Lilia tertegun cukup lama mendengar William.
‘Nona Ivana ... meninggal?’ batinnya, merasakan sensasi perih yang tiba-tiba menusuk ulu hatinya. Ia bangun dan mengangkat Keano ke gendongannya untuk mendekat ke arah kamar. Saat hampir melewati William yang baru saja mengakhiri panggilannya—entah dengan siapa itu—Lilia terkejut karena pria itu justru membentaknya. “Apa kamu bodoh?!” hardiknya. “Kenapa kamu malah membawa Keano untuk masuk?” “S-saya—” Lilia mendekap Keano semakin erat saat anak itu sepertinya lebih terkejut mendengar suara ayahnya yang meninggi. “Saya hanya ingin Keano melihat saat-saat terakhir Nona Ivana, Tuan,” jawab Lilia akhirnya. Tapi William tak menerima alasan itu. Ia meraih lengan Lilia dan menariknya pergi menjauh dari pintu. “Jangan sampai Keano melihat ini!” peringatnya sungguh-sungguh. “Bawa dia pergi sampai aku memintamu membawanya pulang!” “Kenapa Papa berteriak?!” tanya Keano—yang barangkali menganggap seruan William ditujukan untuknya. Ia nyaris jatuh dari gendongan Lilia saat tangan kecilnya hendak memukul William yang seolah sedang kehilangan kendali. “Keano benci Papa!” Lilia memilih untuk mengakhiri perdebatan itu dan membawa Keano pergi dari rumah. Dengan naik taksi yang ia pesan, ia mengajak bocah kecil itu untuk bermain di luar. Pilihannya jatuh pada taman yang tak jauh dari sebuah pre-school. Lilia menurunkannya agar duduk di ayunan, mengusap air mata yang menggantung di kedua sudut matanya dan ia menepuk lembut pipinya seraya berujar, “Papa tadi tidak teriak ke Keano kok. Sudah jangan marah, main saja dulu ya?” “Ada apa tadi, Sus?” tanyanya penasaran. “Kenapa Papa marah-marah?” “Hm ... Papa sedang capek ada pekerjaan, jadi kita sementara di sini dulu, bagaimana?” bujuk Lilia. Keano mengangguk, ia tersenyum saat meraih tangan Lilia seraya menjawab, “Sus Lili mau dorong ayunannya Keano?” “Boleh. Pegangan yang kuat ya.” Keano tergelak saat tubuhnya mengayun tinggi di udara. Sementara di belakangnya Lilia merasa bersalah karena telah membohonginya. Padahal, Lilia juga ingin mengantar kepergian Ivana. Karena biar bagaimanapun, ia sudah cukup lama bersama dengannya. Tapi karena William tak memberinya izin, apa boleh buat …. Setidaknya, yang ia lakukan sekarang adalah untuk mengalihkan perhatian Keano, agar anak itu tak menanyakan lebih banyak apa yang terjadi di rumah. Ia membawanya untuk membeli es krim atau mainan kesukaannya. Lewat tengah hari ponselnya berdering, panggilan dari William, yang dengan gegas ia jawab. “Iya, Tuan?” “Kamu bisa pulang sekarang, pemakamannya sudah selesai,” titahnya. “Baik.” Lilia kemudian menoleh pada Keano yang sibuk dengan es krim saat mereka duduk di teras sebuah minimarket dan mengajaknya untuk pulang. Bocah kecil itu terlelap di pangkuannya sepanjang perjalanan. Lilia menghapus sisa-sisa es krim di bibirnya, mengusap pipinya dan menatapnya iba karena setelah hari ini ia tak akan bisa lagi melihat ibunya. Memasuki rumah setelah turun dari taksi yang mengantarnya, Lilia masih melihat beberapa anggota keluarga inti William dan keluarga Ivana yang ada di ruang tamu. Ia menunduk menyapa mereka semua sebelum berhadapan dengan William yang menerima Keano dari gendongannya. Lilia beranjak pergi, menuju ke dapur dan berjumpa dengan para pelayan yang menyambutnya dengan wajah yang terlihat khawatir. “Kamu