Bagaimana jika kamu harus menikah dengan sepupu mantan suamimu? Bagaimana jika suamimu menikahimu bukan atas dasar cinta? Dan bagaimana jika suamimu masih menyimpan rasa dengan cinta pertamanya? Lalu, bagaimana jika mantan suamimu ternyata masih mencintaimu? Hall itu lah yang kini dirasakan Halimah. Usai berpisah dari suaminya terdahulu, ia dipinang oleh sepupu dari mantan suaminya itu. Namun, seiring berjalannya waktu banyak rahasia yang terungkap hingga membuat Halimah sadar mengapa ia sampai di titik tersebut.
View MoreSepupuan dengan Mantan Suami
Bab 1 Diusir"Keluar!" usir bu Watik bersamaan dengan dorongan tangannya ke tubuhku hingga membuatku terjatuh.
Entah apa yang tiba-tiba merasuki wanita paruh baya itu yang tak lain tak bukan adalah ibu mertuaku sendiri. Bu Watik namanya.
Sepulang dari makam suaminya tadi, bu Watik dengan ganasnya memintaku untuk membereskan semua barang-barangku. Padahal belum ada satu pekan aku tinggal di rumahnya, mengikuti mas Aryo yang merupakan anak bungsunya sekaligus suamiku.
Ya, pernikahanku dengan mas Aryo baru berusia hitungan hari. Itu pun terbilang sangat mendadak lantaran adanya sebuah permintaan dari mendiang ayah mas Aryo yang baru saja meninggal kemarin.
"Sekarang kamu bukan lagi menantuku!" cecar bu Watik sambil menunjuk wajahku dengan tatapan tajamnya.
"Pergi kamu! Wanita kotor sepertimu tidak pantas tinggal di rumah ini!" cecarnya lagi yang membuatku semakin menjadi pusat perhatian ibu-ibu tetangga yang sudah berkerumun sejak teriakan bu Watik yang sangat memekik telinga tadi. Sayangnya, mereka hanya asyik menonton tanpa ada yang mencoba menolongku.
Malah samar-samar aku juga mendengar bisikan-bisikan antara satu ibu dengan ibu yang lain yang membicarakan tentang diriku atau hanya sekedar menebak-nebak apa yang terjadi sampai ada juga yang membenarkan hinaan yang dilontarkan bu Watik tadi.
"Betul itu! Dasar wanita jal*ng!" cibir mbak Susi, anak sulung bu Watik alias kakak iparku.
Mendengar cibiran yang tak enak didengar tersebut lantas membuatku bangkit dan menatap tajam mbak Susi. Diusir dengan cara tidak hormat masih bisa ku terima, tetapi dicela dengan hal yang tidak pantas bahkan tidak ada pada diriku itu membuat emosiku tersulut.
"Apa kata, Mbak? Awas kau ya!" dengan sisa tenaga aku mencoba menyerang mbak Susi yang bersembunyi di balik tubuh gemuk ibunya itu.
"Aduh!" lagi-lagi karena hadangan dari bu Watik membuatku jatuh tersungkur dan gagal menyerang mbak Susi.
"Bu Watik! Ada apa? Kok mbak Imah diusir begitu?" tanya seseibu dari pihak para penonton.
"Biar ibu-ibu sekalian tau ya! Wanita ini sudah berani-beraninya bawa laki-laki lain ke rumah ini saat aku dan anak-anakku lagi gak ada di rumah. Apa gak edan kalau kayak gitu?!" bu Watik memiringkan jari telunjuknya di dekat keningnya seraya melirikku yang masih tersungkur.
"Astaghfirullah," kataku dengan cepat sembari berdiri. "Gak! Yang dibilang itu bohong!" tampikku. Karena memang bukan begitu kenyataannya.
"Halah! Maling mana ada yang ngaku!" cecar bu Watik yang seakan tak mau dianggap berdusta.
"Enggak ibu-ibu. Saya bukan orang seperti itu!" aku berusaha membela diri dengan harapan para penonton di depanku tersebut tidak semudah itu percaya tanpa adanya bukti.
"Astaghfirullah. Yang bener yang mana?" beberapa ibu-ibu tetangga pun saling bertanya-tanya.
"Makam bapak mertuamu tu lho belum kering, udah berani aja maksiat," ujar seseibu yang lain.
"Udah lah, usir aja bu Watik!" teriak bu Beni yang mana aku tahu ia adalah salah satu teman bergosip bu Watik.
