mulai hari ini othor update 2 bab yah akak semuanya ... terima kasih untuk komentar, gems dan gift-nya. pastikan akak standby setiap hari untuk bisa ketemu Lilia, William sama Baby K ☺️ sampai jumpa besok lagi 🤚, TYSM ILYTTMAB 🌝 || toktok @almiftiafay.
Entah ini hanya perasaan Lilia, atau memang karena suasana hati William yang sedang baik. Lilia merasa sikap William melunak beberapa hari terakhir ini.Ia tidak terus menunjukkan rahangnya yang tegang atau alis lebatnya yang setiap waktu Lilia melihatnya selalu nyaris bersinggungan, tetapi senyum tipis dan itu kadang membuat Lilia berdebar jika tanpa sengaja melihatnya.‘Dia tersenyum untuk anak lelakinya karena mereka sudah berbaikan, bukan tersenyum padamu, Lilia!’ ucap Lilia dalam hati, meyakinkan dirinya sendiri.Sebab hal itu juga baru saja terjadi. Beberapa detik manik mereka bertemu saat Lilia meletakkan makanan di depan Keano yang tengah duduk di ruang makan, berseberangan meja dengan William.Keano tampak tak bisa berhenti tersenyum saat Lilia meletakkan sepiring nugget buatannya sendiri—ini adalah makanan yang saat itu dikatakan William bahwa bocah kecil itu meminta makanan pada para pelayan tetapi tak ada yang tahu.“Terima kasih, Mama,” ucap Keano sebelum ia menggunakan
Tadinya, Lilia berpikir bahwa William akan menolak keinginan Keano. Tetapi dugaannya itu salah. Karena pria itu mengangguk tak keberatan. “Boleh,” jawabnya. Ia urung menaiki tangga dan berdiri di lantai marmer yang sama dengan Lilia dan anak lelakinya. “Papa akan tidur di kamar Keano nanti.” Keano lalu menoleh pada Lilia yang juga tengah ia gandeng tangannya. “Mama ayo masuk ke kamar, hari ini kita akan tidur dengan Papa.” Sepasang matanya yang berbinar sedang menunggu tanggapan. Lilia tersenyum, ia melepas tangan kecil Keano dan mengusap puncak kepalanya. “Keano saja yang tidur dengan Papa,” jawabnya hati-hati. “Karena sudah lama juga Keano dan Papa tidak bersama-sama, ‘kan?” Mendengar itu, raut wajah Keano berubah. Senyum di kedua sudut bibirnya yang semula terukir lebar sirna dalam sesaat. Kedua pipinya sedikit menggembung, air mata tertahan membingkai netranya yang beriris kelam. “Apakah … Mama tidak sayang sama Keano?” tanyanya, napasnya sedikit tersengal saat air matanya
Atmosfer berubah buruk saat William datang. Pria itu berdiri di depan Nicholas, seolah menyembunyikan Lilia di belakang punggungnya.“Aku hanya ingin menjenguk keponakanku saja kok,” jawab Nicholas dengan suaranya yang tenang. Seolah tanya mendesak soal mengapa ia di tempat ini dari adik lelakinya itu bukan sesuatu yang membebani. “Tapi aku tidak tahu kalau Lilia ada di sini juga,” lanjutnya, sekilas mengintip Lilia melalui bahu William.“Apa yang kamu harapkan memangnya? Lilia istriku.”“Benarkah Lilia istrimu?” sangsinya. “Tapi kelihatannya tidak begitu karena Lilia terlihat ketakutan sekarang ini.”Menyambut ucapannya, William dengan segera menoleh kepada Lilia yang berdiri di belakangnya.Lilia yang melihat alis pria itu nyaris bertautan mengantisipasi agar atmosfer tegang ini tak berkelanjutan.“Maaf menyela,” ucapnya. “Tapi jika Tuan Nicholas ingin bertemu, Keano sedang ada di dalam kamar.”“Baiklah, aku akan ke sana,” tanggap Nicholas seraya melemparkan seulas senyumnya yang ma
