Suara pintu diketuk keras, menggema di dalam rumah yang telah lama sunyi. Clara, yang sedang duduk di sofa dengan novel terbuka di pangkuannya, terkejut. Dia tidak mengharapkan tamu malam ini. Dengan hati-hati, dia melangkah ke pintu dan membukanya. Sosok yang berdiri di hadapannya membuatnya terdiam. David. Pria yang meninggalkannya demi wanita lain selama beberapa hari, kini berdiri di sana dengan wajah yang gelap oleh kemarahan. "Kita perlu bicara," suara David rendah, tapi tajam. Clara menatapnya tanpa ekspresi. "Apa lagi yang kamu inginkan?" David mendorong pintu dengan kasar, memaksanya masuk. Matanya menyala penuh amarah saat dia melemparkan beberapa lembar foto ke meja. Clara melihatnya sekilas, foto-foto dirinya dan Erick, pria yang telah mengisi kekosongan hatinya selama ini. Foto mereka yang sedang makan malam, berpegangan tangan, bahkan berciuman. "Ini apa, Clara?" suara David bergetar. "Sejak kapan kau selingkuh dengannya?" Clara menarik napas dalam, menahan g
Maria duduk di samping ranjang rumah sakit, menatap menantunya yang tampak lemah dengan selang infus terpasang di lengannya. Wajah Clara pucat, matanya sembab, tapi masih ada sorot ketegaran di sana. Hening menyelimuti mereka sesaat sebelum akhirnya Maria menghela napas berat. "Clara, aku ingin bertanya sesuatu," ujar Maria dengan suara yang lembut tapi tegas. Clara menoleh, menatap ibu mertuanya dengan tatapan lelah. "Ibu ingin bertanya tentang apa?" Maria menggenggam tangan Clara dengan hangat. "Tentang apa yang David katakan. Dia bilang kamu berselingkuh." Clara terdiam. Ia sudah menduga pertanyaan ini akan muncul, tapi tetap saja, mendengarnya secara langsung membuat hatinya terasa berat. Ia bisa saja berbohong, bisa saja mencari alasan, tapi di hadapan Maria, ia memilih untuk jujur. "Iya, Bu. Aku memang berselingkuh," jawabnya pelan, suaranya nyaris berbisik. Maria mengangguk kecil, tidak tampak terkejut. Ia justru menghela napas panjang, seolah sudah menduga jawaban
Seharian ini, David merasa seperti bayangan dirinya sendiri. Ia duduk di ruang kerjanya dengan kepala bersandar di kursi, menatap kosong ke langit-langit. Rokok di tangannya sudah habis separuh, tapi ia bahkan tak sadar kapan terakhir kali mengisapnya. Bayangan Clara di rumah sakit terus menghantuinya. Mata Clara yang lebam, bibirnya yang pecah, dan tubuh kurusnya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit terus berputar di kepalanya. Tangannya sendiri yang membuatnya seperti itu. Ia ingat bagaimana amarahnya meledak malam itu, bagaimana tangannya melayang tanpa pikir panjang. Saat itu, rasa frustrasi menelannya bulat-bulat, dan Clara adalah pelampiasannya. Sial! Kenapa sekarang hatinya justru terasa sesak? Pintu ruang kerja terbuka. Zoya masuk dengan langkah ringan, mengenakan gaun tidur sutra berwarna merah. Ia langsung mendekati David, duduk di pangkuannya dengan tangan melingkari lehernya. “Sayang, kenapa dari tadi diam saja? Aku bosan.” Zoya merajuk manja, membelai pipi