"Saya juga gak nyangka Imah tega mengkhianati Aryo, padahal pernikahan mereka baru beberapa hari." Bu Watik menampakan raut wajah sedihnya. Tentu saja aku tahu itu hanya kepura-puraannya agar bisa mendapatkan simpati dari orang-orang sekitar.
"Jangan ngadi-ngadi ya, Bu!" kataku pada bu Watik. "Tolong jangan fitnah saya!" tegasku.
"Yang dikatakan ibu itu benar!" tiba-tiba mas Aryo keluar dan mendekatiku. "Wanita yang baru saya nikahi bahkan belum saya sentuh sama sekali ini sudah berbuat zina di rumah ini," kata mas Aryo dengan lantangnya sambil menunjuk kearahku.
Mendengar perkataan mas Aryo barusan sontak membuatku mendongak dan menatap tajam kearahnya. Betul-betul tak ku sangka otak dan mulutnya membenarkan ucapan ibunya yang jelas-jelas hal itu bukanlah kebenarannya.
"Aku talak tiga kamu!" kata mas Aryo dengan kesadaran penuh yang membuatku tertegun seketika.
Ibu-ibu yang berkumun pun tak lagi saling berbisik. Ada yang beristighfar dan ada juga yang terang-terangan membenarkan ucapan-ucapan bu Watik juga mas Aryo. Aku benar-benar merasa sudah tak bisa berbuat apa-apa di titik ini. Sampai satu per satu tetesan air mataku pun terjatuh.
Aku sungguh tak menyangka jika pernikahanku akan berakhir dengan cara seperti ini. Disaat aku sudah membuka hati dan mencoba menerima mas Aryo menjadi suamiku, ia malah menceraikanku. Dihadapan semua orang pula.
Bu Watik sendiri sekilas ku lihat ia tersenyum dengan menyunggingkan sudut bibir kanannya kearahku. Merasa sudah menang atas diriku. Begitu juga dengan mbak Susi yang memang sejak awal kepindahanku ke rumah ini ia kerap menunjukkan sikap tak suka padaku.
Andai bukan karena uang, dulu aku juga tak sudi menikah dengan mas Aryo dan lebih memilih hidup di tempat kelahiranku meski hanya sendiri. Namun, sayangnya nasi sudah menjadi bubur.
"Dasar menantu kurang aj*r! Usir aja biar gak bikin malu desa sini!" teriak seseibu yang kemudian dibenarkan beberapa ibu yang lainnya.
Mereka semua seperti sudah termakan dengan fitnahan yang dilontarkan ibu mertuaku padaku. Sampai-sampai dengan kasarnya salah seorang dari mereka menarik paksa kedua lenganku dan mendorongku ke jalanan hingga terjatuh lagi.
"Astaghfirullah hal'adzim." Tiba-tiba bulik Erni muncul dan membantuku berdiri. "Ada apa ini, Mbak?" tanya bulik Erni yang juga adik ipar dari bu Watik.
Dengan percaya diri bu Watik menceritakan apa yang ia tuduhkan terhadapku. Dan lagi-lagi pernyataan bu Watik tersebut dibenarkan oleh kedua anaknya yang berdiri di dekatnya.
Mendengar kakak iparnya selesai bercerita, bulik Erni lantas melihatku dengan tatapan yang entah apa maksudnya. Antara kasihan dan tak percaya.
Sedangkan diriku sudah menyerah pada keadaan. Dan aku lebih memilih untuk diam. Toh, sekeras apapun aku menjelaskan kebenarannya aku yakin orang-orang di sini pasti tidak akan mempercayaiku begitu saja. Apalagi aku betul-betul orang baru di sini.
Meski begitu, dengan ditatak tiga di hadapan banyak orang dan difitnah dengan kejamnya hal itu malah membuatku memendam rasa benci* terhadap keluarga bu Watik. Sehingga muncul keinginan untuk membalas perbuatan mereka sekaligus untuk membuktikan kalau tuduhan mereka salah. Dengan begitu nama baikku akan kembali pulih dengan sendirinya.
"Lebih baik ibu-ibu bubar sekarang. Tolong!" kata bulik Erni yang kemudian membuat ibu-ibu tetangga meninggalkan tempat dengan mudah.
