Tudingannya menggebu-gebu.
Lilia menatap ibu Ivana dengan mata yang basah, bibirnya berusaha mengeluarkan kata untuk menepis tuduhan itu, tapi suara lain lebih dulu menyahut, “Apa yang terjadi?” Wanita lain yang datang itu merupakan ibunya William, bimbang memandang Lilia dan besannya itu bergantian. “Perempuan ini yang baru saja membawa Keano, ‘kan?” tanggapnya. “Aku baru saja melihat Keano di kamar dan dia mengatakan dia baru saja pergi dengan ‘Mama Lilia.’” “Apa?!” Ibunya William terkejut, sepasang bola matanya melebar mendengar hal itu. “B-bagaimana bisa seorang babysitter dipanggil ‘Mama’ oleh cucuku?!” Ia beralih pandang dari sang besan pada Lilia yang juga sama terkejutnya. Kalimat-kalimat pembelaan diri yang sempat tersusun di bibirnya seolah tertelan kembali ke tenggorokan. “Apa itu benar, Lilia?” tanya beliau. “Apa kamu meminta Keano untuk memanggilmu ‘Mama’ setelah kamu menyingkirkan Ivana?” “Itu tidak benar, Nyonya!” tepis Lilia dengan suara yang gemetar. “Saya tidak membunuh Nona Ivana atau bahkan berani meminta tuan muda untuk memanggil saya ‘Mama’, Nyonya. Saya—” “Tapi sejak tadi kamu yang bersama dengan Keano!” ujarnya. “Kamu pasti mencuci otak cucuku!” “Kita semua tahu kalau kamu dulu pernah sengaja membuat Ivana hampir celaka, Lilia,” timpal ibunya Ivana. “Dengan yang terjadi hari ini, apakah kamu masih akan menyebut itu sebagai sebuah ketidaksengajaan?” “Tapi—” “Kamu mengkhianati kepercayaan Ivana, Lilia!” tuding beliau masih sama berapi-apinya. “Belum juga genap sehari Ivana meninggal, kamu sudah dengan tidak tahu dirinya memanfaatkan Keano untuk memanggilmu Mama?!” Bagaimana cara Lilia harus menjelaskan ini? Ia tak pernah melakukan itu. Ia sangat menghormati Ivana. Memang dulu ia pernah melakukan sebuah kecerobohan yang membuat Nonanya itu hampir celaka, tapi itu karena ia tak sengaja. Dan sekalipun ia menyayangi Keano, ia sama sekali tidak pernah meminta atau bahkan memaksa anak itu menyebutnya sebagai ibu. Lilia mencuri pandang pada William yang duduk di sofa ruang tamu. Pria itu hanya memejamkan mata seakan tengah menikmati keributan yang terjadi di sekitarnya. “M-maaf m-merahasiakan ini,” sela sebuah suara yang menggagalkan niatan ibunya William kembali bicara. Pemilik suara manis yang terdengar gugup itu adalah Gretha—adik tiri Ivana—yang berdiri dan menjadikannya sebagai pusat perhatian. “Ada apa, Gretha?” tanya ibunya. “A-aku pernah mendengar ini sebelumnya dari Kak Ivana, Ma,” jawabnya. “Kak Ivana bilang kalau sebenarnya … Kak William dan Lilia itu diam-diam sudah menikah.” “Apa?! Mereka diam-diam menikah?!” ulang ibunya William dengan suara yang meninggi. “Maksudnya, mereka menikah saat anakku sekarat?!” sambung si besan seraya menatap nyalang Lilia. “Apa itu benar? Jangan diam saja, Lilia!” Wanita itu kembali terpancing dan hendak melampiaskan kekesalannya. Keributan saling bersahutan, ricuh setelah Gretha mengutarakan perihal pernikahan itu. Di saat keadaan seperti tak terkendali, ruangan itu membeku tatkala keheningan William telah berada di titik puncaknya. “DIAM!” bentaknya lantang. Dorongan napasnya terdengar berat saat ia menyapukan pandang pada semua orang yang ada di sana. “Apa kalian tidak bisa tenang sebentar karena ini masa berduka?” Seketika keheningan terjadi mendengar suaranya yang sedikit murka. “Bangun dan pergi dari sana, Lilia!” titahnya pada Lilia yang dengan gegas berdiri dan meninggalkan ruang tamu. Lilia mengayunkan kakinya untuk pergi ke tepi kolam guna menguraikan sesak akibat tuduhan dari berbagai penjuru. ‘Mereka pasti menganggap aku dan William diam-diam menikah tanpa sepengetahuan Nona Ivana saat dia sakit,’ gumamnya seraya menyeka air matanya. ‘Padahal kami menikah karena permintaannya.’ Dan hal lain yang mengganggunya adalah soal panggilan ‘Mama’ dari Keano. Akan ia tanyakan nanti mengapa ia tiba-tiba memanggilnya ‘Mama Lilia’ seperti itu. “Lilia,” panggil suara manis yang membuat bahunya menjengit terkejut. Ia menoleh ke belakang dan menjumpai wanita dengan dress panjang warna hitam tengah berdiri di sana, Gretha. “Iya, Nona Gretha?” “Aku minta maaf karena mengatakan hal yang membuat semua orang salah paham,” ujarnya. “Aku hanya bermaksud agar kamu tidak disalahpahami mencuci otak Keano,” terangnya. “Bukankah tidak ada salahnya jika dia memanggilmu ‘Mama’ karena kamu ‘kan memang mamanya?” Lilia mengangguk membalas senyumnya yang tulus. Gadis itu mengarahkan selembar tisu seraya berujar, “Cheer up. Kamu lebih cantik kalau tersenyum begitu,” katanya memberi semangat. “Setelah Kak Ivana pergi, aku harus mengucapkan terima kasih karena ke depannya kamu yang akan merawat Keano. Titip keponakanku ya?” Meski ragu, demi menghargai Gretha yang menjadi satu-satunya orang yang menenangkannya, Lilia mengangguk. “Baik, Nona.” *** Gugusan awan kelabu terlihat menutupi cahaya senja saat Lilia berdiri di hadapan nisan yang tanah pemakamannya masih basah. Selagi William dan Keano tak ada di rumah sejak kemarin sore—tak tahu ke mana perginya, apakah mereka tengah menenangkan diri atau ada hal lain yang dilakukan keduanya di luar—Lilia datang untuk mengunjungi makam nonanya. Ivana Roseanne, namanya yang cantik kini terukir abadi di batu nisan. Sebuket bunga baru saja diletakkan Lilia di sana sebelum ia tersenyum getir. “Maaf tidak mengantar kepergian Nona atau ada di samping Anda pada saat-saat terakhir itu, padahal dulu kita sangat dekat.” Lilia tak akan pernah lupa bahwa masa kecil dan remajanya ia habiskan bersama Ivana setelah ibunya yang seorang pelayan di keluarga Roseanne membawanya untuk tinggal di sana. Setelah Ivana menikah, mereka terpisah selama satu tahun sebab nonanya itu pindah ke rumah William. Dan mereka kembali berjumpa saat Lilia diminta untuk mengasuh Keano. Kini semuanya hanya tinggal kenangan, mereka hidup di dunia yang berbeda. “Sepertinya saya tidak bisa menepati janji saya pada Nona untuk terus menjaga Keano,” ucapnya lirih. Ingatannya kembali pada pagi hari tadi saat ia dipanggil oleh ibunya William. Saat Lilia menemuinya, wanita itu terlihat sangat marah. ‘Pergi kamu dari rumah ini!’ hardik beliau. ‘Aku tidak ingin melihatmu ada di sekitar anak dan cucuku, Lilia! Jangan pernah berpikir kamu pantas atau layak menjadi istri William atau ibunya Keano, sedikitpun tidak begitu! Sampai kapanpun, kamu tidak akan pernah bisa kami terima!’ tukasnya menggebu. Lilia terjaga saat tiba-tiba ada orang lain yang rupanya mengunjungi makam Ivana. Seorang pria yang baru datang itu meletakkan sebuket bunga di dekat nisan dan mengatakan, “Maaf kemarin tidak mengantarmu berpulang karena aku masih ada di luar negeri,” ujarnya. “Selamat jalan, Ivana.” Itu adalah Nicholas, kakaknya William. Lilia yang tak ingin mengganggunya pun pamit seraya menundukkan kepala, “Saya permisi, Tuan Nicholas.” “Pulang denganku saja, Lilia,” cegahnya. “Aku akan mengantarmu pulang.” “T-tapi—” Lilia ragu untuk mengatakannya. “Saya tidak langsung kembali ke rumah Tuan William, saya ingin pergi ke rumah sakit untuk melihat ibu saya.” “Aku tidak keberatan untuk mengantarmu,” ucapnya. “Ayo.” Sungkan menolak tawaran tersebut, apalagi tahu bahwa Nicholas adalah pria yang baik, akhirnya Lilia mengekori langkahnya. Ia masuk ke dalam mobil yang melaju meninggalkan sekitaran pemakaman. Dalam perjalanan menuju ke rumah sakit itu, Nicholas sempat memberhentikan mobilnya di halaman sebuah apotek. Lilia tak tahu apa yang dilakukannya hingga pria itu kembali dengan sebuah kantong plastik berukuran kecil. Yang mengejutkan, jemari besar pria itu menyentuh dagunya agar mereka saling menukar pandang. Sentuhannya lembut, sangat jauh berbeda dengan perlakuan William tempo hari. Lilia hampir bertanya apa yang sedang ia lakukan itu sebelum Nicholas meletakkan sebuah plester luka di sudut bibirnya yang memang memar akibat tamparan ibunya Ivana kemarin. “Ada luka di sana,” katanya. “Mungkin tidak bisa hilang begitu saja, tapi setidaknya itu bisa menyembunyikannya sementara waktu saat kamu bertemu dengan banyak orang.” Lilia meremas tangannya, gemuruh liar seakan memerangkapnya dalam teduh tulusnya mata seorang Nicholas Quist.“T-terima kasih,” ucap Lilia sungkan. Ia menunduk menghindari tatapan itu, berpikir bahwa barangkali Nicholas tak nyaman melihatnya memiliki luka yang mencolok seperti ini.Pria itu mengangguk tak keberatan sebelum kembali memacu mobilnya menuju rumah sakit. Hampir tak ada percakapan yang terjadi.Lilia juga tak berani membuka suara mengingat dirinya yang memang tak setara dengan pria di balik kemudi itu.Status sosial mereka berbeda. Hanya kebetulan yang membuat mereka bertemu dan pria itu tak keberatan mengantarnya.Tak berapa lama kemudian mereka tiba di rumah sakit, meninggalkan mobil di parkiran, langkah mereka berhenti di depan ruang ICU.Jendela besar itu menunjukkan keberadaan ibunya yang belum bangun pasca operasi.“Apa yang terjadi, Lilia?” tanya Nicholas yang berdiri di samping kanannya.“Ibu saya jatuh di kamar mandi, Tuan,” jawabnya. “Ada pendarahan di kepalanya. Setelah operasi itu berhasil, ternyata dokter menemukan sakit lain di tubuh Ibu yang membuat beliau masih belu
Lilia tahu William sedikit mabuk. Ia bisa menghidu bau alkohol yang menguar dari bibirnya saat mereka berdiri dalam jarak sedekat ini.Pria itu menunduk mensejajari pandangannya saat tawa lirihnya baru saja terdengar.“Kamu tidak memiliki hak untuk memutuskan apakah kamu bisa pergi dari rumah ini atau bertahan, Lilia Zamora,” ucapnya tegas.Lilia tak sempat menjawab apa yang dikatakan oleh pria itu sebab William lebih dulu menariknya dan membuatnya terhempas di atas ranjang.“Apa kamu mau pergi dari sini karena ingin hidup dengan Nicholas?” tanyanya. “Apa yang kamu lakukan dengannya tadi? Kalian bersenang-senang di luar saat aku tidak di rumah?”Pertanyaan datang bertubi-tubi seiring William yang naik ke atas tempat tidur. Pria itu menunduk di atas Lilia yang wajahnya seketika pias. Ia mencoba melepaskan diri, tetapi itu sia-sia sebab William telah membuatnya terkunci tak bisa bergerak.“T-tidak,” jawab Lilia dalam ketidakberdayaan. “Saya benar-benar hanya pergi ke rumah sakit untuk m
