Clara memakai sebuah gaun cantik berwarna marun, juga sepasang anting berlian kecil yang mengilap di telinganya untuk melengkapi pesonanya malam ini. Erick selalu tahu bagaimana membuat Clara merasa istimewa, sesuatu yang sudah lama tidak Clara rasakan dari suaminya, David.Clara menghela napas panjang, mengingat kenyataan yang ada. Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Dulu, setiap tahunnya, dia selalu menunggu pesan atau kejutan kecil dari David, tapi kini, jangankan ucapan selamat, kehadirannya saja sudah hampir dua minggu menghilang tanpa kabar. Hubungan mereka semakin renggang, seperti benang yang hampir putus.Ponselnya bergetar di atas meja rias. Sebuah pesan dari Erick.“Aku sudah di depan. Siap, sayang?”Tanpa ragu, Clara mengambil clutch hitamnya dan melangkah keluar kamar. Perasaannya melayang-layang saat melihat Erick menunggunya di depan mobil dengan setelan jas hitam yang elegan. Senyumnya, tatapannya, dan caranya memperlakukannya selalu membuat hatinya bergetar.“Kamu te
🍁🍁🍁David memperhatikan Clara dengan tatapan penuh kekaguman. Beberapa hari terakhir, istrinya tampak berbeda. Ia lebih ramping, lebih modis dalam berpakaian, dan lebih sering merias wajahnya. Rambut panjang yang dulu sering di kuncir asal-asalan kini selalu tertata rapi, kadang tergerai dengan indah, kadang diikat dengan gaya elegan. Tak bisa dipungkiri, Clara terlihat lebih menarik dari sebelumnya.Sebagai seorang suami, David seharusnya senang dengan perubahan ini. Dan memang benar, ia merasa gairah dalam dirinya menyala kembali. Selama bertahun-tahun pernikahan mereka, ada masa ketika ia merasa kejenuhan merayapi hubungan mereka, namun kini ia seperti melihat Clara dalam versi yang lebih segar, lebih hidup.Malam itu, ketika Clara tengah sibuk menghapus make-upnya di depan cermin kamar, David mendekatinya dari belakang. Ia melingkarkan tangannya di pinggang istrinya yang kini lebih ramping.“Kamu terlihat cantik malam ini,” bisiknya, suaranya dalam dan sarat keinginan.Clara me
🍁🍁🍁Malam itu, suara ketukan keras terdengar di pintu kamar David dan Zoya. David yang baru saja pulang dari pertemuannya dengan Clara terkejut saat melihat istrinya berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam. Mata Zoya menatapnya dengan penuh amarah."Kenapa kamu tidak mengangkat teleponku, David?" suaranya bergetar menahan emosi.David menghela napas, berusaha tetap tenang. "Aku sedang bersama Clara, sayang. Aku ingin menikmati waktu berdua dengannya tanpa gangguan."Jawaban itu hanya membuat emosi Zoya semakin memuncak. "Jadi, aku ini apa bagimu? Aku istrimu juga, David! Kamu pikir aku tak berhak menelepon suamiku sendiri?!" suaranya meninggi.David mengusap wajahnya dengan lelah. "Zoya, aku lebih banyak menghabiskan waktu denganmu daripada dengan Clara. Aku hanya ingin memberikan perhatian yang seimbang kepada kalian berdua."Zoya mendengus sinis. "Jadi sekarang aku harus bersyukur karena kamu lebih banyak bersamaku? Itu alasanmu untuk mengabaikan ku? Jangan-jangan kamu s
