🍁🍁🍁
Maria duduk di sofa ruang tamu dengan wajah penuh kekhawatiran. Matanya menatap tajam ke arah putranya, David, yang duduk di seberangnya dengan ekspresi keras kepala. Pembicaraan ini harus segera dilakukan, sebelum David dan Zoya bertindak terlalu jauh. "David, kasihanilah istrimu, Clara," ujar Maria dengan suara yang bergetar. "Dia sangat menderita melihatmu terus bersama wanita itu. Setiap malam dia menangis, setiap hari dia hidup dalam bayang-bayang pengkhianatanmu. Sudah cukup, Nak. Putuskan hubunganmu dengan Zoya." David menarik napas panjang, lalu menggeleng dengan mantap. "Aku tidak bisa, Bu. Aku mencintai Zoya, dan... dia sedang mengandung anakku." Maria terperanjat. Mata tuanya melebar dalam keterkejutan. "Apa?" suaranya hampir tak keluar. David menunduk, merasa bersalah tetapi tetap teguh pada pendiriannya. "Zoya hamil, Bu. Aku tidak bisa meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Anak itu adalah darah dagingku." Maria merasakan dadanya sesak. Ia tak pernah menyangka bahwa anaknya akan terjerumus sejauh ini. "David! Bagaimana bisa kau melakukan ini? Anak hasil zina bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan! Kau sudah menghancurkan pernikahanmu, menghancurkan hati Clara! Apa kau bahkan peduli padanya?" David menatap ibunya dengan sorot mata yang sulit ditebak. "Aku peduli, Bu. Tapi perasaanku juga nyata. Aku tidak bisa mengabaikan Zoya dan anak yang dikandungnya." Maria tak mampu menahan air matanya. Ia menangis, meratapi pilihan buruk yang dibuat anaknya. Di ambang pintu, tanpa mereka sadari, Clara berdiri dengan tubuh gemetar. Ia datang hendak menyajikan teh untuk ibu mertuanya, tetapi kini ia justru mendengar kenyataan yang menghancurkan hatinya. Mata Clara membelalak, tubuhnya melemah, dan dunia seakan berputar dengan cepat. Ia merasa sesak, napasnya terengah-engah. Dan dalam sekejap, tubuhnya limbung. "Clara!" Maria berteriak panik saat menoleh dan melihat menantunya jatuh pingsan di lantai. David bergegas menghampiri istrinya, wajahnya berubah pucat. "Clara! Sayang, bangun!" Maria menangis lebih keras. Hatinya semakin pedih melihat Clara yang begitu rapuh akibat ulah putranya. "Lihat apa yang telah kau lakukan, David! Kau telah menghancurkan istrimu!" David hanya bisa memeluk tubuh Clara yang tak sadarkan diri, perasaan bersalah mulai menyelimutinya. Ia kini dihadapkan pada kenyataan pahit yang harus ia hadapi: keputusan yang ia buat tidak hanya menghancurkan satu hati, tetapi banyak hati sekaligus. Di dalam ruangan yang penuh ketegangan itu, hanya isak tangis Maria yang menggema, sementara Clara masih tergeletak tak sadarkan diri di pelukan suaminya yang mulai merasakan dampak dari keputusannya sendiri. *** Clara membuka matanya perlahan. Cahaya putih dari lampu di langit-langit kamar rumah sakit membuatnya menyipitkan mata. Semua terasa buram dan samar, tapi suara isakan pelan mulai terdengar jelas. Saat penglihatannya mulai fokus, ia melihat dua sosok di samping ranjangnya—Maria, ibu mertuanya, dan David, suaminya. Wajah mereka penuh kesedihan. Mata David memerah, air matanya mengalir tanpa henti. Begitu pula dengan Maria, yang menggenggam tangannya erat, seolah takut kehilangan. "Clara… syukurlah kamu sadar…" suara Maria bergetar penuh haru. Namun, Clara hanya diam, membisu. Hatinya terasa kosong. Kosong