Sidang perceraian Clara dan David berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan. Meskipun keduanya sepakat untuk berpisah, masalah pembagian harta membuat segalanya berlarut-larut. David bersikeras bahwa ia berhak atas sebagian besar aset mereka, sementara Clara tidak ingin menyerahkan lebih dari yang seharusnya. "Rumah ini milik kita berdua, David. Aku tidak akan menyerahkan semuanya begitu saja," tegas Clara di ruang sidang. David mendengus. "Tapi aku yang membayar sebagian besar cicilannya!" "Kamu lupa? Aku juga berkontribusi. Aku yang menata dan menjadikannya nyaman. Jangan hanya melihat uang, tapi juga usaha yang telah kuberikan," balas Clara, tidak mau kalah. Pertarungan mereka terus berlangsung. Pengacara masing-masing sibuk menyusun argumen terbaik. Clara menolak untuk mundur, karena bagi dirinya, ini bukan sekadar soal harta, melainkan harga diri. Setelah bertahun-tahun mengalah dalam pernikahan, ia ingin memastikan bahwa perpisahan ini berakhir dengan adil. Akhirny
Zoya melipat tangannya di dada, wajahnya memerah menahan amarah. Matanya yang tajam menatap David dengan penuh ketidakpercayaan. "Jadi, kamu cuma dapat tiga puluh persen? Baik dari aset maupun perusahaan?" suara Zoya meninggi. David duduk di sofa dengan ekspresi lelah, seolah pertengkaran ini sudah ia prediksi sejak tadi. "Iya, Zoya. Aku sudah bilang, ini hasil terbaik yang bisa kudapatkan. Daripada aku tidak dapat apa-apa dan kita harus hidup lebih susah, lebih baik aku menerima ini." Zoya tertawa sinis. "Hidup lebih susah? Maksudmu, aku harus hidup hemat sekarang? Aku menikah denganmu bukan untuk ini, David!" David menatapnya tajam. "Aku tahu, Zoya. Aku tahu alasanmu menikah denganku. Tapi aku juga sudah bilang sejak awal, perceraian ini tidak akan mudah. Clara punya pengacara yang jauh lebih licik. Kalau aku memaksakan diri untuk mendapat lebih, bisa saja aku malah kehilangan segalanya." Zoya mengerang frustasi. Ia sudah membayangkan kehidupan yang mewah setelah Clara ang
Clara menatap pantulan dirinya di cermin, gaun pengantin putih yang membalut tubuhnya begitu sempurna. Bahunya yang terbuka dihiasi renda halus, sementara rambutnya disanggul anggun dengan mahkota kecil yang berkilauan. Hari ini adalah hari yang bahkan tak pernah ia bayangkan enam bulan lalu—hari pernikahannya dengan Erick. Dulunya, Clara dan Erick hanya kisah lama yang tak terselesaikan. Mereka adalah pasangan di SMA, penuh cinta monyet yang akhirnya kandas karena ambisi dan perbedaan jalan hidup. Namun, takdir memang selalu punya caranya sendiri. Setelah perceraiannya dengan David, Erick kembali hadir, mengisi ruang kosong yang lama tak berpenghuni. Dan kini, mereka akhirnya bersatu kembali, bukan sebagai remaja yang masih mencari jati diri, tapi sebagai dua orang dewasa yang saling memilih. Pernikahan mereka sontak menjadi viral. Tagar **#ClaraErickWedding** membanjiri media sosial. Foto-foto Clara dalam gaun mewah dan Erick dalam tuksedo elegan tersebar di mana-mana. Netizen h
Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, menerangi kamar apartemen dengan cahaya keemasan. Di atas ranjang berantakan, Clara menggeliat pelan, merasakan hangatnya tubuh suaminya yang masih menempel di sisinya. Erick, yang sudah lebih dulu terjaga, tersenyum puas saat melihat istrinya mulai sadar dari tidurnya. “Pagi, sayang,” suara seraknya terdengar menggoda. Ia menyapukan jemarinya ke pipi Clara, lalu mengecup pelipisnya lembut. Clara membuka matanya perlahan, lalu terkekeh kecil ketika melihat Erick menatapnya dengan tatapan penuh hasrat. “Pagi... Kamu sudah bangun lama?” tanyanya dengan suara masih serak karena tidur. “Cukup lama untuk merindukanmu lagi,” Erick menjawab dengan nada menggoda, tangannya mulai menjelajah, menyusuri lekuk tubuh istrinya yang hanya terbalut selimut tipis. Clara mendesah pelan saat Erick menariknya lebih dekat, tubuh mereka kini tanpa jarak. “Tadi malam kamu sudah menghabisiku,” protesnya manja, tapi tak ada ketegasan dalam suar
