đđđDavid melangkah masuk ke dalam butik perhiasan mewah di pusat kota dengan wajah penuh tekad. Ia ingin mencari cincin berlian yang sempurna untuk istrinya yang kedua, Zoya. Wanita hamil itu menginginkan sesuatu yang istimewa, sesuatu yang tidak kalah mewah dari cincin yang pernah diposting oleh istri pertamanya Clara.David mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto cincin berlian milik Clara kepada pegawai toko. "Saya ingin cincin seperti ini," katanya.Pegawai toko itu mengamati foto tersebut dengan penuh perhatian. "Cincin seperti ini sangat cantik dan tentunya memiliki harga yang cukup mahal, Pak. Selain itu, cincin dengan model ini harus dipesan terlebih dahulu karena cukup langka."David mengangguk. Ia sudah menduganya. "Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memesan cincin ini?"Pegawai itu tersenyum sopan. "Kebetulan, Pak, model seperti ini baru ada satu orang yang memesan baru-baru ini."David mengerutkan kening. Kebetulan? "Siapa yang memesannya?" tanyanya dengan pen
Clara melangkah masuk ke butik langganannya dengan anggun. Wangi parfum eksklusif memenuhi ruangan, mencampur dengan aroma lembut kain-kain mahal yang tersusun rapi di rak-rak kaca. Matanya menyisir koleksi terbaru yang dipajang, mencoba mengusir segala beban pikirannya dengan sedikit terapi belanja. Namun, kedamaian itu seketika runtuh. Seorang wanita dengan gaun merah menyala, sepatu hak tinggi berkilau, serta riasan tebal yang hampir menyerupai topeng, berjalan dengan percaya diri. Dia tampak mencolok dengan rambut panjangnya yang ditata sempurna dan tas desainer tergantung di lengannya. Zoya. Clara mengenalinya seketika, tetapi pura-pura tidak melihat. Dia tidak punya waktu untuk drama murahan. Namun, Zoya tidak akan membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja. âOh, Clara? Astaga, aku hampir tak mengenalimu,â suara wanita itu melengking dengan nada sinis, mendekatinya dengan senyum angkuh.âKamu masih suka belanja di sini? Aku kira setelah kehilangan perhatian David, k
Erick berjalan mondar-mandir di depan ruang perawatan, jemarinya mengepal kuat, menahan luapan emosi yang sejak tadi bergemuruh di dadanya. Matanya tak lepas dari sosok wanita yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Clara, kekasihnya, terlihat pucat dengan perban melingkari lengan dan kakinya. Beberapa luka lebam tampak jelas di wajahnya. âKami baik-baik saja?â Erick bertanya, suaranya serak menahan amarah. Clara tersenyum lemah. âAku baik-baik saja, Erick. Jangan cemas.â âJangan cemas?â Erick mendengus, matanya menyala penuh kemarahan. âKamu hampir kehilangan nyawamu, Clara! Itu semua gara-gara wanita itu!â Zoya. Nama itu meluncur dalam benak Erick dengan penuh kebencian. Wanita itu telah menyerempet Clara dengan mobil, meninggalkannya dalam keadaan terluka. Erick tak bisa tinggal diam. Ia harus membalas perbuatan itu. âAku bersumpah, Clara. Aku akan membuatnya membayar perbuatannya!â katanya penuh tekad. Clara menggeleng, jemarinya yang lemah menggenggam tangan
