yeaayyyy Gretha sudah kembali 🤣🤣🤣 apakah kalian senang? siapkan timun dan semangka biar nggak darah tinggi ke depannya yah akak semuanya 🌝 terima kasih sudah membaca 🤗 sampai jumpa besok lagi ya 🤗 jangan lupa tinggalkan komentar dan ulasan ☺️
“T-tidak, Tuan William,” jawab Lilia. “Saya tidak cemburu. Untuk apa saya cemburu? Yang Anda dan Nona Gretha lakukan itu tidak ada hubungannya dengan saya.”William hanya terdiam mendengar jawaban Lilia. Dagunya sedikit terangkat saat matanya memindai Lilia dari bawah hingga ke atas dan mengunci maniknya.Setelah mengatakan itu, Lilia lebih memilih untuk beranjak pergi.Namun, baru satu langkah ia kembali memandang William dan menyisihkan keragu-raguannya sebelum ia mengucap, “Maaf, saya tidak bermaksud lancang,” katanya. “Tapi … mungkin ada baiknya Tuan William mempertimbangkan untuk berhenti merokok.”Lilia melihat salah satu alis pria itu terangkat saat punggungnya ia letakkan di sandaran kursi.“Keano sering batuk saat bangun tengah malam, tidak ada yang tahu jika mungkin saja itu berasal dari asap rokok yang menempel di pakaian Anda dan dihirup oleh Keano,” imbuh Lilia. “Mungkin efek besarnya belum terlihat sekarang, melainkan di kemudian hari. I-ini hanya saran, saya harap Anda
Lilia baru saja memiliki pikiran buruk, bahwa Gretha yang semakin sering datang ke rumah ini atau ia yang membelikan hadiah untuk Keano adalah caranya mendapatkan simpati. Seolah belum cukup dengan dibebani pikiran buruk, tubuh Lilia seakan membeku saat William justru menyambut permintaan itu dengan bertanya, “Apakah homeschooling lebih baik daripada sekolah pada umumnya?” “Tentu saja, Kak Liam,” jawab Gretha dengan cepat. “Tentu saja lebih baik karena Keano akan aku awasi perkembangannya. Aku bisa mengambil sertifikasi guru homeschooling jika memang Kak Liam mengizinkanku untuk menjadi gurunya Keano.” Lilia tak mendengar suara William untuk beberapa saat hingga baritonnya yang dingin menggema lirih di setiap sudut ruangan. “Kalau memang bagus, akan aku pikirkan, Gretha.” “Aww, thanks, Kak Liam.” Lilia melihat dari balik pilar, Gretha terlihat sangat senang. Kedua tangan kecil gadis itu bertepuk di depan William yang hanya melemparkan senyumnya. “Sudah malam,” ucap William setel
“Kamu tidak setuju?” ulang Gretha setelah mendengar jawaban Lilia. “Kenapa?” “Karena saya merasa kalau Keano tidak memiliki hambatan saat dia berada di sekolah umum,” jawab Lilia. “Saya pikir Keano cukup senang dengan lingkungan dan teman-temannya di sekolahnya sehingga tidak perlu melakukan homeschooling.” Gretha tampak tercenung untuk beberapa saat, sebelum tersenyum dan mengangguk, tetapi matanya terlihat tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. “Apa kamu yang memutuskan semua hal yang berkaitan dengan Keano?” tanya Gretha, sekilas memandang Keano sebelum kembali pada Lilia. “Memang benar saya yang memilihkan sekolah untuk Keano, Nona Gretha,” jawab Lilia. “Tapi tentu saja atas persetujuan dari Tuan William, saya tidak mungkin memutuskannya sendiri.” “Aah, begitu rupanya.” Mereka sedikit terkejut saat Keano yang semula sibuk dengan puzzle buah memandang ke belakang Gretha seraya menyebut, “Papa?!” Mereka menoleh pada kehadiran William yang mendekat seraya melepas jas dan melong