Clara duduk di sudut kafe yang tenang, jari-jarinya melingkari cangkir kopi yang sudah mendingin. Hari ini, ia mengajak seseorang yang tak pernah ia sangka akan ia temui lagi setelah perceraian dengan David—Maria, mantan ibu mertuanya. Maria datang dengan langkah anggun seperti biasanya, mengenakan blus pastel dan tas tangan yang selalu tampak elegan. Senyum lembutnya masih sama, meskipun ada sedikit keraguan di matanya saat ia melihat Clara. “Clara, apa kabar?” sapanya, menarik kursi di hadapan mantan menantunya. Clara tersenyum, meski hatinya berdebar. “Aku baik, bu. Terima kasih sudah mau datang.” Maria mengangguk. “Tentu saja, Nak. Kamu seperti anakku sendiri dulu.” Clara menelan ludah, mengingat masa-masa ketika ia masih menjadi bagian dari keluarga itu. Namun, bukan itu yang ingin ia bahas hari ini. Ia menghela napas dan menatap Maria dengan serius. “Bu, aku ingin meminta bantuan,” ujarnya pelan. Maria mengangkat alis. “Bantuan apa?” Clara menggigit bibir sebelum
Matahari baru saja muncul ketika aroma kopi dan roti panggang memenuhi rumah. Di dapur, seorang pria tampan dengan kaus santai dan celana pendek tengah sibuk di depan kompor. Erick, dengan tangan cekatan, membalik telur dadar di wajan, sementara di sebelahnya, dua cangkir kopi sudah tertata rapi di meja. Clara berjalan mengendap-endap dari belakang dan melingkarkan tangannya di pinggang suaminya. “Pagi-pagi sudah sibuk aja. Padahal ada Bi Inah, kan?” godanya dengan suara manja. Erick tertawa kecil, lalu berbalik dan mengecup kening istrinya. “Aku suka masak buat kamu. Lagipula, Bi Inah juga butuh istirahat.” Dari balik pintu dapur, Bi Inah berdiri dengan tangan di pinggang, menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah majikannya yang selalu bermesraan. Sudah sebulan ia bekerja di rumah ini sejak Erick dan Clara menikah, dan hampir setiap hari ia menyaksikan pemandangan yang sama—Erick yang terlalu memanjakan istrinya. “Duh, Gusti… Suami zaman sekarang sangat suka memanjakan ist
Clara duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit, menatap jemarinya yang saling bertaut. Hatinya berdebar tak karuan. Di sampingnya, Erick menggenggam tangannya erat, memberikan kehangatan sekaligus menenangkan kegelisahannya. "Jangan tegang seperti itu, Sayang," bisik Erick sambil tersenyum. Clara menghela napas pelan. "Aku deg-degan, Erick. Entah kenapa rasanya campur aduk." Tak lama, seorang perawat keluar dari ruangan dokter dan memanggil nama Clara. Mereka segera masuk, disambut oleh dokter wanita paruh baya yang tersenyum ramah. "Apa keluhan Anda, Bu Clara?" Clara menoleh sekilas ke arah Erick sebelum menjawab, "Saya terlambat haid dan sering merasa mual belakangan ini. Jadi, saya ingin memastikan apakah saya benar-benar hamil." Dokter mengangguk paham dan segera melakukan pemeriksaan. Dokter juga meminta Clara untuk memakai alat tes kehamilan. Setelah beberapa menit, ia tersenyum. "Selamat, Bu Clara. Anda positif hamil. Usianya masih sangat muda, sekitar lima minggu."
