Share

3. Nona Telah Berpulang

Lilia tertegun cukup lama mendengar William.

‘Nona Ivana ... meninggal?’ batinnya, merasakan sensasi perih yang tiba-tiba menusuk ulu hatinya. Ia bangun dan mengangkat Keano ke gendongannya untuk mendekat ke arah kamar.

Saat hampir melewati William yang baru saja mengakhiri panggilannya—entah dengan siapa itu—Lilia terkejut karena pria itu justru membentaknya.

“Apa kamu bodoh?!” hardiknya. “Kenapa kamu malah membawa Keano untuk masuk?”

“S-saya—” Lilia mendekap Keano semakin erat saat anak itu sepertinya lebih terkejut mendengar suara ayahnya yang meninggi. “Saya hanya ingin Keano melihat saat-saat terakhir Nona Ivana, Tuan,” jawab Lilia akhirnya.

Tapi William tak menerima alasan itu. Ia meraih lengan Lilia dan menariknya pergi menjauh dari pintu.

“Jangan sampai Keano melihat ini!” peringatnya sungguh-sungguh. “Bawa dia pergi sampai aku memintamu membawanya pulang!”

“Kenapa Papa berteriak?!” tanya Keano—yang barangkali menganggap seruan William ditujukan untuknya.

Ia nyaris jatuh dari gendongan Lilia saat tangan kecilnya hendak memukul William yang seolah sedang kehilangan kendali.

“Keano benci Papa!”

Lilia memilih untuk mengakhiri perdebatan itu dan membawa Keano pergi dari rumah. Dengan naik taksi yang ia pesan, ia mengajak bocah kecil itu untuk bermain di luar.

Pilihannya jatuh pada taman yang tak jauh dari sebuah pre-school. Lilia menurunkannya agar duduk di ayunan, mengusap air mata yang menggantung di kedua sudut matanya dan ia menepuk lembut pipinya seraya berujar, “Papa tadi tidak teriak ke Keano kok. Sudah jangan marah, main saja dulu ya?”

“Ada apa tadi, Sus?” tanyanya penasaran. “Kenapa Papa marah-marah?”

“Hm ... Papa sedang capek ada pekerjaan, jadi kita sementara di sini dulu, bagaimana?” bujuk Lilia.

Keano mengangguk, ia tersenyum saat meraih tangan Lilia seraya menjawab, “Sus Lili mau dorong ayunannya Keano?”

“Boleh. Pegangan yang kuat ya.”

Keano tergelak saat tubuhnya mengayun tinggi di udara.

Sementara di belakangnya Lilia merasa bersalah karena telah membohonginya.

Padahal, Lilia juga ingin mengantar kepergian Ivana. Karena biar bagaimanapun, ia sudah cukup lama bersama dengannya. Tapi karena William tak memberinya izin, apa boleh buat ….

Setidaknya, yang ia lakukan sekarang adalah untuk mengalihkan perhatian Keano, agar anak itu tak menanyakan lebih banyak apa yang terjadi di rumah.

Ia membawanya untuk membeli es krim atau mainan kesukaannya.

Lewat tengah hari ponselnya berdering, panggilan dari William, yang dengan gegas ia jawab.

“Iya, Tuan?”

“Kamu bisa pulang sekarang, pemakamannya sudah selesai,” titahnya.

“Baik.”

Lilia kemudian menoleh pada Keano yang sibuk dengan es krim saat mereka duduk di teras sebuah minimarket dan mengajaknya untuk pulang.

Bocah kecil itu terlelap di pangkuannya sepanjang perjalanan. Lilia menghapus sisa-sisa es krim di bibirnya, mengusap pipinya dan menatapnya iba karena setelah hari ini ia tak akan bisa lagi melihat ibunya.

Memasuki rumah setelah turun dari taksi yang mengantarnya, Lilia masih melihat beberapa anggota keluarga inti William dan keluarga Ivana yang ada di ruang tamu.

Ia menunduk menyapa mereka semua sebelum berhadapan dengan William yang menerima Keano dari gendongannya.

Lilia beranjak pergi, menuju ke dapur dan berjumpa dengan para pelayan yang menyambutnya dengan wajah yang terlihat khawatir.

“Kamu baik-baik saja?” tanya salah seorang dari mereka. “Kami dengar tadi Tuan William marah padamu karena mau membawa tuan muda masuk?”

Lilia mengangguk, “Tidak apa-apa, mungkin aku yang ceroboh,” jawabnya, enggan memperpanjang masalah.

“Makanlah dulu, Lia,” pinta pelayan yang lainnya. “Kami sisihkan makanan untukmu tadi.”

Lilia hampir menjawab sebelum lengannya ditarik dari belakang oleh seseorang yang membuatnya nyaris kehilangan keseimbangan.

Ia melihat ibunya Ivana—ibu tiri lebih tepatnya—yang tiba-tiba melayangkan sebuah tamparan di pipi sebelah kirinya.

Lilia yang tak mengerti apa duduk perkaranya memberanikan diri untuk bertanya, “K-kenapa Nyonya menampar saya?”

“Kamu ‘kan yang membunuh Ivana?!” tuduh wanita itu.

Lilia termangu, ia meraba pipinya yang seakan remuk dihantam oleh jari-jari lentik wanita paruh baya itu. Bibirnya gemetar saat mengulangi kalimat itu dalam benaknya, ‘A-aku membunuh Nona Ivana?’

Pelayan yang ada di sekitar Lilia mengambil satu jarak mundur, mereka ketakutan melihat mata merah sang Nyonya saat menunjuk Lilia, “Jawab!”

“S-saya tidak tahu apa maksud Anda, Nyonya,” jawab Lilia tergagap, masih belum pulih dari keterkejutannya. “Tadi pagi saya—”

“Bohong!” potongnya tak peduli apa yang akan dikatakan oleh Lilia. “Semua yang kamu katakan pasti bohong!”

“Akhh!” Lilia menjerit saat pergelangan tangannya direnggut dengan kasar olehnya.

Wanita itu menyeretnya meninggalkan dapur dan mendorongnya hingga jatuh bersimpuh di lantai di hadapan anggota keluarga yang berkumpul di ruang tamu.

“Perempuan rendahan ini—” ucapnya seraya menunjuk Lilia. “Perempuan ini pasti yang sengaja membunuh Ivana agar dia bisa bersama dengan William!”

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Eva
Kasian juga sama si Keano, anak sekecil itu udah harus ditinggal ibunya. Tapi disini ibu tirinya Ivana jahat banget. Bisa bisanya dia bilang gitu, jangan sampai william terpengaruh sama omongannya. Dan disini siapa yang bakal belain Lilia?
goodnovel comment avatar
Diahayu Aristiani
kasian lilia pasti gak ada yg nolong dia
goodnovel comment avatar
Aya Melodi Agrifina
nenek lampir yg sok tau ngapain nuduh² orng sembarangan,udah tau anaknye penyakitan kronis pula harusnya tau dong sewaktu² bisa merenggut nyawanya cepat atau lambat... dasar nenek lampir gila
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status