🍁🍁🍁David melangkah masuk ke dalam butik perhiasan mewah di pusat kota dengan wajah penuh tekad. Ia ingin mencari cincin berlian yang sempurna untuk istrinya yang kedua, Zoya. Wanita hamil itu menginginkan sesuatu yang istimewa, sesuatu yang tidak kalah mewah dari cincin yang pernah diposting oleh istri pertamanya Clara.David mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto cincin berlian milik Clara kepada pegawai toko. "Saya ingin cincin seperti ini," katanya.Pegawai toko itu mengamati foto tersebut dengan penuh perhatian. "Cincin seperti ini sangat cantik dan tentunya memiliki harga yang cukup mahal, Pak. Selain itu, cincin dengan model ini harus dipesan terlebih dahulu karena cukup langka."David mengangguk. Ia sudah menduganya. "Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memesan cincin ini?"Pegawai itu tersenyum sopan. "Kebetulan, Pak, model seperti ini baru ada satu orang yang memesan baru-baru ini."David mengerutkan kening. Kebetulan? "Siapa yang memesannya?" tanyanya dengan pen
Clara melangkah masuk ke butik langganannya dengan anggun. Wangi parfum eksklusif memenuhi ruangan, mencampur dengan aroma lembut kain-kain mahal yang tersusun rapi di rak-rak kaca. Matanya menyisir koleksi terbaru yang dipajang, mencoba mengusir segala beban pikirannya dengan sedikit terapi belanja. Namun, kedamaian itu seketika runtuh. Seorang wanita dengan gaun merah menyala, sepatu hak tinggi berkilau, serta riasan tebal yang hampir menyerupai topeng, berjalan dengan percaya diri. Dia tampak mencolok dengan rambut panjangnya yang ditata sempurna dan tas desainer tergantung di lengannya. Zoya. Clara mengenalinya seketika, tetapi pura-pura tidak melihat. Dia tidak punya waktu untuk drama murahan. Namun, Zoya tidak akan membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja. “Oh, Clara? Astaga, aku hampir tak mengenalimu,” suara wanita itu melengking dengan nada sinis, mendekatinya dengan senyum angkuh.“Kamu masih suka belanja di sini? Aku kira setelah kehilangan perhatian David, k
Erick berjalan mondar-mandir di depan ruang perawatan, jemarinya mengepal kuat, menahan luapan emosi yang sejak tadi bergemuruh di dadanya. Matanya tak lepas dari sosok wanita yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Clara, kekasihnya, terlihat pucat dengan perban melingkari lengan dan kakinya. Beberapa luka lebam tampak jelas di wajahnya. “Kami baik-baik saja?” Erick bertanya, suaranya serak menahan amarah. Clara tersenyum lemah. “Aku baik-baik saja, Erick. Jangan cemas.” “Jangan cemas?” Erick mendengus, matanya menyala penuh kemarahan. “Kamu hampir kehilangan nyawamu, Clara! Itu semua gara-gara wanita itu!” Zoya. Nama itu meluncur dalam benak Erick dengan penuh kebencian. Wanita itu telah menyerempet Clara dengan mobil, meninggalkannya dalam keadaan terluka. Erick tak bisa tinggal diam. Ia harus membalas perbuatan itu. “Aku bersumpah, Clara. Aku akan membuatnya membayar perbuatannya!” katanya penuh tekad. Clara menggeleng, jemarinya yang lemah menggenggam tangan
David melangkah masuk ke kamar dengan wajah tegang. Matanya tajam menatap Zoya yang sedang duduk di tepi ranjang, tangannya terlipat di dada, ekspresinya masih menyiratkan kemarahan yang belum reda. “Apa yang kamu lakukan pada Clara?” suara David terdengar dingin, nyaris mengandung amarah yang tertahan. Zoya mendongak, menatap suaminya dengan dagu terangkat. “Aku hanya membela diri.” David menghela napas panjang, berusaha menekan emosinya. “Membela diri? Clara terluka, Zoya! Kamu bahkan hampir mencelakainya!” Zoya mencibir. “Jangan berlebihan, David. Aku tidak mencelakainya tanpa alasan. Clara sendiri yang memulai. Dia menghinaku di depan orang banyak, membuatku malu. Apa kau tahu betapa sakitnya itu?” David terdiam sejenak. Ia tahu Clara bukan tipe orang yang akan menyerang tanpa sebab. Tapi Zoya juga tidak pernah berbohong padanya—setidaknya, selama ini ia percaya demikian. “Lalu, kenapa kamu tega melukai Clara?” tanyanya dengan nada lebih rendah. Zoya menghela napas d
