🍁🍁🍁 Hujan turun deras di luar, menampar kaca jendela dengan irama yang kacau. Langit malam menghitam pekat, seakan turut menggambarkan suasana hati Clara yang diliputi kekecewaan. Dia berdiri di depan meja makan, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya, menahan gemetar yang perlahan merayap ke sekujur tubuhnya. Di hadapannya, David duduk dengan ekspresi kosong, matanya merah, bukan karena tangis, tetapi karena amarah yang dipendam terlalu lama. “David, aku sudah bilang padamu. Aku sudah periksa ke dokter spesialis. Tidak ada yang salah denganku, aku subur. Kita hanya perlu bersabar dan berusaha lebih keras lagi agar bisa punya anak,” suara Clara bergetar, mencoba menjelaskan untuk kesekian kalinya. David menegakkan tubuhnya, menatap istrinya dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Lima tahun, Clara. Lima tahun kita menikah, dan masih belum ada tanda-tanda. Kamu pikir aku bisa terus bersabar?” Clara menggigit bibirnya, menahan air mata yang mengancam jatuh. “Bersabarlah, D
🍁🍁🍁Clara duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong, matanya terpaku pada jam dinding yang terus berdetak. Pukul sepuluh malam, dan sekali lagi David belum pulang. Ini bukan pertama kalinya—sudah berbulan-bulan pria itu sering menghabiskan malam di luar rumah, terutama saat akhir pekan. Dulu, mereka selalu menghabiskan waktu bersama, pergi makan malam, atau sekadar menonton film di rumah sambil berbincang ringan. Tapi sekarang, semua itu tinggal kenangan.David berubah. Dia menjadi dingin, cuek, dan seolah tak lagi peduli pada Clara. Saat di rumah pun, dia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar kerja atau sibuk dengan ponselnya. Setiap kali Clara mencoba mendekatinya, pria itu selalu memiliki alasan untuk menghindar.Malam itu, saat Clara akhirnya mendengar suara kunci pintu diputar, hatinya berdebar. David masuk dengan wajah lelah, tanpa menatapnya, dia langsung berjalan menuju kamar. Clara menarik napas dalam, mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Dia tak bisa terus berpura-
🍁🍁🍁Sore itu, Clara masak makanan kesukaan David dalam jumlah banyak. Dia ingin memanjakan suaminya dimulai dari memasak makanan yang pria itu sukai. Saat David pulang kantor, dia langsung menyambut dan menggiringnya pergi ke ruang makan untuk makan bersama."Sayang, aku sudah masak makanan kesukaan kamu loh. Ayo kita makan bersama," Clara menyunggingkan senyum manis."Kamu saja dulu yang makan, aku sudah kenyang. Aku tadi mampir makan di luar bersama dengan teman-temanku," sahut David dengan nada malas dan datar. Matanya menyiratkan pesan kalau dia enggan mengobrol dengan Clara.Clara terdiam, dia duduk di sudut kamarnya dengan hati yang tak karuan. Sudah beberapa minggu terakhir, David berubah. Pria yang dulu penuh perhatian dan selalu membuatnya merasa istimewa kini terasa cuek juga dingin. Pertemuan mereka semakin jarang, dan bahkan ketika bersama, David lebih sering sibuk dengan ponselnya daripada berbincang dengannya.Awalnya, Clara mencoba mengabaikan perubahan itu. Dia meya