Benar, bulik Erni termasuk orang yang dihormati di desa ini. Lantaran mendiang suaminya adalah seorang mantan ketua RT yang baik dan bijaksana. Selain itu beliau juga bisa dibilang sangat taat agama. Mungkin karena inilah ketika bulik Erni sudah berbicara, banyak dari warga desa yang mengiyakannya.
"Ini masalah keluarga yang seharusnya gak boleh semua orang tau," kata bulik Erni setelah ibu-ibu tetangga sudah pergi.
"Biar aja semua orang tau Bulik gimana bus*knya kelakuan wanita sok alim itu," kata mas Aryo sambil sekilas menoleh kearahku.
"Tunggu pembalasanku, Mas!" batinku seraya melirik tajam wajah yang sempat mencuri perhatianku saat pandangan pertama kala itu.
Namun, lagi-lagi aku yang sudah terlanjur malas memilih untuk diam. Tak ingin membuang lebih banyak tenagaku hanya untuk membalas fitnahan demi fitnahan dari keluarga ini. Karena aku yakin, kebenaran itu pasti akan menang pada akhirnya.
"Sudah sudah!" bulik Erni melerai ucapan mas Aryo. "Mbak, Sampeyan beneran mau ngusir Imah?" tanya bulik Erni lagi dengan nada medoknya.
"Wis Mbak, gak usah ditanya-tanya lagi. Pokoknya aku usir dia dari rumahku!" balas bu Watik yang kemudian melengos meninggalkan adik iparnya tersebut. Lalu diikut dengan mas Aryo juga mbak Susi.
Bulik Erni hanya menggeleng melihat tingkah kakak iparnya itu. Namun apa mau dikata, bu Watik juga anak-anaknya memang seperti itu kelakuannya.
Tiba-tiba netra bulik Erni menoleh kearahku. "Kamu ke rumahku!" tandasnya lalu berjalan meninggalkanku tanpa membantuku membawa barang-barangku.
Langkah kakiku pun mengikuti kemana bulik Erni pergi. Yakni ke rumahnya yang bertepatkan di seberang rumah bu Watik. Entah wejangan apa yang akan ku dapat. Atau mungkin beliau juga akan membenarkan perkataan kakak ipar dan para keponakannya itu. Tak tahulah aku.
Bab 124 EndingTak lama setelah kabar gembira itu mencuat, tiba-tiba kami semua yang berada di teras rumah Bu Watik itu pun seketika dibuat terkejut lantaran terdengar teriakan dari arah dalam rumah. Dan sudah bisa ditebak teriakan yang cukup kencang itu pasti berasal dari Bu Watik.Di waktu yang bersamaan itu pula lah Mas Aryo lantas berlari dengan cepat menuju dalam rumah. Pastilah ia merasa khawatir jikalau terjadi sesuatu pada ibunya itu. Bulik Erni, Sarah, Rahma, serta aku yang menggendong Abrisam pun dengan panik menyusul Mas Aryo ke dalam. Dan disaat kami semua berada tepat di depan kamar Bu Watik, kedua mata kami dibuat tercengang dengan pemandangan di depan sana.Dimana Bu Watik ternyata ... Terjatuh dari tempat tidurnya.Entahlah apa yang sebelumnya wanita paruh baya itu perbuat hingga membuatnya terjatuh dari kasurnya. Namun yang jelas hal tersebut membuat Mas Aryo begitu terkejut. Begitu juga dengan diriku dan yang lainnya.Mendapati ibunya dalam kondisi demikian, tanpa b
Bab 123 Kondisi Mantan Mertua Setelah memberikan jawabanku tersebut, aku tidak lagi mendengar suara dari Mas Hilman. Dan entah mengapa di momen itu aku merasa kalau suami mudaku itu sedang memikirkan sesuatu yang ujung-ujungnya aku diminta untuk mengembalikan satu set perhiasan itu.Astagfirullah ... Aku terus berucap istighfar dalam hati sembari terus berharap kalau Mas Hilman tidak memintaku untuk mengembalikan satu set perhiasan itu. Karena bagaimanapun aku berusaha menghargai hadiah yang dikirim Siska itu. Walaupun perihal permintaan maaf dari Siska belum juga diketahui secara pasti. Namun yang jelas jika memang benar Siska ingin meminta maaf dan sudah menyesali perbuatannya, hal itu lah yang membuatku senang dan bukan semata-mata karena perhiasan saja.Namun ternyata dugaanku salah. Ketika aku meminta untuk menyudahi aktivitas memijat ini, Mas Hilman masih sama seperti sebelumnya. Tetap tak bersuara. Tentu saja hal ini sudah bisa dipastikan kalau suami mudaku itu pasti tertidur.