tapi sekaligus penuh dengan sesuatu yang menyakitkan, sesuatu yang menghancurkan setiap sudut jiwanya. Kenyataan itu kembali terbayang dalam kepalanya—Zoya hamil. Zoya, perempuan itu, selingkuhan David, telah mengandung anak dari pria yang Clara cintai. Anak yang selama ini ia dambakan, yang selama ini ia doakan dalam setiap sujudnya, tetapi tak pernah Tuhan berikan kepadanya. Sekarang, justru perempuan lain yang mengandung darah daging David. Sungguh ironi yang kejam. Clara menelan ludah. Ada benjolan di tenggorokannya yang membuatnya sulit bernapas. Jari-jarinya yang pucat menggenggam selimut putih di atas tubuhnya, berusaha mencari pegangan. Tapi tidak ada yang bisa menggenggam hatinya yang kini terasa hampa. "Sayang… maaf… aku…" David terisak, suaranya pecah di udara yang terasa begitu berat. Ia mencoba menyentuh tangan Clara, tetapi Clara menarik tangannya. Gerakan kecil itu seolah membentuk dinding yang tak kasat mata di antara mereka. Maria ikut menangis lebih keras. "Clara, anakku… jangan seperti ini. Kami sangat khawatir…" Namun, Clara tetap diam. Bibirnya terkunci rapat, seperti enggan mengeluarkan sepatah kata pun. Ia takut jika ia berbicara, tangisnya akan pecah. Ia takut jika ia mulai berbicara, ia tidak akan pernah bisa berhenti meluapkan sakit hatinya. David pasti tidak akan meninggalkan Zoya. Clara tahu itu. Zoya memiliki sesuatu yang selama ini tidak bisa ia berikan kepada David—seorang anak. Itu adalah kuasa terbesar yang kini dimiliki perempuan itu. Tidak peduli seberapa banyak David memohon maaf, tidak peduli seberapa dalam kesedihannya saat ini, kenyataannya tidak akan berubah. Ada seorang anak yang akan lahir dari hubungan terlarang mereka. Clara merasa marah, tetapi lebih dari itu, ia merasa kalah. Bagaimana mungkin ia memenangkan hati suaminya, jika kini Zoya memiliki sesuatu yang mengikat David lebih erat daripada pernikahan mereka? Dalam pikirannya yang kacau, Clara bertanya-tanya—apakah masih ada tempat untuknya di hati pria itu? Apakah masih ada alasan baginya untuk tetap bertahan? Atau, apakah ini saatnya untuk melepaskan semua, meski itu berarti menyerahkan pria yang paling ia cintai kepada perempuan lain? "Clara, maafkan aku. Aku harus segera menikahi Zoya sebelum perutnya membuncit. Aku berharap kamu mau menerima keputusanku ini, dan terimalah anak itu sebagai calon dari anakmu juga." ucap David dengan suara sedikit bergetar. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh, mengalir tanpa bisa ia cegah. Tapi Clara tetap tidak bersuara. Hanya diam. Hanya membiarkan dirinya tenggelam dalam luka yang seakan tak akan pernah bisa sembuh. *** Clara duduk di tepi ranjangnya yang luas, menatap bayangan dirinya di cermin besar di sudut kamar. Mata sembabnya mencerminkan betapa pilu hatinya. Seakan dunia tengah mengujinya dengan cobaan yang tak kunjung usai. Hidup yang selama ini tampak sempurna bagi orang lain, nyatanya penuh kepalsuan dan penderitaan. Untuk apa punya harta melimpah, rumah megah, aset yang tak terhitung jumlahnya, jika suaminya sendiri tidak setia? David, lelaki yang dulu ia pikir adalah cinta sejatinya, kini menjadi sumber luka terdalam dalam hidupnya. Kepercayaannya hancur saat ia mengetahui perselingkuhan suaminya dengan seorang wanita muda bernama Zoya. Betapa sakit hatinya melihat David menghabiskan