Zoya menatap David dengan mata yang penuh keyakinan. Ia tahu kata-katanya barusan seperti omong kosong bagi pria itu, tapi ia tak peduli. Ia akan mengatakannya berulang kali sampai David mau mendengarkan. "Pria mandul belum tentu tidak bisa punya anak," ucap Zoya tegas, suaranya bergetar namun sarat dengan keteguhan. "Mungkin kehamilanku waktu itu adalah sebuah anugerah dari Tuhan untukmu, David. Anak yang aku lahirkan benar-benar adalah anakmu." David tidak langsung merespons. Matanya meneliti wajah Zoya dengan tatapan tajam, seolah berusaha membaca kebohongan di sana. Namun, Zoya tidak menghindar. Ia membiarkan David menatapnya selama yang pria itu mau, karena ia tahu dirinya tidak bersalah. David tertawa kecil, tapi bukan tawa yang menyenangkan. "Jadi, kau ingin aku percaya begitu saja? Setelah bertahun-tahun kau menghilang tanpa kabar, tiba-tiba muncul dan berkata bahwa anak itu milikku?" Ia menggelengkan kepala, ekspresinya penuh sinisme. "Kau pikir aku sebodoh itu, Zoya?"
Siang itu, Zoya baru saja selesai menidurkan putranya yang masih balita. Angin sore berembus perlahan melalui jendela, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Dia menghela napas, menikmati momen singkat ini sebelum kembali bekerja. Sejak memutuskan untuk hidup mandiri dan tidak lagi bergantung pada Danis, Zoya bekerja keras demi masa depan anaknya. Namun, ketenangan itu terganggu oleh suara ketukan di pintu. Zoya mengernyit. Jarang ada tamu yang datang ke rumah sederhananya ini. Dengan langkah hati-hati, dia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di hadapannya berdiri seorang wanita muda dengan penampilan elegan. Gaun mahal yang membalut tubuhnya menunjukkan bahwa dia berasal dari dunia yang berbeda dengan Zoya. Wajahnya cantik, tetapi tatapannya tajam, penuh penilaian. "Fany?" Zoya mengenali wanita itu dari foto-foto yang tersebar di media sosial. Dia adalah calon istri Danis. Fany tersenyum tipis. "Boleh aku masuk?" Zoya ragu sejenak sebelum mengangguk dan membiarkannya ma
Zoya melangkah ke kamar mandi setelah menutup pintu kamar hotel di belakangnya. Bau parfum mahal masih tercium di udara, bercampur dengan aroma anggur yang tersisa di meja. Air hangat mengalir dari pancuran, menyapu kulitnya yang terasa lengket setelah semalaman melayani tamu VVIP. Dia menarik napas dalam, membiarkan air membasuh lelah dan jejak yang tertinggal dari pekerjaannya malam ini. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Zoya tak bisa berlama-lama. Setelah membungkus tubuhnya dengan handuk, dia segera mengenakan gaun kasual sederhana, jauh dari tampilan glamor yang baru saja dia kenakan. Wajahnya yang sebelumnya penuh riasan kini bersih tanpa cela, menampilkan kecantikannya yang alami. Begitu keluar dari hotel, Zoya memesan taksi daring dan memasukkan alamat tempat penitipan anak yang buka 24 jam. Matanya mulai terasa berat, tetapi dia menepis kantuknya. Ada seseorang yang menunggunya, seseorang yang menjadi alasan dia bertahan sejauh ini. Sesampainya di tempat penitipan