David melangkah masuk ke kamar dengan wajah tegang. Matanya tajam menatap Zoya yang sedang duduk di tepi ranjang, tangannya terlipat di dada, ekspresinya masih menyiratkan kemarahan yang belum reda. âApa yang kamu lakukan pada Clara?â suara David terdengar dingin, nyaris mengandung amarah yang tertahan. Zoya mendongak, menatap suaminya dengan dagu terangkat. âAku hanya membela diri.â David menghela napas panjang, berusaha menekan emosinya. âMembela diri? Clara terluka, Zoya! Kamu bahkan hampir mencelakainya!â Zoya mencibir. âJangan berlebihan, David. Aku tidak mencelakainya tanpa alasan. Clara sendiri yang memulai. Dia menghinaku di depan orang banyak, membuatku malu. Apa kau tahu betapa sakitnya itu?â David terdiam sejenak. Ia tahu Clara bukan tipe orang yang akan menyerang tanpa sebab. Tapi Zoya juga tidak pernah berbohong padanyaâsetidaknya, selama ini ia percaya demikian. âLalu, kenapa kamu tega melukai Clara?â tanyanya dengan nada lebih rendah. Zoya menghela napas d
Untuk kesekian kalinya, Clara menghabiskan akhir pekannya dengan Erick. Dia nampak cantik dengan gaun selutut berwarna biru membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, sedikit bergelombang di ujungnya. Malam ini, ia tidak ingin menjadi istri yang menunggu suaminya pulang dengan harapan kosong. Tidak. Malam ini, ia ingin menghabiskan malam bahagia bersama Erick kekasihnya. David suaminya pergi ke luar negeri tanpa sepatah kata pun, hanya meninggalkan pesan singkat di ponselnya: *Aku pergi beberapa hari. Jangan cari aku.* Sebaliknya, Zoyaâwanita yang baru beberapa bulan dinikahi Davidâmemamerkan foto-foto kebersamaannya dengan pria itu di media sosial. Makan malam romantis di Paris, berbelanja di butik mewah, bahkan menikmati matahari terbenam di Santorini. Semua yang dulu pernah Clara impikan, tetapi tak pernah ia dapatkan. "Clara?" Suara Erick membuyarkan lamunannya. Clara berbalik, menatap pria yang sudah menunggunya di ambang pintu kamar hotel. Eri
David menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Tangannya gemetar, menggenggam ponsel begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Foto-foto itu terpapar jelas di hadapannyaâClara, istrinya, tersenyum bahagia di samping seorang pria yang tak asing baginya. Erick. Mantan kekasih Clara. Dadanya terasa sesak. Seolah udara mendadak menghilang dari ruangan. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena cinta atau rindu seperti dulu, tetapi karena kemarahan yang membara. Jadi ini alasan Clara bersikap dingin akhir-akhir ini? Jadi ini alasan kenapa dia tak lagi peduli apakah David pulang atau tidak? Selama ini, David berpikir Clara telah menerima kenyataan bahwa dia berbagi rumah tangga dengan Zoya. Dia mengira Clara sudah mati rasa, sama seperti dirinya yang mulai terbiasa dengan kebohongan. Tapi ternyata dia salah. Clara tidak mati rasaâdia hanya mengalihkan perasaannya kepada pria lain. "Brengsek," desisnya, suaranya nyaris tak terdengar di tengah ruangan yang sunyi. Matanya kembali te
Clara menekan pelipisnya yang berdenyut, seakan pikirannya yang berantakan berusaha keluar melalui tengkoraknya. Ia lelah. Lelah dengan semua ini. Lelah dengan David, dengan Erick, dengan dirinya sendiri. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tak karuan. Langkahnya membawanya ke sebuah taman di pinggiran pantai, tempat yang jarang dikunjungi orang. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, tapi tak juga bisa mendinginkan hatinya yang kacau. Ia duduk di bangku kayu yang sudah tua, menatap kosong ke arah kolam kecil di depannya. Beberapa ekor ikan berenang dengan tenang di dalamnya. Ah, betapa ia ingin hidup seperti itu. Bebas, tanpa perlu memikirkan siapa yang harus ia pilih dan siapa yang harus ia tinggalkan. **David atau Erick?** Ia mencengkeram kedua tangannya erat-erat. Jika ia meninggalkan David, artinya ia akan melepaskan statusnya sebagai istri dan kalah dari zoya. Ia bisa saja hidup mandiri, tapi apakah ia siap menghadapi cemoohan orang-orang? Zo