waktu dengan wanita itu, sementara dirinya hanya bisa menangis dalam kesendirian. Clara merasa seperti manusia paling tidak beruntung di dunia. Namun, semakin lama ia tenggelam dalam kesedihan, semakin besar tekadnya untuk bertindak. Dia tidak bisa membiarkan Zoya merebut suaminya begitu saja. Dia tidak boleh menyerah dan membiarkan dirinya dipermalukan. Jika selama ini David terpikat oleh pesona Zoya, maka Clara harus menunjukkan bahwa dirinya lebih berharga. Ia harus mencuri kembali perhatian suaminya, mengingatkan David bahwa rumah tangga mereka masih ada, bahwa ia masih layak diperjuangkan. "Nak, minum obatmu dulu," ucap Maria yang melangkah masuk ke dalam kamar Clara sambil membawa nampan berisi sebotol air dan obat-obatan. "Bu, jangan repot-repot. Aku bisa mengambilnya sendiri nanti," ucap Clara. "Aku tidak merasa direpotkan, aku senang bisa merawat mu." Maria mengelus rambut menantunya lembut. "Bersabarlah nak, aku yakin semua masalah dalam rumah tanggamu ini akan segera selesai. Kamu wanita kuat." Maria mencoba memberikan nasihat positif untuk mengajarkan hati dan jiwa Clara yang sedang lemah. "Aku akan berusaha sebaik mungkin, Bu." janji Clara. Maria, sosok ibu mertua yang selama ini menjadi tempatnya bersandar di tengah badai. Maria memutuskan untuk tinggal bersama mereka, bukan hanya untuk merawat Clara, tetapi juga untuk mengawasi gerak-gerik David. Wanita tua itu tidak bisa tinggal diam melihat anaknya menghancurkan rumah tangganya sendiri. Ia tahu betapa Clara mencintai David dan bagaimana menantunya itu telah berjuang mempertahankan pernikahan mereka. Sebagai seorang ibu, Maria ingin memastikan bahwa David sadar akan kesalahannya sebelum semuanya terlambat. Kehadiran Maria membawa sedikit ketenangan bagi Clara. Ada seseorang yang memahami lukanya, yang peduli dan ingin membantunya melewati masa sulit ini. Namun, itu saja tidak cukup. Ia harus menemukan cara agar David kembali melihatnya seperti dulu, mencintainya seperti saat mereka pertama kali jatuh cinta. Apakah dia harus berubah menjadi sosok yang lebih menarik? Atau menunjukkan betapa berartinya dirinya dalam kehidupan David? Clara sadar bahwa ini bukan hanya tentang memenangkan kembali suaminya, tetapi juga tentang menghargai dirinya sendiri. Jika David tetap memilih Zoya meski ia telah berjuang, maka mungkin ia harus berpikir ulang apakah pernikahan ini masih layak dipertahankan. Namun, sebelum menyerah, ia akan mencoba. Ia akan melakukan apa pun agar tidak kalah dari Zoya. Malam itu, Clara menatap dirinya di cermin, menghapus air matanya, dan mengangkat dagunya dengan mantap. Ia tidak akan membiarkan kesedihan menguasai hidupnya lagi. Jika David masih memiliki hati untuknya, ia akan menemukannya kembali. Jika tidak, ia akan mencari jalan untuk bahagianya sendiri. Untuk saat ini, Clara hanya bisa diam dan menahan rasa sakit. Tapi dimadu bukanlah cita-cita yang diinginkan oleh istri manapun. Sampai kapankah Clara sanggup bertahan? Bersambung....