baik-baik saja?” tanya salah seorang dari mereka. “Kami dengar tadi Tuan William marah padamu karena mau membawa tuan muda masuk?” Lilia mengangguk, “Tidak apa-apa, mungkin aku yang ceroboh,” jawabnya, enggan memperpanjang masalah. “Makanlah dulu, Lia,” pinta pelayan yang lainnya. “Kami sisihkan makanan untukmu tadi.” Lilia hampir menjawab sebelum lengannya ditarik dari belakang oleh seseorang yang membuatnya nyaris kehilangan keseimbangan. Ia melihat ibunya Ivana—ibu tiri lebih tepatnya—yang tiba-tiba melayangkan sebuah tamparan di pipi sebelah kirinya. Lilia yang tak mengerti apa duduk perkaranya memberanikan diri untuk bertanya, “K-kenapa Nyonya menampar saya?” “Kamu ‘kan yang membunuh Ivana?!” tuduh wanita itu. Lilia termangu, ia meraba pipinya yang seakan remuk dihantam oleh jari-jari lentik wanita paruh baya itu. Bibirnya gemetar saat mengulangi kalimat itu dalam benaknya, ‘A-aku membunuh Nona Ivana?’ Pelayan yang ada di sekitar Lilia mengambil satu jarak mundur, mereka ketakutan melihat mata merah sang Nyonya saat menunjuk Lilia, “Jawab!” “S-saya tidak tahu apa maksud Anda, Nyonya,” jawab Lilia tergagap, masih belum pulih dari keterkejutannya. “Tadi pagi saya—” “Bohong!” potongnya tak peduli apa yang akan dikatakan oleh Lilia. “Semua yang kamu katakan pasti bohong!” “Akhh!” Lilia menjerit saat pergelangan tangannya direnggut dengan kasar olehnya. Wanita itu menyeretnya meninggalkan dapur dan mendorongnya hingga jatuh bersimpuh di lantai di hadapan anggota keluarga yang berkumpul di ruang tamu. “Perempuan rendahan ini—” ucapnya seraya menunjuk Lilia. “Perempuan ini pasti yang sengaja membunuh Ivana agar dia bisa bersama dengan William!”Tudingannya menggebu-gebu.Lilia menatap ibu Ivana dengan mata yang basah, bibirnya berusaha mengeluarkan kata untuk menepis tuduhan itu, tapi suara lain lebih dulu menyahut, “Apa yang terjadi?”Wanita lain yang datang itu merupakan ibunya William, bimbang memandang Lilia dan besannya itu bergantian.“Perempuan ini yang baru saja membawa Keano, ‘kan?” tanggapnya. “Aku baru saja melihat Keano di kamar dan dia mengatakan dia baru saja pergi dengan ‘Mama Lilia.’”“Apa?!” Ibunya William terkejut, sepasang bola matanya melebar mendengar hal itu. “B-bagaimana bisa seorang babysitter dipanggil ‘Mama’ oleh cucuku?!”Ia beralih pandang dari sang besan pada Lilia yang juga sama terkejutnya.Kalimat-kalimat pembelaan diri yang sempat tersusun di bibirnya seolah tertelan kembali ke tenggorokan.“Apa itu benar, Lilia?” tanya beliau. “Apa kamu meminta Keano untuk memanggilmu ‘Mama’ setelah kamu menyingkirkan Ivana?”“Itu tidak benar, Nyonya!” tepis Lilia dengan suara yang gemetar. “Saya tidak membu
“T-terima kasih,” ucap Lilia sungkan. Ia menunduk menghindari tatapan itu, berpikir bahwa barangkali Nicholas tak nyaman melihatnya memiliki luka yang mencolok seperti ini.Pria itu mengangguk tak keberatan sebelum kembali memacu mobilnya menuju rumah sakit. Hampir tak ada percakapan yang terjadi.Lilia juga tak berani membuka suara mengingat dirinya yang memang tak setara dengan pria di balik kemudi itu.Status sosial mereka berbeda. Hanya kebetulan yang membuat mereka bertemu dan pria itu tak keberatan mengantarnya.Tak berapa lama kemudian mereka tiba di rumah sakit, meninggalkan mobil di parkiran, langkah mereka berhenti di depan ruang ICU.Jendela besar itu menunjukkan keberadaan ibunya yang belum bangun pasca operasi.“Apa yang terjadi, Lilia?” tanya Nicholas yang berdiri di samping kanannya.“Ibu saya jatuh di kamar mandi, Tuan,” jawabnya. “Ada pendarahan di kepalanya. Setelah operasi itu berhasil, ternyata dokter menemukan sakit lain di tubuh Ibu yang membuat beliau masih belu