Kepala Lilia terasa pening saat ia menengadahkan wajah untuk menatap sejenak langit muram siang ini. Ia meriang sejak kemarin tetapi masih memaksakan diri untuk menjenguk ibunya di rumah sakit. Sudah sekitar lebih dari dua minggu pasca ia meninggalkan rumah William. Ia diterima menjadi seorang guru tambahan di sebuah taman kanak-kanak. Meski dulu ia menjadi pelayan di rumah keluarga Roseanne—rumah keluarga Ivana—tetapi ia diizinkan untuk tetap melanjutkan pendidikan. Berkat itu jugalah ia memiliki bekal untuk menata ulang hidupnya. Menapaki lantai pucat di sepanjang lorong yang mengantarnya tiba di depan sebuah jendela besar ruang ICU, sebuah rasa takut memburunya. “Ada apa ini?” tanyanya dalam kebingungan. Ia melihat kepanikan yang terjadi di dalam sana, seorang dokter dan beberapa perawat yang mengerumuni ranjang tempat di mana seorang wanita terbaring tak berdaya. “Ibu ….” sebutnya lirih. “Tidak—” Hatinya terasa hancur melihat ibunya—Alya—yang tubuhnya terguncang saat dokter
“Apa?!” Lilia menatap Arya dengan sepasang matanya yang berair. “Ayah mau menjadikan aku sebagai alat penebus utang?!” “Dengan begitu kamu akan sedikit berguna, ‘kan?” balas Arya dengan tawa puas. Pria dengan tato di lehernya itu tampak memindai Lilia selama beberapa saat sebelum ia kembali memandang ayah angkatnya. “Akan aku bawa dulu dia, biar Madam yang menentukannya nanti. Ingat, urusan kita belum selesai!” “Lepas!” teriak Lilia saat pria itu merenggut lengannya dengan kasar dan memaksanya bangkit dari posisinya. Lilia seperti tak diberi kesempatan untuk menolak. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, tenaganya seolah terkuras habis untuk bertahan dari serangan Arya beberapa saat yang lalu. Ia pontang-panting diseret keluar dari kamar, langkah kakinya terseok. Telapaknya terasa dingin menapaki lantai dengan tanpa alas. Air mata dan permohonannya diabaikan. Ia melihat sebuah mobil jeep warna hitam yang ada di halaman, yang entah akan membawanya ke mana setelah ini. “Masuk!” titah si
“A-apa yang A-Anda lakukan di tempat ini?” tanya Lilia terbata-bata saat pria itu menegakkan punggungnya setelah menyapa Lilia yang kebingungan. Benaknya berkecamuk penuh tanya, benarkah pertemuan mereka memang hanya sebatas kebetulan? ‘Apa memang telah menjadi kebiasaan William datang ke tempat yang menyediakan wanita malam seperti ini?’ Jika benar seperti itu, apakah dia juga sering melakukannya sejak Ivana— “Bukankah harusnya aku yang bertanya?” tanya balik pria itu sehingga mengakhiri kemelut yang ada di dalam dada Lilia. Salah satu alis William yang lebat terangkat, mengisyaratkan sebuah kebingungan, “Kenapa kamu di tempat ini, Lilia? Aah … apa mungkin seperginya kamu dari rumahku hal yang kamu putuskan adalah menjadi wanita malam?” “Tidak,” sangkal Lilia. “S-saya di sini karena ….” Ia menggigit bibirnya, sekujur tubuhnya terasa nyeri saat mengingat lagi apa yang dilakukan oleh Arya—alasan berakhirnya ia di tempat ini. “Karena ayah saya t-tidak bisa membayar utang pada Madam
Pria tua yang hampir menindihnya itu limbung saat Lilia menendang bagian sensitif di kedua pangkal pahanya. Selagi ia mengaduh kesakitan, Lilia memandang William dengan matanya yang basah. Air mata tak hentinya mengalir, rasa takut, frustrasi, ingin lari … semuanya bercampur menjadi satu, memburunya seperti rusa kecil yang dikejar pemangsa. “Tuan William,” panggil Lilia yang membuat pria itu urung pergi. Ia menoleh pada Lilia dengan kepalanya yang condong beberapa derajat ke kiri. “Saya setuju,” kata Lilia. “Tolong bawa saya pergi dari sini,” pintanya, menelan rasa malu padahal baru saja menolak tawarannya mentah-mentah. William menunjukkan seulas senyum tipisnya saat menghadapkan tubuhnya pada Lilia seraya bertanya, “Apapun resikonya, Lilia?” Lilia mengangguk sembari menyilangkan kedua tangannya di depan tubuh. “Apapun yang aku minta, kamu akan menerimanya?” William mempertegasnya. “Saya menerimanya,” jawab Lilia, suaranya sarat akan putus asa. Ia sungguh tak ingin berada l