“Bukankah aku yang harusnya bertanya padamu?” tanya William balik. “Aku memintamu untuk menemuiku saat sudah sampai di sini, tapi kenapa kamu datang dengan Nicholas?! Beraninya kamu, Lilia.”Napas Lilia tercekat, ia berusaha melepas cengkeraman tangan William di rahangnya. Tetapi semakin keras Lilia berusaha melakukan itu, maka semakin kuat juga tekanan darinya.“S-saya tidak sengaja bertemu dengan Tuan Nicholas di depan,” jawab Lilia, menengadahkan wajah menatap William, memilih untuk tidak melawan daripada rahangnya remuk. “Saya bingung bagaimana harus masuk ke dalam jadi saya mengikutinya,” tutur Lilia sesederhana mungkin.Ia harap William memahaminya. Detik demi detik berlalu, tangan pria itu perlahan enyah darinya.Lilia memandangnya dengan mata yang berair saat tawa lirih William terdengar.“Apakah kamu tidak bisa meminta Ron untuk mengantarmu ke dalam?” tanya William, dingin dan membuat tubuh Lilia menggigil. Sedang ‘Ron’ yang disebutnya adalah nama sopir yang tadi mengantar L
Lilia mematung di tempat ia berdiri. Lengannya yang tengah digandeng oleh Gretha seakan mati rasa. Lilia tahu Gretha tidak mengatakan sesuatu yang salah tentangnya. Benar memang dirinya adalah seorang yatim-piatu yang diadopsi dari panti asuhan oleh salah seorang pelayan yang bekerja di keluarga Roseanne sebelum menjadi babysitter untuk anak Nonanya. Tetapi … bolehkah Lilia merasa itu justru semakin menyakiti hatinya? Seolah-olah ketidakberuntungannya itu sedang diumbar dan menjadi konsumsi semua orang. Ia meremas bagian depan gaun safir yang dikenakannya, memaksakan bibirnya untuk tersenyum saat salah seorang teman Gretha mengatakan, “Gretha memang sangat baik karena dia berteman dengan siapapun, Lilia,” ujarnya. “Kamu harusnya merasa beruntung karena Gretha menganggap kamu seperti keluarganya,” imbuh suara wanita yang lain. “Jangan berlebihan,” sahut Gretha, gerakan tangannya mengisyaratkan agar mereka berhenti memujinya. Lilia tertunduk semakin dalam, menyembunyikan sepasang
Lilia merasa dadanya berat, ia menunduk menahan air mata saat tak hanya Nyonya Donna saja yang mengatakan bahwa perempuan bergaun cantik yang membungkukkan badan seperti pelayan itu bukanlah bagian dari keluarga mereka, melainkan juga Nyonya Bertha dan disahuti oleh tamu-tamu yang lainnya.Lilia terkejut saat tiba-tiba datang seorang pria yang berlutut di hadapannya.Pria dengan setelan jas itu turut memungut pecahan gelas yang berserakan di lantai dengan tanpa beban. Di kedua sudut bibirnya, senyum malah terlihat manis.“T-Tuan Nicholas?” sebut Lilia tak percaya. Kedatanngan Nicholas seolah menyelamatkan Lilia. Gunjingan yang semula ramai bersahut-sahutan untuk Lilia seketika redam.“Tolong pergilah,” pinta Lilia memohon. “Tuan Nicholas sebaiknya tidak melakukan ini, Anda tidak pantas bersikap seperti ini karena—”“Semua manusia sama, Lilia,” sela Nicholas, beberapa detik iris cokelat gelapnya menerpa Lilia sebelum jemari besarnya meraih kaki gelas yang ada di dekat sepatunya. “Tida
Lilia meremas gaun biru safir yang dikenakannya, jemarinya yang perih itu seakan tak lagi terasa. Rasa nyerinya berpindah ke dalam hati Lilia. Sebuah perasaan aneh yang ia benci saat melihat pemandangan di seberang sana sehingga ia dengan cepat memalingkan wajahnya. ‘Apa aku cemburu?’ batin Lilia mencoba menelaah isi hatinya ini. ‘Tidak!’ tolaknya. Lilia harus sadar dirinya tidak boleh jatuh cinta atau memiliki rasa tidak suka pada segala hal yang dilakukan oleh William. Dirinya dan pria itu tidak setara. Sekalipun status Lilia adalah istrinya William, tapi itu hanyalah istri kedua. Kematian Ivana tidak bisa membuat Lilia menjadi seorang istri sah—dan ia pun juga tak mengharapkan itu. Lilia bangun dari berlututnya di hadapan Keano, ia menarik tangannya untuk beranjak pergi meninggalkan teras. “Mau berkeliling sebentar?” ajak Lilia yang disambut antusias oleh bocah kecil itu. Di sisi sebelah barat gedung, Lilia membiarkan Keano berlari-lari kecil mengitari air mancur, terli