Bab 122 Satu Set Perhiasan "O ya, udah hubungi nomor di paket mu itu belum?" tanya Mas Hilman yang membuatku teringat sesuatu."Astaghfirullah, belum, Mas," balasku.Benar, setelah menerima paket beberapa hari yang lalu, dimana paket yang berisikan satu set perhiasan emas itu membuatku dan Mas Hilman terkejut saat mengetahuinya. Alhasil karena tidak ada nama pengirim dan hanya ada nomor telepon yang sepertinya dari toko perhiasan itu dibeli, aku berencana untuk menghubungi toko tersebut. Dengan tujuan untuk mengkonfirmasi apakah satu set perhiasan yang aku terima benar-benar ditujukan untukku.***"Mas, Mas, Mas!!" dengan terburu-buru aku mendekati Mas Hilman yang baru saja pulang dari sekolah."Kenapa?" tanyanya heran."Lihat, deh," ucapku seraya meminta Mas Hilman melihat ke arah layar hp yang berada di tanganku.Setelah membaca isi pesan yang aku tunjukkan lantas saat itu juga Mas Hilman menatapku dengan raut wajah kebingungan. Sontak hal itu membuatku yang tadinya ceria seketika
Bab 121 Kepergian Mbak SusiSayangnya, ketika Mbak Susi belum sempat memulai ceritanya disaat yang bersamaan tiba-tiba muncul Rahma, adik iparku. Ia datang dengan nafas terengah-engah sambil membawa Abrisam."Maaf semuanya," kata Rahma sembari menurunkan keponakannya.Abrisam pun berjalan dengan wajah riangnya ke arahku. Sedangkan Rahma diminta untuk duduk terlebih dahulu dan menenangkan diri sebelum bercerita. Sampai akhirnya Rahma diminta untuk menceritakan apa yang menjadi sebab ia menyusul ke rumah ini dengan kondisi seperti itu tadi. Dimana ternyata ... Ada seseorang yang mencariku.Mendengar hal itu Mas Hilman lantas bergegas keluar rumah dan berjalan pulang ke rumahnya. Sedangkan aku menitipkan Abrisam ke ibu mertuaku dan segera menyusul suami mudaku itu. Begitu juga dengan Rahma yang mengikutiku dari belakangku. Sementara yang lainnya lebih memilih untuk tetap berada di tempatnya sembari memantau dari kejauhan.***Bersamaan dengan kehadiranku, saat itu pula lah Mas Hilman me
Bab 120 Pesan Untukku"Gak pa-pa, kok, Bulik," jawab Mbak Susi dengan suara pelan seraya tersenyum ke arah Bulik Erni.Melihat kondisi Mbak Susi yang berjalan seperti itu, ditambah adanya luka lebam dibeberapa titik wajahnya membuatku merasa kasihan padanya. Aku betul-betul tak menyangka jika pernikahan yang awalnya dulu penuh drama kini harus berakhir seperti ini. Sungguh menyedihkan dan sungguh malang nasib mantan kakak iparku itu.Di momen ini pula lah yang membuatku semakin bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi? Dan adakah kesalahan yang diperbuat Mbak Susi hingga Pak Tejo dan ketiga istrinya yang lain sampai tega meninggalkan bekas luka-luka di tubuh Mbak Susi seperti itu.Sampai akhirnya setelah melihat Mbak Susi lebih tenang dan lebih rileks, Bu Watik yang memang sejak tadi malam mengkhawatirkan anaknya sampai-sampai dia pingsan pun mulai mengajukan pertanyaan terkait apa yang sebenarnya terjadi. Selain itu aku sendiri juga teramat penasaran dengan apa yang membuat Mbak S
Bab 119 Menjemputnya pulang ke rumahMelihat nama dari orang yang meneleponku malam-malam itu seketika aku dibuat mendelik. Mendadak pula jantungku berdebar-debar karena aku merasa yakin kalau ada hal yang penting untuk disampaikan malam itu juga. Ku angkat lah panggilan telepon tersebut dan mendapati kabar yang sangat-sangat membuatku terkejut seketika. Bahkan saking terkejutnya aku sampai tidak bisa menggerakkan badanku untuk beberapa detik. Sampai akhirnya tiba-tiba Mas Hilman terbangun dan melanjutkan obrolan dari orang yang cukup kami kenal itu lewat telepon.Setelah beberapa saat kemudian panggilan telepon berakhir. Dan saat itu juga Mas Hilman memintaku untuk bersiap karena kami akan segera pergi ke tempat sesuai yang disampaikan orang yang belum lama menelepon kami tadi. Dengan perasaan yang masih syok, aku tetap berusaha tenang. Karena bagaimanapun nanti setelah sampai di tempat tujuan, aku lah yang akan berperan penting di sana.***"Ada apa, Sar?" tanyaku panik ketika aku