🍁🍁🍁 Clara berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun satin merah yang membalut tubuhnya begitu pas, memperlihatkan setiap lekuk yang sempurna. Rambutnya tergerai indah, wangi parfum mahal menyelimuti tubuhnya. Ia tahu dirinya masih menarik. Ia tahu suaminya, David, dulu tak bisa mengalihkan pandangan saat melihatnya berdandan seperti ini. Tapi itu dulu. Dengan langkah perlahan, ia mendekati tempat tidur, tempat David berbaring sambil menatap layar ponselnya. Entah apa yang sedang dilihatnya, tapi sejak beberapa bulan terakhir, kebersamaan mereka terasa begitu hambar. Malam-malam yang dulu penuh gairah kini hanya tersisa sunyi dan jarak yang kian melebar. Clara naik ke ranjang, mendekatkan tubuhnya pada suaminya. Tangannya menyentuh bahu David, kemudian turun perlahan ke dadanya. “Sayang,” bisiknya, suaranya penuh kelembutan, “sudah lama sekali kita tidak bersama. Aku merindukanmu.” David menghela napas dan menurunkan ponselnya. Ia menatap Clara sejenak, lalu mem
🍁🍁🍁 Pintu rumah terbuka perlahan, Clara melangkah masuk dengan wajah kusut serta raut kelelahan yang sulit disembunyikan. Clara menarik napas panjang sebelum menutup pintu di belakangnya. Langkahnya berat, seolah beban yang dipikulnya terlalu besar untuk ditanggung sendirian. Maria, ibu mertuanya, yang sedang duduk di ruang tamu, langsung menoleh begitu mendengar suara pintu terbuka. Wajahnya penuh kekhawatiran. Semalaman ia dan David, suami Clara, mencarinya ke berbagai tempat, tetapi tak ada jejak yang bisa ditemukan. "Dari mana saja kamu, Clara?" tanya Maria dengan nada lembut, namun penuh keprihatinan. Matanya menelusuri wajah menantunya yang tampak begitu letih. Clara menunduk, menghindari tatapan ibu mertuanya. "Aku pergi ke rumah temanku," jawabnya lirih. "Aku sedang butuh ketenangan sebentar." Maria menghela napas. Ia sudah menebak sesuatu pasti terjadi antara Clara dan David. "Kalian bertengkar tadi malam, bukan?" duganya dengan nada penuh pengertian. Clara tak l
🍁🍁🍁 Clara melangkah masuk ke dalam kafe dengan langkah ragu. Aroma kopi yang khas memenuhi ruangan, bercampur dengan suara pelan musik akustik yang mengalun di latar belakang. Ia menoleh ke arah salah satu sudut ruangan, dan di sanalah Erick duduk, menunggunya dengan tatapan tajam yang sulit diartikan. Dengan hati berdebar, Clara menghampiri meja itu dan duduk di hadapannya. Erick tampak tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Clara merasa gelisah. "Apa yang mau kamu sampaikan?" tanya Clara, suaranya datar tetapi penuh waspada. Erick menarik napas dalam sebelum menjawab, "Maukah kamu menjadi kekasihku lagi? Aku masih mencintaimu sama seperti dulu." Clara membelalakkan mata. Ia tidak menduga Erick akan langsung mengatakan hal seperti itu tanpa basa-basi. Ia merasa lidahnya kelu, tetapi kemudian ia memaksakan diri untuk berbicara. "Apa kamu gila? Aku sudah bersuami, kamu tahu kan?" Erick mengangguk pelan, tetapi bukannya surut, ia justru menatap Clara le
🍁🍁🍁 Clara melangkah masuk ke dalam kantor suaminya, David. Tumit sepatunya berdetak di lantai marmer yang mengkilap, menggema di antara keheningan yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Para pegawai yang sedang bekerja menghentikan aktivitas mereka, menoleh ke arahnya dengan tatapan pilu. Ia bisa merasakan bisik-bisik di antara mereka, sorot mata mereka yang mencerminkan iba. Mungkin mereka semua sudah tahu. Mungkin mereka telah melihat sendiri bagaimana suaminya, pria yang telah bersamanya bertahun-tahun, kini beralih pada wanita lain. Wanita secantik dan sebaik Clara, diselingkuhi oleh pria yang pernah ia percaya sepenuh hati. Matanya langsung tertuju pada seorang wanita yang berdiri di tengah ruangan dengan sikap angkuh, seolah dia adalah ratu di tempat ini. Zoya. Wanita itu tampak begitu nyaman, bahkan lebih dari pemilik kantor yang sebenarnya. Dengan gaun elegan yang membalut tubuhnya, dengan raut wajah penuh kemenangan, seakan menegaskan bahwa tempat ini, juga suaminya, kini
