganga.Pernikahannya dengan David yang dulu penuh cinta kini hancur berkeping-keping. Perselingkuhan yang dilakukan suaminya telah mencabik-cabik hatinya hingga ia merasa tak lagi punya tempat di dunia ini. Tak ada gunanya bertahan. Tak ada lagi alasan untuk hidup.Saat ia hendak melangkah ke jurang kegelapan, tiba-tiba sebuah tangan kuat menariknya ke belakang. Tubuhnya terhuyung, dan dalam sekejap ia terjatuh ke dalam dekapan seseorang. Clara mendongak, dan matanya bertemu dengan sepasang mata penuh kepedulian. Itu Erick."Clara, apa yang sedang kamu lakukan?" suara Erick bergetar, mencerminkan keterkejutan dan k
🍁🍁🍁Clara mencoba untuk menata Hidupnya yang semula hancur berkeping-keping akibat pengkhianatan David. Dia tak mau lagi menangisi pria yang telah memilih menikah lagi dengan Zoya. Baginya, semua sudah berlalu, dan tak ada gunanya terus meratapi nasib. Kini saatnya dia fokus pada dirinya sendiri, membahagiakan dirinya tanpa perlu mengandalkan siapa pun.Dengan uang yang selama ini ia simpan untuk masa depan bersama David, Clara memutuskan untuk menggunakannya. Apa gunanya menimbun uang untuk seseorang yang telah mengkhianatinya? Apalagi, dia tahu bahwa Zoya juga menghabiskan uang David dengan seenaknya. Maka, Clara pun memutuskan untuk memanjakan dirinya, mengubah penampilan agar terlihat lebih fresh, muda, dan cantik.Langkah pertamanya adalah pergi ke salon rambut. Ia memilih potongan rambut baru yang lebih modern, mencerminkan kepribadiannya yang kini lebih percaya diri dan mandiri. Tak hanya itu, ia juga memilih warna rambut yang berbeda dari sebelumnya, sesuatu yang lebih bera
🍁🍁🍁Clara melangkah masuk ke dalam kafe dengan hati sedikit berdebar. Aroma kopi yang khas segera menyambutnya, membangkitkan kenangan yang terlalu manis untuk diabaikan. Di sudut ruangan, di meja yang biasa mereka duduki, Erick sudah menunggu dengan secangkir espresso di depannya. Saat matanya bertemu dengan tatapan pria itu, Clara merasakan sesuatu yang hangat merayapi hatinya. Erick masih sama seperti dulu—perhatian, penuh kepedulian, dan selalu bisa membaca ekspresinya dengan mudah.“Clara.” Erick tersenyum, menarik kursi untuknya. “Bagaimana liburanmu?”Clara duduk dengan helaan napas panjang, menatap cangkir kopinya yang baru saja disajikan. “Baik,” jawabnya singkat. “Aku sempat berpikir, mungkin setelah perjalanan ini, semuanya akan terasa lebih baik.”“Dan? Apakah itu berhasil?” Erick mencondongkan tubuhnya, menunggu jawaban yang lebih jujur.Clara menggeleng pelan. “Aku berharap bisa pulang dengan perasaan lebih ringan. Tapi ternyata, tidak ada yang berubah.” Ia tersenyum
Agnes melangkah masuk ke dalam ruangan dengan wajah lesu. Thomas, yang sedang duduk santai di sofa dengan segelas wine di tangannya, menatapnya sekilas sebelum kembali menyesap minumannya. “Kamu terlihat seperti orang yang kalah,” sindir Thomas tanpa basa-basi. Agnes mendesah panjang, lalu menjatuhkan diri ke sofa di seberangnya. “Aku memang kalah, Tom. Aku menyerah.” Thomas menaikkan satu alisnya. “Menyerah? Sejak kapan Agnes yang kukenal tahu artinya menyerah?” Agnes menyandarkan kepalanya ke belakang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. “Sejak aku sadar bahwa aku tidak akan pernah bisa menyentuh perempuan itu.” Thomas mulai tertarik. Dia meletakkan gelasnya dan bersandar, menunggu penjelasan lebih lanjut. “Clara benar-benar beruntung,” lanjut Agnes dengan suara getir. “Ada dua pria yang menjaganya dengan nyawa mereka. Erick, suaminya sekarang. Dan David… mantan suaminya yang jelas-jelas masih punya rasa.” Mata Thomas melebar. “Clara? Tunggu… Clara yang kau ma