Clara berjalan mondar-mandir di ruang tamu, dadanya bergemuruh penuh emosi. Jemarinya mengepal erat, mencoba menahan gemetar yang menjalari tubuhnya. Pikirannya penuh dengan satu hal—Erick telah menghajar David hingga masuk rumah sakit. Begitu suara langkah kaki terdengar dari pintu depan, Clara langsung bergegas. Begitu Erick masuk, wajahnya masih dingin, tanpa sedikit pun rasa bersalah. "Apa yang kau lakukan, Erick?!" bentak Clara, matanya berkilat marah. Erick mengangkat alis, lalu menutup pintu dengan tenang. "Aku hanya memberinya pelajaran." "Pelajaran?!" Clara tertawa sinis, tak percaya dengan betapa ringannya pria itu menganggap semuanya. "David masuk rumah sakit! Kamu tahu apa artinya?! Dia bisa melaporkanmu ke polisi! Kamu bisa masuk penjara, Erick!" Alih-alih merasa khawatir, Erick justru tersenyum miring. "Jadi, kamu cemas aku masuk penjara? Atau sebenarnya kau lebih cemas pada David?" Clara tertegun. "Apa maksudmu?" Erick mendekat, sorot matanya tajam menelis
David baru saja menutup pintu rumah ketika suara deru mesin mobil mendekat dengan cepat. Matanya sempat menangkap cahaya lampu Jeep hitam yang berhenti mendadak di depan pekarangan. Sebelum sempat bereaksi, dua pria bertubuh kekar keluar dari mobil dan langsung menerjangnya. "Heh! Apa-apaan ini?!" David berusaha meronta, tapi cengkeraman mereka terlalu kuat. Salah satu pria mendorongnya dengan kasar ke dalam mobil. "Diam kalau masih mau hidup!" suara dinginnya menusuk. Pintu Jeep dibanting tertutup, dan kendaraan melaju kencang menembus kegelapan malam. Jantung David berdegup kencang. Tangannya berusaha mencari ponselnya, tapi pria di sebelahnya lebih cepat merampasnya dan melemparkannya ke depan. Perjalanan terasa panjang, meskipun mungkin hanya beberapa menit. Ketika Jeep berhenti, David ditarik keluar dengan kasar. Sekelilingnya gelap, hanya ada siluet sebuah gudang tua yang terlihat mengancam. Pintu gudang berderit ketika dibuka. Udara di dalamnya lembap dan pengap, deng
Clara berdiri di ambang pintu, menatap pria di hadapannya dengan ekspresi tak terbaca. Sore itu, angin bertiup lembut, mengibarkan beberapa helai rambutnya yang tergerai. David, pria yang pernah mengisi hatinya bertahun-tahun lalu, kini berdiri di teras rumahnya dengan sorot mata penuh penyesalan. “Aku hanya ingin bicara sebentar,” ujar David, suaranya rendah namun jelas membawa nada permohonan. Clara tetap berdiri tegak, tidak berniat mempersilakan David masuk. Ia tahu Erick, suaminya, akan pulang beberapa jam lagi, dan ia tidak ingin meninggalkan celah sekecil apa pun untuk kesalahpahaman. “Bicaralah di sini,” jawab Clara akhirnya. David menarik napas panjang sebelum berbicara. “Clara… aku menyesal. Aku menyesal telah meninggalkanmu dulu. Aku bodoh karena melepaskan mu, dan lebih bodoh lagi karena tidak menyadari betapa berharganya dirimu sampai semuanya terlambat.” Clara mengepalkan jemarinya yang terasa dingin meski sore itu cukup hangat. Hatinya sempat bergetar mendenga
David berdiri di sudut jalan yang sedikit tersembunyi di balik pohon besar. Matanya tak lepas dari sosok Clara yang tengah duduk di teras rumahnya, tertawa bahagia bersama suaminya, Erick. Perut Clara yang mulai membuncit menjadi bukti nyata bahwa kebahagiaannya telah bertambah. David mengepalkan tangan, merasakan sesuatu yang tajam menusuk dadanya. Dulu, itu seharusnya menjadi hidupnya. Seharusnya dia yang duduk di sana, menggenggam tangan Clara, tertawa bersamanya, dan menantikan kelahiran anak mereka. Tapi kesalahannya sendiri telah membuat semua itu mustahil. Dia masih ingat dengan jelas bagaimana Clara menangis di hadapannya saat mengetahui perselingkuhannya dengan Zoya. Betapa wajahnya penuh luka dan kekecewaan ketika menyerahkan surat cerai di tangannya. Saat itu, David mengira dia akan baik-baik saja, bahwa dia bisa melanjutkan hidupnya dengan Zoya. Tapi nyatanya, pernikahannya dengan Zoya berantakan. Wanita itu tidak seperti Clara. Tidak setulus, penyabar, dan sehangat Cl