🍁🍁🍁Malam itu, angin berhembus kencang di atas jembatan tua yang sepi. Bulan samar-samar tertutup awan, seakan enggan menyaksikan penderitaan seorang wanita yang berdiri di tepi pagar jembatan, menatap ke dalam kegelapan di bawahnya. Clara menggenggam pagar besi dengan erat, hatinya bergejolak dalam keputusasaan. Air matanya sudah kering, namun luka di hatinya semakin menganga.Pernikahannya dengan David yang dulu penuh cinta kini hancur berkeping-keping. Perselingkuhan yang dilakukan suaminya telah mencabik-cabik hatinya hingga ia merasa tak lagi punya tempat di dunia ini. Tak ada gunanya bertahan. Tak ada lagi alasan untuk hidup.Saat ia hendak melangkah ke jurang kegelapan, tiba-tiba sebuah tangan kuat menariknya ke belakang. Tubuhnya terhuyung, dan dalam sekejap ia terjatuh ke dalam dekapan seseorang. Clara mendongak, dan matanya bertemu dengan sepasang mata penuh kepedulian. Itu Erick."Clara, apa yang sedang kamu lakukan?" suara Erick bergetar, mencerminkan keterkejutan dan k
🍁🍁🍁Clara mencoba untuk menata Hidupnya yang semula hancur berkeping-keping akibat pengkhianatan David. Dia tak mau lagi menangisi pria yang telah memilih menikah lagi dengan Zoya. Baginya, semua sudah berlalu, dan tak ada gunanya terus meratapi nasib. Kini saatnya dia fokus pada dirinya sendiri, membahagiakan dirinya tanpa perlu mengandalkan siapa pun.Dengan uang yang selama ini ia simpan untuk masa depan bersama David, Clara memutuskan untuk menggunakannya. Apa gunanya menimbun uang untuk seseorang yang telah mengkhianatinya? Apalagi, dia tahu bahwa Zoya juga menghabiskan uang David dengan seenaknya. Maka, Clara pun memutuskan untuk memanjakan dirinya, mengubah penampilan agar terlihat lebih fresh, muda, dan cantik.Langkah pertamanya adalah pergi ke salon rambut. Ia memilih potongan rambut baru yang lebih modern, mencerminkan kepribadiannya yang kini lebih percaya diri dan mandiri. Tak hanya itu, ia juga memilih warna rambut yang berbeda dari sebelumnya, sesuatu yang lebih bera
🍁🍁🍁Clara melangkah masuk ke dalam kafe dengan hati sedikit berdebar. Aroma kopi yang khas segera menyambutnya, membangkitkan kenangan yang terlalu manis untuk diabaikan. Di sudut ruangan, di meja yang biasa mereka duduki, Erick sudah menunggu dengan secangkir espresso di depannya. Saat matanya bertemu dengan tatapan pria itu, Clara merasakan sesuatu yang hangat merayapi hatinya. Erick masih sama seperti dulu—perhatian, penuh kepedulian, dan selalu bisa membaca ekspresinya dengan mudah.“Clara.” Erick tersenyum, menarik kursi untuknya. “Bagaimana liburanmu?”Clara duduk dengan helaan napas panjang, menatap cangkir kopinya yang baru saja disajikan. “Baik,” jawabnya singkat. “Aku sempat berpikir, mungkin setelah perjalanan ini, semuanya akan terasa lebih baik.”“Dan? Apakah itu berhasil?” Erick mencondongkan tubuhnya, menunggu jawaban yang lebih jujur.Clara menggeleng pelan. “Aku berharap bisa pulang dengan perasaan lebih ringan. Tapi ternyata, tidak ada yang berubah.” Ia tersenyum