Lilia tahu William sedikit mabuk. Ia bisa menghidu bau alkohol yang menguar dari bibirnya saat mereka berdiri dalam jarak sedekat ini.Pria itu menunduk mensejajari pandangannya saat tawa lirihnya baru saja terdengar.“Kamu tidak memiliki hak untuk memutuskan apakah kamu bisa pergi dari rumah ini atau bertahan, Lilia Zamora,” ucapnya tegas.Lilia tak sempat menjawab apa yang dikatakan oleh pria itu sebab William lebih dulu menariknya dan membuatnya terhempas di atas ranjang.“Apa kamu mau pergi dari sini karena ingin hidup dengan Nicholas?” tanyanya. “Apa yang kamu lakukan dengannya tadi? Kalian bersenang-senang di luar saat aku tidak di rumah?”Pertanyaan datang bertubi-tubi seiring William yang naik ke atas tempat tidur. Pria itu menunduk di atas Lilia yang wajahnya seketika pias. Ia mencoba melepaskan diri, tetapi itu sia-sia sebab William telah membuatnya terkunci tak bisa bergerak.“T-tidak,” jawab Lilia dalam ketidakberdayaan. “Saya benar-benar hanya pergi ke rumah sakit untuk m
“Tidurlah di kamar Lilia nanti malam, biar bagaimanapun dia adalah istrimu juga. Sama sepertiku, dia juga berhak mendapatkan nafkah batin darimu, William.” Suara manis yang terdengar menembus pintu kamar membuat Lilia menghentikan langkahnya. Ia berdiri di luar dengan kedua tangan yang mencengkeram erat keranjang berisi pakaian yang harusnya ia bawa masuk, sebelum ia menyadari bahwa tuan dan nonanya tengah berada di dalam sana. “Tidak mau, Sayang,” jawab suara bariton seorang pria menyambut permintaan itu. “Aku tidak bisa melakukan itu dengan wanita lain selain kamu.” “Kamu tidak boleh begitu, William. Karena nanti setelah aku mati, kamu akan hidup dengan Lilia.” “Tapi kamu tidak akan meninggalkan aku secepat itu, Ivana.” Lilia termangu dengan tubuh yang terasa kebas. Tuan dan nonanya itu sedang membicarakan dirinya, babysitter anak mereka, yang sekaligus telah menjadi istri kedua William. Hal itu mereka lakukan untuk memenuhi permintaan Ivana yang kondisinya memburuk akibat le
Lilia melihat pria itu sedikit berbalik untuk menutup pintu sehingga ruangan ini seolah menjebak mereka hanya berdua saja.Ia merasa tubuhnya nyeri mendengar yang baru saja dikatakan oleh William. ‘Yang dilakukan oleh dua orang yang sudah menikah’ itu, Lilia tahu betul apa artinya.Hubungan suami istri, seperti yang tadi diminta oleh Ivana, bukan?Lilia ketakutan, pandangan William tajam mengintimidasinya. Sesuatu yang gelap tersembunyi di balik iris dan wajahnya yang rupawan.Dadanya bertalu ribut sehingga Lilia membawa langkahnya mundur untuk menghindarinya. Membawa dirinya sejauh mungkin dari William jika perlu.“Apa sekarang kamu sedang menolakku?” tanya pria itu. Tak mendapati jawaban, William menekan saat mengucap, “Jangan salah, aku datang ke sini karena istriku yang meminta,” katanya. “Bukan karena keinginanku sendiri. Jadi lakukan ini sebagai cara kita memenuhi apa yang diinginkan oleh Ivana.”Kalimatnya telah menegaskan dengan kuat bahwa tak ada wanita lain yang dicintai ole