Suara pintu diketuk keras, menggema di dalam rumah yang telah lama sunyi. Clara, yang sedang duduk di sofa dengan novel terbuka di pangkuannya, terkejut. Dia tidak mengharapkan tamu malam ini. Dengan hati-hati, dia melangkah ke pintu dan membukanya. Sosok yang berdiri di hadapannya membuatnya terdiam. David. Pria yang meninggalkannya demi wanita lain selama beberapa hari, kini berdiri di sana dengan wajah yang gelap oleh kemarahan. "Kita perlu bicara," suara David rendah, tapi tajam. Clara menatapnya tanpa ekspresi. "Apa lagi yang kamu inginkan?" David mendorong pintu dengan kasar, memaksanya masuk. Matanya menyala penuh amarah saat dia melemparkan beberapa lembar foto ke meja. Clara melihatnya sekilas, foto-foto dirinya dan Erick, pria yang telah mengisi kekosongan hatinya selama ini. Foto mereka yang sedang makan malam, berpegangan tangan, bahkan berciuman. "Ini apa, Clara?" suara David bergetar. "Sejak kapan kau selingkuh dengannya?" Clara menarik napas dalam, menahan g
Malam itu, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Clara duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan kosong ke layar ponselnya. Biasanya, ketika Erick pulang, ia akan menyambutnya dengan senyum atau sekadar menanyakan bagaimana harinya. Tapi kali ini, tidak ada sapaan, tidak ada lirikan, bahkan tidak ada gerakan untuk sekadar melihat suaminya yang baru saja melepas jasnya. Erick mengernyit, merasa ada yang aneh. Ia berjalan mendekati Clara, lalu duduk di sebelahnya. "Ada apa, Sayang?" tanyanya lembut. Clara tetap diam. Jemarinya masih menggenggam erat ponselnya, seolah sedang bergulat dengan sesuatu di dalam pikirannya. Erick menghela napas, mencoba mengurai kebisuan itu. "Kamu marah padaku?" tanyanya lagi. Clara akhirnya mengangkat wajahnya, tatapannya dingin dan menusuk. Tanpa berkata apa-apa, ia menyerahkan ponselnya kepada Erick. Layar ponsel itu menampilkan sebuah artikel gosip dari sebuah situs berita hiburan. **"Erick dan mantan tunangannya kembali Dekat? Sering t
Erick baru saja keluar dari lobi kantornya ketika seorang wanita berdiri menghadang langkahnya. Mata tajamnya langsung mengenali sosok ituâKemala. Wanita itu tampak lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu, namun tatapan matanya tetap sama. Penuh tekad. "Aku ingin bicara," ucap Kemala tanpa basa-basi. Erick menghela napas. "Kemala, kita tidak punya urusan lagi. Aku sudah menikah." "Aku tahu." Kemala menatapnya lekat. "Tapi ini penting." Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya Erick mengangguk dengan enggan. "Baiklah. Tapi setelah ini, jangan pernah menemuiku lagi." Kemala tersenyum tipis. "Aku janji." *** Mereka duduk di sebuah kafe yang cukup tenang, jauh dari kebisingan kota. Erick memilih tempat yang agak tersembunyi, tak ingin menarik perhatian siapa pun. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya langsung, menyesap kopinya dengan ekspresi datar. Kemala menunduk sejenak sebelum menatap Erick lurus-lurus. "Aku hanya ingin meminta maaf." Erick mengernyit.