Lilia menahan air mata saat menunduk memandang Keano yang seolah tengah memasang badan untuknya.Sementara di hadapan mereka, William tengah naik turun napasnya setelah didorong pergi oleh anak lelakinya.Bisu membelenggu mereka selama beberapa detik berlalu. Yang terdengar hanya suara napas dan isak tangis Keano.“Keano,” sebut William lirih. “Sayang—”“Papa jahat!” potongnya tanpa peduli dengan apa yang akan ia katakan. “Kenapa Papa selalu berteriak?”“Sayang—”“Keano benci Papa!”Setelah mengatakan itu Keano menarik tangan Lilia dengan sedikit kuat untuk masuk ke dalam kamar. Ia meminta Lilia dengan cepat menutup dan mengunci pintunya.“Kunci, Mama!” pintanya. “Keano tidak mau Papa masuk ke sini!”Tangisnya masih terisak-isak, napasnya tersengal dan Lilia berlutut untuk memeluknya.Ia membalas pelukan Lilia, menjatuhkan dagu kecil itu di bahunya untuk beberapa lama. Saat menit bergulir, dan keadaan sedikit lebih tenang, barulah Lilia menghapus air mata Keano.“Sudah ….” ucapnya lir
"Ke ... napa kamu tanya seperti itu?" tanya Lilia dengan sekilas menyentuh pipinya, saat William berhenti bergerak dan urung melanjutkan yang ia lakukan."Aku pikir ini bukan yang pertama kali untukmu, Lilia.""Bagaimana bisa bukan yang pertama kali? Kamu yang pertama.""Sebentar—" Pria itu seperti baru menyadari sesuatu. "Lalu saat kamu pergi dengan Nicholas waktu itu, kamu tidak melakukan apapun dengannya?"Lilia menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku tidak pernah melakukan apapun dengannya."Lilia bisa melihat William menelan pahit tuduhan itu sebelum matanya terpejam penuh sesal."Maaf ... aku terlalu jauh menuduhmu," katanya. "Aku pastikan kamu menikmati malam ini, Lilia ...."Lilia menutup matanya saat William menciumnya, ia memindahkan tangannya dari bahu William, melingkarkan di lehernya saat pria itu memenuhi dirinya."Ahh ..." Air matanya lolos, bibir manis William mencoba mengalihkan perhatian dengan mengecup leher dan bahunya."Ergh ...." Tidak, ini masih belum berakhir, be
Ciumannya rasanya sangat manis, lebih manis dari ciuman-ciuman yang pernah mereka lakukan sebelumnya.Mungkin karena mereka telah saling memiliki, tanpa takut akan adanya sebuah perpisahan esok hari.Dari menit pertama sejak William mengangkatnya berpindah dari sofa, menuju ke menit-menit berikutnya sebelum akhirnya Lilia merasakan pria itu menarik diri darinya.Bibirnya terasa bengkak, tapi William masih belum usai sebab ia kembali mendaratkan satu kecupan lain untuknya."Aku matikan dulu lampunya," bisiknya pada Lilia yang akhirnya menguraikan kedua tangan kecilnya dari leher William teriring sebuah anggukan.William tersenyum saat ia beranjak turun dari ranjang, meninggalkan sejenak Lilia kemudian ruangan di dalam sana berganti menjadi hanya diterangi oleh lampu tidur saja.Pria itu kembali dan menunduk di atas Lilia.Suara baritonnya yang hangat menyinggahi indera pendengarnya saat bertanya, "Kamu sungguh baik-baik saja?"Maniknya yang gelap menerpa Lilia yang sekali lagi mengangg
Malam harinya, 'setelah dipaksa' mendengar suara para sekretaris yang tak seburuk yang William tuduhkan, Lilia berjalan masuk ke dalam kamar di mana Keano beristirahat di sana. Bocah kecil itu terlelap dalam satu tempat yang sama dengan Alya yang menyambut kedatangan Lilia dengan senyumnya. Selagi di dalam ruangan tempat di mana para pemuda masih bersuka cita dan menghibur William, Tuan Alaric serta Nicholas, keheningan terjadi di dalam sini. "Ibu belum tidur?" tanyanya saat mendekat pada sang Ibu yang terlihat melepas kacamata yang dikenakannya. "Ibu dibelikan kacamata baru oleh Papamu, jadi Ibu gunakan untuk membaca, sudah lama ibu tidak membaca," jawabnya. "Kamu mau melihat Keano?" "Dia sudah tidur?" Alya sekali lagi mengangguk, "Sudah, Nak. Pasti kelelahan setelah bermain bersama paman-pamannya tadi." "Kalau begitu Ibu istirahat juga, kita bertemu lagi besok pagi." Alya sekilas menunduk dan tersenyum, "Kenapa buru-buru? Ibu bisa mengurus Keano, kamu pergilah ke kamarmu!"