Untuk kesekian kalinya, Clara menghabiskan akhir pekannya dengan Erick. Dia nampak cantik dengan gaun selutut berwarna biru membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, sedikit bergelombang di ujungnya. Malam ini, ia tidak ingin menjadi istri yang menunggu suaminya pulang dengan harapan kosong. Tidak. Malam ini, ia ingin menghabiskan malam bahagia bersama Erick kekasihnya. David suaminya pergi ke luar negeri tanpa sepatah kata pun, hanya meninggalkan pesan singkat di ponselnya: *Aku pergi beberapa hari. Jangan cari aku.* Sebaliknya, Zoya—wanita yang baru beberapa bulan dinikahi David—memamerkan foto-foto kebersamaannya dengan pria itu di media sosial. Makan malam romantis di Paris, berbelanja di butik mewah, bahkan menikmati matahari terbenam di Santorini. Semua yang dulu pernah Clara impikan, tetapi tak pernah ia dapatkan. "Clara?" Suara Erick membuyarkan lamunannya. Clara berbalik, menatap pria yang sudah menunggunya di ambang pintu kamar hotel. Eri
Agnes melangkah masuk ke dalam ruangan dengan wajah lesu. Thomas, yang sedang duduk santai di sofa dengan segelas wine di tangannya, menatapnya sekilas sebelum kembali menyesap minumannya. “Kamu terlihat seperti orang yang kalah,” sindir Thomas tanpa basa-basi. Agnes mendesah panjang, lalu menjatuhkan diri ke sofa di seberangnya. “Aku memang kalah, Tom. Aku menyerah.” Thomas menaikkan satu alisnya. “Menyerah? Sejak kapan Agnes yang kukenal tahu artinya menyerah?” Agnes menyandarkan kepalanya ke belakang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. “Sejak aku sadar bahwa aku tidak akan pernah bisa menyentuh perempuan itu.” Thomas mulai tertarik. Dia meletakkan gelasnya dan bersandar, menunggu penjelasan lebih lanjut. “Clara benar-benar beruntung,” lanjut Agnes dengan suara getir. “Ada dua pria yang menjaganya dengan nyawa mereka. Erick, suaminya sekarang. Dan David… mantan suaminya yang jelas-jelas masih punya rasa.” Mata Thomas melebar. “Clara? Tunggu… Clara yang kau ma
"Hatchii!" Zoya buru-buru menutup mulutnya dengan tisu. Ia mengerutkan kening. Katanya kalau bersin tiba-tiba, itu tandanya ada seseorang yang sedang membicarakannya. Entah siapa, tapi dia malas memikirkannya lebih jauh. Yang jelas, hari ini dia hanya ingin menikmati waktunya tanpa gangguan. Duduk di sofa ruang tamunya yang luas, Zoya melirik ke arah putranya yang tengah bermain dengan Sus Juni. Bocah kecil itu tertawa riang, membuat hati Zoya sedikit tenang meski tubuhnya masih terasa lelah. Lelah bukan hanya karena kurang tidur, tetapi juga karena pekerjaannya yang menuntutnya untuk selalu tampak menggoda dan siap memanjakan para pria hidung belang. Hari ini, dia memutuskan untuk mengambil libur beberapa hari. Dia butuh istirahat, butuh waktu hanya untuk dirinya sendiri dan anaknya. Tidak ada pria yang menjamahnya, tidak ada tuntutan untuk bersikap manis atau mengobral senyum palsu. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat. Tok! Tok! Tok!Zoya mengernyit. Siapa yang dat