🍁🍁🍁Clara melangkah ringan keluar dari kamar, mengenakan gaun sederhana yang tetap memancarkan pesona. Sebelum meninggalkan rumah, ia menghampiri Maria, ibu mertuanya, yang tengah sibuk mengupas buah di dapur."Bu, aku main ke rumah teman ya," katanya dengan suara santai.Maria menoleh sejenak, lalu tersenyum. "Hati-hati, Nak. Jangan pulang terlalu malam."Clara mengangguk, lalu segera melangkah keluar rumah. Hatinya berdebar pelan, seperti biasanya tiap kali ia hendak bertemu dengan Erick. Lelaki itu telah menjadi bagian dari rutinitasnya, seseorang yang membuatnya merasa hidup kembali. Dua kali seminggu mereka bertemu, menghabiskan waktu bersama dengan manis, berbagi cerita, tawa, dan keintiman yang menghangatkan.Erick sudah menunggu di tempat biasa, sebuah apartemen mewah yang mereka beli sebagai tempat pertemuan rahasia. Begitu Clara masuk, Erick menyambutnya dengan sebuah pelukan erat yang seakan menghapus semua jarak di antara mereka. Bibir mereka bertemu dalam ciuman penuh
Agnes melangkah masuk ke dalam ruangan dengan wajah lesu. Thomas, yang sedang duduk santai di sofa dengan segelas wine di tangannya, menatapnya sekilas sebelum kembali menyesap minumannya. “Kamu terlihat seperti orang yang kalah,” sindir Thomas tanpa basa-basi. Agnes mendesah panjang, lalu menjatuhkan diri ke sofa di seberangnya. “Aku memang kalah, Tom. Aku menyerah.” Thomas menaikkan satu alisnya. “Menyerah? Sejak kapan Agnes yang kukenal tahu artinya menyerah?” Agnes menyandarkan kepalanya ke belakang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. “Sejak aku sadar bahwa aku tidak akan pernah bisa menyentuh perempuan itu.” Thomas mulai tertarik. Dia meletakkan gelasnya dan bersandar, menunggu penjelasan lebih lanjut. “Clara benar-benar beruntung,” lanjut Agnes dengan suara getir. “Ada dua pria yang menjaganya dengan nyawa mereka. Erick, suaminya sekarang. Dan David… mantan suaminya yang jelas-jelas masih punya rasa.” Mata Thomas melebar. “Clara? Tunggu… Clara yang kau ma
"Hatchii!" Zoya buru-buru menutup mulutnya dengan tisu. Ia mengerutkan kening. Katanya kalau bersin tiba-tiba, itu tandanya ada seseorang yang sedang membicarakannya. Entah siapa, tapi dia malas memikirkannya lebih jauh. Yang jelas, hari ini dia hanya ingin menikmati waktunya tanpa gangguan. Duduk di sofa ruang tamunya yang luas, Zoya melirik ke arah putranya yang tengah bermain dengan Sus Juni. Bocah kecil itu tertawa riang, membuat hati Zoya sedikit tenang meski tubuhnya masih terasa lelah. Lelah bukan hanya karena kurang tidur, tetapi juga karena pekerjaannya yang menuntutnya untuk selalu tampak menggoda dan siap memanjakan para pria hidung belang. Hari ini, dia memutuskan untuk mengambil libur beberapa hari. Dia butuh istirahat, butuh waktu hanya untuk dirinya sendiri dan anaknya. Tidak ada pria yang menjamahnya, tidak ada tuntutan untuk bersikap manis atau mengobral senyum palsu. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat. Tok! Tok! Tok!Zoya mengernyit. Siapa yang dat