Maria menatap David dengan penuh kekhawatiran. Wajah pria itu penuh luka lebam, sudut bibirnya pecah, dan ada bekas cakaran di lehernya. Tangannya juga bengkak, seperti baru saja bertarung habis-habisan. "Apa yang terjadi, David?" suara Maria terdengar penuh tuntutan. David menghela napas pelan, lalu menyandarkan kepalanya ke sofa. "Aku diserang penjahat di jalan," jawabnya singkat. Dia enggan menceritakan kejadian yang sebenarnya karena takut diceramahi oleh sang Ibu.Maria menyipitkan mata, tak percaya begitu saja. "Jangan bohong. Aku tahu kamu. Siapa yang melakukan ini?" David mengusap wajahnya yang terasa perih. Dia tahu Maria tak akan berhenti sampai mendapatkan jawaban yang sebenarnya. Setelah beberapa detik terdiam, dia akhirnya mengaku, "Erick." Maria terhenyak. "Suami baru Clara?" David mengangguk perlahan. "Aku mencoba bicara dengan Clara. Aku ingin mengajaknya balikan." David tersenyum miring. Maria mengembuskan napas tajam. Dadanya terasa sesak oleh amarah. "Kam
Siang itu, Zoya baru saja selesai menidurkan putranya yang masih balita. Angin sore berembus perlahan melalui jendela, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Dia menghela napas, menikmati momen singkat ini sebelum kembali bekerja. Sejak memutuskan untuk hidup mandiri dan tidak lagi bergantung pada Danis, Zoya bekerja keras demi masa depan anaknya. Namun, ketenangan itu terganggu oleh suara ketukan di pintu. Zoya mengernyit. Jarang ada tamu yang datang ke rumah sederhananya ini. Dengan langkah hati-hati, dia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di hadapannya berdiri seorang wanita muda dengan penampilan elegan. Gaun mahal yang membalut tubuhnya menunjukkan bahwa dia berasal dari dunia yang berbeda dengan Zoya. Wajahnya cantik, tetapi tatapannya tajam, penuh penilaian. "Fany?" Zoya mengenali wanita itu dari foto-foto yang tersebar di media sosial. Dia adalah calon istri Danis. Fany tersenyum tipis. "Boleh aku masuk?" Zoya ragu sejenak sebelum mengangguk dan membiarkannya ma
Zoya melangkah ke kamar mandi setelah menutup pintu kamar hotel di belakangnya. Bau parfum mahal masih tercium di udara, bercampur dengan aroma anggur yang tersisa di meja. Air hangat mengalir dari pancuran, menyapu kulitnya yang terasa lengket setelah semalaman melayani tamu VVIP. Dia menarik napas dalam, membiarkan air membasuh lelah dan jejak yang tertinggal dari pekerjaannya malam ini. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Zoya tak bisa berlama-lama. Setelah membungkus tubuhnya dengan handuk, dia segera mengenakan gaun kasual sederhana, jauh dari tampilan glamor yang baru saja dia kenakan. Wajahnya yang sebelumnya penuh riasan kini bersih tanpa cela, menampilkan kecantikannya yang alami. Begitu keluar dari hotel, Zoya memesan taksi daring dan memasukkan alamat tempat penitipan anak yang buka 24 jam. Matanya mulai terasa berat, tetapi dia menepis kantuknya. Ada seseorang yang menunggunya, seseorang yang menjadi alasan dia bertahan sejauh ini. Sesampainya di tempat penitipan