Malam hari saat Lilia baru menidurkan Keano dan hendak menutup kelambu yang sedikit tersingkap, ia melihat pintu kamar yang terbuka perlahan dari luar. Wajah Agni terlihat sebelum wanita berambut sebahu itu mengayunkan kakinya ke dalam dan menundukkan kepalanya. “Apakah Tuan Muda Keano sudah tidur?” tanya Agni pertama-tama. “Sudah, Bu Agni,” jawab Lilia. Ia berpikir ini adalah waktu yang tepat baginya meminta izin menggunakan ponsel Agni untuk meminjam uang—seperti yang direncanakannya tadi sore. Tapi, sebelum Lilia sempat mengatakan apapun, Agni lebih dulu berujar, “Tuan William meminta Anda untuk menemui beliau, Nona Lilia,” ucapnya lirih. “Sekarang?” tanya Lilia memastikan. “Iya, Nona, sekarang.” Lilia mengangguk, mengurungkan niat yang sudah tersusun di kepalanya. Ia mengikuti Agni untuk keluar dari kamar. Cahaya lampu yang masih terang menyambutnya, keadaan yang berbeda dengan ia yang sebelumnya ada di dalam kamar Keano. Tadinya, Lilia mengira Agni akan memintanya untuk n
“Tanyakan saja pada Mama Liliamu, Keano,” jawab William atas tanya anak lelakinya. Sekilas sudut mata pria itu mengarah pada Lilia yang tak mengira ia akan lempar tangan seperti itu. “Tanyakan padanya kenapa memanggil Papa dengan ‘Tuan’ begitu,” tukasnya kemudian menggapai minuman dari atas meja dan meneguknya. Keano benar menoleh pada Lilia. Matanya yang berbinar mengiringi munculnya tanya, “Kenapa, Mama?” Lilia menghela dalam napasnya, bingung mencari jawaban. “M-Mama tidak akan memanggil ‘Tuan’ lagi mulai sekarang,” jawab Lilia sekenanya. Tapi sepertinya itu bisa diterima oleh Keano sebab anak itu terlihat setuju dan tampak senang setelah mendengarnya. “Nice,” pujinya senang. Tapi mungkin William yang tidak senang karena Lilia tidak melihat ekspresi pria itu berubah atau sekadar mengimbangi antusiasnya Keano dengan seulas senyuman. Makan siang berlangsung setelah itu. Keano dengan lahap menghabiskan makanannya sebelum akhirnya mereka pulang. Tidak membutuhkan waktu lam
Lilia bisa menjumpai wajah terkejut Gretha saat melihatnya masuk dengan bergandengan tangan bersama dengan Keano. “Lilia?” sapanya lebih dulu, gadis itu menarik tangannya dari William dan memandangnya lekat. “A-aku baru tahu kalau kamu kembali ke rumah ini. Sejak kapan?” tanyanya, menoleh pada William seolah meminta pria itu menjelaskan kemudian pada Lilia bergantian. “Selamat siang, Nona Gretha,” balas Lilia atas sapaannya, tetapi tak menanggapi soal keingintahuannya tentang keberadaannya di rumah ini. “Siang,” balasnya sebelum ia menoleh pada Keano dan menyapanya juga. “Halo, Keano. Dari mana, Sayang?” “Baru pulang sekolah bersama dengan Mama,” jawabnya. Gretha tampak terpaku selama beberapa saat, di mata Lilia … gadis itu sepertinya sedang mencerna kalimat polos Keano hingga akhirnya memberi tepuk tangan kecil untuk keponakannya itu. “Congrats,” ucapnya. “Apakah ini hari pertamanya Keano?” “Iya, Tante.” Keano mengangguk kemudian memandang William dan bertanya, “Kenapa Papa
“T-tidak, Tuan William,” jawab Lilia. “Saya tidak cemburu. Untuk apa saya cemburu? Yang Anda dan Nona Gretha lakukan itu tidak ada hubungannya dengan saya.”William hanya terdiam mendengar jawaban Lilia. Dagunya sedikit terangkat saat matanya memindai Lilia dari bawah hingga ke atas dan mengunci maniknya.Setelah mengatakan itu, Lilia lebih memilih untuk beranjak pergi.Namun, baru satu langkah ia kembali memandang William dan menyisihkan keragu-raguannya sebelum ia mengucap, “Maaf, saya tidak bermaksud lancang,” katanya. “Tapi … mungkin ada baiknya Tuan William mempertimbangkan untuk berhenti merokok.”Lilia melihat salah satu alis pria itu terangkat saat punggungnya ia letakkan di sandaran kursi.“Keano sering batuk saat bangun tengah malam, tidak ada yang tahu jika mungkin saja itu berasal dari asap rokok yang menempel di pakaian Anda dan dihirup oleh Keano,” imbuh Lilia. “Mungkin efek besarnya belum terlihat sekarang, melainkan di kemudian hari. I-ini hanya saran, saya harap Anda