“Dia pernah menjalani rawat inap di rumah sakit sebelum dibawa pulang dan melakukan rawat jalan di rumah,” terang Agni. “Saat itu kondisinya cukup buruk, bahkan sampai hari ini. Tuan Muda Keano tidak mau makan sejak Anda pergi, dan tidak mau bertemu dengan Tuan William sama sekali.” Kalimat Agni memasung bibirnya kian hebat, air mata tak kuasa terbendung dan luruh saat Lilia satu langkah mendekat pada keano. “K-kenapa Keano tidak mau bertemu dengan Tuan William, Bu Agni?” tanya Lilia setelah ia menata kata. “Dia sangat marah pada Tuan William karena menganggap Tuan lah yang membuat Anda pergi dari rumah,” jawabnya. “Dia melihat Anda menangis dari kamar Tuan pada hari Anda pergi dari rumah ini.” Sesak menggelegak kala ia mendapati Keano secara langsung, dalam pandangannya bahwa kondisinya memprihatinkan. Tubuhnya sangat kurus, anak itu kehilangan banyak berat badan. Pipinya yang dulu ia cium tiap malam itu berubah tirus. Seolah Lilia tengah melihat orang lain, bukan Keano kesayang
“K-kenapa kalian memanggilku Nona?” tanya Lilia sekali lagi, dibuat bingung dengan julukan barunya. Namun alih-alih memberi jawaban pasti, beberapa pelayan yang berdiri di sekitarnya hanya menunjukkan seulas senyum saat menjawab, “Bukankah memang seperti itu seharusnya?” “Tidak—” Lilia menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mau kalian memanggilku seperti itu karena aku bukan ‘Nona’,” ucapnya sungguh-sungguh. “Peraturan tidak akan diubah, Nona Lilia,” sahut Agni—kepala pelayan—yang berdiri tak jauh darinya. Wanita paruh baya itu tersenyum saat mendekat. “Kami akan tetap memanggil Anda seperti itu.” “A-aturan apa?” tanyanya memperjelas, tapi mereka seolah sepakat untuk tak membuka mulut. ‘Aturan apa maksudnya?’ batinnya. ‘Apa William yang meminta mereka begitu?’ Tapi mungkin ini menjelaskan kenapa sejak kedatangannya semalam Agni begitu sopan dan formal padanya. ‘Aneh sekali ….’ Lilia tidak suka dengan julukan itu, nanti akan ia desak Agni untuk jujur kenapa dirinya dipanggil seba
"Sudah, semuanya sudah berakhir, tidak ada lagi yang akan menyakiti kamu, menyakiti anak-anak kita, maaf untuk semua kelalaiannya ...."William menunjukkan senyumnya, merekah tapi di mata Lilia penuh rasa kecewa.Mungkin prianya itu merasa bersalah karena telah membiarkan Lilia diculik dan berakhir seperti ini."Kamu juga tidak bersalah," balas Lilia sembari mengusap dagu William, pada sudut bibirnya, pada tegasnya rahang pria miliknya ini. "Kamu sudah menjagaku sebaik mungkin, tapi si jahat itu memang sedang memiliki kesempatan dan membuat semuanya jadi seperti ini.""Terima kasih untuk pengertianmu, Lilia."William menggapai bibir Lilia dengan lembut, tak ingin memberikan pagutan, sebatas kecupan beberapa detik seolah sedang meyakinkannya bahwa semuanya telah baik-baik saja.Saat William menarik wajahnya, ia menghela dalam napasnya sebelum berujar, "Aku harap setelah peristiwa ini kamu tidak semakin terpuruk dalam trauma itu," resahnya sendu."Aku pikir tidak, William," balas Lilia.