Clara duduk di salah satu sudut ruang tamu, memperhatikan dengan sedikit canggung interaksi antara dua pria yang pernah dan masih mengisi hidupnya—David, mantan suaminya, dan Erick, suami keduanya. Tidak ada ketegangan di antara mereka, justru sebaliknya. Mereka terlihat terlalu akrab untuk ukuran dua pria yang pernah berada dalam hidup wanita yang sama. Dan semua ini gara-gara Agnes. Wanita itu telah membuat hidup Clara seperti roller coaster dalam beberapa minggu terakhir. Dari percobaan mencelakainya hingga berbagai intrik yang membuatnya hampir kehilangan kewarasannya. Namun yang membuatnya lebih bingung adalah kenyataan bahwa kini David dan Erick justru mendiskusikan Agnes dengan nada yang begitu santai, seakan mereka sedang membicarakan cuaca. Samar-samar, Clara menangkap percakapan mereka. "Agnes itu cantik, kaya... Kenapa dia tidak mencari pria single saja untuk diganggu?" ucap David dengan nada heran. Clara menajamkan pendengarannya. Agnes memang punya segalanya—kec
Agnes duduk di depan cermin riasnya, menatap bayangan dirinya yang sempurna. Wajahnya tanpa cela, dengan hidung mancung, bibir penuh, dan mata tajam yang selalu berhasil menundukkan pria mana pun. Tubuhnya langsing dengan lekukan yang didambakan banyak wanita. Ia adalah model papan atas, seorang pengusaha sukses di industri kecantikan, wanita yang memiliki segalanya—harta, kecantikan, dan status sosial. Tapi kenapa… kenapa seorang Clara, wanita biasa yang hanya seorang ibu rumah tangga, bisa mendapatkan sesuatu yang tidak bisa Agnes miliki? Cinta. Bukan sekadar cinta biasa, tetapi cinta yang ugal-ugalan, menggebu-gebu, liar. Dua pria sekaligus menggilai Clara seperti hidup mereka bergantung padanya. Erick, pria berkarisma dengan latar belakang bisnis kuat, dan David, lelaki dengan aura bad boy yang liar namun memikat. Mereka berdua rela berseteru demi seorang Clara. Clara yang bukan siapa-siapa. Agnes mengepalkan jemarinya. Ia mengenal Dion, bahkan pernah mendekatinya. Namun
Agnes melangkah masuk ke dalam apartemen Vano dengan emosi yang meluap-luap. Langkahnya berat, penuh kemarahan yang siap meledak kapan saja. Begitu pintu tertutup di belakangnya, tatapannya langsung menembak Vano yang tengah duduk santai di sofa. "Dasar pria bodoh!" bentaknya, membuat Vano nyaris tersedak minuman yang baru saja diteguknya. "A-Agnes?" Vano tergagap, buru-buru meletakkan gelasnya di atas meja. "Ada apa?" Agnes melangkah cepat ke arahnya, wajahnya merah padam menahan amarah. "Aku mempercayakan tugas ini padamu, Vano! Tapi apa yang kau lakukan? Dua kali kesempatan emas dan kau menyia-nyiakannya!" Vano menghela napas, mencoba meredakan ketegangan. "Dengar, Agnes, aku sudah berusaha. Tapi Clara selalu lolos! Dia beruntung!" "Beruntung?" Agnes tertawa sinis. "Kamu pikir ini soal keberuntungan? Ini soal ketidakbecusanmu, Vano!" Wanita itu menjatuhkan tasnya ke sofa, lalu menatapnya dengan mata menyala.Vano menundukkan kepala, merasa terpojok. Dia tahu Agnes tidak a
David turun dari mobil lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk ibunya, Maria. Wanita itu tampak sedikit gugup, mungkin karena ini pertama kalinya ia datang ke rumah mantan menantunya setelah pernikahan Clara dengan Erick. "Apa kamu yakin tidak merepotkan?" tanya Maria pelan, matanya menatap David dengan ragu. "Clara adalah mantan istriku, dan aku peduli padanya," jawab David tegas. "Lagipula, aku ingin Erick sadar kalau ada ancaman nyata di sekitar istrinya." Maria mengangguk, lalu mengikuti langkah putranya menuju pintu utama. Mereka disambut oleh seorang pelayan yang segera mempersilakan mereka masuk. Tak lama, Erick muncul dari ruang tamu dengan ekspresi waspada. "David," sapanya singkat, lalu menoleh ke Maria. "Bu Maria." Maria tersenyum tipis, sedikit canggung. "Kami datang untuk menjenguk Clara. Bagaimana keadaannya?" "Dia baik-baik saja," Erick menjawab, melirik sekilas ke arah David seakan mengawasi gerak-geriknya. Baru saja mereka hendak melangkah menuju kamar C