“Siapa wanita tadi?” Danis bertanya saat mereka baru saja masuk ke dalam apartemen. Zoya meletakkan tas di meja, kemudian duduk di sofa. Tatapannya tajam, menunggu jawaban. “Clara,” jawabnya singkat. “Mantan istri pertama David.” Danis mengangkat alisnya. “Mantan istri pertama? Berarti dia sudah menikah lagi setelah bercerai dari David?” Aku mengangguk pelan. “Ya. Tapi pernikahan keduanya sangat beruntung. Dia menikah dengan Erick, bujang kaya nomor lima di kota ini.” Denia terdiam sejenak, seolah mencerna informasi itu. “Kenapa dia melihatmu seperti itu?” Aku tersenyum tipis, menatap tanganku sendiri. “Mungkin dia terkejut melihatku seperti ini. Dulu aku bukan ibu rumah tangga biasa, Danis. Aku hidup dalam kemewahan, selalu tampil sempurna. Sekarang? Aku hanya seorang wanita biasa, dengan pakaian sederhana dan tanpa perhiasan mencolok.” Danis menghela napas, lalu bersandar di sofa. “Itu memang lebih baik,” gumamnya. Aku menoleh, menatapnya dalam. “Maksudmu?”
Zoya baru saja keluar dari minimarket, satu tangan menenteng kantong plastik berisi susu formula, sementara tangan lainnya menopang tubuh kecil putrinya yang terlelap di gendongan. Wajahnya tampak lelah, tapi ada kelembutan dalam setiap gerakannya. Langit senja mulai meredup, dan angin sore yang berembus membawa aroma hujan yang tertahan di awan. Dia berjalan menuju halte bus, berniat segera pulang sebelum langit benar-benar runtuh menumpahkan gerimis. Namun, langkahnya terhenti ketika suara seseorang memanggil namanya. “Zoya?” Zoya menoleh dan melihat seorang wanita berdiri tak jauh darinya. Clara. Mantan sahabatnya yang dulu selalu bersamanya di masa-masa awal pernikahannya dengan David. Namun, setelah perceraian, semua orang seperti perlahan menghilang dari hidupnya, termasuk Clara. Clara mendekat, matanya menelusuri sosok Zoya dengan ekspresi sulit ditebak. Dia tampak terkejut sekaligus iba. Zoya masih seperti dulu—sederhana, tapi kali ini lebih bersahaja. Ia mengenakan ga
Kemala melangkah masuk ke dalam kafe dengan wajah muram. Matanya menyapu ruangan hingga menemukan sosok kakaknya, Thomas, yang sudah duduk di pojok dekat jendela. Dengan langkah gontai, ia berjalan ke arahnya dan duduk di kursi seberang. Thomas melirik adiknya sekilas lalu mendesah. "Kenapa mukamu kusut begitu?" tanyanya sambil mengaduk kopi hitamnya. Kemala tidak langsung menjawab. Ia hanya menopang dagu dan menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya membuka suara. "Aku baru saja bertemu mantanku," katanya lemah. Thomas mengangkat alisnya. "Dan?" Kemala menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Aku mencoba bicara dengannya, ingin memperbaiki hubungan kami. Tapi dia malah mengomeli ku, berkata bahwa aku mengganggu hidupnya, menyuruhku berhenti mendekatinya." Thomas meletakkan sendok kopinya dan menatap Kemala dengan ekspresi tidak percaya. "Serius, Kemala? Kamu masih saja mengejar dia? Bukankah sudah jelas dia tidak mengingink