Setelah merasa terombang-ambing di tengah laut yang sunyi dan tanpa tepian serta dirundung kesendirian dalam waktu yang ia kira berlalu lebih dari satu dasawarsa, Lilia akhirnya bisa melihat dunia yang sebenarnya. Langit-langit kamar asing yang lalu disadarinya sebagai langit-langit ruang rawat tempat ia berbaring, aroma obat-obatan yang menyentuh indera pembaunya, serta hangatnya tangan seorang pria yang ia rindukan, William. Mengerjapkan matanya dengan pelan, Lilia ingat apa yang telah membuatnya berbaring di sini dengan selang infus yang tergantung di lengan kirinya. Tak lain karena ia nyaris saja mati di tangan mantan ayah angkatnya yang kejam. Rasa sesak saat jemari tangan pria itu mencekik lehernya dan membuat napasnya terputus seperti masih tersisa di sana, memberinya sensasi aneh yang membuat Lilia ketakutan bahwa peristiwa itu akan berulang. Ah ... begitukah rasanya ada di ambang batas hidup dan mati? Gelap dingin dan menakutkan? Seperti itu jugakah alam bawah sadar yang
Pemantik yang dibawa oleh Niel itu mengeluarkan api, menyala di hadapan Arya yang wajahnya pias. Saat pria itu berpikir bahwa Niel benar akan membakarnya, dugaannya salah. Pemuda itu justru menariknya kembali. Ia memang membakar sesuatu, tapi bukan dirinya. Melainkan rokok yang terselip di antara jari tengah dan jari telunjuknya, lalu menyesapnya. Aksi itu membuat tawa Zain terdengar, begitu juga dengan Alaric yang lebih patut disebut sebagai 'mencemoohnya'. "Lihat, bukankah dia sangat bodoh?" tanya Niel, asap mengepul keluar dari bibirnya saat ia menunjuk pada Arya. "Dia benar-benar berpikir kalau yang aku tuangkan ke tubuhnya itu adalah bahan bakar." Dagunya mengedik pada Arya yang berekspresi penuh kebingungan. Pria itu mengendus tubuhnya sendiri, bahu kanan dan kirinya, pada tangan dan juga sekitarnya yang tak mengeluarkan aroma apapun selayaknya aroma bahan bakar. Yang disiramkan oleh Niel itu bukanlah bensin atau sesuatu sejenisnya, tapi air minum. Di saat seperti ini, si
Setelah William pergi dari hadapannya, Arya berpikir ia akan bebas dan bisa melarikan diri dari sini. Namun, harapan itu ditolak mentah-mentah oleh semesta, sebab pria berjas yang ada di seberang sana yang tadi memanggil William itu adalah batu sandungan barunya. Setahu Arya, pria itu adalah atasan mantan istrinya—Alya—Alaric Roseanne namanya. Mengejutkannya, pria itu tak selembut yang terlihat. Ia tampak bersahaja dan tenang, tetapi sepertinya Arya salah. Di dalam diri seseorang yang tenang, bukankah tak ada yang tahu apa yang hidup di dalamnya? Dan yang hidup di dalam ketenangan seorang Alaric adalah badai, badai yang menakutkan. Dengan telinganya ia mendengar Alaric yang mengatakan pada pemuda yang berdiri di sebelahnya, yang matanya menyipit seperti serigala. "Bawa dia ke sini, Zain! Biar aku bisa melihat wajahnya dengan jelas, iblis seperti apa yang menyakiti anakku." Pemuda yang disebut sebagai 'Zain' itu mengangguk sebelum kakinya yang ditopang oleh Oxford mengayun ke ara
Kepala William terasa berat, ia menunduk memandang lantai tempat ia berpijak sebelum langkah kaki seseorang berhenti di depannya. "Tuan William," sapanya sebelum pemilik suara tersebut duduk di sampingnya, Giff. "Sudah ada kabar dari Nona Lilia?" William menggeleng, "Belum," jawabnya. "Aku harap yang keluar dari sana adalah kabar yang baik." Kepalanya terangkat, matanya tampak berkabut kala memandang pintu ruang IGD yang dilalui banyak orang. "Pasti, pasti yang dibawa oleh dokter adalah kabar yang baik." Giff menyerahkan selembar tisu pada William yang menerimanya dengan bingung. Wajahnya yang tampak kosong itu menatap Giff seolah sedang bertanya, 'Untuk apa?' "Bersihkan wajah Anda," ucap Giff seolah tahu makna tatapan matanya itu. "Ada darah di pipi Anda, Tuan William." William tersenyum miris, "Ini darah milik Lilia, Giff." Giff mengangguk, ia pun tahu bahwa itu adalah darah milik Lilia. Mereka melihat dengan jelas bagaimana Lilia meregang nyawa di tangan mantan ayah angkat