Suara langkah sepatu Erick menggema di koridor kantor megah itu. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan amarah yang menggelegak. Tak peduli pada tatapan heran para pegawai yang menyingkir dari jalannya, ia terus melangkah cepat menuju ruang kerja David. Begitu sampai di depan pintu kaca berlapis nama pria itu, Erick mendorongnya dengan kasar hingga terbuka lebar. Sekretaris David yang duduk di depan meja langsung berdiri, terkejut. "Maaf, Pak! Anda tidak bisa masuk tanpa membuat janji terlebih dahulu—" Erick mengabaikan wanita itu dan langsung masuk ke dalam ruangan luas dengan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota. Di balik meja, David yang sedang membaca dokumen mengangkat wajahnya, alisnya bertaut. "Erick?" Tanpa peringatan, Erick menghantam wajah David dengan tinjunya. Pria itu terhuyung ke belakang, dokumen-dokumen berserakan di lantai. David meraba pipinya yang terasa panas, matanya membulat tak percaya. "Apa-apaan kamu?!" bentaknya. "Kau masih berani
Clara duduk di ujung ranjang rumah sakit bersama Maria, tangannya gemetar saat menggenggam cangkir teh hangat yang baru saja dibuatkan oleh ibu mertuanya itu. Matanya sembab, jelas habis menangis semalaman. Maria duduk di sebelahnya, menatapnya dengan penuh iba. "Aku minta maaf, Bu," suara Clara bergetar, hampir berbisik. "Aku sudah berusaha sekuat tenaga, tapi aku tidak bisa lagi mempertahankan pernikahanku dengan David." Maria menghela napas pelan. Ia suda tahu soal itu sebelumnya, tetapi melihat langsung betapa hancurnya clara membuat hatinya ikut sakit. "Kamu tidak perlu meminta maaf, Clara. Aku juga akan melakukan hal yang sama jika aku ada di posisimu," jawab Maria lembut. "Tapi aku merasa gagal," Clara menundukkan kepala. "Aku pernah berjanji akan bertahan. Aku pernah berpikir kalau aku cukup kuat untuk mengubahnya. Tapi kenyataannya… aku hanya menyiksa diriku sendiri." Maria meraih tangan Clara dan menggenggamnya erat. "Tidak ada yang salah dengan menyerah jika itu b
Zoya duduk di tepi ranjang, kedua tangannya meremas ujung selimut dengan gelisah. Perutnya yang mulai membesar seolah menjadi pengingat betapa besar kebohongan yang telah ia ciptakan. David sedang berada di kantor, sementara Clara—istri sahnya—masih di rumah sakit karena kdrt yang dilakukan oleh David beberapa hari lalu.Zoya masih bisa mengingat nasihat yang diberikan Clara. Dia harus bisa menjaga diri dan anaknya dari amukan David. Saat itu, untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar takut pada David. Melihat tubuh Clara yang babak belur di hajar David.Sebelumnya, ia hanya melihat sisi lembut pria itu—sisi yang ia manfaatkan dengan mengaku bahwa bayi yang dikandungnya adalah darah daging David. Ia tahu David sangat menginginkan keturunan, sesuatu yang tak bisa diberikan oleh Clara. Maka, ketika ia mengetahui dirinya hamil akibat kesalahan satu malam dengan mantan pacarnya, Rian, ia mengambil kesempatan itu. Namun, kini kebohongan itu mulai terasa seperti jerat di lehernya. B
Sidang perceraian Clara dan David berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan. Meskipun keduanya sepakat untuk berpisah, masalah pembagian harta membuat segalanya berlarut-larut. David bersikeras bahwa ia berhak atas sebagian besar aset mereka, sementara Clara tidak ingin menyerahkan lebih dari yang seharusnya. "Rumah ini milik kita berdua, David. Aku tidak akan menyerahkan semuanya begitu saja," tegas Clara di ruang sidang. David mendengus. "Tapi aku yang membayar sebagian besar cicilannya!" "Kamu lupa? Aku juga berkontribusi. Aku yang menata dan menjadikannya nyaman. Jangan hanya melihat uang, tapi juga usaha yang telah kuberikan," balas Clara, tidak mau kalah. Pertarungan mereka terus berlangsung. Pengacara masing-masing sibuk menyusun argumen terbaik. Clara menolak untuk mundur, karena bagi dirinya, ini bukan sekadar soal harta, melainkan harga diri. Setelah bertahun-tahun mengalah dalam pernikahan, ia ingin memastikan bahwa perpisahan ini berakhir dengan adil. Akhirny
Zoya melipat tangannya di dada, wajahnya memerah menahan amarah. Matanya yang tajam menatap David dengan penuh ketidakpercayaan. "Jadi, kamu cuma dapat tiga puluh persen? Baik dari aset maupun perusahaan?" suara Zoya meninggi. David duduk di sofa dengan ekspresi lelah, seolah pertengkaran ini sudah ia prediksi sejak tadi. "Iya, Zoya. Aku sudah bilang, ini hasil terbaik yang bisa kudapatkan. Daripada aku tidak dapat apa-apa dan kita harus hidup lebih susah, lebih baik aku menerima ini." Zoya tertawa sinis. "Hidup lebih susah? Maksudmu, aku harus hidup hemat sekarang? Aku menikah denganmu bukan untuk ini, David!" David menatapnya tajam. "Aku tahu, Zoya. Aku tahu alasanmu menikah denganku. Tapi aku juga sudah bilang sejak awal, perceraian ini tidak akan mudah. Clara punya pengacara yang jauh lebih licik. Kalau aku memaksakan diri untuk mendapat lebih, bisa saja aku malah kehilangan segalanya." Zoya mengerang frustasi. Ia sudah membayangkan kehidupan yang mewah setelah Clara ang
Hujan turun perlahan, menyelimuti kota dengan udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Zoya berdiri di depan jendela apartemennya, memandang rintik hujan yang membasahi jalanan. Di belakangnya, Danis duduk di sofa dengan ekspresi muram, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menanggapi permintaan Zoya."Aku sudah memutuskan, Danis," suara Zoya terdengar tegas namun lirih. "Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak mau menjadi orang ketiga dalam pernikahanmu."Danis menatapnya lekat, hatinya terasa diremas. "Aku hanya ingin bersamamu dan anak kita, Zoya. Aku merasa lebih dihargai saat bersamamu dibandingkan dengan…" Ia menghentikan kalimatnya, enggan menyebut nama istrinya.Zoya menarik napas dalam. "Danis, aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayang hubungan yang tidak jelas. Aku tidak mau anak kita tumbuh dalam situasi yang penuh kebohongan dan ketidakpastian. Jika kau ingin berada di sisi kami, selesaikan dulu semuanya. Aku tidak akan menerima separuh hatimu."Danis menunduk.
Clara menghela napas panjang saat duduk di teras rumahnya, menikmati semilir angin sore yang menerpa wajahnya. Hidupnya terasa lebih damai akhir-akhir ini. Tidak ada lagi gangguan dari Agnes yang selama ini selalu berusaha mengusik ketenangannya. Bahkan, David pun sudah jarang muncul di hadapannya. Semua terasa begitu tenang, begitu sempurna, apalagi dengan kehadiran Erick, suami yang selalu setia di sisinya.Erick muncul dari dalam rumah, membawa segelas jus jeruk dan menyerahkannya kepada Clara. Ia tersenyum hangat, lalu duduk di sampingnya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya sambil mengelus perut Clara yang semakin membesar."Tidak ada," jawab Clara, tersenyum kecil. "Aku hanya menikmati momen ini. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku merasa tenang seperti ini."Erick tersenyum, lalu mencium kening istrinya dengan lembut. "Kalau begitu, mari kita buat hari ini lebih menyenangkan. Bagaimana kalau kita pergi ke kedai jus favoritmu?"Mata Clara berbinar. "Itu ide y
Agnes melangkah masuk ke dalam ruangan dengan wajah lesu. Thomas, yang sedang duduk santai di sofa dengan segelas wine di tangannya, menatapnya sekilas sebelum kembali menyesap minumannya. “Kamu terlihat seperti orang yang kalah,” sindir Thomas tanpa basa-basi. Agnes mendesah panjang, lalu menjatuhkan diri ke sofa di seberangnya. “Aku memang kalah, Tom. Aku menyerah.” Thomas menaikkan satu alisnya. “Menyerah? Sejak kapan Agnes yang kukenal tahu artinya menyerah?” Agnes menyandarkan kepalanya ke belakang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. “Sejak aku sadar bahwa aku tidak akan pernah bisa menyentuh perempuan itu.” Thomas mulai tertarik. Dia meletakkan gelasnya dan bersandar, menunggu penjelasan lebih lanjut. “Clara benar-benar beruntung,” lanjut Agnes dengan suara getir. “Ada dua pria yang menjaganya dengan nyawa mereka. Erick, suaminya sekarang. Dan David… mantan suaminya yang jelas-jelas masih punya rasa.” Mata Thomas melebar. “Clara? Tunggu… Clara yang kau ma
"Hatchii!" Zoya buru-buru menutup mulutnya dengan tisu. Ia mengerutkan kening. Katanya kalau bersin tiba-tiba, itu tandanya ada seseorang yang sedang membicarakannya. Entah siapa, tapi dia malas memikirkannya lebih jauh. Yang jelas, hari ini dia hanya ingin menikmati waktunya tanpa gangguan. Duduk di sofa ruang tamunya yang luas, Zoya melirik ke arah putranya yang tengah bermain dengan Sus Juni. Bocah kecil itu tertawa riang, membuat hati Zoya sedikit tenang meski tubuhnya masih terasa lelah. Lelah bukan hanya karena kurang tidur, tetapi juga karena pekerjaannya yang menuntutnya untuk selalu tampak menggoda dan siap memanjakan para pria hidung belang. Hari ini, dia memutuskan untuk mengambil libur beberapa hari. Dia butuh istirahat, butuh waktu hanya untuk dirinya sendiri dan anaknya. Tidak ada pria yang menjamahnya, tidak ada tuntutan untuk bersikap manis atau mengobral senyum palsu. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat. Tok! Tok! Tok!Zoya mengernyit. Siapa yang dat
Clara duduk di salah satu sudut ruang tamu, memperhatikan dengan sedikit canggung interaksi antara dua pria yang pernah dan masih mengisi hidupnya—David, mantan suaminya, dan Erick, suami keduanya. Tidak ada ketegangan di antara mereka, justru sebaliknya. Mereka terlihat terlalu akrab untuk ukuran dua pria yang pernah berada dalam hidup wanita yang sama. Dan semua ini gara-gara Agnes. Wanita itu telah membuat hidup Clara seperti roller coaster dalam beberapa minggu terakhir. Dari percobaan mencelakainya hingga berbagai intrik yang membuatnya hampir kehilangan kewarasannya. Namun yang membuatnya lebih bingung adalah kenyataan bahwa kini David dan Erick justru mendiskusikan Agnes dengan nada yang begitu santai, seakan mereka sedang membicarakan cuaca. Samar-samar, Clara menangkap percakapan mereka. "Agnes itu cantik, kaya... Kenapa dia tidak mencari pria single saja untuk diganggu?" ucap David dengan nada heran. Clara menajamkan pendengarannya. Agnes memang punya segalanya—kec
Agnes duduk di depan cermin riasnya, menatap bayangan dirinya yang sempurna. Wajahnya tanpa cela, dengan hidung mancung, bibir penuh, dan mata tajam yang selalu berhasil menundukkan pria mana pun. Tubuhnya langsing dengan lekukan yang didambakan banyak wanita. Ia adalah model papan atas, seorang pengusaha sukses di industri kecantikan, wanita yang memiliki segalanya—harta, kecantikan, dan status sosial. Tapi kenapa… kenapa seorang Clara, wanita biasa yang hanya seorang ibu rumah tangga, bisa mendapatkan sesuatu yang tidak bisa Agnes miliki? Cinta. Bukan sekadar cinta biasa, tetapi cinta yang ugal-ugalan, menggebu-gebu, liar. Dua pria sekaligus menggilai Clara seperti hidup mereka bergantung padanya. Erick, pria berkarisma dengan latar belakang bisnis kuat, dan David, lelaki dengan aura bad boy yang liar namun memikat. Mereka berdua rela berseteru demi seorang Clara. Clara yang bukan siapa-siapa. Agnes mengepalkan jemarinya. Ia mengenal Dion, bahkan pernah mendekatinya. Namun
Agnes melangkah masuk ke dalam apartemen Vano dengan emosi yang meluap-luap. Langkahnya berat, penuh kemarahan yang siap meledak kapan saja. Begitu pintu tertutup di belakangnya, tatapannya langsung menembak Vano yang tengah duduk santai di sofa. "Dasar pria bodoh!" bentaknya, membuat Vano nyaris tersedak minuman yang baru saja diteguknya. "A-Agnes?" Vano tergagap, buru-buru meletakkan gelasnya di atas meja. "Ada apa?" Agnes melangkah cepat ke arahnya, wajahnya merah padam menahan amarah. "Aku mempercayakan tugas ini padamu, Vano! Tapi apa yang kau lakukan? Dua kali kesempatan emas dan kau menyia-nyiakannya!" Vano menghela napas, mencoba meredakan ketegangan. "Dengar, Agnes, aku sudah berusaha. Tapi Clara selalu lolos! Dia beruntung!" "Beruntung?" Agnes tertawa sinis. "Kamu pikir ini soal keberuntungan? Ini soal ketidakbecusanmu, Vano!" Wanita itu menjatuhkan tasnya ke sofa, lalu menatapnya dengan mata menyala.Vano menundukkan kepala, merasa terpojok. Dia tahu Agnes tidak a
David turun dari mobil lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk ibunya, Maria. Wanita itu tampak sedikit gugup, mungkin karena ini pertama kalinya ia datang ke rumah mantan menantunya setelah pernikahan Clara dengan Erick. "Apa kamu yakin tidak merepotkan?" tanya Maria pelan, matanya menatap David dengan ragu. "Clara adalah mantan istriku, dan aku peduli padanya," jawab David tegas. "Lagipula, aku ingin Erick sadar kalau ada ancaman nyata di sekitar istrinya." Maria mengangguk, lalu mengikuti langkah putranya menuju pintu utama. Mereka disambut oleh seorang pelayan yang segera mempersilakan mereka masuk. Tak lama, Erick muncul dari ruang tamu dengan ekspresi waspada. "David," sapanya singkat, lalu menoleh ke Maria. "Bu Maria." Maria tersenyum tipis, sedikit canggung. "Kami datang untuk menjenguk Clara. Bagaimana keadaannya?" "Dia baik-baik saja," Erick menjawab, melirik sekilas ke arah David seakan mengawasi gerak-geriknya. Baru saja mereka hendak melangkah menuju kamar C
Erick menatap David dengan tatapan penuh selidik. Di depannya, pria itu tampak serius, seolah apa yang baru saja diucapkannya bukanlah lelucon.Tempo hari, David memberi laporan kalau Agnes berencana melakukan hal jahat pada Clara. Tapi hingga saat ini Erick tidak memberikan perlindungan ketat pada Clara. Wanita itu bahkan diperbolehkan keluar rumah tanpa pengawalan.“Aku masih ragu Agnes berani mencelakai clara,” Erick mengulang ucapan David dengan nada skeptis. “Aku rasa dia tidak sejahat itu.” David menghela napas panjang, tampak frustrasi dengan reaksi Erick. “Aku tidak bercanda, Erick. Aku mendengarnya sendiri. Agnes tidak terima kau memilih Clara, dan dia berniat melakukan sesuatu untuk menyingkirkannya.” Erick mengusap wajahnya, mencoba meredam gejolak pikirannya. Dia mengenal Agnes cukup lama. Wanita itu memang keras kepala, emosional, bahkan terkadang sulit dikendalikan. Tapi mencelakai seseorang? Itu terdengar terlalu berlebihan. “Kamu tahu sendiri Agnes bukan tipe ora