Lilia baru saja memiliki pikiran buruk, bahwa Gretha yang semakin sering datang ke rumah ini atau ia yang membelikan hadiah untuk Keano adalah caranya mendapatkan simpati. Seolah belum cukup dengan dibebani pikiran buruk, tubuh Lilia seakan membeku saat William justru menyambut permintaan itu dengan bertanya, “Apakah homeschooling lebih baik daripada sekolah pada umumnya?” “Tentu saja, Kak Liam,” jawab Gretha dengan cepat. “Tentu saja lebih baik karena Keano akan aku awasi perkembangannya. Aku bisa mengambil sertifikasi guru homeschooling jika memang Kak Liam mengizinkanku untuk menjadi gurunya Keano.” Lilia tak mendengar suara William untuk beberapa saat hingga baritonnya yang dingin menggema lirih di setiap sudut ruangan. “Kalau memang bagus, akan aku pikirkan, Gretha.” “Aww, thanks, Kak Liam.” Lilia melihat dari balik pilar, Gretha terlihat sangat senang. Kedua tangan kecil gadis itu bertepuk di depan William yang hanya melemparkan senyumnya. “Sudah malam,” ucap William setel
Namun, alih-alih menjawab Gretha, yang dilakukan William justru memandang kedatangan Lilia. “Sebentar,” katanya pada Gretha seraya menguraikan tangan kecil gadis itu yang melilit lengannya. William mendekat pada Lilia dan mengarahkan kedua tangannya pada Keano, mengangkat anak lelakinya itu ke gendongannya. Setelah hal itu ia lakukan, Lilia terkejut karena William menarik pergelangan tangannya agar mendekat. Menghentikan gerakan Nicholas yang akan menghampiri Lilia. Nicholas yang sepertinya menyadari tatapan tak nyaman William segera mencari topik pembicaraan. “Apa yang kamu lakukan di sini, Lilia?” tanyanya. “Aku yang memintanya ke sini,” jawab William lebih dulu. “Kalau kamu mau meeting dengan Gretha, biar Keano dan Lilia bersamaku, Liam. Aku bisa membawa mereka berkeliling sampai kamu selesai.” William menyeringai, “Tidak perlu,” jawabnya. Sedetik kemudian ia menoleh pada Gretha yang berdiri tak jauh darinya. “Kamu bisa memberikan file-nya pada Giff, Gretha,” pint
Keberadaannya di sini … bukankah Lilia tak perlu mempertanyakannya? Gretha adalah seorang pebisnis. Bisa dikatakan ia adalah perpanjangan tangan dari ayahnya—Alaric Roseanne—dalam menjalankan bisnis keluarga. “Apa yang kamu lakukan di sini, Lilia?” tanya Gretha masih dengan suara yang sama manisnya. Lilia membuka bibirnya, ia hampir menjawab gadis itu sebelum merasakam tarikan di tangan Keano yang mengatakan, “Ayo masuk, Mama! Liftnya sudah terbuka. Nanti Papa menunggu kita,” tunjuknya pada pintu lift yang ada di hadapan mereka. “Iya, Sayang,” jawab Lilia dengan tersenyum pada Keano kemudian mereka masuk ke dalam lift. Staf yang tadi menemani mereka tertahan di luar saat Gretha mengatakan bahwa ia yang akan menemani Lilia menuju ke lantai lima belas, ruang kerja William berada. “Aku juga akan bertemu dengan Kak Liam,” ujar Gretha saat ia ikut masuk, menyusul Lilia dan berdiri di sampingnya. Pintu lift tertutup, Gretha memandang Lilia saat mereka melewati lantai tiga sembari meng