Erick menatap David dengan tatapan penuh selidik. Di depannya, pria itu tampak serius, seolah apa yang baru saja diucapkannya bukanlah lelucon.Tempo hari, David memberi laporan kalau Agnes berencana melakukan hal jahat pada Clara. Tapi hingga saat ini Erick tidak memberikan perlindungan ketat pada Clara. Wanita itu bahkan diperbolehkan keluar rumah tanpa pengawalan.“Aku masih ragu Agnes berani mencelakai clara,” Erick mengulang ucapan David dengan nada skeptis. “Aku rasa dia tidak sejahat itu.” David menghela napas panjang, tampak frustrasi dengan reaksi Erick. “Aku tidak bercanda, Erick. Aku mendengarnya sendiri. Agnes tidak terima kau memilih Clara, dan dia berniat melakukan sesuatu untuk menyingkirkannya.” Erick mengusap wajahnya, mencoba meredam gejolak pikirannya. Dia mengenal Agnes cukup lama. Wanita itu memang keras kepala, emosional, bahkan terkadang sulit dikendalikan. Tapi mencelakai seseorang? Itu terdengar terlalu berlebihan. “Kamu tahu sendiri Agnes bukan tipe ora
Agnes menggenggam erat cup kopi di tangannya, merasakan amarah yang membakar dadanya. Dari kejauhan, ia baru saja menyaksikan pemandangan yang membuatnya muak—Erick dan Clara berjalan berdampingan, tertawa bersama sambil memilih perlengkapan bayi di sebuah toko mewah. Clara terlihat cantik dalam balutan dress longgar yang menutupi perutnya yang mulai membesar. Erick, seperti seorang suami yang sempurna, menggandeng tangan istrinya dengan lembut, sesekali membantu Clara memilihkan barang-barang. Mereka tampak begitu mesra, begitu harmonis—sesuatu yang Agnes harap sudah hancur sejak lama. Namun nyatanya, semua rencana yang ia susun untuk memisahkan mereka tidak membuahkan hasil. Pesan-pesan misterius yang dikirimkan pada Clara, fitnah yang ia sebarkan, bahkan jebakan-jebakan kecil yang ia buat agar mereka saling curiga, semuanya gagal total. Rumah tangga mereka masih berdiri kokoh, seakan tak tergoyahkan. Agnes merasakan pahitnya kegagalan. Ia menggigit bibirnya, menahan kekesalan
Clara terbaring lemah di atas ranjang, tubuhnya terasa lemas karena kehamilan mudanya yang disertai mual dan pusing berkepanjangan. Matanya yang biasanya berbinar kini tampak sayu, tetapi ada kehangatan di dalamnya saat menatap suaminya, Erick, yang dengan sabar merawatnya sejak pagi. "Sayang, makan dulu ya," ucap Erick lembut, menyuapkan sesendok bubur hangat ke mulut Clara. Clara tersenyum tipis sebelum membuka mulutnya. "Aku bisa makan sendiri, kok." "Tidak perlu. Aku senang merawatmu," jawab Erick sambil menyuapkan lagi dengan penuh perhatian. Setelah menghabiskan makanannya, Erick segera mengambil segelas air dan sebuah pil vitamin kehamilan. "Ini, minum dulu biar tubuhmu tetap kuat." Clara meneguk air itu perlahan, menikmati setiap perhatian yang diberikan suaminya. Sejak mereka tahu bahwa dirinya hamil, Erick berubah menjadi sosok yang semakin lembut dan protektif. Bahkan untuk hal sekecil apa pun, pria itu tidak mau membiarkannya melakukan sendiri. Tak lama kemudia