🍁🍁🍁Clara kembali ke rumah dengan hati hancur lebur, matanya bengkak karena terlalu lama menangis, tubuhnya lemas seperti tidak ada semangat untuk melanjutkan hidup. Dia baru saja melihat dengan mata kepalanya sendiri suaminya, David, masuk ke dalam sebuah hotel bersama seorang wanita. Wanita itu adalah Zoya, seseorang yang Clara kenal sebagai rekan kerja David. Tangannya gemetar saat menggenggam ponselnya, sementara dadanya terasa sesak. Ia tak ingin percaya, namun kenyataan terpampang jelas di depan matanya.Malam harinya, David pulang ke rumah, Clara langsung menghadangnya di ruang tamu. Matanya menatap penuh dendam dan emosi, suaranya bergetar saat ia berbicara.“David, aku melihatmu masuk ke sebuah hotel bersama Zoya lagi tadi.” suara Clara dipenuhi kemarahan dan kesedihan.David menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke sofa seolah lelah dengan semua ini. “Clara, aku bisa menjelaskan—”“Jelaskan apa? Aku melihatmu dengan Zoya begitu mesra. Kalian berdua berpelukan, ber
🍁🍁🍁Setelah dua malam tidak pulang ke rumah dan menghilang tanpa kabar. Akhirnya malam itu, David pulang ke rumah. Dia langsung masuk kamar, dan bersiap untuk mandi. Clara menyusul suaminya ke kamar, dia melihat pria itu melepas kemeja yang dikenakannya. Clara menatap suaminya dengan dada sesak. Matanya terpaku pada leher David yang penuh dengan bekas merah. Ada beberapa cakaran samar di lengan dan punggungnya. "Apa ini, David?" suara Clara bergetar, amarah bercampur dengan kepedihan. David, yang baru saja pulang, hanya melirik sekilas ke arah istrinya. Ia meletakkan tas kerja di meja dan menyesap air mineral dari botol yang diambil dari kulkas. "Kamu tahu apa ini, Clara. Jangan berpura-pura tidak mengerti." Clara mengepalkan tangannya. Dadanya bergemuruh, seakan jantungnya ingin meledak. "Jadi sekarang Zoya sudah berani meninggalkan tanda-tanda seperti ini di tubuhmu? Tanpa rasa malu? Tanpa rasa takut? Seolah dia yang lebih berhak atas dirimu dibanding aku, istrimu?" David me
🍁🍁🍁Siang itu, Clara berdiri di depan pintu rumah Zoya dengan napas memburu. Tangannya terkepal, dadanya bergejolak. Amarah menguasai dirinya sejak ia tahu bahwa Zoya, sahabatnya sendiri, telah merebut David, suami dari sahabatnya, Rina. Tak ada yang bisa membenarkan pengkhianatan seperti ini. Tanpa basa-basi, Clara mengetuk pintu dengan keras. Tak lama, Zoya muncul dengan senyum tipis di bibirnya. Mata tajamnya menyorot Clara, seolah sudah tahu alasan kedatangannya. "Clara," sapanya dengan suara santai. "Ada apa?" Tanpa menunggu jawaban, Clara mendorong Zoya hingga perempuan itu terhuyung ke belakang. "Kamu benar-benar perempuan tak tahu malu!" bentaknya. "Dari semua pria yang ada di luar sana, kenapa kau harus merayu suamiku? Apa aku pernah berbuat salah padamu sampai kamu tega melakukan ini?" Zoya mengusap lengannya yang terkena dorongan tadi, namun ia tetap tersenyum. "David lebih menarik dibanding pria-pria lajang di luar sana. Dia memesona, dewasa, dan tahu bagaimana memp