Lilia tak bisa membendung rasa bahagianya mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh William. Jadi guru ia bilang? Lilia menunduk, meraih kertas yang ada di atas meja sebelum kembali memandang William seraya bertanya, “Sungguh saya boleh menjadi guru?” William mengangguk menjawabnya, sedang Keano yang tadinya sibuk dengan serangga di dalam toples itu mendekat pada Lilia, menatapnya dengan sepasang mata yang berbinar. “Apa yang terjadi, Mama?” tanyanya polos. “Kenapa Mama sangat senang?” “Papa bilang kalau ada kesempatan untuk bisa menjadi guru di sekolah tempat Keano belajar,” jawab Lilia dengan mengusap rambut hitamnya yang tebal. “Artinya, kalau Mama jadi guru di sana, Keano akan bisa bertemu dengan Mama setiap hari?” celotehnya dengan antusias. “Mau saja, Mama ….” Lilia juga sangat ingin melakukan itu. Menjadi guru adalah hal yang sedari dulu ia inginkan. Ia kembali menatap William yang anehnya … untuk pertama kalinya ia melihat William tersenyum lepas. “Terima kasih,” ka
“Sayang?” ulang beberapa orang yang ada di sekitar Lilia. “Siapa pria itu?” “Dia tadi sepertinya keluar dari mobil mewah yang ada di sana?” tunjuk lainnya pada sedan milik William yang berada beberapa jarak di dekat gerbang sekolah Keano. Selagi bisikan terus bergulir, semakin lama semakin keras, Lilia masih memandang William. Ingin rasanya menguraikan tangannya yang ada di pinggangnya ini tetapi yang terjadi justru William merengkuhnya semakin erat. “Ayo pulang,” kata William dengan menundukkan kepalanya di samping Lilia. Mereka hampir beranjak sebelum salah seorang ibu muda menghentikan keduanya. “Maaf—” katanya pertama-tama. “Tapi sepertinya saya pernah melihat Anda. Apa … Anda William Quist dari Velox Corp?” tanyanya. “Velox Corp?” ulang beberapa orang lain, semakin banyak yang ingin tahu. “Anda CEO di Velox Corp, benar?” tanya si Ibu muda kembali. William hanya tersenyum, tipis sepanjang beberapa milimeter sebagai sebuah tanggapan. “Suami saya bekerja di Velox Corp, s
“Tidak,” jawab Lilia dengan cepat. “Tapi ada film yang memang tidak boleh ditonton oleh anak-anak.” “Itu memang film yang khusus ditonton oleh keluarga, Lilia,” tegas William. “Kamu ikut atau tidak?” Lilia memandang Keano yang sepasang matanya tampak berbinar. Memangnya siapa yang sanggup menolak permintaan bocah kecil itu jika sudah menunjukkan sisinya yang manja pada seperti ini? “Iya, ikut,” putus Lilia akhirnya. Maka setelah itu, pergilah mereka ke salah satu mall yang cukup ramai saat hari menjelang sore. Di bioskop, William benar saat mengatakan bahwa film yang mereka tonton itu adalah film khusus keluarga. Sebuah film yang hangat dengan karakter superhero lemah yang kemudian berubah menjadi kuat. Film usai dengan mendapat banyak tepuk tangan dari para penonton begitu juga dengan Keano yang terbawa suasana. “Tapi, apa itu film dewasa yang tadi dikatakan oleh Papa?” tanya Keano sekeluarnya mereka dari sana. Bocah kecil itu berjalan di tengah, menggandeng tangan Lilia dan
Daripada berubah panjang, dan mempertimbangkan seandainya Keano bangun karena ‘perdebatan’ mereka, Lilia akhirnya menghadapkan tubuhnya pada William. Mata mereka bertemu di bawah minimnya pencahayaan di dalam ruangan itu. Untuk beberapa saat keheningan menghampiri hingga William kembali membuka suaranya. “Apakah kamu masih takut saat kita sudah berada sedekat ini?” tanyanya. “Yang saya takuti itu lebih pada saat Anda marah pada saya,” jawab Lilia apa adanya. Karena memang seperti itulah yang ia rasakan. “Apalagi sebagian besar dari marah itu saya tidak tahu apa penyebab jelasnya. Saya takut melihat mata Tuan William yang gelap. Itu mengingatkan saya pada ayah saya yang—” Lilia berhenti bicara, pupil hitamnya bergoyang gugup mendapati William yang masih tak berpaling. “Maaf,” kata Lilia. “Saya tidak bermaksud menjual cerita sedih.” “Apa hidupmu memang semenyedihkan itu?” “Menurut Anda?” tanya Lilia balik. “Aneh.” William menatapnya kian lekat, seolah berusaha menyelami isi piki