Clara berjalan mondar-mandir di ruang tamu, dadanya bergemuruh penuh emosi. Jemarinya mengepal erat, mencoba menahan gemetar yang menjalari tubuhnya. Pikirannya penuh dengan satu halâErick telah menghajar David hingga masuk rumah sakit. Begitu suara langkah kaki terdengar dari pintu depan, Clara langsung bergegas. Begitu Erick masuk, wajahnya masih dingin, tanpa sedikit pun rasa bersalah. "Apa yang kau lakukan, Erick?!" bentak Clara, matanya berkilat marah. Erick mengangkat alis, lalu menutup pintu dengan tenang. "Aku hanya memberinya pelajaran." "Pelajaran?!" Clara tertawa sinis, tak percaya dengan betapa ringannya pria itu menganggap semuanya. "David masuk rumah sakit! Kamu tahu apa artinya?! Dia bisa melaporkanmu ke polisi! Kamu bisa masuk penjara, Erick!" Alih-alih merasa khawatir, Erick justru tersenyum miring. "Jadi, kamu cemas aku masuk penjara? Atau sebenarnya kau lebih cemas pada David?" Clara tertegun. "Apa maksudmu?" Erick mendekat, sorot matanya tajam menelis
David baru saja menutup pintu rumah ketika suara deru mesin mobil mendekat dengan cepat. Matanya sempat menangkap cahaya lampu Jeep hitam yang berhenti mendadak di depan pekarangan. Sebelum sempat bereaksi, dua pria bertubuh kekar keluar dari mobil dan langsung menerjangnya. "Heh! Apa-apaan ini?!" David berusaha meronta, tapi cengkeraman mereka terlalu kuat. Salah satu pria mendorongnya dengan kasar ke dalam mobil. "Diam kalau masih mau hidup!" suara dinginnya menusuk. Pintu Jeep dibanting tertutup, dan kendaraan melaju kencang menembus kegelapan malam. Jantung David berdegup kencang. Tangannya berusaha mencari ponselnya, tapi pria di sebelahnya lebih cepat merampasnya dan melemparkannya ke depan. Perjalanan terasa panjang, meskipun mungkin hanya beberapa menit. Ketika Jeep berhenti, David ditarik keluar dengan kasar. Sekelilingnya gelap, hanya ada siluet sebuah gudang tua yang terlihat mengancam. Pintu gudang berderit ketika dibuka. Udara di dalamnya lembap dan pengap, deng
Clara berdiri di ambang pintu, menatap pria di hadapannya dengan ekspresi tak terbaca. Sore itu, angin bertiup lembut, mengibarkan beberapa helai rambutnya yang tergerai. David, pria yang pernah mengisi hatinya bertahun-tahun lalu, kini berdiri di teras rumahnya dengan sorot mata penuh penyesalan. âAku hanya ingin bicara sebentar,â ujar David, suaranya rendah namun jelas membawa nada permohonan. Clara tetap berdiri tegak, tidak berniat mempersilakan David masuk. Ia tahu Erick, suaminya, akan pulang beberapa jam lagi, dan ia tidak ingin meninggalkan celah sekecil apa pun untuk kesalahpahaman. âBicaralah di sini,â jawab Clara akhirnya. David menarik napas panjang sebelum berbicara. âClara⌠aku menyesal. Aku menyesal telah meninggalkanmu dulu. Aku bodoh karena melepaskan mu, dan lebih bodoh lagi karena tidak menyadari betapa berharganya dirimu sampai semuanya terlambat.â Clara mengepalkan jemarinya yang terasa dingin meski sore itu cukup hangat. Hatinya sempat bergetar mendenga
David berdiri di sudut jalan yang sedikit tersembunyi di balik pohon besar. Matanya tak lepas dari sosok Clara yang tengah duduk di teras rumahnya, tertawa bahagia bersama suaminya, Erick. Perut Clara yang mulai membuncit menjadi bukti nyata bahwa kebahagiaannya telah bertambah. David mengepalkan tangan, merasakan sesuatu yang tajam menusuk dadanya. Dulu, itu seharusnya menjadi hidupnya. Seharusnya dia yang duduk di sana, menggenggam tangan Clara, tertawa bersamanya, dan menantikan kelahiran anak mereka. Tapi kesalahannya sendiri telah membuat semua itu mustahil. Dia masih ingat dengan jelas bagaimana Clara menangis di hadapannya saat mengetahui perselingkuhannya dengan Zoya. Betapa wajahnya penuh luka dan kekecewaan ketika menyerahkan surat cerai di tangannya. Saat itu, David mengira dia akan baik-baik saja, bahwa dia bisa melanjutkan hidupnya dengan Zoya. Tapi nyatanya, pernikahannya dengan Zoya berantakan. Wanita itu tidak seperti Clara. Tidak setulus, penyabar, dan sehangat Cl