Tudingannya menggebu-gebu.
Lilia menatap ibu Ivana dengan mata yang basah, bibirnya berusaha mengeluarkan kata untuk menepis tuduhan itu, tapi suara lain lebih dulu menyahut, “Apa yang terjadi?” Wanita lain yang datang itu merupakan ibunya William, bimbang memandang Lilia dan besannya itu bergantian. “Perempuan ini yang baru saja membawa Keano, ‘kan?” tanggapnya. “Aku baru saja melihat Keano di kamar dan dia mengatakan dia baru saja pergi dengan ‘Mama Lilia.’” “Apa?!” Ibunya William terkejut, sepasang bola matanya melebar mendengar hal itu. “B-bagaimana bisa seorang babysitter dipanggil ‘Mama’ oleh cucuku?!” Ia beralih pandang dari sang besan pada Lilia yang juga sama terkejutnya. Kalimat-kalimat pembelaan diri yang sempat tersusun di bibirnya seolah tertelan kembali ke tenggorokan. “Apa itu benar, Lilia?” tanya beliau. “Apa kamu meminta Keano untuk memanggilmu ‘Mama’ setelah kamu menyingkirkan Ivana?” “Itu tidak benar, Nyonya!” tepis Lilia dengan suara yang gemetar. “Saya tidak membunuh Nona Ivana atau bahkan berani meminta tuan muda untuk memanggil saya ‘Mama’, Nyonya. Saya—” “Tapi sejak tadi kamu yang bersama dengan Keano!” ujarnya. “Kamu pasti mencuci otak cucuku!” “Kita semua tahu kalau kamu dulu pernah sengaja membuat Ivana hampir celaka, Lilia,” timpal ibunya Ivana. “Dengan yang terjadi hari ini, apakah kamu masih akan menyebut itu sebagai sebuah ketidaksengajaan?” “Tapi—” “Kamu mengkhianati kepercayaan Ivana, Lilia!” tuding beliau masih sama berapi-apinya. “Belum juga genap sehari Ivana meninggal, kamu sudah dengan tidak tahu dirinya memanfaatkan Keano untuk memanggilmu Mama?!” Bagaimana cara Lilia harus menjelaskan ini? Ia tak pernah melakukan itu. Ia sangat menghormati Ivana. Memang dulu ia pernah melakukan sebuah kecerobohan yang membuat Nonanya itu hampir celaka, tapi itu karena ia tak sengaja. Dan sekalipun ia menyayangi Keano, ia sama sekali tidak pernah meminta atau bahkan memaksa anak itu menyebutnya sebagai ibu. Lilia mencuri pandang pada William yang duduk di sofa ruang tamu. Pria itu hanya memejamkan mata seakan tengah menikmati keributan yang terjadi di sekitarnya. “M-maaf m-merahasiakan ini,” sela sebuah suara yang menggagalkan niatan ibunya William kembali bicara. Pemilik suara manis yang terdengar gugup itu adalah Gretha—adik tiri Ivana—yang berdiri dan menjadikannya sebagai pusat perhatian. “Ada apa, Gretha?” tanya ibunya. “A-aku pernah mendengar ini sebelumnya dari Kak Ivana, Ma,” jawabnya. “Kak Ivana bilang kalau sebenarnya … Kak William dan Lilia itu diam-diam sudah menikah.” “Apa?! Mereka diam-diam menikah?!” ulang ibunya William dengan suara yang meninggi. “Maksudnya, mereka menikah saat anakku sekarat?!” sambung si besan seraya menatap nyalang Lilia. “Apa itu benar? Jangan diam saja, Lilia!” Wanita itu kembali terpancing dan hendak melampiaskan kekesalannya. Keributan saling bersahutan, ricuh setelah Gretha mengutarakan perihal pernikahan itu. Di saat keadaan seperti tak terkendali, ruangan itu membeku tatkala keheningan William telah berada di titik puncaknya. “DIAM!” bentaknya lantang. Dorongan napasnya terdengar berat saat ia menyapukan pandang pada semua orang yang ada di sana. “Apa kalian tidak bisa tenang sebentar karena ini masa berduka?” Seketika keheningan terjadi mendengar suaranya yang sedikit murka. “Bangun dan pergi dari sana, Lilia!” titahnya pada Lilia yang dengan gegas berdiri dan meninggalkan ruang tamu. Lilia mengayunkan kakinya untuk pergi ke tepi kolam guna menguraikan sesak akibat tuduhan dari berbagai penjuru. ‘Mereka pasti menganggap aku dan William diam-diam menikah tanpa sepengetahuan Nona Ivana saat dia sakit,’ gumamnya seraya menyeka air matanya. ‘Padahal kami menikah karena permintaannya.’ Dan hal lain yang mengganggunya adalah soal panggilan ‘Mama’ dari Keano. Akan ia tanyakan nanti mengapa ia tiba-tiba memanggilnya ‘Mama Lilia’ seperti itu. “Lilia,” panggil suara manis yang membuat bahunya menjengit terkejut. Ia menoleh ke belakang dan menjumpai wanita dengan dress panjang warna hitam tengah berdiri di sana, Gretha. “Iya, Nona Gretha?” “Aku minta maaf karena mengatakan hal yang membuat semua orang salah paham,” ujarnya. “Aku hanya bermaksud agar kamu tidak disalahpahami mencuci otak Keano,” terangnya. “Bukankah tidak ada salahnya jika dia memanggilmu ‘Mama’ karena kamu ‘kan memang mamanya?” Lilia mengangguk membalas senyumnya yang tulus. Gadis itu mengarahkan selembar tisu seraya berujar, “Cheer up. Kamu lebih cantik kalau tersenyum begitu,” katanya memberi semangat. “Setelah Kak Ivana pergi, aku harus mengucapkan terima kasih karena ke depannya kamu yang akan merawat Keano. Titip keponakanku ya?” Meski ragu, demi menghargai Gretha yang menjadi satu-satunya orang yang menenangkannya, Lilia mengangguk. “Baik, Nona.” *** Gugusan awan kelabu terlihat menutupi cahaya senja saat Lilia berdiri di hadapan nisan yang tanah pemakamannya masih basah. Selagi William dan Keano tak ada di rumah sejak kemarin sore—tak tahu ke mana perginya, apakah mereka tengah menenangkan diri atau ada hal lain yang dilakukan keduanya di luar—Lilia datang untuk mengunjungi makam nonanya. Ivana Roseanne, namanya yang cantik kini terukir abadi di batu nisan. Sebuket bunga baru saja diletakkan Lilia di sana sebelum ia tersenyum getir. “Maaf tidak mengantar kepergian Nona atau ada di samping Anda pada saat-saat terakhir itu, padahal dulu kita sangat dekat.” Lilia tak akan pernah lupa bahwa masa kecil dan remajanya ia habiskan bersama Ivana setelah ibunya yang seorang pelayan di keluarga Roseanne membawanya untuk tinggal di sana. Setelah Ivana menikah, mereka terpisah selama satu tahun sebab nonanya itu pindah ke rumah William. Dan mereka kembali berjumpa saat Lilia diminta untuk mengasuh Keano. Kini semuanya hanya tinggal kenangan, mereka hidup di dunia yang berbeda. “Sepertinya saya tidak bisa menepati janji saya pada Nona untuk terus menjaga Keano,” ucapnya lirih. Ingatannya kembali pada pagi hari tadi saat ia dipanggil oleh ibunya William. Saat Lilia menemuinya, wanita itu terlihat sangat marah. ‘Pergi kamu dari rumah ini!’ hardik beliau. ‘Aku tidak ingin melihatmu ada di sekitar anak dan cucuku, Lilia! Jangan pernah berpikir kamu pantas atau layak menjadi istri William atau ibunya Keano, sedikitpun tidak begitu! Sampai kapanpun, kamu tidak akan pernah bisa kami terima!’ tukasnya menggebu. Lilia terjaga saat tiba-tiba ada orang lain yang rupanya mengunjungi makam Ivana. Seorang pria yang baru datang itu meletakkan sebuket bunga di dekat nisan dan mengatakan, “Maaf kemarin tidak mengantarmu berpulang karena aku masih ada di luar negeri,” ujarnya. “Selamat jalan, Ivana.” Itu adalah Nicholas, kakaknya William. Lilia yang tak ingin mengganggunya pun pamit seraya menundukkan kepala, “Saya permisi, Tuan Nicholas.” “Pulang denganku saja, Lilia,” cegahnya. “Aku akan mengantarmu pulang.” “T-tapi—” Lilia ragu untuk mengatakannya. “Saya tidak langsung kembali ke rumah Tuan William, saya ingin pergi ke rumah sakit untuk melihat ibu saya.” “Aku tidak keberatan untuk mengantarmu,” ucapnya. “Ayo.” Sungkan menolak tawaran tersebut, apalagi tahu bahwa Nicholas adalah pria yang baik, akhirnya Lilia mengekori langkahnya. Ia masuk ke dalam mobil yang melaju meninggalkan sekitaran pemakaman. Dalam perjalanan menuju ke rumah sakit itu, Nicholas sempat memberhentikan mobilnya di halaman sebuah apotek. Lilia tak tahu apa yang dilakukannya hingga pria itu kembali dengan sebuah kantong plastik berukuran kecil. Yang mengejutkan, jemari besar pria itu menyentuh dagunya agar mereka saling menukar pandang. Sentuhannya lembut, sangat jauh berbeda dengan perlakuan William tempo hari. Lilia hampir bertanya apa yang sedang ia lakukan itu sebelum Nicholas meletakkan sebuah plester luka di sudut bibirnya yang memang memar akibat tamparan ibunya Ivana kemarin. “Ada luka di sana,” katanya. “Mungkin tidak bisa hilang begitu saja, tapi setidaknya itu bisa menyembunyikannya sementara waktu saat kamu bertemu dengan banyak orang.” Lilia meremas tangannya, gemuruh liar seakan memerangkapnya dalam teduh tulusnya mata seorang Nicholas Quist.“T-terima kasih,” ucap Lilia sungkan. Ia menunduk menghindari tatapan itu, berpikir bahwa barangkali Nicholas tak nyaman melihatnya memiliki luka yang mencolok seperti ini.Pria itu mengangguk tak keberatan sebelum kembali memacu mobilnya menuju rumah sakit. Hampir tak ada percakapan yang terjadi.Lilia juga tak berani membuka suara mengingat dirinya yang memang tak setara dengan pria di balik kemudi itu.Status sosial mereka berbeda. Hanya kebetulan yang membuat mereka bertemu dan pria itu tak keberatan mengantarnya.Tak berapa lama kemudian mereka tiba di rumah sakit, meninggalkan mobil di parkiran, langkah mereka berhenti di depan ruang ICU.Jendela besar itu menunjukkan keberadaan ibunya yang belum bangun pasca operasi.“Apa yang terjadi, Lilia?” tanya Nicholas yang berdiri di samping kanannya.“Ibu saya jatuh di kamar mandi, Tuan,” jawabnya. “Ada pendarahan di kepalanya. Setelah operasi itu berhasil, ternyata dokter menemukan sakit lain di tubuh Ibu yang membuat beliau masih belu
Lilia tahu William sedikit mabuk. Ia bisa menghidu bau alkohol yang menguar dari bibirnya saat mereka berdiri dalam jarak sedekat ini.Pria itu menunduk mensejajari pandangannya saat tawa lirihnya baru saja terdengar.“Kamu tidak memiliki hak untuk memutuskan apakah kamu bisa pergi dari rumah ini atau bertahan, Lilia Zamora,” ucapnya tegas.Lilia tak sempat menjawab apa yang dikatakan oleh pria itu sebab William lebih dulu menariknya dan membuatnya terhempas di atas ranjang.“Apa kamu mau pergi dari sini karena ingin hidup dengan Nicholas?” tanyanya. “Apa yang kamu lakukan dengannya tadi? Kalian bersenang-senang di luar saat aku tidak di rumah?”Pertanyaan datang bertubi-tubi seiring William yang naik ke atas tempat tidur. Pria itu menunduk di atas Lilia yang wajahnya seketika pias. Ia mencoba melepaskan diri, tetapi itu sia-sia sebab William telah membuatnya terkunci tak bisa bergerak.“T-tidak,” jawab Lilia dalam ketidakberdayaan. “Saya benar-benar hanya pergi ke rumah sakit untuk m