Clara duduk di salah satu sudut ruang tamu, memperhatikan dengan sedikit canggung interaksi antara dua pria yang pernah dan masih mengisi hidupnya—David, mantan suaminya, dan Erick, suami keduanya. Tidak ada ketegangan di antara mereka, justru sebaliknya. Mereka terlihat terlalu akrab untuk ukuran dua pria yang pernah berada dalam hidup wanita yang sama. Dan semua ini gara-gara Agnes. Wanita itu telah membuat hidup Clara seperti roller coaster dalam beberapa minggu terakhir. Dari percobaan mencelakainya hingga berbagai intrik yang membuatnya hampir kehilangan kewarasannya. Namun yang membuatnya lebih bingung adalah kenyataan bahwa kini David dan Erick justru mendiskusikan Agnes dengan nada yang begitu santai, seakan mereka sedang membicarakan cuaca. Samar-samar, Clara menangkap percakapan mereka. "Agnes itu cantik, kaya... Kenapa dia tidak mencari pria single saja untuk diganggu?" ucap David dengan nada heran. Clara menajamkan pendengarannya. Agnes memang punya segalanya—kec
Agnes duduk di depan cermin riasnya, menatap bayangan dirinya yang sempurna. Wajahnya tanpa cela, dengan hidung mancung, bibir penuh, dan mata tajam yang selalu berhasil menundukkan pria mana pun. Tubuhnya langsing dengan lekukan yang didambakan banyak wanita. Ia adalah model papan atas, seorang pengusaha sukses di industri kecantikan, wanita yang memiliki segalanya—harta, kecantikan, dan status sosial. Tapi kenapa… kenapa seorang Clara, wanita biasa yang hanya seorang ibu rumah tangga, bisa mendapatkan sesuatu yang tidak bisa Agnes miliki? Cinta. Bukan sekadar cinta biasa, tetapi cinta yang ugal-ugalan, menggebu-gebu, liar. Dua pria sekaligus menggilai Clara seperti hidup mereka bergantung padanya. Erick, pria berkarisma dengan latar belakang bisnis kuat, dan David, lelaki dengan aura bad boy yang liar namun memikat. Mereka berdua rela berseteru demi seorang Clara. Clara yang bukan siapa-siapa. Agnes mengepalkan jemarinya. Ia mengenal Dion, bahkan pernah mendekatinya. Namun
Agnes melangkah masuk ke dalam apartemen Vano dengan emosi yang meluap-luap. Langkahnya berat, penuh kemarahan yang siap meledak kapan saja. Begitu pintu tertutup di belakangnya, tatapannya langsung menembak Vano yang tengah duduk santai di sofa. "Dasar pria bodoh!" bentaknya, membuat Vano nyaris tersedak minuman yang baru saja diteguknya. "A-Agnes?" Vano tergagap, buru-buru meletakkan gelasnya di atas meja. "Ada apa?" Agnes melangkah cepat ke arahnya, wajahnya merah padam menahan amarah. "Aku mempercayakan tugas ini padamu, Vano! Tapi apa yang kau lakukan? Dua kali kesempatan emas dan kau menyia-nyiakannya!" Vano menghela napas, mencoba meredakan ketegangan. "Dengar, Agnes, aku sudah berusaha. Tapi Clara selalu lolos! Dia beruntung!" "Beruntung?" Agnes tertawa sinis. "Kamu pikir ini soal keberuntungan? Ini soal ketidakbecusanmu, Vano!" Wanita itu menjatuhkan tasnya ke sofa, lalu menatapnya dengan mata menyala.Vano menundukkan kepala, merasa terpojok. Dia tahu Agnes tidak a
David turun dari mobil lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk ibunya, Maria. Wanita itu tampak sedikit gugup, mungkin karena ini pertama kalinya ia datang ke rumah mantan menantunya setelah pernikahan Clara dengan Erick. "Apa kamu yakin tidak merepotkan?" tanya Maria pelan, matanya menatap David dengan ragu. "Clara adalah mantan istriku, dan aku peduli padanya," jawab David tegas. "Lagipula, aku ingin Erick sadar kalau ada ancaman nyata di sekitar istrinya." Maria mengangguk, lalu mengikuti langkah putranya menuju pintu utama. Mereka disambut oleh seorang pelayan yang segera mempersilakan mereka masuk. Tak lama, Erick muncul dari ruang tamu dengan ekspresi waspada. "David," sapanya singkat, lalu menoleh ke Maria. "Bu Maria." Maria tersenyum tipis, sedikit canggung. "Kami datang untuk menjenguk Clara. Bagaimana keadaannya?" "Dia baik-baik saja," Erick menjawab, melirik sekilas ke arah David seakan mengawasi gerak-geriknya. Baru saja mereka hendak melangkah menuju kamar C