Bab 118 Dalang"Maksudnya udah biasa?" tanyaku.Sembari menarik selimut suami mudaku itu lantas menjawab, "udah biasa kamu curigain!" dengan cepat Mas Hilman menutupi seluruh tubuhnya dengan selimutnya yang seolah ingin berlindung dariku.Dan memang tepat apa yang dilakukan Mas Hilman tersebut. Pasalnya usai mendengar jawabannya itu reflek aku mengambil bantalku dan menggunakannya untuk memukul-mukul tubuhnya. Enak saja memberi jawaban seperti itu. Apa dia pikir aku adalah tipe wanita yang selalu curigaan padanya?! Haduh! ***Pagi harinya ketika aku ingin melihat nomor tanpa nama di hp ku, yang kemarin ku kira milik Dewi, aku dibuat terkejut karena aku tidak menemukan nomor tersebut. Baik di daftar pesan maupun di riwayat panggilan. Tidak ku temukan nomor itu sama sekali.Mendapati hal demikian seketika itu juga aku teringat akan Mas Hilman yang membuka-buka hp ku tadi malam, yang katanya hanya sekedar ingin melihat-lihat saja. "Pasti kamu, Mas!" rutukku lalu berjalan mencari kebera
Bab 117 Sebuah NasihatKarena pesan yang membuatku begitu syok ketika aku membacanya itu, aku sampai tidak sabar ingin menyampaikannya kepada Mas Hilman yang mana suami mudaku itu belum pulang dari masjid. Ingin sekali ku telepon Mas Hilman tetapi sayangnya hp nya di rumah. Dan memang kebiasaan suami mudaku itu lah yang selalu tidak membwa hp jika pergi ke masjid seperti ini.Sampai setelah beberapa saat menunggu akhirnya Mas Hilman pulang. Dan dengan semangat serta rasa ingin tahu akan ekspresi juga tanggapan dari Mas Hilman, aku pun langsung menyodorkan pesan dari nomor tanpa nama tersebut. Dan tebakanku akan tanggapan Mas Hilman pun terjawab ketika suami mudaku itu telah tuntas membaca pesan tersebut. Dimana Mas Hilman berkata jika ia juga tidak menyangka dengan isi pesan tersebut. Dan sama dengan diriku, Mas Hilman juga menyakini jika pesan tersebut berasal dari Dewi.Akhirnya di pagi itu tanpa banyak berpikir aku dan Mas Hilman langsung keluar kamar dan berjalan dengan terburu-b
Bab 116 Sebuah VideoDimana ia bilang jika sebetulnya selama di rumah Bu Mira, ia dan Mas Aryo tidak banyak mendapatkan informasi mengenai apa yang menjadi tujuan mereka. Malah yang ada Bu Mira terus mengajak dua bersaudara itu bercerita ke hal-hal yang terbilang tidaklah penting. Saking banyak omong nya, sampai-sampai setiap kali Mas Hilman dan Mas Aryo ingin pamit untuk pulang selalu saja merasa sungkan karena cerita yang belum kelar tersebut.Sampai di titik ini aku merasa semakin yakin kalau sebenarnya ada yang tidak beres dengan kejiwaan Bu Mira. Tapi, bagaimana aku bisa menemukan jawaban dari dugaanku itu jika Bu Mira saja bersikap buruk ketika berhadapanku. Dan ... Apa mungkin kejadian yang menimpaku ini ada hubungannya dengan Dewi yang katanya adalah anak kandung dari Bu Mira?"Bu Mira bilang gak kalau Dewi tau soal ini?" tanya Bulik Erni yang membuat kami semua menoleh ke arahnya.Mas Hilman menggeleng lalu menjawab pertanyaan ibunya barusan. "Enggak, Bu. Tapi menurut Hilman
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments