Maria duduk di samping ranjang rumah sakit, menatap menantunya yang tampak lemah dengan selang infus terpasang di lengannya. Wajah Clara pucat, matanya sembab, tapi masih ada sorot ketegaran di sana. Hening menyelimuti mereka sesaat sebelum akhirnya Maria menghela napas berat. "Clara, aku ingin bertanya sesuatu," ujar Maria dengan suara yang lembut tapi tegas. Clara menoleh, menatap ibu mertuanya dengan tatapan lelah. "Ibu ingin bertanya tentang apa?" Maria menggenggam tangan Clara dengan hangat. "Tentang apa yang David katakan. Dia bilang kamu berselingkuh." Clara terdiam. Ia sudah menduga pertanyaan ini akan muncul, tapi tetap saja, mendengarnya secara langsung membuat hatinya terasa berat. Ia bisa saja berbohong, bisa saja mencari alasan, tapi di hadapan Maria, ia memilih untuk jujur. "Iya, Bu. Aku memang berselingkuh," jawabnya pelan, suaranya nyaris berbisik. Maria mengangguk kecil, tidak tampak terkejut. Ia justru menghela napas panjang, seolah sudah menduga jawaban
Seharian ini, David merasa seperti bayangan dirinya sendiri. Ia duduk di ruang kerjanya dengan kepala bersandar di kursi, menatap kosong ke langit-langit. Rokok di tangannya sudah habis separuh, tapi ia bahkan tak sadar kapan terakhir kali mengisapnya. Bayangan Clara di rumah sakit terus menghantuinya. Mata Clara yang lebam, bibirnya yang pecah, dan tubuh kurusnya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit terus berputar di kepalanya. Tangannya sendiri yang membuatnya seperti itu. Ia ingat bagaimana amarahnya meledak malam itu, bagaimana tangannya melayang tanpa pikir panjang. Saat itu, rasa frustrasi menelannya bulat-bulat, dan Clara adalah pelampiasannya. Sial! Kenapa sekarang hatinya justru terasa sesak? Pintu ruang kerja terbuka. Zoya masuk dengan langkah ringan, mengenakan gaun tidur sutra berwarna merah. Ia langsung mendekati David, duduk di pangkuannya dengan tangan melingkari lehernya. “Sayang, kenapa dari tadi diam saja? Aku bosan.” Zoya merajuk manja, membelai pipi
Suara langkah sepatu Erick menggema di koridor kantor megah itu. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan amarah yang menggelegak. Tak peduli pada tatapan heran para pegawai yang menyingkir dari jalannya, ia terus melangkah cepat menuju ruang kerja David. Begitu sampai di depan pintu kaca berlapis nama pria itu, Erick mendorongnya dengan kasar hingga terbuka lebar. Sekretaris David yang duduk di depan meja langsung berdiri, terkejut. "Maaf, Pak! Anda tidak bisa masuk tanpa membuat janji terlebih dahulu—" Erick mengabaikan wanita itu dan langsung masuk ke dalam ruangan luas dengan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota. Di balik meja, David yang sedang membaca dokumen mengangkat wajahnya, alisnya bertaut. "Erick?" Tanpa peringatan, Erick menghantam wajah David dengan tinjunya. Pria itu terhuyung ke belakang, dokumen-dokumen berserakan di lantai. David meraba pipinya yang terasa panas, matanya membulat tak percaya. "Apa-apaan kamu?!" bentaknya. "Kau masih berani
Clara duduk di ujung ranjang rumah sakit bersama Maria, tangannya gemetar saat menggenggam cangkir teh hangat yang baru saja dibuatkan oleh ibu mertuanya itu. Matanya sembab, jelas habis menangis semalaman. Maria duduk di sebelahnya, menatapnya dengan penuh iba. "Aku minta maaf, Bu," suara Clara bergetar, hampir berbisik. "Aku sudah berusaha sekuat tenaga, tapi aku tidak bisa lagi mempertahankan pernikahanku dengan David." Maria menghela napas pelan. Ia suda tahu soal itu sebelumnya, tetapi melihat langsung betapa hancurnya clara membuat hatinya ikut sakit. "Kamu tidak perlu meminta maaf, Clara. Aku juga akan melakukan hal yang sama jika aku ada di posisimu," jawab Maria lembut. "Tapi aku merasa gagal," Clara menundukkan kepala. "Aku pernah berjanji akan bertahan. Aku pernah berpikir kalau aku cukup kuat untuk mengubahnya. Tapi kenyataannya… aku hanya menyiksa diriku sendiri." Maria meraih tangan Clara dan menggenggamnya erat. "Tidak ada yang salah dengan menyerah jika itu b
Zoya duduk di tepi ranjang, kedua tangannya meremas ujung selimut dengan gelisah. Perutnya yang mulai membesar seolah menjadi pengingat betapa besar kebohongan yang telah ia ciptakan. David sedang berada di kantor, sementara Clara—istri sahnya—masih di rumah sakit karena kdrt yang dilakukan oleh David beberapa hari lalu.Zoya masih bisa mengingat nasihat yang diberikan Clara. Dia harus bisa menjaga diri dan anaknya dari amukan David. Saat itu, untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar takut pada David. Melihat tubuh Clara yang babak belur di hajar David.Sebelumnya, ia hanya melihat sisi lembut pria itu—sisi yang ia manfaatkan dengan mengaku bahwa bayi yang dikandungnya adalah darah daging David. Ia tahu David sangat menginginkan keturunan, sesuatu yang tak bisa diberikan oleh Clara. Maka, ketika ia mengetahui dirinya hamil akibat kesalahan satu malam dengan mantan pacarnya, Rian, ia mengambil kesempatan itu. Namun, kini kebohongan itu mulai terasa seperti jerat di lehernya. B
Sidang perceraian Clara dan David berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan. Meskipun keduanya sepakat untuk berpisah, masalah pembagian harta membuat segalanya berlarut-larut. David bersikeras bahwa ia berhak atas sebagian besar aset mereka, sementara Clara tidak ingin menyerahkan lebih dari yang seharusnya. "Rumah ini milik kita berdua, David. Aku tidak akan menyerahkan semuanya begitu saja," tegas Clara di ruang sidang. David mendengus. "Tapi aku yang membayar sebagian besar cicilannya!" "Kamu lupa? Aku juga berkontribusi. Aku yang menata dan menjadikannya nyaman. Jangan hanya melihat uang, tapi juga usaha yang telah kuberikan," balas Clara, tidak mau kalah. Pertarungan mereka terus berlangsung. Pengacara masing-masing sibuk menyusun argumen terbaik. Clara menolak untuk mundur, karena bagi dirinya, ini bukan sekadar soal harta, melainkan harga diri. Setelah bertahun-tahun mengalah dalam pernikahan, ia ingin memastikan bahwa perpisahan ini berakhir dengan adil. Akhirny
Zoya melipat tangannya di dada, wajahnya memerah menahan amarah. Matanya yang tajam menatap David dengan penuh ketidakpercayaan. "Jadi, kamu cuma dapat tiga puluh persen? Baik dari aset maupun perusahaan?" suara Zoya meninggi. David duduk di sofa dengan ekspresi lelah, seolah pertengkaran ini sudah ia prediksi sejak tadi. "Iya, Zoya. Aku sudah bilang, ini hasil terbaik yang bisa kudapatkan. Daripada aku tidak dapat apa-apa dan kita harus hidup lebih susah, lebih baik aku menerima ini." Zoya tertawa sinis. "Hidup lebih susah? Maksudmu, aku harus hidup hemat sekarang? Aku menikah denganmu bukan untuk ini, David!" David menatapnya tajam. "Aku tahu, Zoya. Aku tahu alasanmu menikah denganku. Tapi aku juga sudah bilang sejak awal, perceraian ini tidak akan mudah. Clara punya pengacara yang jauh lebih licik. Kalau aku memaksakan diri untuk mendapat lebih, bisa saja aku malah kehilangan segalanya." Zoya mengerang frustasi. Ia sudah membayangkan kehidupan yang mewah setelah Clara ang
Clara menatap pantulan dirinya di cermin, gaun pengantin putih yang membalut tubuhnya begitu sempurna. Bahunya yang terbuka dihiasi renda halus, sementara rambutnya disanggul anggun dengan mahkota kecil yang berkilauan. Hari ini adalah hari yang bahkan tak pernah ia bayangkan enam bulan lalu—hari pernikahannya dengan Erick. Dulunya, Clara dan Erick hanya kisah lama yang tak terselesaikan. Mereka adalah pasangan di SMA, penuh cinta monyet yang akhirnya kandas karena ambisi dan perbedaan jalan hidup. Namun, takdir memang selalu punya caranya sendiri. Setelah perceraiannya dengan David, Erick kembali hadir, mengisi ruang kosong yang lama tak berpenghuni. Dan kini, mereka akhirnya bersatu kembali, bukan sebagai remaja yang masih mencari jati diri, tapi sebagai dua orang dewasa yang saling memilih. Pernikahan mereka sontak menjadi viral. Tagar **#ClaraErickWedding** membanjiri media sosial. Foto-foto Clara dalam gaun mewah dan Erick dalam tuksedo elegan tersebar di mana-mana. Netizen h
Erick baru saja keluar dari lobi kantornya ketika seorang wanita berdiri menghadang langkahnya. Mata tajamnya langsung mengenali sosok itu—Kemala. Wanita itu tampak lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu, namun tatapan matanya tetap sama. Penuh tekad. "Aku ingin bicara," ucap Kemala tanpa basa-basi. Erick menghela napas. "Kemala, kita tidak punya urusan lagi. Aku sudah menikah." "Aku tahu." Kemala menatapnya lekat. "Tapi ini penting." Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya Erick mengangguk dengan enggan. "Baiklah. Tapi setelah ini, jangan pernah menemuiku lagi." Kemala tersenyum tipis. "Aku janji." *** Mereka duduk di sebuah kafe yang cukup tenang, jauh dari kebisingan kota. Erick memilih tempat yang agak tersembunyi, tak ingin menarik perhatian siapa pun. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya langsung, menyesap kopinya dengan ekspresi datar. Kemala menunduk sejenak sebelum menatap Erick lurus-lurus. "Aku hanya ingin meminta maaf." Erick mengernyit.
Maria menatap David dengan penuh kekhawatiran. Wajah pria itu penuh luka lebam, sudut bibirnya pecah, dan ada bekas cakaran di lehernya. Tangannya juga bengkak, seperti baru saja bertarung habis-habisan. "Apa yang terjadi, David?" suara Maria terdengar penuh tuntutan. David menghela napas pelan, lalu menyandarkan kepalanya ke sofa. "Aku diserang penjahat di jalan," jawabnya singkat. Dia enggan menceritakan kejadian yang sebenarnya karena takut diceramahi oleh sang Ibu.Maria menyipitkan mata, tak percaya begitu saja. "Jangan bohong. Aku tahu kamu. Siapa yang melakukan ini?" David mengusap wajahnya yang terasa perih. Dia tahu Maria tak akan berhenti sampai mendapatkan jawaban yang sebenarnya. Setelah beberapa detik terdiam, dia akhirnya mengaku, "Erick." Maria terhenyak. "Suami baru Clara?" David mengangguk perlahan. "Aku mencoba bicara dengan Clara. Aku ingin mengajaknya balikan." David tersenyum miring. Maria mengembuskan napas tajam. Dadanya terasa sesak oleh amarah. "Kam
Siang itu, Zoya baru saja selesai menidurkan putranya yang masih balita. Angin sore berembus perlahan melalui jendela, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Dia menghela napas, menikmati momen singkat ini sebelum kembali bekerja. Sejak memutuskan untuk hidup mandiri dan tidak lagi bergantung pada Danis, Zoya bekerja keras demi masa depan anaknya. Namun, ketenangan itu terganggu oleh suara ketukan di pintu. Zoya mengernyit. Jarang ada tamu yang datang ke rumah sederhananya ini. Dengan langkah hati-hati, dia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di hadapannya berdiri seorang wanita muda dengan penampilan elegan. Gaun mahal yang membalut tubuhnya menunjukkan bahwa dia berasal dari dunia yang berbeda dengan Zoya. Wajahnya cantik, tetapi tatapannya tajam, penuh penilaian. "Fany?" Zoya mengenali wanita itu dari foto-foto yang tersebar di media sosial. Dia adalah calon istri Danis. Fany tersenyum tipis. "Boleh aku masuk?" Zoya ragu sejenak sebelum mengangguk dan membiarkannya ma
Zoya melangkah ke kamar mandi setelah menutup pintu kamar hotel di belakangnya. Bau parfum mahal masih tercium di udara, bercampur dengan aroma anggur yang tersisa di meja. Air hangat mengalir dari pancuran, menyapu kulitnya yang terasa lengket setelah semalaman melayani tamu VVIP. Dia menarik napas dalam, membiarkan air membasuh lelah dan jejak yang tertinggal dari pekerjaannya malam ini. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Zoya tak bisa berlama-lama. Setelah membungkus tubuhnya dengan handuk, dia segera mengenakan gaun kasual sederhana, jauh dari tampilan glamor yang baru saja dia kenakan. Wajahnya yang sebelumnya penuh riasan kini bersih tanpa cela, menampilkan kecantikannya yang alami. Begitu keluar dari hotel, Zoya memesan taksi daring dan memasukkan alamat tempat penitipan anak yang buka 24 jam. Matanya mulai terasa berat, tetapi dia menepis kantuknya. Ada seseorang yang menunggunya, seseorang yang menjadi alasan dia bertahan sejauh ini. Sesampainya di tempat penitipan
Clara berjalan mondar-mandir di ruang tamu, dadanya bergemuruh penuh emosi. Jemarinya mengepal erat, mencoba menahan gemetar yang menjalari tubuhnya. Pikirannya penuh dengan satu hal—Erick telah menghajar David hingga masuk rumah sakit. Begitu suara langkah kaki terdengar dari pintu depan, Clara langsung bergegas. Begitu Erick masuk, wajahnya masih dingin, tanpa sedikit pun rasa bersalah. "Apa yang kau lakukan, Erick?!" bentak Clara, matanya berkilat marah. Erick mengangkat alis, lalu menutup pintu dengan tenang. "Aku hanya memberinya pelajaran." "Pelajaran?!" Clara tertawa sinis, tak percaya dengan betapa ringannya pria itu menganggap semuanya. "David masuk rumah sakit! Kamu tahu apa artinya?! Dia bisa melaporkanmu ke polisi! Kamu bisa masuk penjara, Erick!" Alih-alih merasa khawatir, Erick justru tersenyum miring. "Jadi, kamu cemas aku masuk penjara? Atau sebenarnya kau lebih cemas pada David?" Clara tertegun. "Apa maksudmu?" Erick mendekat, sorot matanya tajam menelis
David baru saja menutup pintu rumah ketika suara deru mesin mobil mendekat dengan cepat. Matanya sempat menangkap cahaya lampu Jeep hitam yang berhenti mendadak di depan pekarangan. Sebelum sempat bereaksi, dua pria bertubuh kekar keluar dari mobil dan langsung menerjangnya. "Heh! Apa-apaan ini?!" David berusaha meronta, tapi cengkeraman mereka terlalu kuat. Salah satu pria mendorongnya dengan kasar ke dalam mobil. "Diam kalau masih mau hidup!" suara dinginnya menusuk. Pintu Jeep dibanting tertutup, dan kendaraan melaju kencang menembus kegelapan malam. Jantung David berdegup kencang. Tangannya berusaha mencari ponselnya, tapi pria di sebelahnya lebih cepat merampasnya dan melemparkannya ke depan. Perjalanan terasa panjang, meskipun mungkin hanya beberapa menit. Ketika Jeep berhenti, David ditarik keluar dengan kasar. Sekelilingnya gelap, hanya ada siluet sebuah gudang tua yang terlihat mengancam. Pintu gudang berderit ketika dibuka. Udara di dalamnya lembap dan pengap, deng