"Hatchii!" Zoya buru-buru menutup mulutnya dengan tisu. Ia mengerutkan kening. Katanya kalau bersin tiba-tiba, itu tandanya ada seseorang yang sedang membicarakannya. Entah siapa, tapi dia malas memikirkannya lebih jauh. Yang jelas, hari ini dia hanya ingin menikmati waktunya tanpa gangguan. Duduk di sofa ruang tamunya yang luas, Zoya melirik ke arah putranya yang tengah bermain dengan Sus Juni. Bocah kecil itu tertawa riang, membuat hati Zoya sedikit tenang meski tubuhnya masih terasa lelah. Lelah bukan hanya karena kurang tidur, tetapi juga karena pekerjaannya yang menuntutnya untuk selalu tampak menggoda dan siap memanjakan para pria hidung belang. Hari ini, dia memutuskan untuk mengambil libur beberapa hari. Dia butuh istirahat, butuh waktu hanya untuk dirinya sendiri dan anaknya. Tidak ada pria yang menjamahnya, tidak ada tuntutan untuk bersikap manis atau mengobral senyum palsu. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat. Tok! Tok! Tok!Zoya mengernyit. Siapa yang dat
Clara duduk di salah satu sudut ruang tamu, memperhatikan dengan sedikit canggung interaksi antara dua pria yang pernah dan masih mengisi hidupnya—David, mantan suaminya, dan Erick, suami keduanya. Tidak ada ketegangan di antara mereka, justru sebaliknya. Mereka terlihat terlalu akrab untuk ukuran dua pria yang pernah berada dalam hidup wanita yang sama. Dan semua ini gara-gara Agnes. Wanita itu telah membuat hidup Clara seperti roller coaster dalam beberapa minggu terakhir. Dari percobaan mencelakainya hingga berbagai intrik yang membuatnya hampir kehilangan kewarasannya. Namun yang membuatnya lebih bingung adalah kenyataan bahwa kini David dan Erick justru mendiskusikan Agnes dengan nada yang begitu santai, seakan mereka sedang membicarakan cuaca. Samar-samar, Clara menangkap percakapan mereka. "Agnes itu cantik, kaya... Kenapa dia tidak mencari pria single saja untuk diganggu?" ucap David dengan nada heran. Clara menajamkan pendengarannya. Agnes memang punya segalanya—kec
Agnes duduk di depan cermin riasnya, menatap bayangan dirinya yang sempurna. Wajahnya tanpa cela, dengan hidung mancung, bibir penuh, dan mata tajam yang selalu berhasil menundukkan pria mana pun. Tubuhnya langsing dengan lekukan yang didambakan banyak wanita. Ia adalah model papan atas, seorang pengusaha sukses di industri kecantikan, wanita yang memiliki segalanya—harta, kecantikan, dan status sosial. Tapi kenapa… kenapa seorang Clara, wanita biasa yang hanya seorang ibu rumah tangga, bisa mendapatkan sesuatu yang tidak bisa Agnes miliki? Cinta. Bukan sekadar cinta biasa, tetapi cinta yang ugal-ugalan, menggebu-gebu, liar. Dua pria sekaligus menggilai Clara seperti hidup mereka bergantung padanya. Erick, pria berkarisma dengan latar belakang bisnis kuat, dan David, lelaki dengan aura bad boy yang liar namun memikat. Mereka berdua rela berseteru demi seorang Clara. Clara yang bukan siapa-siapa. Agnes mengepalkan jemarinya. Ia mengenal Dion, bahkan pernah mendekatinya. Namun
Agnes melangkah masuk ke dalam apartemen Vano dengan emosi yang meluap-luap. Langkahnya berat, penuh kemarahan yang siap meledak kapan saja. Begitu pintu tertutup di belakangnya, tatapannya langsung menembak Vano yang tengah duduk santai di sofa. "Dasar pria bodoh!" bentaknya, membuat Vano nyaris tersedak minuman yang baru saja diteguknya. "A-Agnes?" Vano tergagap, buru-buru meletakkan gelasnya di atas meja. "Ada apa?" Agnes melangkah cepat ke arahnya, wajahnya merah padam menahan amarah. "Aku mempercayakan tugas ini padamu, Vano! Tapi apa yang kau lakukan? Dua kali kesempatan emas dan kau menyia-nyiakannya!" Vano menghela napas, mencoba meredakan ketegangan. "Dengar, Agnes, aku sudah berusaha. Tapi Clara selalu lolos! Dia beruntung!" "Beruntung?" Agnes tertawa sinis. "Kamu pikir ini soal keberuntungan? Ini soal ketidakbecusanmu, Vano!" Wanita itu menjatuhkan tasnya ke sofa, lalu menatapnya dengan mata menyala.Vano menundukkan kepala, merasa terpojok. Dia tahu Agnes tidak a
David turun dari mobil lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk ibunya, Maria. Wanita itu tampak sedikit gugup, mungkin karena ini pertama kalinya ia datang ke rumah mantan menantunya setelah pernikahan Clara dengan Erick. "Apa kamu yakin tidak merepotkan?" tanya Maria pelan, matanya menatap David dengan ragu. "Clara adalah mantan istriku, dan aku peduli padanya," jawab David tegas. "Lagipula, aku ingin Erick sadar kalau ada ancaman nyata di sekitar istrinya." Maria mengangguk, lalu mengikuti langkah putranya menuju pintu utama. Mereka disambut oleh seorang pelayan yang segera mempersilakan mereka masuk. Tak lama, Erick muncul dari ruang tamu dengan ekspresi waspada. "David," sapanya singkat, lalu menoleh ke Maria. "Bu Maria." Maria tersenyum tipis, sedikit canggung. "Kami datang untuk menjenguk Clara. Bagaimana keadaannya?" "Dia baik-baik saja," Erick menjawab, melirik sekilas ke arah David seakan mengawasi gerak-geriknya. Baru saja mereka hendak melangkah menuju kamar C
Erick menatap David dengan tatapan penuh selidik. Di depannya, pria itu tampak serius, seolah apa yang baru saja diucapkannya bukanlah lelucon.Tempo hari, David memberi laporan kalau Agnes berencana melakukan hal jahat pada Clara. Tapi hingga saat ini Erick tidak memberikan perlindungan ketat pada Clara. Wanita itu bahkan diperbolehkan keluar rumah tanpa pengawalan.“Aku masih ragu Agnes berani mencelakai clara,” Erick mengulang ucapan David dengan nada skeptis. “Aku rasa dia tidak sejahat itu.” David menghela napas panjang, tampak frustrasi dengan reaksi Erick. “Aku tidak bercanda, Erick. Aku mendengarnya sendiri. Agnes tidak terima kau memilih Clara, dan dia berniat melakukan sesuatu untuk menyingkirkannya.” Erick mengusap wajahnya, mencoba meredam gejolak pikirannya. Dia mengenal Agnes cukup lama. Wanita itu memang keras kepala, emosional, bahkan terkadang sulit dikendalikan. Tapi mencelakai seseorang? Itu terdengar terlalu berlebihan. “Kamu tahu sendiri Agnes bukan tipe ora
Agnes menggenggam erat cup kopi di tangannya, merasakan amarah yang membakar dadanya. Dari kejauhan, ia baru saja menyaksikan pemandangan yang membuatnya muak—Erick dan Clara berjalan berdampingan, tertawa bersama sambil memilih perlengkapan bayi di sebuah toko mewah. Clara terlihat cantik dalam balutan dress longgar yang menutupi perutnya yang mulai membesar. Erick, seperti seorang suami yang sempurna, menggandeng tangan istrinya dengan lembut, sesekali membantu Clara memilihkan barang-barang. Mereka tampak begitu mesra, begitu harmonis—sesuatu yang Agnes harap sudah hancur sejak lama. Namun nyatanya, semua rencana yang ia susun untuk memisahkan mereka tidak membuahkan hasil. Pesan-pesan misterius yang dikirimkan pada Clara, fitnah yang ia sebarkan, bahkan jebakan-jebakan kecil yang ia buat agar mereka saling curiga, semuanya gagal total. Rumah tangga mereka masih berdiri kokoh, seakan tak tergoyahkan. Agnes merasakan pahitnya kegagalan. Ia menggigit bibirnya, menahan kekesalan
Clara terbaring lemah di atas ranjang, tubuhnya terasa lemas karena kehamilan mudanya yang disertai mual dan pusing berkepanjangan. Matanya yang biasanya berbinar kini tampak sayu, tetapi ada kehangatan di dalamnya saat menatap suaminya, Erick, yang dengan sabar merawatnya sejak pagi. "Sayang, makan dulu ya," ucap Erick lembut, menyuapkan sesendok bubur hangat ke mulut Clara. Clara tersenyum tipis sebelum membuka mulutnya. "Aku bisa makan sendiri, kok." "Tidak perlu. Aku senang merawatmu," jawab Erick sambil menyuapkan lagi dengan penuh perhatian. Setelah menghabiskan makanannya, Erick segera mengambil segelas air dan sebuah pil vitamin kehamilan. "Ini, minum dulu biar tubuhmu tetap kuat." Clara meneguk air itu perlahan, menikmati setiap perhatian yang diberikan suaminya. Sejak mereka tahu bahwa dirinya hamil, Erick berubah menjadi sosok yang semakin lembut dan protektif. Bahkan untuk hal sekecil apa pun, pria itu tidak mau membiarkannya melakukan sendiri. Tak lama kemudia