‘Mencium?’ ulang Lilia dalam hati. Ia terkejut dengan permintaan Keano, dan sebelum itu terjadi, ia lebih dulu mengidekan hal lainnya. “Keano dan Papa saja yang berfoto,” katanya memberi saran. “Nanti biar fotonya Keano dan Papa yang Mama pasang di ponsel barunya Mama, bagaimana?” Lilia harap ia setuju. Tapi, Keano tak serta-merta menjawabnya. Ia menatap Lilia dengan alis yang sedikit berkerut dan bibirnya yang kecil itu bergerak, pasti akan melayangkan protes, Lilia tahu itu. Namun, sebelum suara manisnya terdengar, bariton William lebih dulu singgah di indera pendengar Lilia saat pria itu mengatakan, “Sure,” dengan tanpa bebannya. “Ayo kita berfoto.” Lilia menoleh ke belakang dan melihat William yang bangun dari balik mejanya. Langkah kakinya yang panjang itu dalam sekejap menghabisi jarak sehingga ia tiba di dekat Keano. “Apa yang kamu lakukan?” tanya William seraya memandang Lilia yang masih duduk di tempatnya. “Kamu tidak ingin berfoto denganku dan Keano?” Itu bukan sebat
William cukup lama memandangnya, sepasang matanya yang gelap itu memindai Lilia, seolah membaca gerak tubuhnya, seperti sedang memastikan sesuatu.Lilia meremas jari-jarinya, napas tertahan selama beberapa detik saat jaraknya dan William begitu dekat.Pria itu kemudian menunduk di sampingnya.Tangannya menggapai sesuatu dari atas meja, yang saat Lilia melihatnya itu adalah ponsel miliknya yang pasti ia tinggalkan di sana sebelum mengajak Keano mandi."Temui aku nanti kalau kamu sudah selesai dengan Keano," kata William, sekilas memandang Lilia sebelum ia membawa kakinya untuk pergi dari sana."Papa keluar dulu, Sayang," katanya pada Keano yang membalas lambaian tangannya hingga ia menghilang di balik pintu.Kedua bahu Lilia jatuh penuh kelegaan saat langkah kaki William tak lagi terdengar.Setiap kali dekat dengannya, atau menjumpai tatapan William yang gelap, rasanya ia mendapat ketakutan yang besar.Pria itu seakan-akan bersiap merenggut hidupnya. Menimbulkan ingatan tentang ayah an
Mendengar Lilia mengulangi apa yang ia katakan membuat William berdeham. Pria itu memalingkan wajahnya sebelum membawa kakinya pergi lebih dulu. “Cepatlah!” katanya saat Lilia masih tertegun sehingga mereka dipisahkan sekian meter jarak. “Aku akan meninggalkanmu kalau lama.” “Papa,” rengek Keano saat melihat Lilia masih ada di belakang. “Tidak boleh meninggalkan Mama!” Menuai protes dari anak lelakinya, Lilia melihat William memelankan langkahnya. Lilia lalu menyusul mereka, berjalan di samping William. Ia hendak merapikan kerah baju Keano tetapi yang terjadi justru tangannya tanpa sengaja bersentuhan dengan Willia sehingga Lilia urung melakukan itu dan lebih memilih untuk selangkah menjauh, memberi jarak yang lebih lebar. Di parkiran, Lilia melihat Giff yang tampak terhubung dengan panggilan telepon dengan seseorang. Pemuda itu berdiri tak jauh dari sedan mewah milik William sebelum mengetahui kedatangan mereka sehingga ia harus menyelesaikan panggilan itu. “Selamat d