“Tidurlah di kamar Lilia nanti malam, biar bagaimanapun dia adalah istrimu juga. Sama sepertiku, dia juga berhak mendapatkan nafkah batin darimu, William.” Suara manis yang terdengar menembus pintu kamar membuat Lilia menghentikan langkahnya. Ia berdiri di luar dengan kedua tangan yang mencengkeram erat keranjang berisi pakaian yang harusnya ia bawa masuk, sebelum ia menyadari bahwa tuan dan nonanya tengah berada di dalam sana. “Tidak mau, Sayang,” jawab suara bariton seorang pria menyambut permintaan itu. “Aku tidak bisa melakukan itu dengan wanita lain selain kamu.” “Kamu tidak boleh begitu, William. Karena nanti setelah aku mati, kamu akan hidup dengan Lilia.” “Tapi kamu tidak akan meninggalkan aku secepat itu, Ivana.” Lilia termangu dengan tubuh yang terasa kebas. Tuan dan nonanya itu sedang membicarakan dirinya, babysitter anak mereka, yang sekaligus telah menjadi istri kedua William. Hal itu mereka lakukan untuk memenuhi permintaan Ivana yang kondisinya memburuk akibat le
Lilia melihat pria itu sedikit berbalik untuk menutup pintu sehingga ruangan ini seolah menjebak mereka hanya berdua saja.Ia merasa tubuhnya nyeri mendengar yang baru saja dikatakan oleh William. ‘Yang dilakukan oleh dua orang yang sudah menikah’ itu, Lilia tahu betul apa artinya.Hubungan suami istri, seperti yang tadi diminta oleh Ivana, bukan?Lilia ketakutan, pandangan William tajam mengintimidasinya. Sesuatu yang gelap tersembunyi di balik iris dan wajahnya yang rupawan.Dadanya bertalu ribut sehingga Lilia membawa langkahnya mundur untuk menghindarinya. Membawa dirinya sejauh mungkin dari William jika perlu.“Apa sekarang kamu sedang menolakku?” tanya pria itu. Tak mendapati jawaban, William menekan saat mengucap, “Jangan salah, aku datang ke sini karena istriku yang meminta,” katanya. “Bukan karena keinginanku sendiri. Jadi lakukan ini sebagai cara kita memenuhi apa yang diinginkan oleh Ivana.”Kalimatnya telah menegaskan dengan kuat bahwa tak ada wanita lain yang dicintai ole
Lilia tertegun cukup lama mendengar William.‘Nona Ivana ... meninggal?’ batinnya, merasakan sensasi perih yang tiba-tiba menusuk ulu hatinya. Ia bangun dan mengangkat Keano ke gendongannya untuk mendekat ke arah kamar.Saat hampir melewati William yang baru saja mengakhiri panggilannya—entah dengan siapa itu—Lilia terkejut karena pria itu justru membentaknya.“Apa kamu bodoh?!” hardiknya. “Kenapa kamu malah membawa Keano untuk masuk?”“S-saya—” Lilia mendekap Keano semakin erat saat anak itu sepertinya lebih terkejut mendengar suara ayahnya yang meninggi. “Saya hanya ingin Keano melihat saat-saat terakhir Nona Ivana, Tuan,” jawab Lilia akhirnya.Tapi William tak menerima alasan itu. Ia meraih lengan Lilia dan menariknya pergi menjauh dari pintu.“Jangan sampai Keano melihat ini!” peringatnya sungguh-sungguh. “Bawa dia pergi sampai aku memintamu membawanya pulang!”“Kenapa Papa berteriak?!” tanya Keano—yang barangkali menganggap seruan William ditujukan untuknya.Ia nyaris jatuh dari