Tangan William membeku di udara. Panggilan yang datang dari suara yang tak asing itu membuat William seperti mendapatan kembali akal sehatnya. Kebencian yang tadi bertumpuk dan membuat kepalanya berat itu berangsur melemah hingga tangannya perlahan turun meski kepalan pada jemarinya tak teruraikan. Melalui sudut matanya, ia melihat kedatangan ayah mertuanya, Tuan Alaric. Beliau pasti datang ke sini setelah Giff—atau mungkin Niel—memberi tahunya bahwa Lilia dalam bahaya dan menyusul ke tempat ini. Suara yang memanggil William agar tak menuruti egonya untuk memukuli Arya itu adalah Tuan Alaric. “Tinggalkan dia!” pinta beliau. “Bawa Lilia pergi dari sini!” Mendengar nama Lilia membuat William beringsut pergi dari sana, meninggalkan Arya yang entah akan jadi apa di tangan Tuan Alaric setelah ini. Baginya sudah cukup. Saat Arya itu mengatakan agar sebaiknya William membunuhnya saja membuat ia tahu pria itu telah mendapatkan pelajarannya. William berlari menuju pada Lilia yang terkul
Dengan sebelah kaki kanannya, William telah membuat Arya terjerembab jatuh hingga terbentur ke dinding. “Akh!” Ia berteriak kesakitan, bingung untuk meraba sebelah mana yang sakit sebab semua bagian tubuhnya terasa remuk. Baik itu bahunya yang ditendang oleh William atau kepala yang tadi telah lebih dulu dihabisi Lilia semasa ia memberikan perlawanan. Napas William naik turun, ia menatap Arya yang tergelatak sembari meraba dadanya dan tertatih lalu bangkit. Manik mereka bertemu di bawah kegelapan yang nyaris memenuhi setiap sisinya jika lampu dari mobil yang ada di seberang sana tidak menyala. “Ah—ini ternyata yang sudah membawa Lilia pergi,” ucap Arya saat ia telah berhasil menegakkan tubuhnya. “Bukankah kamu sebaiknya mengucapkan salam padaku karena aku adalah ayahnya?” “Aku? Mengucapkan salam pada bedebah sepertimu?” BUGH! Tepat setelah William selesai bicara, kakinya kembali membuat Arya terpental. Ia yang telah tumbang ke lantai beringsut menyeret tubuhnya agar berjarak s
⚠️⚠️TRIGGER WARNING ⚠️ ⚠️ Bab memuat konten yang mengandung kekerasan dan dapat memicu rasa tidak nyaman. Harap bijak dalam membaca! ———— “Tidak akan!” Lilia kembali menepis tangan Arya, sebisa mungkin ia menutupi bagian depan tubuhya yang telah terekspos. Ia menatap pria di hadapannya itu dengan penuh kebencian, semakin dipandang rasanya ia tak lagi layak disebut manusia. Bukan juga iblis, sebab iblis pun sepertinya tidak ingin dibandingkan dengan betapa kejinya mantan ayah angkatnya itu. Lilia tak ingin berakhir di tangan pria itu meski tubuhnya terasa remuk. Yang paling menyakiti hatinya adalah, bagaimana jika nanti sesuatu yang buruk terjadi pada bayinya yang ada di dalam kandungan? Bagaimana jika Lilia tak bisa menjaganya? Air matanya kembali luruh, berkabut membingkai kedua netranya kala Arya meraih bahunya, berusaha menyingkirkan tangan Lilia yang menyilang di depan dada. Saat pria itu kembali menjamahnya, Lilia dengan segera menunduk, untuk menggigit tangan A
⚠ ⚠ TRIGGER WARNING ⚠ ⚠ Bab memuat konten yang mengandung kekerasan dan dapat memicu rasa tidak nyaman. Harap bijak dalam membaca! ———— “LEPAS!” Lilia semakin kuat memberontak, berusaha menguraikan tangan keji mantan ayah angkatnya yang masih ada di rambutnya, menyeretnya melewati lantai kasar yang ada di luar ruangan hingga tempat yang lebih lembab yang penuh dengan lumut, yang bisa ia pastikan membuat pakaiannya menjadi kotor dan lusuh. “ARYA!” Seruan Lilia seperti tak diindahkan. Arya tak mendengar permintaannya agar ia dibebaskan, pria itu justru semakin buruk memperlakukannya. Air matanya seperti akan mengering, ketakutan melandanya hingga membuat Lilia seakan memilih untuk menyerah. Di dalam sebuah bangunan yang telah lama tak digunakan itu, akhirnya Arya melepasnya. Pria dengan kaos berkerah hitam itu menatapnya cukup lama, tawa lirihnya yang memuakkan mencemari indera pendengar Lilia sesaat sebelum ia menunduk dan mengulas seberkas senyum di hadapan Lilia