🍁🍁🍁 David masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat, matanya langsung mencari sosok Clara. Ia baru saja mendapat pesan dari Zoya bahwa istrinya telah menamparnya dan membuat keributan di rumahnya. Begitu David menemukan Clara di ruang tamu, duduk dengan wajah tanpa penyesalan, amarah David meledak begitu saja. "Apa yang sudah kamu lakukan, Clara?" suaranya meninggi, sorot matanya tajam menuntut penjelasan. Clara menoleh dengan tenang, menyilangkan tangannya di depan dada. "Aku hanya memberikan pelajaran untuk perempuan murahan seperti Zoya. Dia pantas mendapatkannya." David menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Itu bukan alasan untuk menampar dan memakinya secara kasar! Apa kamu tidak berpikir dulu sebelum melakukan sesuatu?" Clara mendengus kesal. "Oh, jadi sekarang kamu membelanya? David, aku ini istrimu! Aku seharusnya menjadi prioritasmu, bukan dia!" Suaranya meninggi, kemarahannya terpancar jelas. "Ini bukan soal berpihak pada siapa. Ini soal bagai
🍁🍁🍁 Maria duduk di sofa ruang tamu dengan wajah penuh kekhawatiran. Matanya menatap tajam ke arah putranya, David, yang duduk di seberangnya dengan ekspresi keras kepala. Pembicaraan ini harus segera dilakukan, sebelum David dan Zoya bertindak terlalu jauh. "David, kasihanilah istrimu, Clara," ujar Maria dengan suara yang bergetar. "Dia sangat menderita melihatmu terus bersama wanita itu. Setiap malam dia menangis, setiap hari dia hidup dalam bayang-bayang pengkhianatanmu. Sudah cukup, Nak. Putuskan hubunganmu dengan Zoya." David menarik napas panjang, lalu menggeleng dengan mantap. "Aku tidak bisa, Bu. Aku mencintai Zoya, dan... dia sedang mengandung anakku." Maria terperanjat. Mata tuanya melebar dalam keterkejutan. "Apa?" suaranya hampir tak keluar. David menunduk, merasa bersalah tetapi tetap teguh pada pendiriannya. "Zoya hamil, Bu. Aku tidak bisa meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Anak itu adalah darah dagingku." Maria merasakan dadanya sesak. Ia tak pernah
🍁🍁🍁Clara mencoba untuk menata Hidupnya yang semula hancur berkeping-keping akibat pengkhianatan David. Dia tak mau lagi menangisi pria yang telah memilih menikah lagi dengan Zoya. Baginya, semua sudah berlalu, dan tak ada gunanya terus meratapi nasib. Kini saatnya dia fokus pada dirinya sendiri, membahagiakan dirinya tanpa perlu mengandalkan siapa pun.Dengan uang yang selama ini ia simpan untuk masa depan bersama David, Clara memutuskan untuk menggunakannya. Apa gunanya menimbun uang untuk seseorang yang telah mengkhianatinya? Apalagi, dia tahu bahwa Zoya juga menghabiskan uang David dengan seenaknya. Maka, Clara pun memutuskan untuk memanjakan dirinya, mengubah penampilan agar terlihat lebih fresh, muda, dan cantik.Langkah pertamanya adalah pergi ke salon rambut. Ia memilih potongan rambut baru yang lebih modern, mencerminkan kepribadiannya yang kini lebih percaya diri dan mandiri. Tak hanya itu, ia juga memilih warna rambut yang berbeda dari sebelumnya, sesuatu yang lebih bera
🍁🍁🍁Malam itu, angin berhembus kencang di atas jembatan tua yang sepi. Bulan samar-samar tertutup awan, seakan enggan menyaksikan penderitaan seorang wanita yang berdiri di tepi pagar jembatan, menatap ke dalam kegelapan di bawahnya. Clara menggenggam pagar besi dengan erat, hatinya bergejolak dalam keputusasaan. Air matanya sudah kering, namun luka di hatinya semakin menganga.Pernikahannya dengan David yang dulu penuh cinta kini hancur berkeping-keping. Perselingkuhan yang dilakukan suaminya telah mencabik-cabik hatinya hingga ia merasa tak lagi punya tempat di dunia ini. Tak ada gunanya bertahan. Tak ada lagi alasan untuk hidup.Saat ia hendak melangkah ke jurang kegelapan, tiba-tiba sebuah tangan kuat menariknya ke belakang. Tubuhnya terhuyung, dan dalam sekejap ia terjatuh ke dalam dekapan seseorang. Clara mendongak, dan matanya bertemu dengan sepasang mata penuh kepedulian. Itu Erick."Clara, apa yang sedang kamu lakukan?" suara Erick bergetar, mencerminkan keterkejutan dan k
Clara melangkah masuk ke dalam kantor suaminya, David. Tumit sepatunya berdetak di lantai marmer yang mengkilap, menggema di antara keheningan yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Para pegawai yang sedang bekerja menghentikan aktivitas mereka, menoleh ke arahnya dengan tatapan pilu. Ia bisa merasakan bisik-bisik di antara mereka, sorot mata mereka yang mencerminkan iba.Mungkin mereka semua sudah tahu. Mungkin mereka telah melihat sendiri bagaimana suaminya, pria yang telah bersamanya bertahun-tahun, kini beralih pada wanita lain. Wanita secantik dan sebaik Clara, diselingkuhi oleh pria yang pernah ia percaya sepenuh hati.Matanya langsung tertuju pada seorang wanita yang berdiri di tengah ruangan dengan sikap angkuh, seolah dia adalah ratu di tempat ini. Zoya. Wanita itu tampak begitu nyaman, bahkan lebih dari pemilik kantor yang sebenarnya. Dengan gaun elegan yang membalut tubuhnya, dengan raut wajah penuh kemenangan, seakan menegaskan bahwa tempat ini, juga suaminya, kini adalah mil
Clara melangkah masuk ke dalam kafe dengan langkah ragu. Aroma kopi yang khas memenuhi ruangan, bercampur dengan suara pelan musik akustik yang mengalun di latar belakang. Ia menoleh ke arah salah satu sudut ruangan, dan di sanalah Erick duduk, menunggunya dengan tatapan tajam yang sulit diartikan.Dengan hati berdebar, Clara menghampiri meja itu dan duduk di hadapannya. Erick tampak tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Clara merasa gelisah."Apa yang mau kamu sampaikan?" tanya Clara, suaranya datar tetapi penuh waspada.Erick menarik napas dalam sebelum menjawab, "Maukah kamu menjadi kekasihku lagi? Aku masih mencintaimu sama seperti dulu."Clara membelalakkan mata. Ia tidak menduga Erick akan langsung mengatakan hal seperti itu tanpa basa-basi. Ia merasa lidahnya kelu, tetapi kemudian ia memaksakan diri untuk berbicara. "Apa kamu gila? Aku sudah bersuami, kamu tahu kan?"Erick mengangguk pelan, tetapi bukannya surut, ia justru menatap Clara lebih dalam. "Aku t
Pintu rumah terbuka perlahan, Clara melangkah masuk dengan wajah kusut serta raut kelelahan yang sulit disembunyikan. Clara menarik napas panjang sebelum menutup pintu di belakangnya. Langkahnya berat, seolah beban yang dipikulnya terlalu besar untuk ditanggung sendirian.Maria, ibu mertuanya, yang sedang duduk di ruang tamu, langsung menoleh begitu mendengar suara pintu terbuka. Wajahnya penuh kekhawatiran. Semalaman ia dan David, suami Clara, mencarinya ke berbagai tempat, tetapi tak ada jejak yang bisa ditemukan."Dari mana saja kamu, Clara?" tanya Maria dengan nada lembut, namun penuh keprihatinan. Matanya menelusuri wajah menantunya yang tampak begitu letih.Clara menunduk, menghindari tatapan ibu mertuanya. "Aku pergi ke rumah temanku," jawabnya lirih. "Aku sedang butuh ketenangan sebentar."Maria menghela napas. Ia sudah menebak sesuatu pasti terjadi antara Clara dan David. "Kalian bertengkar tadi malam, bukan?" duganya dengan nada penuh pengertian.Clara tak langsung menjawab.