Erick menatap David dengan tatapan penuh selidik. Di depannya, pria itu tampak serius, seolah apa yang baru saja diucapkannya bukanlah lelucon.Tempo hari, David memberi laporan kalau Agnes berencana melakukan hal jahat pada Clara. Tapi hingga saat ini Erick tidak memberikan perlindungan ketat pada Clara. Wanita itu bahkan diperbolehkan keluar rumah tanpa pengawalan.“Aku masih ragu Agnes berani mencelakai clara,” Erick mengulang ucapan David dengan nada skeptis. “Aku rasa dia tidak sejahat itu.” David menghela napas panjang, tampak frustrasi dengan reaksi Erick. “Aku tidak bercanda, Erick. Aku mendengarnya sendiri. Agnes tidak terima kau memilih Clara, dan dia berniat melakukan sesuatu untuk menyingkirkannya.” Erick mengusap wajahnya, mencoba meredam gejolak pikirannya. Dia mengenal Agnes cukup lama. Wanita itu memang keras kepala, emosional, bahkan terkadang sulit dikendalikan. Tapi mencelakai seseorang? Itu terdengar terlalu berlebihan. “Kamu tahu sendiri Agnes bukan tipe ora
Agnes menggenggam erat cup kopi di tangannya, merasakan amarah yang membakar dadanya. Dari kejauhan, ia baru saja menyaksikan pemandangan yang membuatnya muak—Erick dan Clara berjalan berdampingan, tertawa bersama sambil memilih perlengkapan bayi di sebuah toko mewah. Clara terlihat cantik dalam balutan dress longgar yang menutupi perutnya yang mulai membesar. Erick, seperti seorang suami yang sempurna, menggandeng tangan istrinya dengan lembut, sesekali membantu Clara memilihkan barang-barang. Mereka tampak begitu mesra, begitu harmonis—sesuatu yang Agnes harap sudah hancur sejak lama. Namun nyatanya, semua rencana yang ia susun untuk memisahkan mereka tidak membuahkan hasil. Pesan-pesan misterius yang dikirimkan pada Clara, fitnah yang ia sebarkan, bahkan jebakan-jebakan kecil yang ia buat agar mereka saling curiga, semuanya gagal total. Rumah tangga mereka masih berdiri kokoh, seakan tak tergoyahkan. Agnes merasakan pahitnya kegagalan. Ia menggigit bibirnya, menahan kekesalan
Clara terbaring lemah di atas ranjang, tubuhnya terasa lemas karena kehamilan mudanya yang disertai mual dan pusing berkepanjangan. Matanya yang biasanya berbinar kini tampak sayu, tetapi ada kehangatan di dalamnya saat menatap suaminya, Erick, yang dengan sabar merawatnya sejak pagi. "Sayang, makan dulu ya," ucap Erick lembut, menyuapkan sesendok bubur hangat ke mulut Clara. Clara tersenyum tipis sebelum membuka mulutnya. "Aku bisa makan sendiri, kok." "Tidak perlu. Aku senang merawatmu," jawab Erick sambil menyuapkan lagi dengan penuh perhatian. Setelah menghabiskan makanannya, Erick segera mengambil segelas air dan sebuah pil vitamin kehamilan. "Ini, minum dulu biar tubuhmu tetap kuat." Clara meneguk air itu perlahan, menikmati setiap perhatian yang diberikan suaminya. Sejak mereka tahu bahwa dirinya hamil, Erick berubah menjadi sosok yang semakin lembut dan protektif. Bahkan untuk hal sekecil apa pun, pria itu tidak mau membiarkannya melakukan sendiri. Tak lama kemudia