William tak menjawab, ia hanya meraih tangan Lilia yang ada di pipinya dan memberinya remasan lembut, seolah itu adalah 'Iya' yang tak terlahirkan dalam lisan. Mereka saling pandang untuk beberapa lama hingga suara Jovan—sekretarisnya Nicholas—yang hari ini mereka jadikan sebagai pembawa acara dadakan meminta mereka agar duduk berhadapan dengan pemuka agama yang pagi hari ini akan menikahkan mereka. Dalam keheningan pagi dan khusyuk doa yang mereka lantunkan tanpa henti, akhirnya semuanya menjadi sempurna. "....dengan mas kawin uang senilai dua puluh satu ribu dolar Amerika dibayar tunai." "Bagaimana, Saksi?" "Sah." Delapan puluh hari dalam kekosongan Lilia, tentang ia yang tak mengenali orang lain selain dirinya dan ingatannya yang berhenti pada lima tahun lalu, ia telah memiliki hidupnya yang baru sekarang. Dalam penantian William yang penuh dengan luka dan kehilangan yang membelenggunya, dalam setiap angka di kalender yang ia lingkari hingga bulan demi bulan berlalu, ia telah
Waktu pernikahannya akan diberlangsungkan pada pagi hari, sekitar pukul delapan. Tadi pagi-pagi sekali—sekitar pukul tiga dini hari—Lilia, Keano dan Alya dijemput oleh Giff dan Zain untuk menuju ke hotel. Lilia dibawa masuk ke sebuah kamar hotel tersendiri oleh staf yang telah menunggunya di sana. Keano yang masih mengantuk digendong Giff masuk ke dalam kamar William. Lilia sudah melihat gaunnya sebelumnya, benar seperti tak ada bedanya dengan gaunnya yang hari itu ia lihat dilahap bara api. Gaun itu akhirnya ia kenakan setelah make up yang cantik dibubuhkan di wajahnya oleh seorang teman William yang secara khusus dimintanya ke sini. "Gaunnya pas dengan bentuk tubuhmu, Lilia," ucap wanita bernama Sherly itu. "Terima kasih." "Kamu juga memilih crown yang cocok untuk gaunnya." Lilia mengangguk dan tak bisa menahan senyumnya, atau sebenarnya ia sedang berusaha menyembunyikan rasa harunya yang sangat besar ini? Satu demi satu prosesnya terlewati, dari make up hingga gaun yang te
Setelah mengantar Keano dan Alya pulang ke rumah yang mereka tinggali, Alaric menuju ke hotel tempat ia beristirahat. Ia melepas coat yang ia kenakan saat berjalan memasuki lift bersama dengan Zain yang berjalan mengekor di belakangnya. "Kamu sudah memberikan bukti-bukti yang kita bicarakan kemarin pada William, Zain?" tanyanya setelah lift naik meninggalkan lobi. "Sudah, Tuan Alaric," jawab pemuda itu. "Saya sudah memberikannya tadi setelah hampir mengganggu Tuan William dan Nona Lilia di dalam." Alaric tersenyum mendengarnya sebelum ia menghela napas dengan lega. "Setidaknya sekarang kita bisa melihat mereka bahagia, dan mendampingi mereka sampai nanti pada hari pernikahan, dan selama-lamanya." "Benar." "Soal rumah baru dan rumah lama? Sudah kamu selesaikan juga?" imbuhnya. "Sudah, rumah barunya sesuai dengan permintaan Anda, dan rumah lamanya sudah terjual," jawab Zain. "Saya meminta pemilik barunya untuk menempatinya bulan depan. Seperti yang Anda katakan, kita masih harus