Clara berdiri di ambang pintu, menatap pria di hadapannya dengan ekspresi tak terbaca. Sore itu, angin bertiup lembut, mengibarkan beberapa helai rambutnya yang tergerai. David, pria yang pernah mengisi hatinya bertahun-tahun lalu, kini berdiri di teras rumahnya dengan sorot mata penuh penyesalan. “Aku hanya ingin bicara sebentar,” ujar David, suaranya rendah namun jelas membawa nada permohonan. Clara tetap berdiri tegak, tidak berniat mempersilakan David masuk. Ia tahu Erick, suaminya, akan pulang beberapa jam lagi, dan ia tidak ingin meninggalkan celah sekecil apa pun untuk kesalahpahaman. “Bicaralah di sini,” jawab Clara akhirnya. David menarik napas panjang sebelum berbicara. “Clara… aku menyesal. Aku menyesal telah meninggalkanmu dulu. Aku bodoh karena melepaskan mu, dan lebih bodoh lagi karena tidak menyadari betapa berharganya dirimu sampai semuanya terlambat.” Clara mengepalkan jemarinya yang terasa dingin meski sore itu cukup hangat. Hatinya sempat bergetar mendenga
David berdiri di sudut jalan yang sedikit tersembunyi di balik pohon besar. Matanya tak lepas dari sosok Clara yang tengah duduk di teras rumahnya, tertawa bahagia bersama suaminya, Erick. Perut Clara yang mulai membuncit menjadi bukti nyata bahwa kebahagiaannya telah bertambah. David mengepalkan tangan, merasakan sesuatu yang tajam menusuk dadanya. Dulu, itu seharusnya menjadi hidupnya. Seharusnya dia yang duduk di sana, menggenggam tangan Clara, tertawa bersamanya, dan menantikan kelahiran anak mereka. Tapi kesalahannya sendiri telah membuat semua itu mustahil. Dia masih ingat dengan jelas bagaimana Clara menangis di hadapannya saat mengetahui perselingkuhannya dengan Zoya. Betapa wajahnya penuh luka dan kekecewaan ketika menyerahkan surat cerai di tangannya. Saat itu, David mengira dia akan baik-baik saja, bahwa dia bisa melanjutkan hidupnya dengan Zoya. Tapi nyatanya, pernikahannya dengan Zoya berantakan. Wanita itu tidak seperti Clara. Tidak setulus, penyabar, dan sehangat Cl
“Siapa wanita tadi?” Danis bertanya saat mereka baru saja masuk ke dalam apartemen. Zoya meletakkan tas di meja, kemudian duduk di sofa. Tatapannya tajam, menunggu jawaban. “Clara,” jawabnya singkat. “Mantan istri pertama David.” Danis mengangkat alisnya. “Mantan istri pertama? Berarti dia sudah menikah lagi setelah bercerai dari David?” Aku mengangguk pelan. “Ya. Tapi pernikahan keduanya sangat beruntung. Dia menikah dengan Erick, bujang kaya nomor lima di kota ini.” Denia terdiam sejenak, seolah mencerna informasi itu. “Kenapa dia melihatmu seperti itu?” Aku tersenyum tipis, menatap tanganku sendiri. “Mungkin dia terkejut melihatku seperti ini. Dulu aku bukan ibu rumah tangga biasa, Danis. Aku hidup dalam kemewahan, selalu tampil sempurna. Sekarang? Aku hanya seorang wanita biasa, dengan pakaian sederhana dan tanpa perhiasan mencolok.” Danis menghela napas, lalu bersandar di sofa. “Itu memang lebih baik,” gumamnya. Aku menoleh, menatapnya dalam. “Maksudmu?”