🍁🍁🍁 Clara berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun satin merah yang membalut tubuhnya begitu pas, memperlihatkan setiap lekuk yang sempurna. Rambutnya tergerai indah, wangi parfum mahal menyelimuti tubuhnya. Ia tahu dirinya masih menarik. Ia tahu suaminya, David, dulu tak bisa mengalihkan pandangan saat melihatnya berdandan seperti ini. Tapi itu dulu. Dengan langkah perlahan, ia mendekati tempat tidur, tempat David berbaring sambil menatap layar ponselnya. Entah apa yang sedang dilihatnya, tapi sejak beberapa bulan terakhir, kebersamaan mereka terasa begitu hambar. Malam-malam yang dulu penuh gairah kini hanya tersisa sunyi dan jarak yang kian melebar. Clara naik ke ranjang, mendekatkan tubuhnya pada suaminya. Tangannya menyentuh bahu David, kemudian turun perlahan ke dadanya. “Sayang,” bisiknya, suaranya penuh kelembutan, “sudah lama sekali kita tidak bersama. Aku merindukanmu.” David menghela napas dan menurunkan ponselnya. Ia menatap Clara sejenak, lalu mema
🍁🍁🍁 Maria duduk di sofa ruang tamu dengan wajah penuh kekhawatiran. Matanya menatap tajam ke arah putranya, David, yang duduk di seberangnya dengan ekspresi keras kepala. Pembicaraan ini harus segera dilakukan, sebelum David dan Zoya bertindak terlalu jauh. "David, kasihanilah istrimu, Clara," ujar Maria dengan suara yang bergetar. "Dia sangat menderita melihatmu terus bersama wanita itu. Setiap malam dia menangis, setiap hari dia hidup dalam bayang-bayang pengkhianatanmu. Sudah cukup, Nak. Putuskan hubunganmu dengan Zoya." David menarik napas panjang, lalu menggeleng dengan mantap. "Aku tidak bisa, Bu. Aku mencintai Zoya, dan... dia sedang mengandung anakku." Maria terperanjat. Mata tuanya melebar dalam keterkejutan. "Apa?" suaranya hampir tak keluar. David menunduk, merasa bersalah tetapi tetap teguh pada pendiriannya. "Zoya hamil, Bu. Aku tidak bisa meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Anak itu adalah darah dagingku." Maria merasakan dadanya sesak. Ia tak pernah
🍁🍁🍁 David masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat, matanya langsung mencari sosok Clara. Ia baru saja mendapat pesan dari Zoya bahwa istrinya telah menamparnya dan membuat keributan di rumahnya. Begitu David menemukan Clara di ruang tamu, duduk dengan wajah tanpa penyesalan, amarah David meledak begitu saja. "Apa yang sudah kamu lakukan, Clara?" suaranya meninggi, sorot matanya tajam menuntut penjelasan. Clara menoleh dengan tenang, menyilangkan tangannya di depan dada. "Aku hanya memberikan pelajaran untuk perempuan murahan seperti Zoya. Dia pantas mendapatkannya." David menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Itu bukan alasan untuk menampar dan memakinya secara kasar! Apa kamu tidak berpikir dulu sebelum melakukan sesuatu?" Clara mendengus kesal. "Oh, jadi sekarang kamu membelanya? David, aku ini istrimu! Aku seharusnya menjadi prioritasmu, bukan dia!" Suaranya meninggi, kemarahannya terpancar jelas. "Ini bukan soal berpihak pada siapa. Ini soal bagai
🍁🍁🍁Siang itu, Clara berdiri di depan pintu rumah Zoya dengan napas memburu. Tangannya terkepal, dadanya bergejolak. Amarah menguasai dirinya sejak ia tahu bahwa Zoya, sahabatnya sendiri, telah merebut David, suami dari sahabatnya, Rina. Tak ada yang bisa membenarkan pengkhianatan seperti ini. Tanpa basa-basi, Clara mengetuk pintu dengan keras. Tak lama, Zoya muncul dengan senyum tipis di bibirnya. Mata tajamnya menyorot Clara, seolah sudah tahu alasan kedatangannya. "Clara," sapanya dengan suara santai. "Ada apa?" Tanpa menunggu jawaban, Clara mendorong Zoya hingga perempuan itu terhuyung ke belakang. "Kamu benar-benar perempuan tak tahu malu!" bentaknya. "Dari semua pria yang ada di luar sana, kenapa kau harus merayu suamiku? Apa aku pernah berbuat salah padamu sampai kamu tega melakukan ini?" Zoya mengusap lengannya yang terkena dorongan tadi, namun ia tetap tersenyum. "David lebih menarik dibanding pria-pria lajang di luar sana. Dia memesona, dewasa, dan tahu bagaimana memp