William memandang Tuan Alaric cukup lama dengan keadaan bibir terbungkam. Dan itu membuat beliau berdeham seraya bertanya, "Kenapa, Nak?" William menghela dalam napasnya kemudian menggeleng, "Tidak, Pa," jawabnya. "Aku hanya ... senang karena mendapat sosok seorang Papa dari Alaric Roseanne dan bukan dari Adam Quist. Sejak menikah dengan Ivana, aku bisa melihat cinta tulus seorang ayah justru dari ayah mertuaku, dan Papa masih akan terus menjadi ayah mertuaku, selamanya." "Papa sudah pernah bilang, 'kan?" tanggap beliau. "Papa juga sedang melakukan penebusan kesalahan atas apa yang pernah Papa lakukan di masa lalu, kegagalan Papa melindungi Ivana dan ibunya jadi Papa melakukan apapun untuk bisa membuat Leonora bahagia. Dan karena dia adalah istrimu, jadi Papa juga akan melindungi kamu dan Keano." William mengangguk dengan penuh terima kasih, "Terima kasih, Pa," ucapnya. "Seperti yang Papa katakan, aku akan menyelesaikan apa yang sudah Papa mulai. Terima kasih sudah menjaga Lilia dan
"Papa sudah tahu?" ulang William, seolah sedang memastikan bahwa ia tak salah dengar. "Iya, William." "Sejak kapan?" "Sejak Lilia dan Keano Papa sembunyikan," jawab Tuan Alaric. "Papa meminta Zain untuk menempatkan penyadap di dalam mobilnya dengan mempertimbangkan bahwa dia akan pergi menemui seseorang, siapapun itu nanti kita bisa mencari tahunya lebih jauh. Semua bukti rekaman suara yang dia lakukan di dalam sana Papa memilikinya." William tak tahu bagaimana cara mengapresiasi cara kerja beliau. Bukankan tidak salah jika ia mengatakan pada Giff bahwa Tuan Alaric adalah sang maestro? "Lalu apa yang terjadi di dalam rekaman itu, Pa?" tanyanya kembali. "Dia paling sering bertemu dengan Henry, kamu tahu, 'kan? Sopirnya Reynold." William menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, "Iya aku tahu." "Di sana mereka berdua mengatakan bahwa anak yang dia kandung itu adalah hasil hubungan semalam keduanya," jawab Tuan Alaric. "Papa bisa mendapatkan banyak hal sebagai bukti bahwa mereka be
Pipi Lilia seketika memanas. Ia menyentuhnya dan mengulang apa yang dikatakan oleh William. "S-sayangku?!" William mengangguk sebagai jawaban, "Iya, Sayangku. Apa kamu tidak suka aku memanggilmu seperti itu?" "B-bukannya tidak suka, t-tapi aku pikir itu cukup terburu-buru." "Terburu-buru? Setelah kita berciuman? Setelah kita semalaman tidur dengan berpelukan? Setelah kita—Lilia!" Lilia yang tak ingin mendengar ucapan William lebih banyak dengan segera berlari pergi dari sana. Suara stiletto-nya meninggalkan ruang rawat William yang hanya tersenyum melihat betapa cantik gadisnya itu saat kedua pipinya memerah dan lambat laun ronanya menyebar ke seluruh wajah. Ia menghela dalam napasnya lalu berdeham. "Tidak apa-apa 'kan aku begitu pada istriku sendiri?" Tapi di luar semua itu .... Ada sesuatu yang tadi lupa ia tanyakan pada Keano gara-gara si Giff itu lebih dulu meminta anaknya melakukan kemauannya. Ia ingin menanyakan pada Keano apakah pegawai kelurahan yang bernama Zavian